POTRET WANITA
Batsyeba
Batsyeba, istri Daud (memerintah c. 1005-965 SM) dan ibu dari Salomo (memerintah c. 968-928 SM), ditampilkan dalam setiap peranan ini dalam satu urutan narasi utama dalam cerita Daud, dan dia dicirikan cukup berbeda dalam masing-masing peranan.
Tulisan dalam 2 Samuel 11-12 tentang bagaimana Batsyeba menjadi menjadi istri Daud memberikan kejelasan bahwa keadaan tersebut memiliki masalah secara moral. Namun, karena dia mendapat tekanan, dia muncul dengan ternoda karena perzinaan dan pembunuhan yang menjadi tanggung jawab penuh dari Daud. Batsyeba, putri Eliam dan istri Uria, orang Het, menjadi objek tatapan penuh nafsu dari Daud. Cerita menyiratkan bahwa Daud seharusnya berada di medan perang, memimpin pasukannya, tetapi dia malahan berada di rumahnya di Yerusalem. Dari atap, dia melihat seorang wanita mandi; lalu, Daud membawa perempuan itu ke kediamannya di istana dan tidur dengan dia. Setelah itu, dia kembali ke rumahnya. Hasil perzinaan tersebut menyebabkan kehamilannya; ini menyebabkan Daud berencana untuk membuatnya sebagai anak Uria dan, ketika hal itu gagal, untuk melegitimasi anak tersebut sebagai anaknya, maka dia memastikan bahwa Uria akan tewas dalam pertempuran sehingga Daud bisa menikah dengan jandanya, Batsyeba.
Batsyeba tampaknya tidak mengetahui apa-apa tentang rencana Daud, dan, memang, hal itu terbentang di luar lingkupnya. Batsyeba sangat jarang menjadi “pemeran utama” dalam cerita ini dan bersikap diam kecuali untuk mengumumkan kehamilannya, yang tidak dikatakannya secara langsung. Tidak ada tanda-tanda yang memberitahukan mengenai kehidupan batinnya atau dari keterlibatan dirinya atau penolakannya terhadap tindakan Daud. Kita melihatnya selanjutnya setelah suaminya, Uria, tewas, dan dia bereaksi dengan tepat sebagai seorang istri. Dalam 2 Samuel 11:26 menekankan statusnya sebagai istri Uria: “Ketika istri Uria mendengar bahwa Uria, suaminya, sudah mati, dia meratapi suaminya.” Segera setelah masa berkabung, Daud menikahinya, dan dia mengandung seorang putra.
Anak yang lahir untuk Daud dan Batsyeba menjadi sakit dan segera meninggal. Daud digambarkan sebagai seorang ayah yang putus asa, berdoa dan berpuasa supaya anak itu bisa hidup. Mengenai sang ibu, kita tidak mendengar apa-apa, kecuali bahwa setelah anak itu meninggal, “Lalu, Daud menghibur Batsyeba, istrinya. Dia menghampirinya dan bersetubuh dengannya. Lalu, perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, dan dia dinamai Salomo. TUHAN mengasihinya.” (2 Samuel 12:24).
Kita tidak harus menyimpulkan bahwa Batsyeba adalah seorang wanita yang tidak berperasaan, melainkan bahwa narator telah sengaja membentuk penggambaran karakternya untuk suatu tujuan. Peran Batsyeba sengaja diminimalkan agar cerita berfokus pada Daud. Daud menanggung tanggung jawab dan kutukan, dan dari sanalah, dia dilanda masalah di dalam keluarganya yang memiliki implikasi politik bagi pemerintahannya. Daud dalam bagian ini sangat berbeda dari orang yang digambarkan dalam cerita Abigail.
