RENUNGAN
KARENA IMAN
Ditulis oleh: N. Risanti
Ibrani 11 menjadi pasal yang indah di dalam Alkitab yang menceritakan tentang iman dari tokoh-tokoh Alkitab di masa perjanjian lama. "Oleh iman, Abraham ketika dipanggil Tuhan, taat untuk pergi ke suatu tempat yang akan diberikan sebagai milik pusakanya. Dan, ia berangkat, walaupun tidak tahu ke mana ia akan pergi." (Ibrani 11:8, AYT). Kita lalu menyebut Abraham sebagai bapa orang percaya karena dari padanya lahir satu bangsa yang percaya dan mengenal Allah yang sejati di antara bangsa-bangsa lain. Melalui iman yang sungguh-sungguh mempercayakan seluruh masa depan yang tidak diketahuinya ke tangan Allah, Abraham dipakai Allah sebagai cikal bakal bangsa pilihan Allah.
Menariknya, dalam Ibrani 11 ini disebutkan pula tentang iman Rahab, perempuan dari tembok Yerikho yang sesungguhnya bukan berasal dari kaum yang percaya kepada YAHWEH (Yosua 2). Dalam ensiklopedia Alkitab di situs Alkitab SABDA, disebutkan bahwa, "Hampir pasti dialah Rahab istri Salmon dan ibu Boas, nenek moyang Daud, yang muncul dalam silsilah Yesus pada Matius ps 1.". Bukankah itu merupakan sesuatu yang mengagumkan? Rahab, yang awalnya dikenal sebagai wanita sundal, pada akhirnya dicatat dalam sejarah sebagai ibu yang melahirkan raja-raja besar Israel, bahkan dalam garis keturunan Kristus, Putra Allah yang berinkarnasi! Apa yang membuat hal itu dapat terjadi? Apa yang menyebabkan Allah mau menempatkan wanita ini ke dalam silsilah yang dapat dipastikan merupakan silsilah paling penting dalam sejarah manusia? Imannya. Rahab dibenarkan karena perbuatan imannya, yang membuat ia yakin pada kuasa dan pemeliharaan Allah atas diri dan keluarganya. Apa yang dilakukannya sendiri sebenarnya bukanlah suatu perbuatan yang dapat dikatakan mencengangkan, yang membuat wanita itu berada dalam situasi penindasan atau penganiayaan seperti banyak martir imam. Namun, dari sana kita justru melihat bahwa ternyata Allah sungguh melihat dan memperhitungkan imannya. Bukan apa yang terlihat, tetapi apa yang keluar dari hati Rahab yang beriman yang kemudian membuat Allah memakai wanita ini sebagai bagian dari rencana-Nya yang indah bagi umat-Nya.
Iman, bertumbuh di dalam kesesakan
Iman di dalam esensinya bukanlah tergantung pada apa yang dapat kita lakukan atau apa yang dapat kita tunjukkan. Sebaliknya, di dalam beriman, "aku" bukan lagi oknum yang utama, tetapi Dia, Allah pencipta semesta alam. Ketika kita beriman, maka sesungguhnya kita melepaskan segala kekuatan, kontrol, rasio, bahkan pemikiran yang kita miliki kepada Entitas yang kita akui sebagai sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa, lebih mengetahui, dan tidak terbatas oleh apa pun dibanding diri kita yang lemah dan serba terbatas. Lalu, jika kita sudah menjadi orang beriman, apa yang harus kita lakukan? Nyatakanlah iman itu dalam hal-hal yang paling kecil dan sederhana di dalam keseharian kita, sebagai seorang ibu, ayah, anak, teman, saudara, rekan kerja, pemimpin, bawahan, atau apa pun panggilan yang sedang kita jalani saat ini. Dan, ketika pribadi-pribadi dalam lingkaran kehidupan kita dapat melihat bahwa hidup yang kita jalani hari demi hari sungguh-sungguh berada di bawah otoritas Allah, kita pun dapat dipakai untuk menyatakan keberadaan Allah yang berkuasa kepada mereka. Bukan mustahil hal itu juga akan menarik mereka kepada Entitas yang dapat menjadikan hidup mereka bermakna. Tidakkah kita juga ingin dipakai dalam rencana-Nya bagi dunia ini? Selamat menjalani tahun yang baru di dalam iman kepada Allah!
