KARYA
MARY SLESSOR (1886 -- 1965)
"Tuhan ditambah dengan satu orang selalu menjadi mayoritas."(Mary Slessor)
Mary Slessor
Lahir pada tahun 1848 di Skotlandia, Mary Mitchell Slessor adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Dia membawa banyak karakter yang saleh saat dia dibesarkan. "Saya berutang banyak terima kasih kepada ibu saya yang sangat saleh," kata Mary. Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol, yang mengakibatkan kehidupan keluarganya berada dalam kemiskinan dan perselisihan.
Ketika ia berumur sebelas tahun, Mary mulai bekerja untuk membantu mencari kebutuhan hidup bagi keluarganya. Gajinya dengan segera menjadi sumber utama pendapatan, dengan bekerja 10 jam/hari untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hidupnya merupakan sebuah tindakan penyangkalan diri yang panjang. Semua kepentingan dirinya dikesampingkannya demi keluarga. Dia puas dengan tidak menginginkan apa-apa selama mereka mampu mencukupkan diri. Mary sangat dekat dengan ibunya saat mereka berdoa secara terus-menerus untuk penyediaan dan perlindungan Tuhan.
Mary menjadi seorang Kristen di usia muda. Ia suka pergi ke gereja; itu merupakan sebuah outlet yang indah dari kehidupan rumahnya yang sengsara. Ia tidak terdidik, tetapi suka membaca, dan akan terjaga sampai larut malam untuk menyerap buku apa pun yang bisa ditemukannya. Ia lebih mencintai membaca Alkitab dari semua buku yang ada, mempelajari Yesus dan hidup-Nya di dalam Injil. Mary bermimpi untuk melakukan pekerjaan sebagai perintis di pedalaman terpencil Afrika. Pada saat itu, pekerjaan misi terutama ditujukan kepada laki-laki, jadi dia didorong untuk terlibat dengan pekerjaan misi di tempat tinggalnya. Kakaknya yang laki-laki berencana untuk pergi sebagai misionaris, tetapi ketika Mary berusia 25 tahun, kakaknya meninggal. Dia bertanya-tanya apakah mungkin dia bisa pergi menggantikan tempatnya. Pada awal tahun 1874, berita tentang kematian David Livingstone mengguncang gereja dan menciptakan gelombang besar kegemparan misionaris. Mary kemudian bertekad untuk pergi!
Pada tahun 1875, Mary diterima untuk ikut serta dalam Calabar Mission. Jadi, pada usia 27 tahun, ia berlayar ke Calabar (terletak di Nigeria pada saat ini). Ia ditempatkan di Duke Town sebagai guru sekolah. Kondisi kehidupannya tampak terlalu bagus untuk seorang misionaris, dan ia menjadi berkecil hati dengan rutinitas pekerjaannya itu. Ia mempelajari Efik, bahasa lokal, secara cepat dan suka mengajar dalam beberapa hal, tetapi hatinya telah mantap untuk melakukan pekerjaan perintisan. Setelah tiga tahun, dia dipulangkan ke rumah sebagai masa cuti karena malaria. Ketika kembali, ia diberi tugas baru di Old Town, di mana ia memiliki kebebasan untuk bekerja sendiri dan hidup sesuka hatinya. Mary memutuskan untuk hidup bersama dengan orang-orang lokal sebagaimana mereka hidup. Kemiskinan pada masa kecilnya membuat gaya hidup ini tampaknya cukup normal. Dan, dengan cara ini, ia mampu menyimpan sebagian dari gaji misionarisnya untuk dikirimnya kembali kepada keluarganya di Skotlandia.