Jika Batsyeba digambarkan sebagai seorang yang pasif dalam hubungan awalnya dengan Daud, dia menjadi sangat aktif menjelang akhir hidup Daud dalam upayanya yang berhasil untuk memastikan bahwa putranya, Salomo, akan mewarisi takhta. 1 Raja-Raja 1 menunjukkan alurnya, yang bersama dengan Nabi Natan dan pendukung Salomo lainnya, dia datang untuk meyakinkan Daud bahwa dia telah menjanjikan takhta kerajaan kepada Salomo. Pada saat itu, Daud menjadi sosok yang menyedihkan, yang telah lama kehilangan kendali atas anak-anaknya. Tiga dari anak-anak Daud yang pertama telah meninggal, dan suksesi akan diputuskan di antara anak keempat, Adonia, dan pewaris yang ditakdirkan, Salomo. Hubungan kekeluargaan yang berjalan adalah hubungan ibu-anak, dan itu ditekankan dalam cara narator mengacu pada karakter tokoh-tokohnya: “Adonia, anak Hagit” (1 Raja-Raja 1:5), dan “Batsyeba, ibu Salomo” (1 Raja-Raja 1:11).
Batsyeba berhasil membuat anak laki-lakinya ditunjuk sebagai pengganti Daud, tetapi peran pentingnya dalam cerita tidak berhenti ketika dia telah menjadi raja, seperti yang kita lihat dalam 1 Raja-raja 2. Ketika Daud meninggal, Adonia yang gagal, yang telah diyakinkan oleh Salomo bahwa tidak ada bahaya yang akan terjadi kepadanya jika dia dapat membuktikan bahwa dirinya layak, meminta Batsyeba untuk menyampaikan permintaannya kepada Salomo karena dia dianggap berpengaruh. Adonia meminta agar salah satu selir Daud, Abisag, diberikan kepada Adonia untuk menjadi istrinya. Kedengarannya cukup baik –– hadiah hiburan kecil dari raja kepada saudaranya yang telah kehilangan takhta. Batsyeba menyampaikan permintaan tersebut, dengan mengubah sedikit penyampaiannya kepada Salomo, yang atasnya Salomo bereaksi keras, menafsirkan permintaan itu sebagai serangan terhadap posisinya sebagai raja. Permintaan itu meminta nyawa Adonia sebagai harganya.
Mengapa Batsyeba setuju untuk menyampaikan permintaan ini? Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Mungkin Batsyeba memahami ketidakwajaran dari permintaan tersebut (itu telah ditafsirkan sebagai sama saja dengan mengklaim takhta) dan tahu bagaimana Salomo akan bereaksi. Dia mungkin senang melihat Adonia dibunuh sehingga dia tidak bisa tetap menjadi saingan anaknya.
Atau, mungkin Batsyeba hanya terlalu senang untuk membuat Abisag dihapus dari keluarga Salomo dan diberikan kepada Adonia. Abisag telah berada di tempat tidur Daud ketika Batsyeba datang untuk meyakinkan raja tua yang lemah itu untuk menunjuk Salomo sebagai penggantinya. Dan, meskipun Daud tidak memiliki hubungan seksual dengan Abisag, dia, sepertinya, saingan yang lebih muda untuk Batsyeba dari menjadi favorit Daud dan mungkin memiliki pengaruh pada masa depan atas Salomo. Apa pun penjelasannya, Batsyeba memainkan peran penting dalam suksesi takhta Salomo. (t/N. Risanti)
Bibliography
Bailey, Randall C. David in Love and War: The Pursuit of Power in 2 Samuel 10-,12. Sheffield, England: 1990.
Berlin, Adele. Poetics and Interpretation of Biblical Narrative. Sheffield, England, 1983; Indiana: 1994.
Gunn, David M. The Story of King David: Genre and Interpretation. Sheffield, England: 1978.
Levenson, Jon D., and Baruch Halpern. “The Political Import of David's Marriages”. Journal of Biblical Literature 99 (1980): 507-,518.
Meyers, Carol, General Editor. Women in Scripture. New York: 2000.
Sternberg, Meir. The Poetics of Biblical Narrative. Bloomington, Indiana: 1985. (t/N. Risanti)
|