ARTIKEL
Kepemimpinan Kristen yang Membumi
Kepemimpinan Kristen yang Membumi:
Suatu kajian peran pemimpin Kristen menghadirkan keberhasilan dalam upaya memimpin.[1]
"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus," (Filipi 2:5)
Pengantar
Kepemimpinan adalah "kehidupan bersama", yang ditandai adanya pemimpin, orang yang dipimpin atau pengikut, dan situasi kepemimpinan.[2] Dari tiga elemen dasar kepemimpinan ini, faktor pemimpin sangatlah dominan dalam menentukan keteguhan dan keberhasilan upaya memimpin.
[3]Kepemimpinan sebagai kehidupan bersama ini mengandaikan bahwa pemimpin dan perannya adalah sebagai faktor dominan yang sangat menentukan kualitas kepemimpinan setiap organisasi. Dalam kaitan ini, dapat ditegaskan bahwa faktor pemimpin dan perannya sangatlah memengaruhi kadar kehidupan, kinerja, dan keberhasilan kepemimpinan organisasi yang dipimpinnya.
Dengan demikian, kini timbul pertanyaan, bagaimana pemimpin mematutkan sikap dan menjalankan perannya sedemikian rupa sehingga dapat menghadirkan sejahtera dalam kehidupan bersama sehingga organisasi yang dipimpinnya dapat menggapai sukses yang didambakan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dikaitkan dengan pokok pikiran tentang kepemimpinan yang membumi seperti yang dijelaskan di atas, pokok-pokok yang akan dibahas di sini antara lain:
Pertama, peran pemimpin meneguhkan perilaku dan gaya kepemimpinannya;
Kedua, peran pemimpin dalam menjalankan tanggung jawab kepemimpinan yang membumi; dan diakhiri dengan suatu rangkuman.
PERAN PEMIMPIN MENEGUHKAN POLA DAN GAYA KEPEMIMPINAN
Dalam mewujudkan perannya secara membumi menyiasati perjalanan hidup dan kiprah kepemimpinannya, hal mendasar yang harus dilakukan pemimpin dalam melaksanakan upaya memimpin (leading attempt) adalah mengelola perilaku (behaviour) dan gaya (style) sebagai pemimpin. Dalam mengelola perilaku dan gaya kepemimpinannya, ada tiga hal yang harus dilakukan pemimpin, yaitu:
Pertama, pemimpin, sebagai seorang individu, harus selalu "berupaya untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar", antara lain:
1. Siapa saya. Pernyataan ini merujuk kepada aspek "ontologis", yang mempertanyakan hakikat diri sebagai seorang pribadi dan sebagai seorang pemimpin. Pertanyaan ini mendorong setiap orang untuk mempertanyakan tentang siapa dirinya. Dalam hubungan ini, setiap orang diminta untuk mengenal dengan benar tentang keberadaannya sebagai seorang individu maupun sebagai seorang pemimpin.
Pertanyaan ini menuntut pemimpin menggali semua aspek yang memengaruhi pembentukan dirinya menjadi seorang pribadi maupun menjadi seorang pemimpin. Jawaban atas pertanyaan ini menunjuk sejauh mana setiap orang mengenal dirinya dengan benar dan baik.
2. Mengapa saya ada (reason for being, reason for existence). Pertanyaan ini berhubungan dengan alasan keberadaan, yang hanya bisa dipahami dari kacamata TUHAN. Dengan perkataan lain, pemimpin harus mengadakan perenungan kontemplatif di hadapan TUHAN Allah untuk memperoleh "afirmasi". Tujuan afirmasi TUHAN ini ialah untuk memahami alasan khusus mengapa ia ada sebagai pemimpin.
Di sini, pemimpin harus berupaya meneguhkan hatinya dengan "afirmasi TUHAN yang meneguhkan jiwanya". Afirmasi ini haruslah diteguhkan pula dengan "konfirmasi sosial" dari sejawat atau sesama sebagai kesesuaian afirmasi TUHAN tersebut. Kesesuaian afirmasi TUHAN dan konfirmasi sosial ini akan memastikan alasan keberadaannya sebagai pemimpin.
3. Untuk apa saya ada ("teleologis"), sebagai pertanyaan yang berhubungan dengan visi yang menggambarkan tujuan khusus yang menunjuk kepada hal spesifik yang untuknya pemimpin itu ada.
4. Ke mana saya akan pergi ("aksiologis"), adalah pertanyaan yang berhubungan dengan "misi organisasi" tentang apa yang harus dilakukan, yang berkaitan dengan "sasaran, target, dan fokus" kerja dalam kepemimpinan.
5. Bagaimana saya sampai di sana ("epistemologis"), adalah pertanyaan yang berhubungan dengan cara yang akan ditempuh untuk melaksanakan tugas kepemimpinan, mencapai idealisme yang telah ditetapkan. Di sini, pemimpinlah yang harus berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas ini secara konsekuen.
Jawaban atas pertanyaan yang dimaksud memberi indikator bahwa ia memahami dan mengenal dirinya sebagai seorang pemimpin yang autentik sehingga ia mampu berpikir, bersikap, berkata, dan bertindak sebagai pemimpin.
Kedua, pemimpin mematutkan sikap terhadap "orientasi gaya kepemimpinan". Orientasi gaya kepemimpinan menyentuh dua aspek penting, yaitu:
1. Perilaku yang berorientasi pada tugas (task-oriented behaviour). Orientasi tugas ini disebut juga dengan istilah "perilaku yang berorientasi pada struktur" (structure-oriented behaviour). Di sini, pemimpin "bersikap ketat", memberikan petunjuk dan arahan yang sesuai dengan "kematangan kerja" (able/ability) dan "kematangan psikologi" (willing/ willingness) dari orang yang dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin pun perlu bersikap arif dalam mengelola perilakunya sehingga mendorong bawahan ke arah kedewasaan dan kemandirian sebagai seorang individu.
2. Perilaku yang berorientasi pada hubungan (relationship-oriented behaviour) atau "konsiderasi". Perilaku yang berorientasi pada hubungan ini menjelaskan bahwa para bawahan dinilai berada pada tahap kematangan moderat atau tinggi sehingga pemimpin bersikap sebagai "pelatih" (coach) dan "delegator" yang mendelegasikan secara penuh. Pemimpin tinggal memantau efektivitas, efisiensi, hubungan kerja, dan optimalisasi produktivitasnya. Penetapan perilaku dan gaya kepemimpinan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pemimpin untuk menilai kematangan bawahan yang dipimpinnya.
Ketiga, pemimpin harus "mengelola perilaku etis moral" dengan mempertahankan integritas (integrity) sebagai seorang pribadi dan sebagai pemimpin yang "dapat dipercaya" (II Timotius 2:2). Perilaku etis moral dapat dilihat dari kadar "integritas" (integrity) sang pemimpin. Berdasarkan Keluaran 18:21, pemimpin harus "konsisten mempertahankan integritasnya" dalam lima sisi, yaitu:
1. "Integritas diri" (personal integrity) yang menjelaskan adanya "kematangan mentalitas" (cakap).
2. "Integritas rohani" (spiritual integrity) yang menjelaskan keteguhan hubungannya dengan TUHAN Allah (takut akan Allah).
3. "Integritas sosial" (social integrity) yang menjelaskan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang "dihargai karena ketulusan, ketaatan, dan kesetiaannya" (dapat dipercaya).
4. "Integritas ekonomi" (economic integrity) sebagai "orang jujur" yang terbukti tidak korupsi (benci pengejaran suap).
5. "Integritas kepemimpinan" (leadership integrity) dengan kemampuan serta keandalan melaksanakan upaya memimpin yang andal (dapat memimpin 10, 50, 100, atau 1000 orang).
Melihat balik uraian di atas ini, dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin hanya dapat membuktikan kemampuan kepemimpinannya yang membumi jika ia secara sadar, konsisten, dan terencana menjawab serta melakukan tiga hal di atas, yaitu:
Pertama, pemimpin harus secara sadar terus berupaya menjawab lima pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri seperti yang diungkapkan di atas. Jawaban atas pertanyaan yang dimaksud menolong pemimpin menetapkan "kadar keteguhan diri" sebagai seorang pemimpin yang berpikir, bersikap, berkata, dan bertindak sebagai pemimpin.
Kedua, di samping itu, pemimpin harus berupaya mengenal orang-orang yang dipimpinnya guna menetapkan "kadar kematangan diri" mereka sebagai upaya mengelola sikapnya terhadap setiap individu bawahan, yang dapat dilakukan secara bijaksana guna menggerakkan (moving) atau memengaruhi (influencing) mereka sehingga mereka aktif terlibat dalam proses kepemimpinan.
Ketiga, pemimpin harus secara konsisten membangun, mempertahankan, dan menghidupi integritas dirinya di hadapan TUHAN Allah dan manusia sehingga pada gilirannya, "integritas dirinya dapat melindunginya dalam upaya memimpin dan meneguhkannya ke akhir kepemimpinan" ketika ia terbukti finishing well (mengakhiri dengan benar, baik, sehat, dan produktif) dan dihormati banyak kalangan. Indikator terpenting dari upaya memimpin yang membumi dari setiap pemimpin, antara lain:
1. Pemimpin dapat mempertahankan kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin karena ia memahami dirinya dengan benar.
2. Kepemimpinan sang pemimpin dilakukan dengan "benar" (efektif), "baik" (efisien), "sehat" (hubungan keorganisasian dan hubungan sosial), dan "produktif secara optimal" (optimum productivity) dengan keandalan melibatkan orang-orang yang dipimpinnya sehingga membawa "keuntungan bagi dirinya, orang yang dipimpin, dan lingkungan" tempat kepemimpinan dijalankan.
3. Pemimpin diteguhkan oleh integritasnya, yaitu ketika kepemimpinan sang pemimpin terbukti membawa "manfaat jangka pendek dan manfaat jangka panjang" yang menandakan adanya dampak yang meluas dan bertahan dalam masyarakat tempat pemimpin mengabdi.
Dalam hal ini, integritas meneguhkan legasi kepemimpinan (leadership legacy) sang pemimpin sehingga dapat berjalan secara langgeng, yang olehnya "pemimpin melahirkan pemimpin", seperti "gajah melahirkan gajah", meneguhkan warisan kepemimpinan yang menyarahi sejarah.
Bersambung ....
[1] Artikel yang disampaikan dalam Acara Temu Dialog Alumni STT Jaffray Jakarta, pada tanggal 5 Juni 2017 di Graha Bethel, Jakarta.
[2] Profesor Dr. J. Robert Clinton dari "School of Intercultural Studies, Fuller Theological Seminary, Pasadena California", menyebut ketiga aspek ini sebagai Elemen Dasar Kepemimpinan atau Basal Elements of Leadership.
[3] Kebenaran ini tidak bermaksud menekankan bahwa pemimpin adalah segala-galanya bagi keberhasilan kepemimpinan organisasi. Alasan pentingnya ialah bahwa faktor bawahan dan situasi juga mempunyai pengaruh menunjang keberhasilan upaya memimpin dalam kepemimpinan suatu organisasi.
|