Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/332 |
|
KISAH edisi 332 (19-6-2013)
|
|
___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________ Edisi 332, 19 Juni 2013 KISAH -- Aku Dipulihkan Edisi 332, 19 Juni 2013 Salam kasih, Dalam hidup ini, banyak hal bisa terjadi. Untuk hal baik yang terjadi dalam hidup seseorang, tidak diperlukan usaha dan perjuangan untuk menghadapi hal itu. Namun, bagaimanakah respons kita saat diperhadapkan dengan hal yang buruk? Apalagi, jika hal tersebut datang secara tiba-tiba dan tidak disangka? Itu seperti suatu pagi yang cerah dengan burung-burung berkicau, yang mendadak berubah menjadi kesuraman yang tidak kita ketahui ujungnya. Melalui KISAH berikut ini kita bisa melihat, bahkan ketika hal buruk mendadak menghampiri hidup kita, kasih Allah selalu nyata dan dapat diandalkan. Tetaplah percaya! Staf Redaksi KISAH, Yegar < http://kesaksian.sabda.org/ > AKU DIPULIHKAN Hari itu, tanggal 3 Juli 1996, di rumah saya di Taman Meruya. Sama seperti pagi- pagi lainnya, Evelyn, istri saya, seharusnya sudah pergi mengantar anak-anak ke sekolah dan saya bersiap-siap berangkat ke kantor. Namun, pagi itu dia dan anak- anak pergi ke salon. "Mau potong rambut," katanya. Hanya pembantu kami yang tinggal di rumah dengan pekerjaan rutinnya. Esok, rencananya kami sekeluarga akan ke Hongkong untuk berlibur. Sebenarnya, rencana itu sudah dibicarakan jauh-jauh hari, dan saya sendiri memutuskan untuk berlibur dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Karena itu, masih terbayang di pelupuk mata saya ketika rencana liburan itu akan terealisasi, tawa renyah anak- anak, mata yang berbinar ceria, dan kegaduhan mereka menyiapkan baju dan perlengkapannya. Saya sendiri, pagi itu, berniat mengganti "switch" tower air di rumah kami yang sedang rusak. Karena usaha saya adalah di industri mesin-mesin Heating, Drying, dan sebagainya, yang berkaitan dengan arus listrik, dan saya juga pernah duduk di tingkat akhir Fakultas Teknik Trisakti, tersengat listrik kecil bagi saya adalah hal yang biasa. Alasan inilah yang mendorong saya, setapak demi setapak memanjat tangga tower air setinggi 4,5 meter, tanpa mematikan stop kontak. Dan, di atas tower itulah malapetaka bermula. Tiba-tiba, saya tersengat listrik dan pingsan. Tubuh saya terjatuh menghunjam beton dengan posisi miring ke kiri. Jeritan Histeris pembantu saya membuat para tetangga kaget dan segera sibuk membawa saya ke Rumah Sakit Graha Medika. Saat istri saya dan anak-anak tiba di rumah dan diberi tahu musibah yang menimpa saya, dengan tenang mereka pergi menyusul ke rumah sakit. Mereka berpikir hanya kecelakaan biasa. Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di rumah sakit. Tonny, kakak saya yang telah tiba lebih dahulu, memberitahukan bahwa saya mengalami pendarahan yang sangat kritis. Operasi pertama berlangsung kurang lebih 4 jam. Operasi itu selesai malam hari, saya masih dalam keadaan koma. Dua puluh jam setelah operasi pertama, akan dilakukan operasi kedua karena terjadi pendarahan seperti yang terjadi sebelumnya. Menurut tim dokter, tidak ada cara yang dapat dilakukan untuk memeriksa penyebab semakin memburuknya kondisi saya beberapa jam pascaoperasi karena tidak adanya ventilator portable untuk melakukan CT Scan lanjutan. Dalam kebingungannya, Evelyn berdoa memohon pertolongan Tuhan. Hanya Tuhan, harapan dan pertolongan kami satu-satunya. Dan, keajaiban pun terjadi. Baru saja ia mengaminkan doanya, seseorang telah berdiri di hadapannya. Seorang dokter, dengan nomor telepon di tangannya, dokter itu menyarankan Evelyn untuk menanyakan ke SOS Assistance apakah mereka dapat meminjamkan peralatan tersebut. Menurut dokter itu, SOS Assistance hanya dapat meminjamkan peralatannya kepada para anggotanya saja. Akan tetapi, dalam hal ini kuasa Tuhan berkata lain, mereka bersedia meminjamkan alat tersebut selama dua jam. Tanpa menanyakan identitas diri Evelyn, dan tanpa biaya. Karena banyaknya darah