Blog dan Digital Natives (II)
|
e-Penulis -- Edisi 194, 5 Oktober 2017
|
DARI REDAKSI
Keuntungan Menulis Blog
Salah satu cara berkreasi pada era digital ini adalah dengan menulis blog. Mau tak mau, ketika seseorang menulis blog, keterampilan menulisnya mengalami peningkatan. Menulis blog berpengaruh baik bagi penulis, meski terkadang tidak disadari, karena dapat mengembangkan berbagai potensi diri -- memunculkan ide, mengembangkan ide, menuangkan ide menjadi tulisan, dan mengemas ide menjadi sajian yang menarik. Bagaimana jika menulis blog menjadi salah satu kegiatan yang dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sekolah? Sajian e-Penulis kali ini akan menjawab pertanyaan ini. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
|
TIP
Menginspirasi Penulis Generasi Baru Melalui Blogging
Saat itu, akhirnya tiba. Ini adalah impian setiap guru. Siswa tidak lagi menulis untuk mendapat nilai atau untuk guru mereka. Sebaliknya, mereka menulis untuk rekan-rekan mereka dan membuat topik mereka sendiri. Dapatkah hal itu benar-benar menjadi mungkin?
Pada musim gugur tahun 2011, saya mengenalkan murid-murid saya pada penulisan blog untuk pertama kalinya. Saya tidak menyangka itu akan menjadi ide yang memberi dampak besar di kelas saya. Menulis blog telah memungkinkan penulis-penulis saya untuk menemukan ekspresi mereka yang unik dan menemukan cinta sejati dari menulis. Ini memberi mereka sebuah media kreatif tempat mereka bisa mengekspresikan diri mereka, menantang kemampuan menulis mereka, dan membangun harga diri mereka.
Ada banyak pendekatan untuk memasukkan penulisan blog ke dalam kurikulum. Beberapa guru menetapkan topik, dan beberapa tidak. Di kelas saya, kami memiliki kombinasi kiriman blog yang diarahkan oleh guru dan beberapa yang diprakarsai oleh siswa.
Sepanjang tahun, siswa-siswa saya menanggapi permintaan khusus sebagai tugas. Mereka mungkin diminta untuk merefleksikan pembelajaran mereka di akhir mata pelajaran atau mengeksplorasi topik yang terkait langsung dengan pelajaran yang akan datang. Blog siswa saya juga berfungsi sebagai e-Portfolio (Portofolio elektronik - Red.) yang menampilkan proyek yang telah mereka selesaikan selama tahun itu.
Namun, karena saya juga ingin murid-murid saya memiliki blog milik mereka sendiri, saya mendorong mereka untuk menulis topik yang sesuai dengan mereka secara pribadi. Mereka diperbolehkan untuk menulis topik apa pun selama kontennya sesuai dengan lingkup pendidikan. Melalui tulisan-tulisan yang diarahkan oleh diri sendiri ini, saya mempelajari detail-detail indah tentang murid-murid saya. Saya menemukan bahwa beberapa murid gemar menari atau bermain golf. Yang lain bergumul dengan apa artinya menjadi remaja atau bagaimana memenuhi harapan orangtua mereka. Beberapa dari mereka sangat berpendirian dan tidak malu-malu mengatakan dengan tepat apa pendapat mereka tentang dunia. Yang lain menggunakan blog mereka untuk memublikasikan cerita-cerita pendek yang mereka tulis. Saya suka bahwa beberapa dari mereka telah menemukan ceruk mereka sendiri dan bahwa mereka menemukan blogging sebagai bentuk ekspresi diri yang hebat.
Ada juga penulis-penulis yang menggerakkan saya dengan intelektualisme dan kedewasaan mereka, seperti murid kelas 8 saya yang sebelumnya. Dia adalah siswa berprestasi tinggi yang sangat pemalu di kelas. Dia brilian/cemerlang, tetapi hanya memiliki sedikit kesempatan untuk menunjukkan bakat tersembunyinya. Debutnya muncul dalam bentuk tulisan yang bagus tentang mengajar nenek imigrannya untuk menggunakan internet. Dalam karyanya, dia membicarakan sebuah epifani tentang silsilah keluarga dan relasinya dengan neneknya.
