DUNIA WANITA
Kecerdasan Rohani - Tipe Kecerdasan yang Tidak Kita Pelajari di Sekolah
Pemahaman akan tujuan hidup adalah bagian penting, tetapi sering diabaikan oleh kecerdasan kita.
Selama beberapa dekade, dunia telah menganggap penting kecerdasan intelektual (IQ). Para Psikolog muncul dengan cara pengujian IQ -- kecerdasan intelektual atau tingkat rasional seseorang -- untuk memprediksi kesuksesan dalam hidup. Semakin tinggi angkanya, diyakini, semakin besar kecerdasannya, dan karena itu lebih tinggi keberhasilan yang bisa diharapkan. Namun, intelektual belaka hanya sebagian dari ukuran sebenarnya untuk kecerdasan kita.
Kecerdasan emosional merupakan aspek penting lainnya. Pada 1990-an, Psikolog Daniel Goleman memopulerkan konsep ini dalam bukunya yang laris, "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ" (Kecerdasan Emosional: Mengapa ini Lebih Penting Daripada IQ - Red.). Dia menggunakan temuan dari ilmu saraf dan psikologi untuk menunjukkan pentingnya sebuah kecerdasan emosional (EQ) untuk sukses dalam hidup.
Dia mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai "satu rangkaian keterampilan, termasuk kontrol dorongan hati seseorang, motivasi diri, empati, dan kompetensi sosial dalam hubungan interpersonal".
Dimensi Lain
Tidak lama sebelumnya, beberapa penulis menyatakan adanya dimensi baru yang lain untuk kecerdasan manusia -- kecerdasan spiritual/rohani (SQ). Ini adalah kecerdasan yang mencakup pertanyaan tentang makna dan nilai-nilai utama kehidupan.
Namun, apakah yang disebut kecerdasan spiritual/rohani ini benar-benar baru? Bukankah tulisan-tulisan kuno di Alkitab menunjukkan bahwa manusia membutuhkan dimensi tambahan ini untuk dapat mencapai potensi manusianya secara utuh?
Perhatikan ini: "Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani. Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain. Sebab: 'Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?'" (1 Korintus 2:14-16)
Nabi Yeremia juga menulis: "Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya" (Yeremia 10:23). Orang mungkin memiliki bakat dan kemampuan alami, tetapi ayat-ayat seperti ini menjelaskan bahwa kita hanya dapat mempelajari pelajaran hidup yang paling penting dengan mencari Tuhan. Dengan kata lain, kita memiliki dimensi yang hilang dalam proses berpikir kita.
Firman Tuhan menjelaskan bahwa "Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" (Yeremia 17:9) Secara manusiawi, kita ingin memutuskan untuk diri kita sendiri terpisah dari Allah apa yang benar dan salah. Pemikiran seperti ini diwakili oleh "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" di Taman Eden segera setelah penciptaan manusia.
Allah telah menjelaskan kepada Adam dan Hawa bahwa memakan buah terlarang dari pohon ini berarti mati, karena mereka tidak mampu membedakan yang baik dan yang jahat sendiri (Kejadian 2:17). Mereka membutuhkan pertolongan Tuhan. Setelah Setan mencobai Hawa, dan Hawa meyakinkan Adam untuk makan buah dari pohon ini, mereka diusir dari taman dan kehilangan relasi dengan Allah yang dekat dan intim (Kejadian 3:23-24).
Pemecahan Masalah Kita
Terpisah dari Allah, manusia kemudian mengikuti kesalahan berpikir Adam dan Hawa. Untuk mengatasi masalah yang melekat ini, kita perlu berdamai dengan Allah. Melalui pertobatan dan baptisan, kita dapat menerima Roh-Nya, yang bergabung dengan roh manusia kita. Ini memampukan kita untuk memahami hal-hal yang berasal dari Allah, untuk membedakan yang baik dan yang jahat, dan perbedaan antara yang kudus dan yang cemar.
Bagaimana dengan mereka yang belum cukup umur untuk membuat komitmen seumur hidup dalam baptisan? Roh Kudus dapat menyertai meskipun belum berada secara mendalam, mereka yang belum siap untuk itu, seperti contoh yang ditunjukkan oleh para murid (Yohanes 14:17).
