Firman Tuhan dalam Cerita Fiksi (I)
|
e-Penulis -- Edisi 189, 4 Mei 2017
|
DARI REDAKSI
Kaitan Cerita Fiksi dan Alkitab
Pernahkah kita memikirkan kaitan antara cerita fiksi dan Alkitab? Atau, malah kita sudah memvonis bahwa setiap cerita fiksi pasti tidak alkitabiah dan tidak punya kaitan dengan Alkitab? Redaksi e-Penulis mengupas topik ini di bagian artikel yang kami harap bisa membuka hati dan pikiran kita bahwa dalam kondisi tertentu cerita fiksi dan Alkitab sangat bertalian. Bahkan, dalam Alkitab pun banyak peristiwa yang melibatkan fiksi untuk menyampaikan kebenaran. Untuk lebih mendalami topik ini, bacalah edisi ini dengan saksama.
Jika selama ini, kita masih sering keliru dalam membedakan antara kamus dan tesaurus, kini saatnya kita belajar perbedaannya dan memahaminya. Tak lupa, sebuah novel klasik karya Charles Dickens juga akan menambah wawasan kita mengenai kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah di Inggris pada Era Victoria. Selamat membaca edisi bulan ini. Tuhan Yesus memberkati.
|
ARTIKEL
Cerita Fiksi dan Alkitab
Apa yang dikatakan Alkitab tentang membaca atau menulis cerita fiksi?
Alkitab adalah Kitab Kebenaran. Beberapa kali Alkitab menasihatkan kita untuk menyampaikan kebenaran dan menolak kebohongan. Menurut Alkitab, dalam hal apa cerita fiksi sesuai dengan ajarannya. Apakah menceritakan kisah yang dibuat-buat adalah kebohongan? Apakah mengarang dan menceritakan sesuatu yang tidak benar adalah dosa? Lagi pula, 1 Timotius 1:4 memberi tahu kita untuk menjauhi mitos dan dongeng.
Sebenarnya, pernyataan dalam 1 Timotius 1:4 adalah peringatan kepada gereja supaya tidak berdebat tentang detail-detail tambahan dalam Alkitab. Sebuah pelayanan pengajaran gereja seharusnya didasarkan pada firman Tuhan, bukan pada ide, filosofi, dan imajinasi manusia. Spekulasi tentang warna rambut Simson tidak bermanfaat; dogmatisme tentangnya, lebih tidak berguna. Namun, Alkitab tidak melarang kita membaca atau menulis fiksi.
Faktanya, Alkitab dipenuhi dengan fiksi. Dengan ini, kami bukan hendak mengatakan bahwa Alkitab tidak benar. Kami hendak mengatakan bahwa Alkitab terkadang menggunakan fiksi untuk menyampaikan kebenaran; bahkan Alkitab berisikan contoh-contoh dongeng. Dalam 2 Samuel 12:1-4, Nabi Natan menyampaikan sebuah cerita fiksi kepada Daud tentang seseorang yang domba milik satu-satunya dicuri dan dibunuh. Ketika kisah kejahatan fiksi ini memancing kemarahan Daud, Nabi Natan mengungkapkan cerita itu sebagai alegori mengenai perzinaan Daud dengan Batsyeba. Cerita fiksi lain yang terkenal di Alkitab, antara lain dongeng Yotam (Hakim-Hakim 9:7-15) dan alegori Yehezkiel (Yehezkiel 17:1-8). Pendongeng terbaik adalah Yesus. Semua perumpamaan-Nya adalah cerita fiksi. Masing-masing mengungkapkan kebenaran rohani, tetapi dalam bentuk fiksi.
Peradaban/Masyarakat Kristen dengan benar telah mencontoh teladan Yesus ini. Buku The Pilgrim's Progress karya John Bunyan dan banyak cerita karya C.S. Lewis adalah alegori fiksi yang menyampaikan kebenaran rohani. Bunyan tahu bahwa karyanya akan dikritik karena penggunaan kata-kata yang "dibuat-buat" (fiktif). Ia melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa fiksi dapat menjadi sarana untuk menyampaikan kebenaran: "Beberapa orang, dengan membuat cerita fiksi seperti saya/membuat kebenaran (Injil) semakin terang, dan sinarnya berkilauan!"
