Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/127

KISAH edisi 127 (15-6-2009)

Hidup Saya Sebagai Orang Farisi

____________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)_____________
                       Edisi 127, 15 Juni 2009

PENGANTAR

  Sebagai orang percaya, tentunya kita ingin memiliki hubungan yang
  akrab dengan Tuhan. Tidak berhenti sampai di situ, kita juga ingin
  orang-orang diberkati melalui kehidupan kita. Namun, seiring dengan
  berjalannya waktu, mungkin ada "kerikil-kerikil" yang bisa saja
  membuat kita tersandung dan jatuh. Terkadang kita terjebak pada
  "kesombongan rohani" yang menyebabkan kita tidak fokus kepada visi
  yang sudah Tuhan berikan. Jika hal ini terjadi dalam hidup kita, apa
  yang harus kita lakukan? Tidak ada jalan lain selain mengakui
  kesalahan kita di hadapan Tuhan dan meminta Dia memulihkan kehidupan
  kita. Melalui kesaksian berikut, kita belajar betapa pentingnya
  hidup dekat dengan Tuhan dan melibatkan Dia dalam setiap kehidupan
  kita.

  Pimpinan Redaksi KISAH,
  Novita Yuniarti
  http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
  http://kekal.sabda.org/

______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                    HIDUP SAYA SEBAGAI ORANG FARISI

  Sebagai orang yang tumbuh di gereja, saya selalu menyamakan diri
  saya dengan kisah dalam Alkitab tentang "orang-orang baik" -- rendah
  hati, jujur, berkepribadian kuat -- yang dinyatakan dalam firman
  Tuhan. Kisah perempuan yang membasuh kaki Yesus dengan rambutnya
  juga termasuk di dalamnya. Saya tahu bahwa saya seorang pendosa yang
  telah diselamatkan karena kasih karunia. Dan tentu saja, saya
  mengasihi dan menyembah Yesus sama banyaknya dengan perempuan itu.
  Saya tidak seperti orang Farisi yang tidak memahami bahwa ia
  memerlukan pengampunan Yesus. Tepat sebelum ulang tahun saya yang
  kesembilan belas, saya digerakkan untuk masuk ke sekolah Alkitab.
  Semuanya karena komentar orang mengenai hubungan saya dengan Allah.
  Saya sangat percaya diri terhadap respek mereka, tapi saya mendapati
  bahwa saya masuk ke dalam perangkap "kesan baik". Saya dibesarkan
  dan diasuh oleh orang tua Kristen, dan terus bertumbuh dengan
  mendengarkan nasihat ayah yang penuh hikmat. Hal tersebut memberikan
  manfaat yang sangat baik. Lagipula, saya adalah orang yang membawa
  damai, memiliki rasa humor, dan tidak mudah marah. Orang-orang
  cenderung menyukai saya, dan saya menyukai mereka karena mereka juga
  menyukai saya.

  Sekalipun demikian, saya ragu bagaimana selama semester kedua kuliah
  saya, orang-orang sering datang ke kamar saya. Mereka meminta
  nasihat dan dukungan. Teman sekamar saya mengejek dan mengancam akan
  memasang tanda "Konselor PERGI". Sementara orang banyak meminta
  pertolongan, saya mulai dijangkiti dengan "merasa penting". Perasaan
  itu mulai berada di luar kendali dan menggeser fokus saya kepada
  Allah. Saya semakin pintar untuk berbangga diri. Itu sama sekali
  tidak dapat diterima dan sungguh-sungguh merusak kerendahan hati.
  Namun, hati saya tidak dapat meyakini bahwa Allah seharusnya
  disenangkan karena saya ada di dalam tim kerja-Nya.