RIWAYAT
WILLIAM WILBERFORCE (1759 -1833)
"Tampak begitu hebat, begitu mengerikan, dan begitu tidak dapat diatasinya kejahatan perdagangan (budak) tersebut sehingga pikiran saya sendiri benar-benar bulat untuk mendukung penghapusan akan hal tersebut. Biarlah konsekuensinya seperti apa yang akan terjadi: Sejak saat ini saya bertekad bahwa saya tidak akan pernah beristirahat sampai saya berhasil mengadakan penghapusan atas perdagangan budak."(William Wilberforce)
William Wilberforce
Pada akhir tahun 1700an, ketika William Wilberforce masih remaja, para pedagang (budak) berkebangsaan Inggris menyerbu pantai Afrika di Teluk Guinea, menangkap antara 35.000 dan 50.000 orang Afrika per tahun, mengirim mereka menyeberang Samudera Atlantik, dan menjual mereka sebagai budak. Hal itu merupakan bisnis yang menguntungkan sehingga banyak orang yang berkuasa menjadi tergantung padanya. Salah satu penerbit untuk perdagangan Hindia Belanda menulis, "Ketidakmungkinan untuk mengerjakan sesuatu tanpa budak di Hindia Belanda akan selalu menghalangi perdagangan budak itu dihentikan. Oleh karenanya, kebutuhan itu, kebutuhan yang mutlak akan hal itu, menjadi alasan yang utama, karena tidak ada alasan yang lain."
Hingga akhir tahun 1700an, ekonomi perbudakan begitu mengakar dengan kuat sehingga hanya segelintir orang saja yang berpikir untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi hal tersebut. William Wilberforce adalah satu di antara segelintir orang tersebut.
Mengambil Tujuan
Hal ini bisa saja mengejutkan orang-orang yang mengenal Wilberforce pada masa mudanya. Dia tumbuh dikelilingi oleh kekayaan. Dia berasal dari Hull dan mengenyam pendidikan di St. John's College di Cambridge. Akan tetapi, dia bukanlah seorang siswa yang serius. Di kemudian hari dia merefleksi, "Dorongan untuk membuat saya malas sama besarnya seperti dorongan untuk membuat saya rajin." Seorang tetangga di Cambridge menambahkan, "Ketika dia (Wilberforce) pulang larut ke kamarnya di malam hari, dia akan mengundang saya untuk bergabung dengannya.... Dia begitu menarik dan menyenangkan sehingga saya sering duduk menghabiskan setengah waktu saya di malam hari bersamanya, terkadang sampai-sampai saya tidak masuk kuliah keesokan harinya."
Namun, Wilberforce memiliki ambisi politis dan, dengan koneksi yang dimilikinya, berhasil memenangkan pemilihan Parlemen pada tahun 1780, di mana dia membentuk suatu hubungan persahabatan yang abadi dengan William Pitt, yang nantinya menjadi seorang perdana menteri. Akan tetapi, di kemudian hari dia mengakui, "Pada tahun-tahun pertama di parlemen, saya tidak melakukan apa pun -- tidak melakukan apa pun untuk tujuan apa pun. Tujuan saya sendiri adalah obyek kesayangan saya."
Akan tetapi, dia mulai berefleksi secara mendalam di dalam hidupnya, yang menuntunnya menuju suatu periode kesusahan yang hebat. "Saya yakin bahwa tidak ada seorang manusia pun yang bisa lebih menderita daripada saya untuk beberapa bulan," tulisnya. Kegundahan yang tidak alami tersebut lenyap pada hari Paskah 1786, "di tengah-tengah paduan-suara-umum yang beserta seluruh alam, pagi itu, melambungkan lagu-lagu pujian dan ucapan syukur." Dia telah mengalami kelahiran-baru rohani.
