Firman Tuhan dalam Cerita Fiksi (II)
|
e-Penulis -- Edisi 190; 2 Juni 2017
|
DARI REDAKSI
Menulis Fiksi Kristen
Pada edisi e-Penulis 189, kita telah belajar mengenai firman Tuhan dan cerita fiksi. Tidak dimungkiri bahwa dalam Alkitab terdapat cerita fiksi (berupa perumpamaan) yang bertujuan untuk menyampaikan kebenaran kepada pembacanya. Masih terkait dengan hal ini, pada edisi kali ini kita akan belajar mengenai cara menulis cerita fiksi Kristen yang bersumber dari Alkitab. Ada banyak cara kreatif untuk membuat karya semacam ini. Bacalah tip di bawah ini dengan saksama dan terapkanlah!
Perluas juga wawasan Sahabat mengenai tokoh penulis Kristen terkemuka pada era Reformasi Inggris, John Foxe, yang telah menghasilkan empat puluh karya yang bernilai sejarah tinggi dalam bahasa Inggris dan Latin. Selain itu, sebuah resensi dari buku Twelve Ordinary Men karya John MacArthur juga akan menolong Sahabat memahami bagaimana kedua belas murid Kristus menjalani panggilan dan kehidupannya, sebelum dan sesudah mengikut Kristus. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
|
TIP
Menggunakan Alkitab untuk Ide Menulis
Saya setuju bahwa Alkitab dapat menjadi sumber ide menulis yang sangat kaya. Tidak hanya bagi para penulis fiksi, tetapi juga bagi seorang blogger, misalnya untuk membuat sebuah blog dengan mengambil perumpamaan Alkitab dan menuangkannya dalam bentuk anekdot.
Fiksi Kristen punya prospek besar, dengan cerita-cerita yang dikembangkan dari Alkitab dan novel-novel bertema kekristenan. Namun, bukan itu yang menjadi fokus saya pada tulisan saya kali ini. Artikel ini membahas tentang bagaimana menemukan inspirasi dari Alkitab untuk membuat tulisan Anda sendiri, entah Anda seorang Kristen atau bukan.
Ide-Ide dari Tokoh-Tokoh Alkitab
Alkitab penuh dengan tokoh-tokoh yang menarik. Beberapa tokoh tersebut adalah pahlawan, yang lain penjahat, dan banyak juga yang menempati wilayah abu-abu yang penuh intrik di tengahnya--orang baik yang melakukan sesuatu yang buruk (Musa, yang membunuh seorang pria atau Petrus, yang menyangkal mengenal Yesus) atau pengecut yang kemudian memperoleh keberanian (Yunus, yang mencoba untuk melarikan diri dari Allah).
Jika Anda kesulitan menciptakan tokoh fiksi Anda, mengapa tidak menulis tentang salah satu dari tokoh-tokoh dalam Alkitab? Berikut adalah beberapa tokoh yang bisa menjadi inspirasi.
1. Petrus (salah satu murid) - mudah berubah suasana hatinya dan impulsif, tetapi benar-benar mengasihi Yesus.
2. Yudas (murid yang mengkhianati Yesus) - kisah seorang pengkhianat di tengah sekelompok orang yang punya rasa persaudaraan kuat selalu menarik untuk diceritakan.
3. Paulus (menulis banyak surat dalam Perjanjian Baru) - yang tadinya membenci suatu pergerakan, tetapi kemudian berbalik mendukung.
4. Daniel & teman-temannya (kitab Daniel, dalam Perjanjian Lama) - berpegang teguh pada apa yang mereka percaya meskipun terancam oleh penganiayaan dan kematian.
Untuk membuat fiksi yang menarik, Anda bisa menggunakan beberapa tokoh di atas dalam cerita yang berlatar belakang kehidupan modern. Saya suka artikel berikut yang berjudul If Bible Characters kept blogs, dan Anda juga bisa mencoba menuliskan profil Facebook tokoh-tokoh tersebut.
Anda bisa menemukan daftar tokoh-tokoh Alkitab terkenal di sini.
Ide dari Perumpamaan
Dalam Injil, Yesus menyampaikan banyak perumpamaan kepada murid-murid-Nya dan kepada orang banyak. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan "Perumpamaan" sebagai "sebuah cerita fiktif, biasanya pendek, yang menggambarkan sikap moral atau prinsip agama".
Anda dapat menemukan daftar perumpamaan Yesus di sini.
Jadi, bagaimana Anda bisa menggunakannya?