Apakah ini berarti semua cerita fiktif yang ditulis, dibaca, atau ditonton seorang Kristen, pada intinya, memiliki pesan Kristen? Tidak. Sebuah cerita yang bermanfaat tidak harus jelas-jelas Kristen walaupun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Kolose 3:1-2 mengingatkan kita untuk memikirkan perkara yang di atas. Filipi 4:8 menjelaskan apa saja perkara itu--yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, dan yang manis. The Lord of the Rings sering kali dipakai sebagai contoh cerita fiksi non-Kristen, dari seorang penulis Kristen J.R.R. Tolkien, yang sebenarnya tidak memasukkan alegori Kristen--termasuk alegori milik teman baiknya, C.S. Lewis. Dia menulis buku-buku tentang Middle Earth sebagai sebuah alegori peperangan dan aspek negatif kemajuan teknologi tanpa ada kesengajaan memasukkan pesan rohani. Namun, tidak bisa dimungkiri, keyakinan imannya memenuhi ceritanya, mengisi plotnya dengan nilai-nilai dari Alkitab, seperti keberanian, kesatuan tujuan, dan pengorbanan diri.
Entah cerita-cerita itu berupa alegori rohani, fiksi historis, atau sekadar hiburan, para penulis Kristen perlu mengaplikasikan pedoman-pedoman dari Alkitab. Efesus 4:29 (AYT) mengatakan, "Jangan biarkan perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi hanya perkataan baik yang membangun orang yang membutuhkan sehingga perkataanmu itu memberi berkat bagi mereka yang mendengarnya." Pada beberapa ayat berikutnya, Paulus menasihatkan, "Jangan ada perkataan kotor, perkataan bodoh, atau lelucon-lelucon kasar ..." (Efesus 5:4, AYT). Para penulis perlu ingat bahwa walaupun mereka hanya ingin membuat fiksi yang tujuannya sebatas menghibur, semua cerita mengandung unsur pengajaran. Mengajar adalah pekerjaan rohani yang serius (Yakobus 3:1), apa pun medianya. (t/Jing-Jing)
Audio Cerita Fiksi dan Alkitab
Diterjemahkan dari: |
Nama situs |
: |
Got Questions Ministries |
Alamat situs |
: |
https://www.gotquestions.org/Bible-fiction.html |
Judul asli artikel |
: |
What does the Bible say about reading or writing fiction? |
Penulis artikel |
: |
Tim Got Question |
Tanggal akses |
: |
6 Maret 2017 |
|
POJOK BAHASA
Kamus dan Tesaurus
Dalam dunia tulis-menulis, kita tidak asing lagi dengan istilah kamus. Selain itu, ada pula tesaurus. Kamus dan tesaurus merupakan rujukan yang biasa digunakan untuk mencari makna kata. Apa perbedaan keduanya?
Kamus adalah buku yang mendeskripsikan makna kata atau ungkapan dan menjelaskan konteks pemakaiannya. Kata "kamus" diadopsi dari qamus dalam bahasa Arab yang berasal dari bahasa Yunani okeanos, yang berarti lautan. Ada pun tesaurus adalah buku yang memuat daftar kata atau ungkapan yang bertalian makna. Kata "tesaurus" diambil dari thesauros dalam bahasa Yunani yang berarti gudang. Baik kamus maupun tesaurus, diibaratkan seperti laut atau gudang tempat menyimpan atau menampung khazanah kosakata dalam suatu bahasa. Keduanya menjadi potret "kekayaan" daya ungkap dalam suatu bahasa.
Untuk memperjelas perbedaan keduanya, berikut ini diberikan contoh penyajian informasi dalam kamus dan tesaurus.