"Kami sangat berbeda: saya, dengan slang (bahasa gaul - Red.) saya dan nenek saya dengan bahasa Korea tradisionalnya. Sejarah kami menyebabkan penghalang di antara kami, tetapi itulah hal yang juga menjadi benang merah, merajut kami bersama. Terkadang saya bertanya-tanya, ke mana semuanya akan menuju, kebiasaan tradisional, bahasa, legenda budaya, dan adat istiadat? Dengan masyarakat kami yang begitu teredam oleh tren berbasis modern dan budaya berbasis hiburan, siapa yang akan meneruskan asal usul identitas kami, sejarah keberadaan kami?"
Kiriman blognya luar biasa, layak dipublikasikan, dan sekarang, karena blogging, dia memiliki platform untuk kreativitasnya.
Saya sekarang bukan lagi satu-satunya pembaca tulisan siswa saya. Dunia telah menjadi pendengar mereka, dan saya telah mencari cara untuk memperluas pembaca mereka melampaui batas kelas saya sendiri. Saya telah menghubungi Jaringan Pembelajaran Pribadi (Personal Learning Network/PLN) saya di media sosial, meminta pembaca menggunakan hashtag Twitter #comments4kids, menemukan pendidik melalui S2S Blog Connect, dan mendaftar untuk membentuk kemitraan dengan guru lain melalui Quadblogging.net. Sebagai hasil dari koneksi ini, blog kami memiliki pembaca dari berbagai belahan dunia. Murid-murid saya secara teratur berharap bisa membaca komentar yang ditinggalkan oleh pengunjung kami, dan mereka semakin bangga atas semua pujian yang mereka terima. Tentang saya, saya sama bersemangatnya seperti mereka. Saya terpukau oleh betapa reflektif, dewasa, dan intelektual kiriman mereka jadinya.
Blogging mungkin bukan genre penulisan yang khas pada banyak kelas bahasa Inggris. Akan tetapi, mungkin itu seharusnya memang menjadi suatu genre yang khas, apalagi kalau itu berarti kita bisa menginspirasi generasi pelajar untuk menjadi penulis dan blogger berbakat. Siswa-siswa kita sangat kreatif; mereka hanya butuh panggung tempat mereka bisa bersinar. (t/Jing-Jing)
Menginspirasi Penulis
|
TOKOH
Emily Elizabeth Dickinson
Lahir dengan nama Emily Elizabeth Dickinson, Emily Dickinson adalah seorang penyair dan penulis yang terkenal dengan tulisannya yang banyak membawa tema kematian dan kehidupan. Lahir dari keluarga Puritan yang alim, Emily tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang sopan dan memiliki bakat musik, terutama piano. Emily dididik menjadi seorang wanita yang konvensional dan banyak mendapat pelajaran tentang sastra klasik.
Pada 1840, Emily masuk ke Amherst Academy, sekolah yang dibangun oleh kakeknya, bersamaan dengan adik perempuannya, Lavinia. Selama 7 tahun bersekolah di Amherst Academy, Emily belajar sastra klasik dan bahasa Inggris. Selain itu, penyair yang banyak menuangkan pengalaman pahitnya ke dalam tulisan ini juga belajar bahasa Latin, botani, geologi, sejarah, filosofi, dan aritmatika.
Emily banyak melihat masa remaja sebagai masa-masa sulit ketika dia harus memahami arti kehidupan dan kematian. Kehilangan banyak kerabat dekatnya. Berkali-kali mengalami trauma akan kehilangan saudara, teman, dan kerabatnya, Emily mengalami depresi dan harus tinggal bersama familinya di Boston. Setelah selesai dengan studinya, Emily bertemu dengan Benjamin Franklin Newton. Dari Newton lah, Emily menemukan tulisan-tulisan karya William Wordsworth dan Ralph Waldo Emerson yang banyak memengaruhi gaya penulisan puisinya. Selain itu, Emily juga banyak membaca karya-karya sastra klasik lainnya, seperti: Jane Eyre (Charlotte Bronte), Letters from New York (Lydia Maria Child), Kavanagh (Henry Wadsworth Longfellow), dan tulisan-tulisan William Shakespeare.
Pada periode 1850-an, Emily kembali diserang depresi akibat kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dengan meninggalnya Leonard Humphrey, temannya yang menjabat sebagai kepala sekolah di Amherst Academy, Emily kembali harus mengalami trauma akibat kematian. Pada akhir tahun 1850-an dan awal tahun 1860-an, Emily mundur dari pergaulan sosial dan menulis sejumlah puisi yang dikenal hingga kini.