1. Menulis kembali perumpamaan tersebut dengan latar belakang kehidupan modern.
Jika Anda orang Kristen, Anda mungkin pernah mendengar beberapa kisah perumpamaan di gereja dengan latar belakang kehidupan modern (Orang Samaria yang baik hati adalah salah satu contoh yang populer).
Cobalah menceritakan salah satu dari perumpamaan tersebut dan gambarkan dalam suasana kota modern atau kantor berteknologi tinggi.
Anda bisa memodifikasi cerita dalam perumpamaan itu dan juga mengubah akhir ceritanya--ini bisa sangat efektif jika pembaca Anda sudah familiar dengan perumpamaan tersebut, dan mengira mereka tahu jalan cerita selanjutnya.
2. Gunakan jalan cerita dalam perumpamaan dan kembangkan menjadi cerita yang lebih panjang lagi.
Beberapa perumpamaan bisa dengan mudah diperluas dan dikembangkan menjadi cerita pendek-- bahkan novel. Kisah-kisah yang saya pikir akan sesuai, antara lain:
Kisah Hamba yang Kejam (seorang hamba diampuni dari utangnya yang banyak, tetapi kemudian menuntut pembayaran dari sesama hamba yang hanya berutang sedikit kepadanya). Anda bisa menuliskan perumpamaan ini dalam bentuk cerita pendek yang disertai kejutan, misalkan dengan mengarahkan pembaca untuk menduga bahwa hamba itu akan bermurah hati.
Kisah Anak yang Hilang (seorang pemuda menuntut bagian warisannya, menjalani hidup mewah sampai uangnya habis, berakhir miskin dan kembali ke rumah ayahnya). Plot ini baik untuk menceritakan perubahan karakter ketika seseorang memasuki usia dewasa.
Kisah Orang-orang Upahan yang Jahat (orang-orang yang dipercaya mengurus kebun anggur membunuh para hamba yang datang untuk mengumpulkan hasil panen, bahkan kemudian membunuh anak pemilik kebun). Ini bisa menjadi cerita film thriller atau kejahatan. (t/Jing-Jing)
Audio Alkitab untuk Ide Menulis
|
TOKOH
John Foxe (1517-1587)
John Foxe merupakan salah satu penulis paling berpengaruh pada era Reformasi Inggris (periode ketika Gereja Inggris melepaskan diri dari otoritas Paus - Red.). Dalam kurun waktu 40 tahun, antara tahun 1547 hingga saat kematiannya, ia menghasilkan sekitar 40 karya tulis dalam bahasa Inggris dan Latin. Namun, ketika ia masih hidup dan sesudah ia meninggal, ia lebih dikenal melalui salah satu karyanya, The Acts and Monuments of the English Martyrs. (Kisah-Kisah dan Monumen-Monumen dari Para Martir Inggris - Red.)
Foxe mulai menulis buku The Acts and Monuments pada masa pemerintahan Raja Edward VI (r. 1547-1553) sebagai sebuah pembelaan atas gerakan Reformasi dari sisi sejarah, yang sejalan dengan pemikiran dalam buku The Image of Both Churches, yang diterbitkan di Kota London pada tahun 1545, oleh temannya, John Bale. Melalui buku tersebut Foxe menggambarkan sejarah gereja sebagai pergulatan besar antara kekuatan Kristus dan anti-Kristus, dengan kaum Protestan sebagai inkarnasi gereja yang sejati. Karya ini sempat terhenti, dan Foxe harus lari ke pengasingan menyusul berkuasanya Ratu Mary yang beragama Katolik (r. 1553-1558) (Ratu Mary melakukan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen Protestan pada masa itu, - Red.). Akibatnya, ia terdorong untuk menerbitkan karyanya lebih awal, dan buku berjudul Commentarii Rerum in Ecclesia Gestarum (buku tentang para martir Inggris - Red.), yang diterbitkannya di Strasburg pada tahun 1554, hanyalah sebagian dari tulisan yang ia terbitkan pada saat itu. Meskipun buku ini hendak menjabarkan karya Roh Kudus sejak abad ke-14, sebagian besar isinya membahas tentang kaum Lollards di Inggris (The Lollards adalah pengikut dari tokoh John Wycliffe yang hidup di Inggris antara akhir tahun 1300 hingga awal tahun 1500 - Red.)