  Mengundang Yesus Menjadi Tamu Saya

  Sementara saya merasa bahwa respek orang lain semakin membanggakan
  diri saya, ego saya pun tumbuh semakin kuat. Jauh di dalam hati,
  saya tahu bahwa semua itu tidak baik. Saya seperti berada di sebuah
  kereta api yang melaju cepat dan saya tidak yakin mampu
  menghentikannya, bahkan jika saya menginginkannya. Namun
  kenyataannya, saya tidak menginginkannya. Saya menikmatinya dan
  berharap hal itu akan berlanjut. Saya ingin Yesus hadir dalam hidup
  saya. Namun, saya tidak siap untuk kehilangan "pelayanan" saya yang
  sedang tumbuh dengan cara mengizinkan Dia mengatasi kesombongan
  saya. Saya berdoa supaya Dia memberi saya hikmat dan petunjuk yang
  saya perlukan untuk membantu orang lain, tetapi saya tidak mengakui
  betapa dalamnya kebutuhan dan kekosongan yang saya rasakan dalam
  seluruh popularitas yang saya dapatkan.

  Seperti Simon, saya ingin Yesus hadir di pesta saya, tetapi saya
  ingin Dia ada di sana sesuai keinginan saya. Sesungguhnya, dengan
  Yesus ada di dalam pesta saya, semuanya akan berlangsung dengan
  baik. Dia memberkati saya dengan kehadiran-Nya, dan sebagaimana Ia
  melakukannya, saya akan menjadi alat untuk menciptakan hubungan yang
  lebih baik antara Dia dengan orang lain. Citra diri saya akan tetap
  utuh, orang lain akan mengenal Dia dengan lebih baik, dan Dia akan
  memiliki kesempatan untuk memakai saya berbicara kepada orang
  banyak. Sungguh suatu rancangan yang sangat indah! Saya dapat
  melihat masa depan pertumbuhan rohani bagi orang-orang di sekitar
  saya. Sejauh ini pesta itu sungguh sukses. Tetapi, ia tersandung
  sebuah batu besar.

  Pesta Selesai: Dari Orang Farisi Sampai pada Kegagalan

  Semua orang Farisi yang penuh dengan kebanggaan diri harus
  dipatahkan, tetapi hanya beberapa yang akan bangkit. Mereka yang
  bangkit inilah yang beruntung. Saya akan senantiasa bersyukur kepada
  Yesus karena telah berjuang keras untuk bangkit (oleh karena kasih
  karunia). Kejatuhan saya telah membutakan saya. Hal itu menyakitkan
  dan menghancurkan kesombongan saya. Tidak banyak orang yang tahu
  kejatuhan saya, dan saya yakin kasih karunia Allahlah yang telah
  menutupi rasa malu saya. Saya tahu telah jatuh, dan saya melihat hal
  itu terjadi dengan jelas.

  Peristiwa itu datang diam-diam. Saya merasa kian kesepian dan
  beberapa tempat kosong di dalam relung hati saya yang telah lama
  terabaikan, berteriak menuntut perhatian, dan hubungan secara fisik
  pun mulai di luar kendali. Saya terlibat dalam hubungan tak bermoral
  yang saya sendiri tak pernah percaya hal itu dapat terjadi. Saya
  tiba-tiba merasa seolah-olah orang lain -- pribadi yang saya tidak
  tahu bahwa itu ada -- mengendalikan tindakan saya. Saya melihat
  kegagalan saya dengan rasa ngeri. Dan, ketika saya menjadi diri saya
  (bersama Allah), saya dikendalikan oleh rasa malu dan kesepian yang
  lebih parah daripada sebelumnya.

  Masa lalu saya seperti satu momen dalam hidup saya, momen perubahan.
  Hal itu berlangsung selama beberapa bulan dan sangat sulit. Pada
  momen itulah saya berubah dari orang Farisi yang merasa diri
  penting, yang perlu mencari kasih dan pengampunan Yesus, menjadi
  merindukan pertolongan dan simpati-Nva. Akibat dosa, saya menjadi
  begitu terpuruk, dan pada masa itu saya berteriak kepada Yesus agar
  menolong saya. Dalam respons-Nya, Dia dengan sangat baik (dan ajaib)
  membuat saya tidak dapat melanjutkan kuliah lagi. Tiba-tiba saja
  kebijakan finansial universitas berubah, dan saya tidak dapat
  memenuhi kewajiban saya. Hal ini menjadi masalah dan saya terpaksa
  pulang ke rumah.

