DUNIA WANITA
Saat Kondisi Keuangan Sulit?
Iman saat berhadapan dengan pengangguran dan tekanan finansial.
Saya duduk terkaget-kaget seakan tidak percaya, mencoba memproses kebenaran keras di balik kata-kata yang jauh lebih lembut yang baru saja disampaikan oleh bos saya. Saya dipecat.
Dengan terjadinya penurunan ekonomi, saya melihat kedua teman dan anggota keluarga kehilangan pekerjaan mereka. Dan, setiap kali saya berdoa -- untuk mereka, tentu saja, tetapi juga untuk diri saya sendiri. “Tolong, Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi kepada saya.” Tiba-tiba, ketakutan saya menjadi kenyataan, dan terjadi pada saat keuangan kami dalam keadaan tersulit dari yang pernah dihadapi keluarga kami selama bertahun-tahun. Putra kami di perguruan tinggi, dan pada tahun berikutnya, putri kami juga akan menyusul. Bagaimana kami bisa membayar satu biaya kuliah dengan gaji guru suami saya, apalagi untuk dua anak?
Pada hari-hari dan bulan berikutnya, saat usaha saya untuk mengamankan posisi lain gagal, saya mengalami perasaan panik dan tidak aman. Bagaimana jika saya tidak dapat mendapatkan pekerjaan lain? Bagaimana kami akan membayar tagihan? Bagaimana agar anak-anak kami tetap bersekolah? Saya merenungkan Alkitab saya, berjuang untuk menemukan ketenangan dan penghiburan dalam ayat-ayat seperti Roma 8:28, “Dan kita tahu, bahwa segala sesuatu bekerja bersama-sama demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang dipanggil sesuai dengan rencana Allah.”
Namun, iman saya guncang. Masalahnya bukan karena saya tidak percaya Allah akan membuat “segala sesuatu bekerja bersama-sama”. Akan tetapi, karena saya takut rencana utama Allah akan membawa saya melewati tempat-tempat yang menyakitkan dan sulit sebelum saya mencapai “kebaikan” itu. Tempat yang saya benar-benar tidak ingin ke sana.
Dua Puluh Empat Jam Berikutnya
Kemudian, pada suatu pagi, Allah memberi sebuah ayat yang sudah dikenal dan membuat saya tiba-tiba tersadar. “Percayalah kepada TUHAN dengan sepenuh hatimu, janganlah engkau bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5, penekanan ditambahkan). Saya menyadari jika ada orang yang mencondongkan diri kepada pemahamannya sendiri, itulah saya: pemahaman saya tentang apa yang terbaik untuk saya dan keluarga saya. Dari sudut pandang saya, itu berarti kehidupan yang nyaman dan aman.
Walaupun saya suka menganggap diri saya sebagai otoritas tertinggi atas siapa diri saya, tetapi Allah mengenal saya dengan lebih baik. Mazmur 139:16 mengatakan, “Mata-Mu telah melihat janinku, di dalam kitab-Mu semua tertulis, hari-hari yang akan disusun bagiku, ketika belum ada satupun darinya.” Sebagai seorang Kristen, saya tahu bahwa saya perlu memberikan kendali penuh atas hidup saya jika saya mau menjadi lebih serupa dengan Dia. Namun, terkadang saya lupa bahwa menempatkan Allah sebagai yang memerintah memiliki manfaat praktis dan juga spiritual. Allah tahu setiap hal yang akan menimpa saya -- baik dan buruk -- sepanjang hidup saya di bumi ini. Seolah-olah, Dia memiliki peta lengkap dan terperinci (atau saat ini, GPS yang benar-benar bagus) ke tujuan akhir saya. Dengan tidak memercayai Dia, dengan mengkhawatirkan apa yang akan terjadi setiap hari dan “bersandar pada pengertian saya sendiri”, pada dasarnya saya menolak pimpinan dari Dia yang merencanakan semua rute saya, saya yang keras kepala tersandung dalam kegelapan.
