Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/378

KISAH edisi 378 (5-11-2014)

John Paton: Pengabar Injil kepada Suku Kanibal

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                   Edisi 378, 5 November 2014

KISAH -- John Paton: Pengabar Injil kepada Suku Kanibal
Edisi 378, 5 November 2014

Salam Kasih,

Saat kita memutuskan untuk menjadi pelayan Tuhan, bukan berarti
perjalanan kita akan selalu mulus tanpa hambatan. Hambatan pasti
terjadi di sana-sini dan tantangan datang dari segala penjuru, bahkan
dari saudara-saudara seiman kita sendiri. Namun, apa pun yang terjadi,
tetaplah taat pada kehendak-Nya.

Dalam kisah berikut ini, kita menyaksikan pengalaman hidup seseorang
yang karena imannya kepada Kristus rela untuk pergi melayani suku
kanibal di kepulauan Pasifik. Selamat menyimak dan kiranya kesaksian
ini memberikan kekuatan baru bagi Anda semua.

Staf Redaksi KISAH,
Elly
< http://kesaksian.sabda.org/ >


           JOHN PATON: PENGABAR INJIL KEPADA SUKU KANIBAL

Pada tahun 1987, Dave Dever, seorang pekerja serabutan diminta untuk
membantu mengangkut barang-barang untuk dibuang ke tempat pembuangan
sampah. Sebuah kardus berisi buku-buku lama menarik perhatiannya.

Ia berpikir, "Apakah saya harus membuangnya atau menyimpannya?"

Ia kemudian memutuskan untuk membawanya pulang. Sesampainya di rumah,
ia menyimpannya di gudang dan melupakan buku-buku itu. Hanya pada
musim dingin berikutnya, ia melihat kardus buku itu dan memutuskan
untuk membakarnya di tempat perapian. Istrinya, Abby, melarang dia
membakar buku-buku tersebut. Salah satu buku yang diselamatkan dari
jilatan api itu adalah biografi seseorang bernama John Paton, yang
berlayar ke sebuah pulau bernama Vanuatu di kepulauan Pasifik pada
tahun 1858.

Buku tentang John Paton dan pengalaman hidupnya bersama suku kanibal
meninggalkan kesan yang mendalam dalam kehidupan Dave dan Abby.
Setelah berkali-kali membacanya, mereka tergerak untuk berbuat sesuatu
bagi penduduk di situ. Walaupun mereka bukan orang berada, mereka
melakukan pelbagai usaha, termasuk menjual sofa, tempat tidur, mesin
cuci, meja dan kursi milik mereka di Kanada untuk membantu orang-orang
di Vanuatu.

Siapakah John Paton yang walaupun telah meninggal  100  tahun
sebelumnya, tetapi dapat terus menginspirasi keluarga Dever untuk
begitu berapi-api membantu satu suku yang tidak pernah mereka dengar
sebelumnya?

John Paton lahir di Skotlandia pada tahun 1824, di sebuah keluarga
miskin yang kedua orang tuanya sangat mengasihi Tuhan. Setiap kali
sehabis makan malam, ayahnya pasti akan masuk ke kamar yang hanya
sebesar lemari dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Sejak kecil, ia sudah
tahu bahwa di saat-saat itu, dia dan adik-adiknya tidak boleh berisik.
Kesaksian kedua orang tuanya yang cemerlang meninggalkan kesan yang
sangat mendalam dalam kehidupan Paton. Pada usia yang sangat muda,
Paton sudah memutuskan untuk memberikan hidupnya bagi pelayanan Tuhan.

Ketika berusia  12  tahun, Paton putus sekolah dan bekerja untuk
membantu keluarganya. Akan tetapi, hal itu tidak menghalanginya untuk
terus mempersiapkan diri untuk pelayanan Tuhan. Ia dengan tekun
mempelajari bahasa Latin dan Yunani setiap hari walaupun ia harus
bekerja dari jam 6 pagi hingga jam 10 malam. Tuhan terus memimpinnya
dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, dan sepanjang masa itu,
Paton dengan gigih berusaha mengimbangi pekerjaan dan studinya.
Akhirnya, setelah 10  tahun, ia lulus dari Universitas Glasgow dan
sekolah teologia. Ia juga sempat mengambil kursus medis di sebuah
akademi.

Pada waktu itu, organisasi di gerejanya telah dua tahun berturut-turut
mengiklankan lowongan untuk mencari misionaris ke kepulauan Vanuatu,
tetapi masih belum berhasil mendapatkan calon yang tepat. Paton merasa
Tuhan berbicara kepadanya untuk melamar posisi itu. Paton menulis,
"Saya melamar untuk misi ke Vanuatu dan setelah itu, saya kembali ke
kamar dengan hati yang damai, suatu hal yang sudah lama tidak saya
nikmati. Tidak ada hal lain yang begitu menyenangkan dibandingkan
dengan keputusan untuk maju melakukan apa yang Anda tahu sebagai
kehendak Tuhan."

Mendengar keputusan Paton untuk meninggalkan Skotlandia demi melayani
suku kanibal di kepulauan Pasifik, gereja tempat dia melayani tidak
mau melepaskan Paton. Mereka langsung menawarkan kepadanya untuk
mengambil alih sebuah jemaat yang besar dengan gaji yang besar.
Seorang penatua terus-menerus berkata kepadanya, "Mereka itu kanibal!
Engkau akan dimakan oleh kanibal!!"  Gerejanya memberi tahu dia,
"Tempat inilah yang paling bagus untukmu karena Tuhan telah
memberkatimu dengan kelayakan yang diperlukan dan telah begitu
memberkati pelayananmu. Engkau hanya akan menyia-nyiakan hidupmu di
antara suku kanibal itu."

Jawab Paton kepada mereka,  "Saya hanya mati sekali. Biarlah waktu,
tempat, dan bagaimana saya mati ditentukan oleh Tuhan sendiri." Kepada
yang lainnya, ia berkata,  "Mati atau hidup saya untuk melayani dan
memuliakan Yesus Kristus, tidak ada bedanya apakah saya dimakan oleh
kanibal atau oleh ulat. Di hari kebangkitan nanti, tubuh saya akan
bangkit dan akan sama mulianya dengan tubuh Anda."

Hampir setiap hari, ada saja jemaat di gerejanya yang memohon
kepadanya untuk tidak berangkat. Sangatlah mudah jika yang menentang
keputusannya adalah orang-orang luar, tetapi ia terus-menerus menerima
tentangan dari teman-teman seiman, yang adalah orang-orang yang akrab
dengannya. Akhirnya, Paton sendiri bimbang, apakah ia sedang
menjalankan kehendak Tuhan atau hanya menuruti keinginannya sendiri.

Sama seperti hal-hal penting lainnya, Paton berkonsultasi dengan kedua
orang tuanya. Surat dari kedua orang tuanya berbunyi:

"Kami tidak pernah memberi tahu karena kami tidak mau memengaruhi
keputusanmu, tetapi kami memuji Tuhan untuk keputusan yang telah kamu
ambil. Ayahmu memang ingin menjadi seorang pelayan Tuhan, tetapi
karena pelbagai hal, ia terpaksa melepaskan keinginan itu. Saat Tuhan
memberikan kamu kepada kami, kami menyerahkanmu ke atas altar Tuhan,
anak sulung yang diserahkan kepada Tuhan. Kami berkata kepada Tuhan,
`Jika Tuhan berkenan, kami ingin menyerahkan anak ini untuk dijadikan
seorang misionaris bagi bangsa-bangsa.`  Sejak dulu, doa kami adalah
agar kamu akan dipersiapkan dan dilayakkan untuk tugas ini. Dengan
sepenuh hati, kami berdoa agar Tuhan menerima persembahanmu,
melindungimu, dan menyelamatkan banyak jiwa yang terhilang lewat
pelayananmu."

Dengan doa restu dari kedua orang tuanya, maka pada tanggal 30 Agustus
1858, Paton menginjakkan kaki di Aneityum, salah satu pulau di
Vanuatu, bersama istri yang baru dinikahinya. Lalu, dimulailah
perjuangan berat untuk memenangkan suku kanibal itu. Tidak sampai satu
tahun, Paton sudah kehilangan istri dan anaknya yang baru lahir karena
penyakit tropis. Kata-kata terakhir istrinya yang tercinta adalah,
"Janganlah sekali-kali berpikir bahwa aku menyesal telah datang ke
tempat ini. Jika diberi kesempatan sekali lagi, aku akan melakukan hal
yang sama dengan penuh kegembiraan." Dalam suratnya, Paton menulis,
"Jika bukan karena Yesus dan persekutuan dengan Dia, saya pasti sudah
menjadi gila atau mati di samping pusara anak dan istri saya."

Situasi medan sangatlah sulit, ia harus mempelajari bahasa suku yang
sama sekali asing baginya dan setiap hari, ia harus berhadapan dengan
orang yang siap untuk membunuh dan memakannya. Ia tidak pernah
meninggalkan rumah tanpa parang atau senjata api. Walaupun ia tahu ia
sendiri tidak akan menggunakannya, tetapi itu membuat musuhnya tidak
akan begitu terdorong untuk menyerangnya jika ia terlihat membawa
senjata.

Setelah menguasai bahasa suku itu, Paton mulai menyampaikan pesan
Injil. Pernah sekali, Paton mengadakan kebaktian di sebuah desa. Ia
mengabarkan bahwa jika mereka mengikut Tuhan Yahweh, Yahweh akan
melindungi mereka dari musuh-musuh mereka dan menuntun mereka ke dalam
hidup yang penuh sukacita. Tiga orang dukun bangkit berdiri dan
mengumumkan bahwa mereka tidak percaya kepada Yahweh. Mereka
mengatakan bahwa mereka tidak memerlukan Yahweh dan dapat dengan mudah
membunuh Paton dengan ilmu sihir yang disebut "nahak". Yang mereka
perlukan untuk menyihir Paton hanyalah sisa makanannya. Untuk
melindungi diri dari sihir mereka, penduduk di sana memang sangat
berhati-hati dengan sisa makanan mereka. Kulit pisang, kulit jeruk
atau makanan sisa akan dilindungi dengan baik agar tidak jatuh ke
tangan musuh mereka.

Mendengar tantangan dari ketiga dukun itu, Paton meminta 3 buah prem
dari seorang perempuan di sampingnya. Setelah menggigit sedikit dari
buah itu, ia memberikan sisanya kepada ketiga dukun itu, "Kalian telah
melihat saya memakan buah ini." Paton berbicara kepada orang banyak,
"Para dukun ini mengatakan bahwa mereka dapat membunuh saya dengan
nahak. Saya menantang mereka untuk melakukannya, tetapi bukan dengan
menggunakan parang, panah, ataupun tombak. Para dukun tidak mempunyai
kuasa atas saya!"

Para penduduk desa langsung berteriak ketakutan dan banyak yang
meminta agar Paton segera melarikan diri. Akan tetapi, Paton tetap
tinggal di situ dan menyaksikan upacara nahak. Upacara pun dimulai,
mereka mulai membacakan mantra. Ketiga dukun itu masing-masing
mengambil daun keramat dan memasukkan sisa makanan Paton ke dalamnya
dan menggulungnya seperti lilin. Setelah menyalakan daun itu, dengan
berbagai gerakan mereka meneruskan bacaan mantra sambil memandang ke
arah Paton. Setelah upacara berjalan agak lama dan Paton masih baik
-baik saja, mereka akhirnya bangkit berdiri dan berkata,  "Kami harus
menunda upacara ini sampai semua dukun kami terkumpul. Kami pasti akan
membunuh engkau sebelum hari Minggu. Biarlah semua orang
menyaksikannya, engkau pasti akan mati!"

"Baiklah, saya menantang semua imam dan dukun kalian untuk bersatu dan
membunuh saya dengan nahak. Jika pada hari Minggu depan saya kembali
ke desa ini dalam keadaan sehat, kalian harus mengakui bahwa ilah-ilah
kalian tidak mempunyai kuasa atas saya, dan saya dilindungi oleh Tuhan
Yahweh yang Benar dan Hidup!"