  Citra diri saya yang salah telah dihancurkan, dan di rumah, saya
  berdiri dalam kenyataan diri bahwa saya berdosa. Itulah yang
  memenuhi pikiran saya. Saya terus-menerus dicekam rasa malu dan saya
  merindukan penerimaan dan pengampunan dari orang terdekat. Keinginan
  itu mendorong saya untuk menceritakan kepada ayah sesuatu yang telah
  terjadi dalam hidup saya. Dia meyakinkan bahwa ia masih mengasihi
  saya, tetapi saya merasakan kekecewaannya yang begitu dalam terhadap
  saya. Saya pun menghindar untuk membicarakannya bahkan dengan cara
  yang lebih tercela. Saya tahu bahwa Yesus mengampuni orang lain.
  Akan tetapi, saat rasa sedih muncul, saya memaksa diri untuk tidur.
  Saya tidak dapat tidur, saya ragu apakah Dia sungguh-sungguh dapat
  mengasihi dan mengampuni saya.

  Mengikuti dari Jauh

  Saya merasa tidak layak untuk mencoba suatu hubungan yang dekat
  dengan Yesus -- hubungan yang saya nikmati sebelum saya "jatuh".
  Saya malah mengawasi Dia dari kejauhan, berharap dapat
  mendekati-Nya, tetapi saya tidak berani. Saya meluangkan waktu untuk
  membaca Alkitab, kisah demi kisah, pengalaman demi pengalaman, serta
  mencermati perkataan dan respons Yesus. Saya tidak akan membaca jika
  ada orang lain di dekat saya, karena saya tidak dapat menahan isak
  tangis kapan saja saya membaca kisah Yesus bersikap begitu lembut
  kepada seseorang. Juga saat saya membaca, untuk pertama kalinya
  dalam hidup saya, mengenali respons orang Farisi yang juga ada dalam
  diri saya, yakni sikap hati yang sombong dan meninggikan diri.

  Rasa malu terhadap kegagalan dan rasa muak terhadap kesombongan diri
  telah menyulut pertobatan dalam hati saya. Akan tetapi, saya tidak
  dapat mendekati Yesus dengan dukacita. Pada saat itu, saya mulai
  bekerja di bagian perakitan sebuah perusahaan elektronik. Beberapa
  orang di bagian itu bersikap sangat kasar. Mereka berbicara
  terang-terangan dengan tanpa malu menceritakan gaya hidup mereka
  yang penuh dosa. Saya tidak pernah lari atau bersembunyi dari
  kondisi seperti itu. Daripada memandang rendah rekan kerja saya,
  saya merenungkan kebutuhan mereka sambil berharap dapat membawa
  mereka kepada Yesus. Bahkan diam-diam dari dasar hati, saya
  mengasihi mereka. Sementara saya memikirkan para rekan kerja, saya
  pun menyadari keyakinan saya yang kukuh bahwa Yesus ingin mengasihi
  dan mengampuni mereka. Kemudian, dengan cara-Nya yang tenang, Roh
  Kudus membuat saya memahami bahwa saya seperti rekan kerja saya, dan
  Yesus ingin mengasihi dan mengampuni saya juga. Yesus memahami
  dukacita hatimu, Christine. Saya pun merasakan Ia berbicara kepada
  saya. Bawalah dukacita itu kepada Yesus.

  Botol Perasaan Sedih dan Berdosa Saya

  Atas dorongan Roh Kudus, saya mulai mencurahkan isi hati yang penuh
  dukacita kepada Yesus. Saya tidak mengingat kembali bagian yang
  sangat indah, pengalaman laksana air mata dan minyak wangi di kaki
  Yesus. Akan tetapi, saya ingat saat berdiri di mesin pencuci PCB
  tempat saya memasukkan papan sirkuit komputer ke dalam alat pembawa
  barang. Sementara saya secara mekanis mengerjakan tugas, saya
  menangis saat merasakan simpati Yesus menyentuh jiwa saya, memberi
  tahu bahwa Dia mengasihi dan mengampuni saya.