Mary mulai belajar lebih banyak tentang budaya suku-suku lokal. Sihir, kepercayaan kepada roh-roh, dan kebiasaan suku yang kejam menjadi hal-hal yang sulit untuk dilawan. Salah satu kebiasaan yang menyedihkan hatinya adalah "pembunuhan anak kembar". Suku-suku itu berpikir bahwa anak kembar adalah hasil kutukan yang disebabkan oleh roh jahat yang menjadi ayah dari salah seorang anak. Kedua bayi dibunuh secara brutal dan ibunya dijauhkan dari masyarakat. Kewalahan dan tertekan, dia berlutut dan berdoa, "Tuhan, tugas itu mustahil bagi saya tetapi tidak bagi-Mu. Pimpinlah jalannya, dan saya akan mengikuti." Setelah bangkit, ia berkata, "Mengapa saya harus takut? Saya berada dalam misi kerajaan Allah. Saya sedang melayani Raja dari segala raja." Mary kemudian menyelamatkan banyak bayi kembar dan melayani para ibu mereka. Ia terus berjuang melawan praktik yang jahat itu, dan sering mempertaruhkan hidupnya untuk menghentikan para pemimpin dari membunuh para bayi kembar. Tuhan memberinya bantuan dengan menjadikannya disukai di antara para pemimpin suku, dan Mary akhirnya memperoleh penghormatan yang sangat tinggi untuk seorang wanita.
Mary Slessor dan anak-anak angkatnya
Hanya tiga tahun setelahnya, Mary dikirim pulang untuk cuti lainnya karena ia sangat sakit. Saat kembali ke rumah, ia mengambil Janie, salah seorang dari anak perempuan kembar berusia 6 bulan yang telah diselamatkannya. Ia berada di rumah selama lebih dari tiga tahun, tinggal untuk menjaga ibu dan adiknya yang sakit. Sementara berada di rumah, ia berbicara kepada gereja-gereja dan berbagi cerita dari Afrika. Semua orang menyukai Janie dan kisah penyelamatan dirinya, itu adalah kesaksian yang kuat. Ia kemudian kembali ke Afrika lagi, lebih bertekad untuk merintis ke pedalaman. Ia berani di dalam pelayanannya dan tak kenal takut saat ia melakukan perjalanan dari desa ke desa. Mary menyelamatkan ratusan bayi kembar yang dibuang ke hutan, mencegah banyak perang, menghentikan praktek yang mencoba untuk menentukan kesalahan dengan menyuruh mereka minum racun, menyembuhkan orang sakit, dan mengatakan kepada orang-orang tentang kasih Allah yang besar, yang Anak-Nya datang ke bumi untuk mati di kayu salib sehingga orang-orang berdosa dapat memiliki hidup yang kekal.
Saat berada di Afrika, ia menerima kabar bahwa ibu dan adiknya telah meninggal. Sesudah itu, Mary tidak memiliki satu orang pun yang dekat dengannya. Ia pun menghadapi perasaan kesepian. Ia menulis, "Tidak ada satu orang pun yang menjadi tujuan saya untuk menulis, untuk menceritakan kisah-kisah, masalah, dan omong kosong saya." Namun, ia juga menemukan rasa kebebasan, dan menulis, "Surga sekarang lebih dekat dengan saya dari Inggris, dan tidak ada yang akan cemas tentang saya jika saya pergi ke bagian atas." Jadi, pada bulan Agustus 1888, Mary pergi ke utara, ke Okoyong, yang merupakan negara di bagian atas dari Afrika Barat. Itu adalah daerah yang telah merenggut nyawa misionaris di masa lalu tetapi Mary yakin bahwa pekerjaan perintisan yang terbaik dapat dicapai oleh seorang wanita, yang kurang mengancam bagi suku yang belum terjangkau, dibandingkan para misionaris pria. Selama 15 tahun, dia tinggal dengan orang-orang Okoyong, mengajar mereka, memelihara mereka, dan menjadi pembawa damai. Mereka akhirnya mengangkatnya menjadi hakim atas seluruh wilayah.