yang sudah membeku sehingga menyulitkan pengeluarannya, operasi kedua berlangsung selama 6 jam. Sementara operasi berlangsung, istri dan anak-anak saya, saudara-saudara dan kawan-kawan saya tidak putus-putusnya berdoa untuk keselamatan saya di luar ruang operasi. Pada dini hari, tim dokter baru keluar dari ruang operasi. Dokter memanggil Evelyn dan menjelaskan secara rinci bagaimana jalannya operasi. Dokter mengatakan bahwa belahan otak kiri saya, tempat luka terjadi, telah melesak masuk ke dalam belahan otak kanan, dan semua sel di dalamnya `collapse`. Dokter mengatakan bahwa hanya mukjizat Tuhan yang menyebabkan operasi berjalan dengan mulus dan sukses. Puji Tuhan. Selama satu setengah bulan, saya berada dalam keadaan koma. Dalam catatannya, Evelyn menulis, "Pada saat pertama kali Benny sadar, tidak tampak sinar mata yang tajam seperti biasanya. Hanya pandangan kosong saja yang tampak menerawang, tetapi ada secercah cahaya kehidupan di dalamnya. Dan, ketika malam itu saya tidur di samping Benny sambil menggenggam tangannya, saya rasakan tekanan ibu jarinya pada tangan saya, yang merupakan gaya khas Benny saat menggenggam. Saya tahu, dia menyadari bahwa saya ada di sisinya." Setelah sadar dari koma, masih sekitar dua bulan saya dirawat di rumah sakit. Selama di rumah sakit, semua prosedur perawatan dilaksanakan seperti terapi, scanning, dan sebagainya. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah dukungan doa yang terus-menerus, baik dari istri, anak-anak, saudara-saudara, dan kawan- kawan saya untuk kesembuhan saya. Evelyn menulis, "Kadang kami hampir putus asa melihat kondisi Benny. Namun, dengan memandang salib-Nya, kami terus-menerus memperoleh harapan baru. Sebuah harapan bahwa bilur-bilur dan darah-Nya yang kudus akan menopang dan memulihkan kesehatan Benny." Keluar dari rumah sakit Graha Medika, saya mengalami lumpuh total selama kurang lebih satu bulan. Seluruh ingatan saya hilang. Saya tidak lagi mampu berbicara, membaca, dan menulis. Orang mengenang saya dahulu fasih berbahasa asing (Inggris dan Jepang). Suka mengoperasikan komputer, menyanyi, dan bermain gitar. Kini, saya tidak bisa lagi melakukan semua itu. Penglihatan saya juga terganggu. Mata saya hanya mampu melihat objek lurus saja. Itu berarti, objek yang berada di sebelah kanan atau kiri, tidak lagi bisa dilihat mata kanan saya. Indera penciuman maupun perasa saya juga lenyap. Bau apa pun, tidak bisa lagi diketahui. Rasa manis, pedas, asin, tidak bisa lagi saya rasakan. Bahkan, antara lapar dan kenyang pun tidak bisa saya ketahui lagi. Saat itu, saya mulai mengikuti terapi selama kurang lebih 5 jam di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang, setiap hari. Saya mulai kembali belajar berjalan, berbicara, mengenal abjad, angka, dan lain-lain. Evelyn, istri saya, dengan setia mengantar saya ke rumah sakit. Tangan Tuhan kembali bekerja. Bilur-bilur- Nya membuat mukjizat dan menjamah kedua kaki saya yang telah divonis lumpuh. Lalu, satu setengah bulan kemudian, saya mampu berjalan tanpa tongkat. Dalam catatannya, Evelyn menulis, "Sungguh, langkah pertamanya membuat dada saya sesak, ingin meledak. Rasanya, saya ingin berteriak pada dunia: Lihat, Tuhanku telah membuat Benny berjalan lagi! Dan, ketika Tonny datang menyusul, setelah saya hubungi, saya melihat genangan air mata di sudut matanya. Saya yakin, doa- doanya bermalam-malam yang lalu telah didengar Bapa di Surga." Bulan berikutnya, dengan seizin dan penyertaan Tuhan, saya dibawa berobat ke Singapura. Para dokter di Singapura terheran-heran melihat saya mampu berjalan setelah melihat catatan kesehatan saya. Memang, luar biasa kuasa Tuhan. Selanjutnya, dokter menetapkan operasi pemasangan "shunt" di bekas luka otak kiri karena ada cairan yang terperangkap, yang menyebabkan penekanan bagi sel- sel di sekitarnya. Selain itu, diperlukan operasi plastik untuk menutup lubang sebesar 9 centimeter pada tengkorak kepala saya. Puji Tuhan, operasi