  Itu hanya salah satu dari banyak peristiwa yang sama selama masa
  itu, dan kedalaman cinta saya kepada Yesus lebih besar ketimbang
  yang pernah saya alami sebelumnya. Saya tidak dapat berhenti
  mengucap syukur kepada-Nya dan memuji Dia. Saya ingin melakukan apa
  pun yang Dia inginkan. Saya ingin mengikut Dia ke mana pun Dia
  pergi. Botol dukacita dan perasaan berdosa saya, sekali dituangkan,
  menjadi senyum kasih yang begitu manis -- kasih saya kepada Yesus
  dan kasih-Nya kepada saya. Saya berharap tidak pernah lagi
  meninggalkan Dia ataupun menjauh dari-Nya. Selama hidup, saya tidak
  pernah ingin mendukakan hati-Nya lagi. Tentu saja, sejak saat itu,
  saya pernah mengecewakan Dia berkali-kali. Namun, saya kembali pada
  pengalaman masa lalu, terutama masa terburuk saya untuk mengingatkan
  diri bahwa jika pertobatan saya tulus, saya dapat menuangkannya di
  kaki Yesus, dan Dia akan menyambutnya. Tidak peduli kata orang atau
  apa yang mereka pikirkan tentang diri saya bahwa saya "kotor". Yang
  penting adalah saya diterima dan diampuni. Itu adalah kenyataan, dan
  tidak ada seorang pun yang dapat mengambilnya dari saya.

  Harapan dan Masa Depan

  Entah terluka karena kejatuhan yang tiba-tiba atau karena perilaku
  buruk yang terjadi selama bertahun-tahun, hati kita dapat memerlukan
  waktu yang lama -- bahkan sepanjang hidup -- untuk sembuh. Namun,
  semakin saya menyadari Yesus mengasihi saya dan memahami betapa hati
  saya rindu untuk dibebaskan dari dosa, saya semakin percaya bahwa
  hati-Nya yang penuh pengampunan itu bersimpati kepada saya, dan saya
  juga dapat merasakan sebuah harapan yang baru akan masa depan.
  Itulah masa depan di mana saya dimerdekakan dari beban menjaga citra
  diri. Yesus ikut campur dalam proses untuk membentuk saya kembali ke
  dalam citra Allah. Itulah masa depan di mana reputasi dosa saya
  dihapuskan. Yesus berjanji bahwa kebenaran-Nya akan bersinar lebih
  terang dalam hidup saya.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: Bagaimana Saya Tahu Jika Yesus Mengasihi Saya?
  Judul asli buku: If Jesus Loves Me, How Do I Know?
  Penulis: Christine A. Dallman dan J. Isamu Yamamoto
  Penerjemah: Dwi Prabantini
  Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2003
  Halaman: 19 -- 24
______________________________________________________________________

  Marilah, baiklah kita berperkara!--firman TUHAN--Sekalipun dosamu
  merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun
  berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu
  domba. (Yesaya 1:18)
  < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Yesaya+1:18 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Ada banyak orang Kristen merasa sombong dengan talenta yang
     dipunyai. Doakan supaya Tuhan menyadarkan bahwa segala sesuatu
     adalah dari Dia dan untuk Dia, sehingga talenta itu dapat dipakai
     untuk memuliakan nama-Nya.

  2. Berdoalah supaya setiap orang yang sudah mengalami pertobatan
     dari "kesombongan rohaninya" dapat menjadi garam dan terang
     bagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan.

  3. Mengucap syukur karena Tuhan Allah telah menghapuskan dosa-dosa
     kita sehingga kita layak untuk menerima pengampunan dan belas
     kasihan dari-Nya, kita juga diberi kesempatan untuk menata
     kembali kehidupan kita.
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) 2009 YLSA
YLSA -- http://www.ylsa.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org