Dia berpantang dari alkohol dan menerapkan introspeksi diri yang ketat seperti yang sepantasnya, dia percaya, dilakukan oleh seorang Kristen yang "serius". Dia membenci pergaulan yang dibarengi dengan permainan politik. Dia mengkhawatirkan tentang "cobaan di atas meja," pesta-pesta makan malam yang tidak habis-habisnya, yang dia anggap penuh dengan pembicaraan yang sia-sia dan tidak berguna: "Hal-hal itu menjauhkan setiap tujuan yang berguna di dalam hidup, membuang-buang waktu saya, mengganggu kesehatan saya, memenuhi pikiran saya dengan pikiran-pikiran yang menentang sebelumnya dan kecaman diri setelahnya."
Dia mulai melihat tujuan hidupnya: "Jalan saya adalah jalan orang biasa." tulisnya di dalam buku hariannya. "Urusan saya adalah di dalam dunia, dan saya harus membaur di dalam perkumpulan orang-orang atau keluar dari pos yang ditugaskan oleh Tuhan kepada saya."
Secara khusus, terdapat dua alasan yang menarik perhatiannya. Pertama, di bawah pengaruh Thomas Clarkson, dia menjadi tertarik dengan isu-isu perbudakan. Di kemudian hari dia menulis, "Tampak begitu hebat, begitu mengerikan, dan begitu tidak dapat diatasinya kejahatan perdagangan (budak) tersebut sehingga pikiran saya sendiri benar-benar bulat untuk mendukung penghapusan hal tersebut. Biarlah konsekuensinya seperti apa yang akan terjadi: Sejak saat ini saya bertekad bahwa saya tidak akan pernah beristirahat sampai saya berhasil mengadakan penghapusan atas perdagangan budak."
Wilberforce pada awalnya merupakan seorang yang optimistis, bahkan sangat naif. Dia mengungkapkan "ketidakraguannya" tentang peluangnya akan kesuksesan cepat. Memasuki tahun 1789, dia dan Clarkson berhasil mengajukan 12 resolusi terhadap perdagangan budak -- hanya untuk dikalahkan dengan poin-poin hukum yang sah. Jalan menuju penghapusan perbudakan dihalangi oleh kepentingan personal, parlemen yang menunda-nunda, intoleransi yang mengakar kuat, politik internasional, kerusuhan budak, penyakit pribadi, dan kecemasan politik. Plakat-plakat lain yang diajukan oleh Wilberforce dikalahkan pada tahun 1791, 1792, 1793, 1797, 1798, 1799, 1804, dan 1805.
Ketika menjadi jelas bahwa Wilberforce tidak akan bersedia mematikan isu tersebut, kelompok-kelompok pro-perbudakan mengincarnya. Dia difitnah; lawan-lawannya berbicara tentang ""doktrin Wilberforce yang terkutuk dan sekutu-sekutunya yang munafik." Pihak yang berlawanan menjadi begitu ganas, seorang temannya khawatir bahwa suatu hari dia akan membaca tentang Wilberforce yang "dipanggang oleh pengusaha perkebunan suku Indian, dibakar oleh pedagang-pedagang orang Afrika, dan dimakan oleh kapten-kapten Guinea."
Perdana menteri kedermawanan
Perbudakan merupakan satu-satunya penyebab yang menarik gairah Wilberforce. Panggilan besar keduanya adalah kepada "reformasi perilaku" yaitu moral. Pada awal tahun 1787, dia memiliki gagasan tentang suatu masyarakat yang mampu bekerja, sebagaimana pengumuman kerajaan menjelaskannya, "untuk memajukan kesalehan dan kebajikan; dan untuk mencegah kejahatan, ketidaksucian, dan amoralitas." Hal itu pada akhirnya dikenal sebagai 'Masyarakat bagi Penekanan Kejahatan'.