Emily Dickinson melanjutkan kariernya sebagai seorang penulis dan penyair di tengah depresi dan trauma yang dialaminya. Pertemuannya dengan Thomas Wentworth Higginson, seorang pengkritik sastra, memberikannya dukungan moral untuk tetap menulis hingga tahun 1870-an. Pada tahun 1874, ayahnya meninggal akibat strok. Tahun berikutnya, ibunya mengalami lumpuh dan hilang ingatan. Emily menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menulis sembari menunggui ibunya. Setelah kematian ayahnya, Emily menjalin hubungan dekat dengan Otis Phillips Lord. Pada tahun 1882, Emily kehilangan Charles Wadsworth yang meninggal akibat sakit parah, dan Ibunya, Emily Norcross. Dua tahun kemudian, pada tahun 1884, Lord meninggal dunia, memperburuk keadaan Emily. Keadaan psikologis yang lemah dan kehilangan orang-orang yang disayanginya membuat Emily jatuh sakit pada tahun 1885. Keadaannya tak kunjung membaik dan akhirnya, pada tahun 1886, penyair berbakat ini meninggalkan dunia untuk selamanya.
|
RESENSI BUKU
Hidup Melajang: Memahami Dunia Kaum Lajang Masa Kini
|
Judul buku
:
Hidup Melajang: Memahami Dunia Kaum Lajang Masa Kini
Judul asli
:
The Misunderstood World of Single Adults
Penulis/Penyusun
:
David Egner
Penerjemah
:
Deesis Edith Mesiani
Editor
:
C. Krismariana W.
Penyedia editorial
:
Agustina Wijayani
Penerbit
:
Yayasan Gloria
Ukuran buku
:
23 x 18,5 cm
|
Dalam buku ini, penulis memaparkan kesalahan pandangan dunia terhadap kaum lajang masa kini. Hidup melajang dialami oleh orang-orang dari segala umur dan dari berbagai macam lingkungan. Kehidupan melajang banyak dibicarakan dalam berbagai media dengan penilaian bahwa kaum lajang merupakan orang-orang yang hidupnya dangkal, selalu mencari kenikmatan, impulsif, dan materialistis. Selain itu, gereja juga menggolongkan jemaatnya berdasarkan status menikah atau lajang, dan gereja tidak peka terhadap pergumulan kaum lajang masa kini -- yang berharap mendapatkan kasih dan perhatian dari antara orang percaya lebih daripada yang mereka harapkan dari orang-orang di tempat kerja atau lingkungan sekitar mereka. Namun, sering kali, kaum lajang justru mengalami kejadian yang membuat mereka minder. Padahal seharusnya, gereja berkesempatan besar untuk menjangkau kaum lajang dengan pekabaran Injil yang penuh rahmat, pesan pengharapan, dan penerimaan. Akan tetapi, gereja tidak melakukannya secara maksimal. Di banyak gereja, dunia kaum lajang masih disalahpahami dan tidak diperhitungkan.
Buku ini juga menyajikan fakta tentang kaum lajang yang mengikut Kristus. Kebanyakan dari mereka justru dapat memahami isi Alkitab dengan sepenuh hati, berjalan dalam Roh, dan menyukakan Tuhan Yesus dalam pekerjaan, waktu luang, dan kegiatan sosial mereka. Kaum lajang membutuhkan persekutuan, interaksi, dan dorongan semangat yang hanya bisa diberikan oleh anggota-anggota tubuh Kristus yang lain. Penulis juga memaparkan keuntungan hidup melajang, antara lain: bisa bebas kemana-mana, punya waktu untuk melakukan hobi, bisa bersosialisasi dengan bebas, dan memiliki privasi. Namun, kerugiannya, antara lain: kesepian, keadaan keuangan yang rapuh, dan sering berpusat pada diri sendiri. Yesus Kristus adalah sahabat kaum lajang. Yesus hidup melajang dengan misi dan tujuan. Dengan membaca buku ini, saya sebagai pemuda kembali diingatkan mengenai tujuan hidup orang percaya. Dengan demikian, saya didorong untuk lebih memaksimalkan segala sesuatu yang telah Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya dengan tidak bergantung pada kondisi saya apakah lajang atau tidak.
Peresensi: Lukas
|
|