berjalan lancar, bahkan tiga hari berikutnya, saya sudah diperbolehkan pulang. Akibatnya, biaya menjadi lebih ringan karena saya tidak perlu dirawat di ICU, ditambah dengan pihak rumah sakit memberikan potongan biaya pengobatan lebih dari seperempat harga yang seharusnya kami bayar. Proses pemulihan kesehatan saya terus berlangsung sepanjang hari, bulan, dan tahun. Tahap demi tahap, ingatan saya mulai pulih kembali, setelah hampir enam bulan hilang sama sekali. Saya mulai bisa berbicara, mengenal kembali abjad dan angka. Sedikit demi sedikit, saya pun mampu menulis, walau belum bisa membaca. Saya merasa, setiap langkah saya, setiap tahap proses pemulihan kesehatan saya, kasih karunia Tuhan Yesus selalu menyertai saya. Dia menyertai saya setiap hari, dalam setiap kemajuan yang saya capai. Hasil penyertaan-Nya membuat ingatan saya perlahan kembali lagi. Meskipun masih belum diizinkan menyetir mobil karena pandangan mata saya yang terbatas, saya sudah mampu beraktivitas dan bekerja kembali. Dalam catatannya, Evelyn mengutip kalimat-kalimat yang indah dan hidup: "Faith, makes all things possible ..., hope makes all things work ..., love makes all things beautiful ...." Ya, iman kami kepada Tuhan Yesus Kristus membuat semuanya menjadi mungkin. Harapan di dalam Tuhan Yesus membuat semuanya berhasil. Kasih di dalam Tuhan Yesus Kristus membuat segalanya indah pada akhirnya. Karena itu, kami yakin suatu saat nanti Tuhan akan menyempurnakan semuanya. Sebab, "Sekali Engkau mengukir nama kami dalam genggaman-Mu, Engkau tidak akan pernah melupakan kami. Terima kasih Tuhan, terpujilah Engkau selama-lamanya." Ketika kesaksian ini ditulis, sembilan tahun peristiwa itu telah berlalu. Tangan Tuhan masih terus bekerja. Lidah saya yang dahulu tidak bisa merasakan apa-apa, kini telah dijamah dan disempurnakan-Nya. Lidah saya betul-betul bisa merasakan hampir semua rasa. Kalau Tuhan menginginkan, tak ada yang mustahil di hadapan- Nya. Sebuah tanda, telah Tuhan ukir di kepala saya sebelah kiri. Sebuah tanda berbentuk lekukan oval sepanjang 9 cm dan sedalam 1,5 cm. Saya bersyukur dengan tanda ini. Bukan saja karena setiap kali saya merabanya akan mengingatkan saya pada kasih dan kuasa-Nya, melainkan juga menjadi kesaksian bagi orang lain akan kebesaran Tuhan terhadap anak-anak-Nya. Karena itu, saya tidak pernah malu memperlihatkan dan menuntun tangan-tangan yang ingin meraba bekas luka di kepala saya dan merasakan kasih kuasa-Nya. Seorang kawan yang telah saya kenal lebih dari 35 tahun, yang juga tahu malapetaka yang menimpa saya, bertemu saya. Sebagaimana biasanya, ia akan menatap saya aneh, menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya, dan akhirnya tersenyum. "Mukjizat, Ben! Mukjizat!" katanya. Biasanya, saya hanya tertawa. Sebab, kata-kata itu yang hampir selalu diucapkan setiap kali kami bertemu. Namun, dia benar. Saya percaya itu. Diambil dan disunting dari: Judul buletin: SUARA edisi 79 -- FGBMFI, 2005 Penulis: Benny Widjajapranata Penerbit: Communication Department - Full Gospel Business Men`s Fellowship Internasional - Indonesia, Jakarta Halaman: 10 -- 14 POKOK DOA 1. Berdoalah kepada Tuhan Yesus agar Ia berkenan memberikan hati yang selalu bersyukur, sekalipun hal buruk sedang terjadi dalam kehidupan kita. 2. Berdoalah kepada Tuhan Yesus untuk teman atau keluarga yang sedang mengalami hal-hal buruk dalam kehidupan mereka supaya mereka bisa tetap tabah dan percaya kepada Tuhan Yesus. 3. Berdoalah kepada Tuhan Yesus untuk setiap orang yang mulai putus asa dalam menjalani kehidupannya supaya mereka bisa kembali melihat pengharapan yang tidak pernah mengecewakan dalam Yesus Kristus. "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku" (Mazmur 23:4) < http://alkitab.sabda.org/?Maz23:4 > Kontak: kisah(at)sabda.org Redaksi: Sigit, Doni K., Bayu dan Yegar Berlangganan: subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/kisah/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |