KARYA
Oliver Cromwell
Negarawan dan Jenderal Inggris, Oliver Cromwell, memenangkan pertempuran yang menentukan dalam perang saudara Inggris. Dia kemudian membuktikan diri dan pasukannya sebagai kekuatan yang berkuasa di Inggris, dan kemudian mengambil gelar Lord Protector (Bangsawan Pelindung - Red.) dari Britania Raya dan Irlandia. Seorang penguasa yang luar biasa, Cromwell membantu mengukuhkan Inggris sebagai kekuatan Eropa terkemuka sesudah mengalami beberapa tahun penurunan.
Masa Muda
Oliver Cromwell
Oliver Cromwell dilahirkan pada tanggal 25 April 1599 di Huntingdon, Inggris. Ayahnya, Richard Cromwell, adalah anak bungsu dari salah satu orang terkaya di distrik, Sir Henry Cromwell, dari Hinchinbrook, yang dikenal sebagai "Golden Knight". Sedikit yang diketahui tentang masa kecil dari Cromwell, kecuali bahwa keadaannya yang sederhana dan ia dikirim ke sekolah lokal dengan mengembangkan keyakinan agama yang kuat.
Pada 1616, Cromwell masuk Sidney Sussex College, Cambridge. Dia meninggalkannya beberapa tahun kemudian setelah kematian ayahnya. Selama beberapa tahun berikutnya, ia tinggal di London. Pada tahun 1620, ia menikahi Elizabeth Bourchier, putri Sir James Bourchier, seorang pedagang kulit yang kaya. Cromwell kemudian kembali ke desa kecilnya di Huntingdon. Di sana, ia mengerjakan tanahnya dan mengurus beberapa hal kecil dalam urusan lokal, mendapatkan reputasi sebagai pembela orang miskin. Selama tahun-tahun tersebut, Cromwell mengalami periode depresi yang mendalam. Setelah mengalami banyak siksaan spiritual, ia menjadi yakin bahwa dia adalah alat Tuhan.
Situasi Politik pada Tahun 1640
Ketika Cromwell memasuki parlemen (badan pemerintahan Inggris) pada tahun 1640, Charles I (1600 -- 1649) telah memerintah Inggris selama sebelas tahun. Raja mengerjakan kebijakan-kebijakan dalam agama dan keuangan, yang tidak disetujui oleh banyak pemuka desa, termasuk Cromwell. Selain itu, Charles I terjatuh ke dalam perang dengan Skotlandia, yang kemudian mengalahkan raja.
Kemauan dari parlemen sangatlah kritis. Cromwell bergabung dengan para pria di parlemen yang percaya bahwa parlemen harus membatasi kekuasaan raja dan Gereja Anglikan. Sebagai seorang pria paruh baya yang tidak memiliki pengalaman dalam parlemen, Cromwell jarang berbicara, tetapi ketika dia melakukannya biasanya dalam rangka mendukung langkah-langkah ekstrem. Cromwell mendedikasikan dirinya untuk reformasi, atau perbaikan, dari gereja dan pengadilan. Ia juga sangat kritis terhadap raja.
Perang Sipil
Pada tahun 1642, tidak ada cara untuk menghindari perang antara raja dan parlemen. Saat pecahnya perang pada bulan Agustus 1642, Cromwell ditugaskan ke dalam pasukan kecil para pria. Dia dengan cepat menunjukkan, tidak hanya keahliannya sebagai seorang pemimpin militer, tetapi juga kemampuannya untuk mengembangkan tentara yang efektif dari kekuatannya dalam merekrut secara asal. Di bawah kepemimpinan Earl of Manchester, komandan Cromwell, resimen dari negara bagian lain dibawa bersama-sama sebagai satu kekuatan, yang dikenal sebagai Asosiasi Timur. Reputasi Cromwell sebagai Jenderal Parlemen yang paling kuat dikenal pada tahun 1644 dalam pertempuran Marston Moor (2 Juli 1644). Pasukan besi Cromwell mengalahkan kavaleri (pasukan) dari Prince Rupert, jenderal paling sukses yang setia terhadap kerajaan, yang berjuang untuk raja.