Kamus: bapak n 1 orang tua laki-laki; ayah, 2 orang laki-laki yang dl pertalian kekeluargaan boleh dianggap sama dengan ayah (seperti saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki bapak): -- kecil.
Tesaurus: bapak v melindungi, menafkahi, mengayomi; a berwibawa, kebapakan, kuat, tegas; n abah, ayah, ayahanda, bokap, buya, papa, papi, rama.
Jika dibandingkan, kedua jenis penjelasan di atas berbeda dari segi isi informasinya. Kamus sekurang-kurangnya berisi penjelasan makna dan konteks atau contoh pemakaian. Adapun tesaurus biasanya berisi kata-kata lain yang bertalian makna dengan kata tersebut. Pertalian makna dalam tesaurus dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), perlawanan makna (antonimi), hubungan superordinat dan subordinat (hiperonimi atau hiponimi), atau hubungan antarbagian (metonimi).
|
RESENSI BUKU
Oliver Twist
|
Judul buku
:
Oliver Twist
Judul asli
:
Oliver Twist
Penulis/Penyusun
:
Charles Dickens
Penerbit
:
Oxford University Press, Oxford
Ukuran buku
:
17,7 x 11,2 cm
|
Oliver Twist dilahirkan dalam kemiskinan dan kemalangan. Ibunya meninggal saat melahirkan dia, dan ayahnya tidak diketahui keberadaannya. Sejak kecil, dia harus tinggal di sebuah panti asuhan di pinggiran kota London yang kumuh. Pada usianya yang masih muda, dia pun harus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Namun, karena tak tahan dengan perlakuan kasar yang dia dapat di rumah tuannya, Tuan Sowerberry, dia kemudian memutuskan untuk melarikan diri ke London. Di sana, dia bertemu dengan Jack Dawkins, alias Artful Dodger, yang menawarkannya tempat tinggal, sebelum dia bertemu dengan Ragin dan geng pencurinya. Di kota London inilah, perjalanannya yang berliku-liku untuk menemukan kebahagiaan dimulai.
Novel klasik karangan Charles Dickens ini menyajikan kepada pembaca sebuah potret kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah di Inggris pada Era Victoria. Kemiskinan dan kriminalitas yang mewarnai kehidupan pada masa itu merupakan tema utama yang diangkat dalam novel ini. Oliver Twist, tokoh utama dalam novel ini, menggambarkan orang-orang yang bukan berasal dari golongan bangsawan yang berusaha melepaskan diri dari belenggu kemiskinan yang mengikatnya. Dia pergi ke London barangkali dengan harapan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Namun, alih-alih mendapatkannya, dia justru dihadapkan dengan kehidupan kriminal. Sepertinya tidak ada pilihan lain dalam hidupnya selain tinggal dan bekerja di rumah sosial untuk para gelandangan, seperti yang sebelumnya dia lakukan, atau menyambung hidup dengan mencuri orang-orang dari kelas atas. Meskipun demikian, seperti cerita-cerita lain yang sama-sama menggunakan plot "kebaikan menang mengalahkan kejahatan", terlepas dari liku-liku perjalanan hidupnya, Oliver kecil pada akhirnya mendapatkan imbalan atas kebaikan hatinya dan mengalami keajaiban yang mengubah hidupnya selamanya.
Selain menjadi bacaan yang ringan dan bisa dinikmati dengan santai, Oliver Twist juga memiliki nilai lebih karena memberikan pelajaran sejarah tentang stereotip hidup pada Era Victoria. Novel ini juga menawarkan nilai-nilai perjuangan hidup serta moralitas di tengah-tengah era yang sulit, yang sangat baik untuk dipelajari oleh generasi muda saat ini. Alur ceritanya yang bagus, latarnya yang menarik, dan karakter-karakternya yang memesona menjadikan Oliver Twist salah satu novel yang tidak boleh terlewatkan untuk dibaca.
Peresensi: Odysius
|
|