Penganiayaan yang mulai terjadi di Inggris pada Januari 1555 mengubah agenda Foxe. Teman-teman dan rekan-rekannya sendiri (kaum Protestan - Red.) menjadi korban penganiayaan. Foxe merasa sangat marah, tidak hanya karena penyebab kematian mereka--yang patut memperoleh keadilan--tetapi juga karena kekejaman itu terjadi begitu dekat dengannya (yang berada di pengasingan - Red.). Akan tetapi, rencananya tidak serta-merta berubah. Pada tahun 1559, di Kota Basel, ia menghasilkan sebuah karya, hasil pengembangan karya buatannya sendiri yang diberi judul Rerum in Eccesia Gestarum, yang sebagian besar isinya memuat daftar korban-korban penganiayaan yang baru saja terjadi di Inggris.
Menyusul pergantian kepemimpinan pada Ratu Elizabeth (r. 1558-1603), dan karena munculnya atmosfer dan kesempatan yang baik ketika ia berkuasa, Foxe mengalihkan perhatiannya pada beberapa peristiwa kelam yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Karena dibujuk oleh temannya, Edmund Grindal, dan sebagian karena desakan seorang tukang cetak, John Day, ia menulis kisah para martir dalam bahasa Inggris. Sesudah itu, Foxe tidak hanya berusaha membela gerakan Reformasi Inggris dan membersihkan nama para korban penganiayaan, tetapi juga mendukung gerakan baru Protestantianisme, yang didukung oleh Ratu Elizabeth, sekuat tenaga. Pembelaannya itu ia tuangkan, salah satunya melalui buku The Acts and Monuments, yang diterbitkan di London pada tahun 1563.
Buku The Acts and Monuments ia mulai dengan bab berjudul "Unbinding the Satan" (Pelepasan Setan - Red.), yang ia sebut mulai berlangsung pada akhir abad ke-13. Dalam buku ini, ia melukiskan penganiayaan yang dialami "orang-orang kudus"--istilah yang sering dialamatkan kepada kaum Protestan Inggris pada zamannya. Ia menulis buku itu dengan memberi referensi khusus pada negara Inggris, dan memfokuskan narasinya pada masa pemerintahan Ratu Mary. Buku yang sangat tebal ini, yang terdiri lebih dari 1800 halaman folio, memberi dampak yang meluas karena dokumentasinya yang lengkap dan penjabaran topiknya yang dramatis. Foxe mendapat banyak kritikan tajam, tetapi pada saat yang sama, juga memperoleh narasumber baru bagi tulisannya melalui kesaksian teman-teman dan keluarga-keluarga para korban penganiayaan. Begitu selesai, karya besar ini menjadi warisan paling bernilai dari kehidupannya.
Dia menulis edisi-edisi terbaru The Acts and Monuments of the English Martyrs pada tahun 1570, 1576, dan 1583, dan masing-masing karya itu ditulis untuk tujuan yang berbeda. Pada tahun 1563, ia menjadi pribadi yang berpandangan superlatif, senang mengagung-agungkan sesuatu; ia menyebut Ratu Elizabeth sebagai Kaisar Konstantin yang baru (Kaisar Romawi yang menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen - Red.) yang mengalahkan kejahatan dan bahwa Allah menunjuk negara Inggris secara khusus untuk mempersiapkan kedatangan-Nya yang kedua. Pada tahun 1570, ia khawatir bahwa para penentang Reformasi belum benar-benar dikalahkan, dan kembali pada niat awalnya menulis karya-karya mengenai penganiayaan terhadap gereja. Pada tahun 1583, ia merasa yakin bahwa semangat Reformasi semakin menguat di Inggris, tetapi masih belum percaya bahwa generasi baru Inggris siap memenuhi panggilan mereka sebagai orang-orang yang terpilih (John Foxe memiliki semangat nasionalisme Inggris yang berpadu dengan iman kekristenannya - Red.).
Foxe meninggal pada bulan April 1587 ketika bukunya menjadi karya bertaraf nasional. Pada tahun 1570, Privy Council mengeluarkan perintah agar buku karya Foxe diberi tempat istimewa di dalam gereja-gereja katedral sejajar dengan Alkitab berbahasa Inggris. Banyak paroki melakukan hal yang serupa walaupun harus mengeluarkan biaya untuk membeli buku itu, yang pada saat itu terdiri dari dua edisi dan memiliki lebih dari 2.000 halaman. Setelah kematian Foxe, buku The Acts and Monuments ditulis kembali dalam versi pendek pada tahun 1589, dan diterbitkan dalam versi lengkap terbaru pada tahun 1596 dan 1610.