Sayangnya, tampaknya manusia sebagian besar masih dalam gelap untuk mengetahui apa yang benar-benar penting. Bagi sebagian besar dari kita, dibutuhkan beberapa kejadian atau kontak dengan kebenaran Allah untuk menyadari bahwa kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Selama berabad-abad, manusia telah mencari makna, tetapi Alkitab adalah firman Allah kepada manusia. Melaluinya, Tuhan berkata, "Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain" (Yesaya 45:22).
Apakah Anda menduga bahwa Allah telah menempatkan dalam diri kita keinginan untuk melakukan lebih dari sekadar mengulang pola untuk mengurus kebutuhan fisik kita, mendapatkan barang-barang material, mengembangkan hubungan yang biasa, dan berharap untuk menikmati kedamaian dan ketenangan sebelum memudar? Atau, hidup kita adalah murni momen eksistensial yang hidup hanya untuk di sini dan sekarang?
Tujuan Allah bagi Manusia
Alkitab mengungkapkan bahwa ada lebih banyak tujuan Allah bagi umat manusia dari sekadar hidup untuk saat ini. Allah telah menempatkan kekekalan dalam hati kita (Pengkhotbah 3:11) dan ingin berbagi ciptaan-Nya yang luas dengan kita dengan memungkinkan kita untuk menjadi anggota keluarga-Nya yang kekal (Efesus 3:15; 1 Yohanes 3:1). Bagi pembaca "Vertical Thought" (nama sebuah majalah Injili di Amerika Serikat - Red.), Anda tahu bahwa kita sering membahas rencana menakjubkan ini. Dan, seperti yang Anda pikirkan tentang tujuan Allah bagi hidup, pengetahuan yang diungkapkan-Nya meningkatkan kecerdasan spiritual/rohani Anda.
Kita manusia hanya dapat mencapai potensi penuh kita ketika SQ, IQ, dan EQ, semua bekerja dalam harmoni. Perumpamaan tentang talenta (Matius 25) menunjukkan bahwa mengembangkan bakat kita adalah berharga, tetapi tujuannya juga harus mengikuti hukum-hukum Allah dan memahami tujuan-Nya bagi hidup kita. Kita harus ingat bahwa ketika kita mati, kita tidak bisa membawa hal-hal fisik bersama kita, hanya pikiran (bertobat) kita yang berkembang baik yang dapat diharapkan. Allah pun berjanji untuk membangkitkan kita sebagai makhluk yang kekal.
Dalam kitab pertama di Alkitab, Kejadian, Allah memberi manusia tanggung jawab untuk mengelola ciptaan. Ini termasuk kekuasaan (pemerintahan) atas hewan (Kejadian 1:26). Juga, sebagai pengelola bumi, manusia harus mendandani dan menjaga lingkungannya, yang bukan hutan, tetapi sebuah taman yang dirancang oleh Allah sendiri. Ketika kita memahami bahwa kita memiliki tanggung jawab penatalayanan bumi, maka itu harus diikuti dengan rasa kewajiban terhadap Pencipta dan Pemberi kita.
Memahami dan menerima tanggung jawab yang Allah tugaskan ini juga harus membantu kita menyadari bahwa Pencipta ingin kita belajar untuk bekerja sama sebagai bagian dari keluarga. Bagaimanapun, itulah yang Dia kehendaki untuk kita dalam kekekalan.
Allah ingin umat manusia mempelajari cara hidup yang menghasilkan damai dan sukacita bagi semua. Seseorang sering kali menjadi paling menyedihkan bila semata-mata dikuasai oleh kepentingan diri sendiri dan ketika ia menjauhi hubungan dengan orang lain. Allah menciptakan kita untuk menikmati hubungan, termasuk hubungan yang kekal dengan-Nya.
Menjelaskan hal tersebut kepada murid-murid-Nya dan kepada kita hari ini, Yesus berkata, "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku" (Yohanes 15:15).
Apakah kecerdasan spiritual Anda? Cara yang baik untuk mengembangkan itu adalah dengan membaca Alkitab dan terus membaca "Vertikal Thought". Jika Anda melakukannya, Anda mungkin akan terkejut dengan berapa banyak IQ dan EQ akan naik juga.
|