Oliver Cromwell memimpin pasukan kavalerinya dalam pertempuran
Kemenangan di Inggris timur, bagaimanapun, tidak sesuai dengan kemenangan di tempat lain. Setelah dua tahun perang, raja masih berada di lapangan, dan hubungan antara parlemen dan tentara menjadi kurang harmonis. Banyak yang tidak menyukai harga yang dibayarkan untuk aliansi bersama dengan Skotlandia dan yang paling merindukan perdamaian. Bagaimanapun juga, Cromwell merindukan kemenangan. Ia dengan pahit menyerang Earl of Manchester. Dengan segera, ia menjadi pemimpin yang efektif dari tentara parlemen. Ia membuktikan kemampuan yang luar biasa sebagai seorang jenderal pada 14 Juni 1645 ketika mengalahkan tentara pendukung kerajaan di Naseby di Northamptonshire. Dalam kurun waktu setahun, tentara yang setia terhadap kerajaan telah menyerah.
Akhir Perang
Pada tahun 1648, kaum yang setia terhadap kerajaan bangkit kembali, bersekutu dengan Skotlandia. Namun, dalam sebuah serangan kilat, Cromwell mengalahkan kedua pihak tersebut. Kaum Republikan kemudian bertekad untuk membawa Charles I ke pengadilan, dan Cromwell tidak melakukan apa pun untuk menghentikan mereka. Akhirnya, dengan menyetujui bahwa raja adalah "seorang pria yang haus darah" dan harus dieksekusi, ia menandatangani surat kematian dari Charles I.
Eksekusi terhadap raja tidak menghasilkan apa pun. Secara hukum House of Commons memerintah, tetapi para tentara Skotlandia dan Irlandia segera memberontak. Di Irlandia, Cromwell berjuang dengan keras, sebuah kampanye berdarah di mana ia membantai ribuan tentara di Drogheda (11 September 1649) dan ratusan warga sipil di Wexford (11 Oktober). Pada tanggal 26 Juni 1650, Cromwell akhirnya menjadi komandan tentara parlemen. Di Dunbar, pada bulan Agustus 1650, ia didesak di antara bukit-bukit dan laut, yang dikelilingi oleh dua puluh ribu tentara Skotlandia. Namun, kesalahan yang dilakukan oleh komandan Skotlandia, Leslie, memampukan Cromwell untuk merebut kemenangan. Cromwell percaya kemenangan ini adalah pekerjaan Allah.
Pada tahun berikutnya, Charles II dan tentara Skotlandianya mengerahkan semangat menuju ke Inggris, tetapi Cromwell menyalip mereka di Worcester pada tanggal 3 September 1651. Setelah beberapa lama, perang pada akhirnya usai dan Cromwell menyadari bahwa alat yang rendah hati milik Allah telah diberikan, untuk hal yang lebih baik maupun lebih buruk, kekuasaan tertinggi.
Pemerintahan Cromwell: 1653 -- 1658
Lima tahun setelah eksekusi raja, DPR berusaha merumuskan konstitusi baru. Pada tanggal 20 April 1653, Cromwell pergi dengan beberapa tentara yang terampil ke House of Commons, bagian dari parlemen. Ia berteriak kepada para anggota parlemen, "Tuhan telah selesai dengan Anda," dan memerintahkan mereka keluar.
Untuk sementara, Cromwell dan dewannya memerintah secara efektif, menyapu aturan dari suku kuno di Skotlandia dan Irlandia. Ia kemudian menyatukan negara-negara dengan Inggris di bawah satu parlemen, yang kemudian juga direformasi. Bagaimanapun juga, ketika parlemen bertemu pada tahun 1654, segera terjadi pertengkaran dengan Cromwell mengenai konstitusi. Dia sekali lagi mengambil kekuasaan di tangannya sendiri dan membubarkan Parlemen pada 22 Juni 1655.
Cromwell membubarkan parlemen
Berdasarkan aturan Cromwell, pemerintah daerah dibawa ke bawah jenderal besar, prajurit yang bisa ia percaya. Ini membuat marah orang banyak. Di bawah konstitusi baru dan parlemen yang didirikan ulang, Cromwell mengambil gelar sebagai Lord Protector. Gerakannya juga termasuk mendirikan House of Lords, bagian lain dari parlemen, dan membuat Cromwell sebagai raja atas semua nama. Namun, Cromwell tidak menginginkan kekuasaan sebagaimana para penguasa besar lainnya. Ia tidak melatih anaknya, Richard, untuk menjadi penggantinya dan ia juga tidak mencoba untuk membangun keluarganya sebagai dinasti yang berkuasa. Dan, pada puncak kekuasaannya, ia tetap memiliki keyakinan agama yang mendalam bahwa ia hanyalah alat bagi tujuan Allah.