Dalam salah satu cuti sakitnya, ia bertemu dengan Charles Morrison. Dia adalah seorang misionaris dan guru muda yang melayani di Duke Town. Meskipun berusia 18 tahun lebih muda dari Mary, mereka segera jatuh cinta satu sama lain. Mary menerima lamaran pernikahannya, tetapi hanya setelah ia meyakinkan dirinya bahwa dia akan bekerja dengannya di Okoyong. Sayangnya, pernikahan itu tidak pernah terjadi. Kesehatan Charles bahkan tidak memungkinkan baginya untuk tinggal di Duke Town, dan, bagi Mary, pelayanan misionaris menjadi hal utama di atas hubungan pribadi. Ia ditakdirkan untuk hidup sendiri dengan anak-anak adopsinya. Gaya hidup Mary adalah berupa gubuk yang sangat sederhana (penuh dengan kecoak, tikus, dan semut), jadwal harian yang tidak teratur (normal dalam budaya Afrika), dan pakaian katun sederhana (bukan rok tebal dan gaun yang dikenakan oleh sebagian besar wanita Eropa pada saat itu). Para misionaris lainnya tidak sanggup dekat dengannya. Mary tidak memfokuskan dirinya pada pencegahan penyakit atau kebersihan sebagai hal yang utama. Meskipun ia kadang-kadang menderita malaria, ia hidup lebih lama dari sebagian besar rekan kerja misionarisnya.
Ia berusia 55 tahun ketika pindah dari Okoyong dengan tujuh anaknya untuk melakukan pekerjaan perintisan di Itu dan daerah terpencil lainnya. Ia menghasilkan banyak buah pelayanan dengan orang-orang Ibo. Janie, putri angkat sulungnya, adalah aset berharga dalam pekerjaannya. Jadi, selama sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, Mary terus melakukan pekerjaan perintisan sementara yang lain datang setelah dirinya. Pelayanan mereka menjadi jauh lebih mudah karena usahanya. Pada tahun 1915, hampir 40 tahun setelah kedatangannya ke Afrika, ia meninggal pada usia 66 tahun di gubuknya yang sederhana. Mary Slessor telah menjadi inspirasi bagi semua orang yang mendengar ceritanya. Ia tidak hanya seorang misionaris perintis, tetapi juga pelopor bagi perempuan dalam misi. (t/N. Risanti)
Download Audio
TAHUKAH ANDA?
JULUKAN DAN PENGHARGAAN BAGI MARY SLESSOR
Dirangkum oleh: N. Risanti
Mary Slessor dan orang-orang yang dilayaninya
Mary Slessor mendapat julukan "Mother of All" (Ibu bagi semua - Red.) karena usahanya yang gigih dalam menyelamatkan bayi-bayi kembar di Calabar. Kebiasaan membunuh bayi kembar terjadi karena masyarakat suku di Calabar percaya bahwa seorang manusia hanya dapat melahirkan satu anak dalam setiap kali kelahiran sehingga melahirkan bayi kembar merupakan indikasi dari keberadaan iblis. Bayi-bayi kembar yang dilahirkan biasanya dibunuh dengan cara diletakkan dalam pot tanah liat untuk kemudian dibuang di luar desa agar dimakan oleh hewan liar dan semut-semut.
Atas jasa-jasanya, Mary Slessor mendapat penghargaan yang besar, baik dari Pemerintah Kolonial Inggris, Skotlandia, maupun dari rakyat Nigeria sendiri. Gambarnya menghiasi uang sepuluh poundsterling di Skotlandia yang dikeluarkan oleh Bank Clydesdale. Ia mendapat nama dalam bahasa Efik sebagai "Obongawan Okoyong" (Ratu Okoyong - Red.). Berbagai nama jalan, sekolah, gereja, serta patung-patung yang menggambarkan dirinya menjadi saksi atas karyanya yang begitu berharga. Sebagai seorang misionaris dan perintis wanita yang sederhana, Mary Slessor menjadi kesaksian yang menjulang atas cinta kasih Allah kepada masyarakat Calabar di Nigeria.
|