Setiap hari sepanjang minggu itu, ada saja utusan yang datang ke rumah
Paton untuk melihat apakah dia masih hidup. Melihat Paton masih hidup,
penduduk desa semakin bersemangat menunggu datangnya hari Minggu.
Sesuai dengan janjinya, Paton berangkat ke desa itu. Orang banyak
berkerumun dan mereka terkejut luar biasa melihat Paton masih hidup.

"Salam kasih sobat-sobatku! Saya datang kembali untuk mengabarkan
tentang Tuhan Yahweh dan bagaimana caranya menyembah Dia."

Ketiga dukun itu mengangkat suara. "Kami mengaku kami sudah mencoba
membunuhmu, tetapi kami gagal. Mengapa kami gagal?  Karena engkau
adalah seorang suci. Tuhanmu lebih besar dari pada tuhan kami dan Ia
telah melindungimu."

"Sesungguhnya, Tuhan Yahweh itu lebih besar dari pada ilah-ilah
kalian. Ia telah melindungi dan membantu saya. Ia adalah satu-satunya
Tuhan yang Hidup dan Benar, satu-satunya Tuhan yang dapat mendengar
dan menjawab doa. Ilah-ilah kalian tidak dapat mendengar doa-doa
kalian. Berikanlah hati dan hidup kalian kepada Dia, kasihilah dan
layanilah Dia. Inilah Tuhan saya, dan Ia juga adalah sahabat kalian
jika kalian mau mendengar dan mengikuti suara-Nya."

"Marilah duduk bersama, saya akan mengabarkan tentang kasih dan belas
kasihan Tuhan saya." Dua orang dari ketiga dukun itu turut bergabung
untuk mendengar, tetapi yang satunya lagi, yaitu pemimpin mereka,
pergi meninggalkan mereka. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan
membawa tombak dan mengarahkannya kepada Paton.

Paton dengan tenang duduk di tengah-tengah kerumunan orang banyak
sambil memerhatikan dukun yang membawa tombak itu memarahi orang-orang
desa karena mendengarkan Paton. Syukurlah kedua dukun yang lain
berpihak kepada Paton dan bersama beberapa orang lain melindungi Paton
dengan tubuh mereka. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah,
Paton menawarkan untuk meninggalkan tempat itu.

Sejak hari itu, kedua dukun tersebut menjadi teman baik Paton, dan
beberapa penduduk desa juga mulai berdoa kepada Yahweh.

Demikianlah sepenggal dari pengalaman Paton mengabarkan Injil kepada
para kanibal di Vanuatu. Berkat usaha Paton bersama para misionaris
lain sesudahnya, mayoritas penduduk kepulauan Vanuatu hari ini percaya
kepada Tuhan Yahweh.

(Materi kisah pengalaman John Paton ini dikutip dari biografi yang
ditulis oleh John Paton sendiri pada tahun 1891.)

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Cahaya Pengharapan.org
Alamat URL: http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/pengabar_injil_kepada_suku_kanibal.htm
Penulis artikel: Redaktur
Tanggal akses: 1 April 2014


POKOK DOA

1. Berdoa untuk para penginjil yang berusaha memenangkan banyak jiwa
 bagi Kristus, doakan supaya mereka memiliki keberanian untuk
 terus melakukan penginjilan di suku-suku terpencil, meski apa
 yang mereka alami tidak selalu baik.

2. Doakan saudara-saudara seiman kita yang berjuang agar nama Tuhan
 dimuliakan dalam pelayanan mereka supaya banyak orang terbuka
 hatinya dan menerima Tuhan Yesus.

3. Ada banyak orang belum percaya yang memercayai hal-hal mistik,
 seperti dukun misalnya, tetapi memiliki hati untuk mengenal
 Tuhan. Berdoalah agar Roh Kudus bekerja dan mengubahkan hati
 mereka untuk memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.

"Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus,
dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?"  Maka sahutku: "Ini aku,
utuslah aku!" (Yesaya 6:8)
< http://alkitab.mobi/tb/Yes/6/8/ >
< http://alkitab.sabda.org/?Yes+6:8 >


Kontak: kisah(at)sabda.org
Redaksi: Amidya, Bayu, dan Elly
Berlangganan: subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/kisah/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org