Cromwell melakukan kebijakan luar negeri yang efektif. Angkatan lautnya menikmati kesuksesan besar di wilayah Hindia Barat dan dia bersekutu dengan Perancis untuk melawan Spanyol. Kemenangan-kemenangan tersebut dikombinasikan dengan penanganannya yang efektif terhadap Skotlandia dan penaklukkan yang brutal terhadap Irlandia, menjadikannya sebagai penguasa yang populer dan kuat. Tak lama setelah kematiannya pada tanggal 3 September 1658, pemerintahan Cromwell runtuh dan diikuti dengan restorasi monarki (penguasa tunggal) pada tahun 1660.
Warisan Cromwell
Kebesaran Cromwell akan selalu dipertanyakan. Sebagai seorang jenderal, dia adalah seorang yang berbakat, tetapi juga beruntung. Sebagai negarawan, ia memiliki beberapa keberhasilan, tetapi tidak dapat melaksanakan banyak tujuan. Inggris muncul sebagai persemakmuran yang kuat, lebih efisien, dan lebih aman. Mungkin yang paling luar biasa dari kualitas diri Cromwell adalah keseriusan dan kendali dirinya. Beberapa orang telah menikmati kekuasaan tertinggi tersebut dan sedikit yang menyalahgunakannya. (t/N. Risanti)
|
TAHUKAH ANDA?
IMAN PURITAN OLIVER CROMWELL
Ditulis oleh: N. Risanti
Cromwell adalah seorang puritan yang sangat religius, yang percaya bahwa setiap orang harus menjalani kehidupan mereka sesuai dengan apa yang ditulis di dalam Alkitab. Imannya yang sangat puritan tersebut tampak ketika ia melarang perayaan Natal di Inggris pada tahun 1647. Untuk tujuan tersebut, ia sampai memerintahkan para tentara di London untuk berpatroli di sepanjang jalan-jalan dan jika perlu mengambil dengan paksa makanan yang dimasak untuk perayaan Natal. Baginya, Natal adalah masa-masa untuk memikirkan tentang kelahiran Kristus dibanding hanya sekadar makan dan bermabuk-mabukan, sehingga ia menginginkan Natal kembali menjadi perayaan yang religius dan bukan sebagai perayaan untuk menikmati kesenangan. Selain itu, karena bagi orang-orang puritan hari Minggu adalah hari yang sangat istimewa, maka di bawah kekuasaannya, segala bentuk pekerjaan dilarang untuk dilakukan pada hari Minggu, bahkan untuk berjalan-jalan jika bukan untuk pergi ke gereja.
Pengumuman pelarangan perayaan Natal di Boston
Ada berbagai larangan lagi yang terjadi di Inggris pada masa ia berkuasa sebagai pemimpin. Kata Puritan berasal dari kata "Pure" yang berarti murni, sehingga para penganutnya berusaha menjalankan kehidupan mereka secara saleh. Cromwell sendiri percaya bahwa teladannya sebagai seorang puritan patut ditiru oleh masyarakat Inggris. Meski demikian, ia meninggalkan catatan yang kelam di Irlandia. Untuk menekan pertumbuhan populasi rakyat Irlandia, Cromwell membuat kebijakan mengirimkan mereka ke Hindia Barat untuk bekerja pada perkebunan tebu, yang membuat kebanyakan dari mereka tidak dapat bertahan dan mati. Berpotensi untuk menjadi ancaman bagi Inggris menjadi alasan mendasar dari Oliver Cromwell untuk menjalankan kebijakan yang tidak berdasar pada kasih tersebut kepada rakyat Irlandia. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Teolog Jonathan Edwards ketika menyatakan bahwa ketika tujuan tertinggi dari seseorang adalah kebaikan bangsa, suku, maupun rasnya, maka ia akan menjadi seorang yang rasis atau nasionalis, atau dengan perkataan lain tidak/kurang memiliki kasih.
Sumber referensi:
1. James. 2013. "Who Was Oliver Cromwell? Facts and Informations". Dalam http://primaryfacts.com/3285/oliver-cromwell-facts-and-information/
2. C. N., Trueman. "Life in England under Oliver Cromwell". Dalam http://primaryfacts.com/3285/oliver-cromwell-facts-and-information/"
3. Keller, Timothy. "Rasio Bagi Allah". Penerbit Momentum, Surabaya 2013.
|