Bahkan, Wilberforce -- yang dijuluki "perdana menteri kabinet orang-orang filantropis" -- pernah sekali waktu aktif dalam mendukung 69 kasus filantropis. Dia membagikan seperempat dari penghasilannya per tahun kepada fakir miskin. Dia berjuang demi pembersih cerobong asap, ibu-ibu tunggal, sekolah-sekolah minggu, anak-anak yatim, dan remaja-remaja berandal. Dia membantu mendirikan kelompok-kelompok paragereja seperti Society for Bettering the Cause of the Poor (Masyarakat Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Fakir Miskin - Red.), the Church Missionary Society (Masyarakat Gereja Misionaris - Red.), the British and Foreign Bible Society (Masyarakat Alkitab Inggris dan Asing - Red.), and the Antislavery Society (Masyarakat Anti-perbudakan - Red.).
Pada tahun 1797, dia menetap di Clapham, tempat dia menjadi anggota yang terkemuka dari "Sekte-Clapham", suatu kelompok orang-orang Kristen saleh yang berpengaruh di dalam pemerintahan dan bisnis. Pada tahun yang sama, dia menulis "Practical View of the Prevailing Religious System of Professed Christians" (Pandangan Praktis tentang Sistem Agama yang Berlaku atas Orang Kristen yang Mengaku - Red.), suatu kritik pedas akan paham kekristenan yang sudah mapan, yang menjadi salah satu buku terlaris.
Semuanya itu, terlepas dari fakta bahwa kesehatan yang buruk terus mengganggunya di sepanjang umur hidupnya, terkadang terus membuatnya terbaring di tempat tidur selama berminggu-minggu. Selama saat-saat semacam itu, pada usianya yang di ujung dua puluhan tahun, dia menulis, "(Saya) seorang pesakitan, yang bahkan tidak sepenuhnya sanggup mengerjakan urusan kecil yang saat ini sedang saya geluti: mata saya begitu rabun sehingga saya kesulitan untuk mengarahkan pena saya."
Dia berhasil melalui hal itu dan serangan penyakit lain yang melumpuhkan dengan bantuan opium, obat jenis baru pada waktu itu, yang efek sampingnya masih belum diketahui. Tidak lama kemudian Wilberforce menjadi kecanduan, meski kekuatan halusinasi opium membuatnya takut, dan depresi yang disebabkannya nyaris melumpuhkannya pada saat-saat tertentu.
Akan tetapi, ketika sehat ia merupakan seorang politikus yang gigih dan efektif, sebagian karena pesona alami yang dimilikinya dan sebagian karena kefasihan lidahnya. Usaha-usaha anti perbudakannya akhirnya membuahkan hasil pada tahun 1807: Parlemen menghapuskan perdagangan budak di Kerajaan Inggris. Dia kemudian bekerja untuk memastikan bahwa hukum-hukum tentang perdagangan budak ditegakkan dan, akhirnya, perbudakan benar-benar dihapuskan di Kerajaan Inggris. Kondisi kesehatan Wilberforce menghalanginya untuk memimpin tuntutan yang terakhir, meskipun dia mendengar tiga hari sebelum kematiannya bahwa bagian akhir dari RUU emansipasi telah disetujui di dalam komite.
Surat Abolisi untuk perdagangan budak
Meski beberapa sejarawan memperdebatkan bahwa Thomas Clarkson dan yang lain merupakan orang-orang yang sama pentingnya di dalam perjuangan melawan perbudakan, Wilberforce memainkan peranan kunci dipandang dari segi mana pun di dalamnya, sebagaimana sejarawan G.M. Trevelyan menyebutnya, "salah satu peristiwa yang menentukan di dalam sejarah dunia." (t/Odysius)
Download Audio
|