Saat saya berusaha untuk memercayai Allah melalui ketidakpastian finansial ini, saya telah menemukan penghiburan dalam beberapa hal. Pertama, saya telah berhenti melihat ke depan. Bila Anda hidup dari gaji sampai gaji, mudah untuk merasa terbebani oleh masa depan yang mungkin akan Anda hadapi. Akan selalu ada tagihan uang kuliah, pembayaran mobil, atau alat yang perlu diganti, tetapi saya tidak lagi mempersiapkannya. Saya tidak berbicara tentang mengabaikan rencana anggaran atau keuangan -- itu adalah alat-alat yang hebat. Akan tetapi, ketika saya mempraktikkan tekad saya yang baru untuk memercayai Allah, saya telah mengadopsi pendekatan satu-hari-demi-satu-hari sesuai iman saya. Entah bagaimana, mengandalkan Dia sepenuhnya selama 24 jam berikutnya -- daripada 24 minggu, bulan, atau tahun ke depan -- terasa jauh lebih bisa dilakukan. Matius 6:34 mengatakan yang terbaik, “Jangan khawatir tentang hari esok, karena hari esok akan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Cukuplah satu hari dengan kesusahannya sendiri.” Amin!
Melihat ke Belakang
Kedua, saya mulai menengok ke belakang. Selama bertahun-tahun, saya sebagai seorang Kristen, Allah telah berulang kali menunjukkan kesetiaan-Nya. Menyediakan untuk keluarga saya ketika ayah saya meninggal. Memungkinkan saya untuk menjalani delapan tahun sebagai ibu yang tinggal di rumah, ketika semua fakta dan hitungan mengatakan bahwa kami tidak pernah bisa cukup jika saya keluar dari pekerjaan saya. Memimpin saya untuk karier baru yang memenuhi mimpi pada masa lalu. Daftarnya terus berlanjut.
Bukti nyata tentang kebaikan dan perhatian Allah yang dinyatakan berulang-ulang dalam hidup saya meyakinkan saya. Kami memiliki sejarah yang kaya, Allah dan saya, dan Dia selalu ada saat saya membutuhkan-Nya. Saya memiliki bukti bahwa kepercayaan saya tidak salah; Allah telah setia, dan Dia akan “memenuhi segala keperluan (saya)” (Filipi 4:19). Ketika saya mengalami hari yang buruk dan merasa terbebani oleh masalah, baik mental, emosional, maupun finansial, saya merasa terhibur dengan mengingat masa lalu ketika jalan di depan sepertinya tidak mungkin, tetapi Allah membawa saya melewatinya.
Anda Tidak Bisa Memberi Lebih daripada Tuhan
Yang terakhir, saya menemukan berkat yang tidak terduga dalam melanjutkan persepuluhan meskipun keadaan keuangan kami terkadang kacau. Menulis cek itu bisa jadi sulit -- lagi pula, saya tahu gereja tidak akan mengirim kolektor tagihan jika uang kita tidak muncul di tempat persembahan. Namun, itu adalah ekspresi fisik dari rasa syukur saya bahwa Allah telah menyediakan untuk keluarga kami dan kepercayaan saya bahwa Dia akan terus melakukannya.
Ibu saya memiliki sebuah kalimat favorit: “Engkau tidak bisa memberi lebih banyak daripada Tuhan.” Pada minggu terakhir ini, saya mengalami sendiri pernyataan itu. Setelah melakukan pembayaran uang sekolah ganda pertama, kami kehabisan uang, dan gaji bulanan suami saya untuk mengarahkan band pujian gereja kami tidak akan dijadwalkan seminggu lagi. Meski begitu, saat berpakaian pada Minggu pagi, saya bisa merasakan Allah mengingatkan saya untuk mempersiapkan persembahan kami. “Kami tidak punya uang, Tuhan,” bantah saya. "Saya akan melakukannya nanti." Namun, perasaan yang mengganggu itu tidak hilang; jauh di lubuk hati, saya tahu apa yang Allah kehendaki untuk saya lakukan. Dengan menarik napas panjang, saya menulis cek sejumlah yang biasa kami berikan dan memasukkannya ke dalam amplop persembahan.
Sebelum ibadah, suami saya dan saya berada di kantor gereja membuat fotokopi. Duduk di meja dengan beberapa dokumen, salah satu dewan pengurus kami mendongak dan berkata, “Saya sedang menandatangani cek. Maukah Anda menerima cek pembayaran Anda sekarang?”
“Sebab, Aku mengetahui rencana-rencana yang Aku miliki bagi kamu,’ firman TUHAN, ‘rencana-rencana untuk kesejahteraan dan bukan untuk kemalanganmu, untuk memberimu masa depan dan pengharapan.” (Yeremia 29:11). Allah itu setia. Bahkan, saat kita tidak bisa melihatnya, atau memahaminya, Dia punya rencana. Saya menanti-nantikan hari ketika saya bisa melihat kembali masa-masa yang sulit ini sebagai bukti lain dari kebaikan-Nya yang dapat diandalkan. (t/Jing-Jing)
|