KIAT PEMBINA
Tiga Hal Mengejutkan Bagaimana Reformasi Protestan Membentuk Dunia Kita
Jika Anda seorang Protestan, peringatan revolusi yang dilakukan oleh Martin Luther 500 tahun yang lalu yang jatuh pada hari Selasa ini (artikel ini ditulis pada 29 Oktober 2017 -- Red) merupakan perkara yang besar. Akan tetapi, sekalipun Anda bukan seorang Protestan, itu seharusnya tetap menjadi perkara yang besar. Reformasi tersebut merupakan salah satu peristiwa yang menentukan, yang membentuk dunia tempat kita tinggal ini, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Luther dan para pengikutnya bukan berusaha untuk membentuk kembali dunia: mereka berusaha untuk menyelamatkannya. Mereka memiliki Injil untuk diproklamasikan dan berpendapat bahwa akhir zaman sudah dekat. Akan tetapi, dalam keadaan mereka yang mendesak, mereka menghancurkan tembok yang telah menjaga kehidupan kekristenan dunia barat tersusun begitu rapi.
Luther mengepung kekuasaan hierarki gereja Katolik dengan teknologi komunikasi yang baru, yaitu mesin cetak, yang memungkinkan dirinya berbicara secara langsung kepada orang-orang. Ketika akhirnya dia diseret ke hadapan mahkamah tinggi gereja dan kerajaan pada tahun 1521 dan diperintahkan untuk mengakui kesalahannya, dia menolak, dengan bersikeras bahwa hati nuraninya tertawan oleh firman Allah, otoritas yang lebih tinggi daripada paus, uskup, atau raja mana pun.
Tiba-tiba, semua orang memiliki pendapat dan tidak ada seorang pun yang dapat menyuruh orang lain untuk percaya pada sesuatu. Permohonan radikal Luther akan kesungguhan iman pribadi secara total memicu peperangan religius selama hampir 200 tahun.
Jika Anda cenderung memercayai bahwa pemisahan sekarang ini bermula dari cara Luther menghancurkan semua tatanan dan otoritas: baiklah, tidak ada yang mengatakan Anda salah. Akan tetapi, jika Anda berpendapat bahwa kehidupan modern lebih dari argumen penuh amarah yang tidak ada ujungnya, Anda mungkin mengakui bahwa Reformasi Luther memberi kita beberapa warisan bermanfaat yang sebagian besar tidak terduga. Saya akan mengemukakan tiga di antaranya.
1. Penyelidikan Bebas
Luther bukan seorang rasul yang memperjuangkan kebebasan berbicara. Dia ingin agar orang Kristen percaya kepada kebenaran, bukan kepada apa saja yang mereka inginkan. Namun, dengan mendesak bahwa otoritas semua manusia bersifat sementara dan bahwa hati nurani hanya bisa dipaksa oleh Alkitab dan Roh Kudus, dia meyakinkan bahwa orang Protestan yang berusaha menjaga ketertiban batasan-batasan dari argumen yang dapat diterima pada akhirnya akan selalu gagal.
Protestanisme bukan memberi kita surga kebebasan berbicara, tetapi argumen yang tidak dibatasi dan tidak dikendalikan. Itu selalu menghasilkan ide-ide baru, membangkitkan kembali yang lama, dan mempertanyakan sifat ortodoksnya (kekolotannya) sendiri.
Sebagai contoh yang ikonik: perbudakan, yang selama berabad-abad dianggap oleh orang Kristen sebagai sebuah kejahatan biasa atau sekadar fakta kehidupan. Beberapa orang Protestan pada tahun 1700-an dan lebih banyak lagi pada tahun 1800-an memiliki keyakinan yang baru: bahwa perbudakan adalah kejahatan mutlak dan tidak bisa diterima. Argumen dan peperangan menjadi lebih sengit, tetapi pada akhirnya, kekolotan yang lama digulingkan. Penyensoran tidak diberlakukan dengan adanya penolakan orang Protestan untuk tutup mulut ketika disuruh dan dengan kekalahan-telak gaya argumen publik mereka.
Universitas-universitas dan sarjana-sarjana Protestan juga menyebabkan munculnya ilmu pengetahuan alamiah baru pada abad ke-16 dan ke-17. Dan, secara perlahan, dengan enggan, satu pandangan yang disampaikan oleh beberapa kaum Protestan radikal -- bahwa kebebasan berbicara dan beribadah sesungguhnya adalah hal yang baik, bukan hanya hal-hal penting yang tidak bisa dihindarkan untuk ditoleransi -- menjadi sebuah tradisi baru.
2. Demokrasi
Luther pasti akan tersedak saat minum bir Jerman kesukaannya jika Anda memberi tahu kepadanya bahwa dia akan memimpin dunia menuju demokrasi. Sama seperti semua orang pada zamannya, dia menganggap ide itu sebagai sesuatu yang menakutkan.
Akan tetapi, Luther bukan orang Protestan terakhir yang menentang pemerintahan yang tidak ramah. Gerakan yang dia mulai bergerak tanpa henti ke arah sana. Kaum Protestan tidak menuntut hak untuk memilih penguasa mereka, tetapi menuntut kewajiban untuk menantang mereka. Dalam menjalankan kewajiban itu, seorang Skotlandia yang radikal, John Knox, menulis pada tahun 1558, All man is equal ("Semua manusia adalah sama.").
Dia tidak mengartikannya sama seperti kita memahaminya hari ini, dan dia benar-benar memaksudkan pria, bukan termasuk wanita. Akan tetapi, ide itu punya nyawanya sendiri. (Artinya, ide tersebut bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda.) Satu generasi setelah Knox, King James VI, orang Skotlandia, menuduh warga negaranya yang Protestan merencanakan sebuah “bentuk pemerintahan Demokratis”.
Itu tidak benar. Mereka menyukai bentuk pemerintahan kerajaan, ketertiban, dan stabilitas sosialnya. Akan tetapi, para penguasa mereka memiliki kecenderungan yang tidak bisa ditoleransi dalam menentang kehendak Allah. Lagi dan lagi, mereka dipaksa dengan enggan untuk menangani perkara-perkara itu sendiri. Mereka mendesak supaya suara mereka didengarkan, dan, ketika dipaksa, mereka bangkit melawan penguasa yang menganiaya mereka. Jika mereka semua setara di hadapan Allah, tidaklah sulit untuk menyimpulkan bahwa kita semua seharusnya memiliki suara di hadapan para penguasa dunia ini.
Dengan sendirinya, pandangan ini bisa membawa kepada terciptanya teokrasi yang membenarkan diri sendiri sama seperti yang berusaha dibangun oleh beberapa kaum Puritan New England. Akan tetapi, itu jarang, sebagian karena kaum Protestan sangat siap untuk bertengkar, tetapi juga karena warisan ketiga Reformasi bagi dunia modern.
3. Pemerintahan Terbatas
Kaum Protestan terkadang melawan atau menggulingkan penguasa mereka, tetapi tuntutan politik mereka yang paling konstan hanyalah agar dibiarkan sendiri.
Kembali ke akar kekristenan pada Roma zaman kuno, mereka berusaha untuk memotong ruang rohani tempat otoritas politik tidak berlaku dan menuntut bahwa ruang itu, Kerajaan Allah, jauh lebih penting daripada kebobrokan dunia dan pertengkaran yang berlangsung sebentar saja.
Hasilnya bersifat paradoks. Kaum Protestan sering kali menjadi warga negara yang tunduk pada penguasa yang berbahaya bukan kepalang, tidak tertarik pada politik selama lingkungan mereka yang terpisah dihargai. Mereka juga bersikeras menentang penguasa yang tidak mau menghargai permintaan mereka untuk dibebaskan dari campur tangan pemerintah. Dalam prosesnya, mereka memberikan pandangan yang berlawanan dengan pemikiran umum tentang pemerintahan yang terbatas kepada dunia modern: prinsip bahwa kewajiban utama sebuah pemerintahan adalah berhenti mencampuri kehidupan orang-orang. Itu adalah prinsip yang mereka tenun menjadi DNA (sifat - Red.) Amerika Serikat.
Jika Protestanisme telah memberikan tiga warisan ini kepada dunia modern, apakah ia juga memberi kita warisan yang keempat, yaitu kapitalisme?
Seorang sosiolog Jerman, Max Weber, menyatakan pendapatnya yang terkenal bahwa “etos kerja Protestan” menghasilkan ekonomi modern, dan meskipun pembuktiannya tidak benar-benar ditambahkan, idenya tidak lenyap.
Kapitalisme pertama kali muncul dalam kelompok negara Protestan, seperti Belanda, Britania, dan Amerika Serikat. Pada zaman modern, tahun-tahun ketika ekonomi Korea Selatan bertumbuh dari ,7 milyar menjadi 0 milyar (1962 -- 1989) adalah tahun-tahun yang sama ketika jumlah orang Protestan di negara itu bertumbuh dari 2,5% menjadi 27%. Gelombang Protestan di Amerika Latin tampaknya cocok dengan gelombang serupa dalam perusahaan pribadi.
"Max Weber," kata sosiolog Peter Berger, “masih hidup dan sejahtera dan tinggal di Guatemala.”
Sebagaimana disebutkan oleh Weber, kapitalisme adalah sebuah sistem “kegiatan yang tidak berhenti”. Demikian pula Protestanisme. Kegiatan kaum Protestan tidak selalu berhubungan dengan ekonomi, tetapi kaum Protestan memiliki kestabilan tertentu, usaha yang terus-menerus, dan argumentatif untuk menjadikan keadaan lebih baik, lebih benar, lebih murni.
Kaum Protestan selalu mencari-cari dosa baru atau berjuang untuk menemukan kembali kebajikan-kebajikan lama. Dinamo ketidakpuasan dan kerinduan yang menghidupkan diri terus-menerus pastinya memberi dampak secara ekonomi, dan itu berarti bahwa Protestanisme telah maju dengan pesat selama periode perubahan sosial yang berputar dengan sangat cepat.
Ini juga berarti bahwa perilakunya tidak dapat diprediksi. Anda tidak pernah tahu ke arah mana kesadaran yang tak pernah berhenti ini akan menuju setelah ini. Politikus yang membayangkan bahwa kaum Protestan ada dalam kekuasaan mereka haruslah waspada! (t/Jing-Jing)
Unduh Audio
|