Foxe mungkin tidak pernah menyangka bahwa karyanya akan menjadi begitu populer di Inggris. Edisi-edisi lanjutan buku The Acts and the Monuments lebih banyak menceritakan kisah para martir di Eropa daratan, dan pengertiannya tentang kekudusan tidak lagi memandang batas-batas negara. Karyanya menjadi landasan bagi bertumbuhnya nasionalisme kaum Protestan Inggris, dan ditambah peranan pemerintahan Ratu Elizabeth, membuat gerakan Reformasi dapat berakar di Inggris.
Generasi yang hidup setelah Foxe, menggunakan, meringkas, dan menulis kembali karya-karyanya untuk tujuan mereka masing-masing. Pada tahun 1632, edisi lanjutan buku "The Acts and The Monuments" memuat materi baru yang bersifat profetik, yakni tentang penganiayaan yang akan segera terjadi. Hal ini mengubah karya Foxe yang tadinya merupakan pembelaan terhadap gerakan Protestantianisme menjadi sebuah wacana tentang "oposisi yang kudus"; dan dalam hal ini, memberi pengaruh besar pada tokoh-tokoh Kristen puritan, seperti William Prynne, John Bunyan, dan George Foxe. Edisi-edisi The Acts and Monuments berikutnya dirilis pada tahun-tahun penting, yaitu pada tahun 1641 dan 1684. Sementara versi-versi bowdlerised (versi yang telah meniadakan materi yang dianggap tidak patut dan bersifat menyerang - Red.) dan versi adaptasi buku tersebut, yang dirilis pada abad ke-18, terus menekankan pandangan anti-Katolik sepanjang Abad Pencerahan. (t/N. Risanti)
|
RESENSI BUKU
Twelve Ordinary Men
|
Judul buku
:
Twelve Ordinary Men
Judul asli
:
Twelve Ordinary Men
Penulis/Penyusun
:
John MacArthur
Penerjemah
:
Saut Sidabutar
Ukuran buku
:
23 x 15.4 cm
|
Kehidupan Yesus tidak lepas dari dua belas rasul yang telah dipilih-Nya. Siapakah orang-orang ini? Apakah mereka orang-orang terpandang dan berpengaruh pada masanya? Mungkin, kita pernah melihat gambar para rasul di kaca-kaca gereja. Kaca yang berwarna dengan lingkaran suci yang bersinar melambangkan tingkat kerohanian yang tinggi. Pada kenyataannya, mereka adalah orang-orang yang sangat, sangat biasa. Mereka bukan tokoh-tokoh agama, mereka bukan orang-orang suci, mereka bukan sarjana. Ya, sebagian besar dari mereka adalah nelayan, pemungut cukai, dan politikus yang impulsif. Mereka hanya manusia biasa seperti kita, tetapi telah memenuhi panggilan yang tidak biasa. Perubahan mereka menjadi bejana-bejana untuk kemuliaan hanyalah karena karya Sang Tukang Periuk.
Dalam buku ini, John MacArthur akan memperkenalkan Anda pada murid-murid lingkaran-dalam Yesus, yaitu dua belas rasul. Bahasanya yang sederhana, mudah dimengerti, dan terstruktur menjadikan buku ini sebagai salah satu buku spiritualitas yang layak dibaca, khususnya bagi orang awam. Jarang sekali ada buku yang membahas kehidupan dua belas rasul secara mendalam. Memang porsi pembahasan untuk tiap rasul tidak sama (mungkin karena sumber-sumber yang menulis tentang kehidupan beberapa rasul tersebut terbatas), tetapi itu tidak mengurangi kualitas buku ini. Selain itu, jika Anda ingin melakukan Pendalaman Alkitab (PA) mengenai tokoh Alkitab, buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yang tepat.
Tiap babnya membahas bagaimana panggilan kedua belas rasul, bagaimana kehidupan mereka sebelum dan sesudah mengikut Kristus, transformasi hidup apa yang terjadi dalam kehidupan mereka, bagaimana pelayanan mereka setelah Yesus naik ke surga, dan akhir hidup rasul-rasul ini. Penulis buku ini juga memberi julukan yang unik kepada tiap rasul di tiap babnya, julukan tersebut merujuk pada karakter atau pribadi mereka. Contohnya: Petrus-Rasul dengan julukan "mulut seukuran telapak kaki", Andreas-Rasul hal-hal kecil, Yohanes-Rasul kasih, Filipus-Orang yang terlalu teliti, dan sebagainya. Anda dapat melihat cara Allah bekerja dalam kehidupan mereka yang sama seperti kita, manusia biasa. Allah yang sama juga akan bekerja dalam hidup Anda sebagai murid-murid Kristus. Kiranya Allah boleh memakai buku ini untuk mentransformasi kehidupan Anda. Selamat membaca!
Peresensi: Liza
|
|