|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-wanita/2 |
|
e-Wanita edisi 2 (18-12-2008)
|
|
_________e-Wanita -- Milis Publikasi Wanita Kristen Indonesia_________
Topik: Firman Itu Telah Menjadi Manusia
Edisi 02/Desember II/2008
______________________________________________________________________
MENU SAJI
- SUARA WANITA
- RENUNGAN WANITA: Firman Itu Telah Menjadi Manusia
- DUNIA WANITA: Bersinar
- POTRET WANITA: Maria
- PENA WANITA: Ucapan-Ucapan Terima Kasih
- EDISI BERIKUTNYA: Januari 2009
______________________________________________________________________
- SUARA WANITA
Shalom,
Kelahiran Kristus merupakan anugerah terindah yang Allah berikan
bagi semua umat manusia, khususnya mereka yang percaya kepada-Nya.
Karena melalui kelahiran-Nya, semua yang telah dinubuatkan oleh para
nabi sebelumnya akan segera tergenapi, bahwa Ia akan menyelamatkan
dunia dari hukuman kekal. Ya, Ia telah lahir, Ia lahir di dalam hati
setiap orang percaya. Pertanyaannya sekarang adalah adakah tempat di
hati kita bagi kelahiran-Nya?
Melalui e-Wanita edisi kedua ini, kami mengajak Anda semua untuk
merenungkan sejenak apa sebenarnya Natal itu. Simak juga sebuah
kisah tentang bagaimana seorang wanita merayakan Natal di tengah
musibah yang menimpanya. Bagaimana ia dapat tetap bersukacita
merayakan kedatangan Bayi Kudus itu, sama sukacitanya dengan Maria,
yang dipakai Allah untuk menggenapi visi besar-Nya dalam dunia ini.
Silakan tengok kolom Potret Wanita untuk belajar dari Maria, sikap
seperti apa yang harus kita miliki dalam memaknai Natal itu.
Kami ucapkan selamat menyimak dan tidak lupa kami mengucapkan pula:
SELAMAT NATAL 2008 DAN TAHUN BARU 2009
Biarlah kelembutan kasih Tuhan menguasai hati Sahabat Wanita
terkasih, dan Ia yang rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa
sebagai manusia itu bertakhta di hati Sahabat Wanita sekalian
selama-lamanya.
Tuhan Yesus memberkati!
Staf Redaksi e-Wanita,
Novita Yuniarti
______________________________________________________________________
A Christmas candle is a lovely thing;
It makes no noise at all,
But softly gives itself away;
While quite unselfish, it grows small.
- Eva Logue -
______________________________________________________________________
- RENUNGAN WANITA
FIRMAN ITU TELAH MENJADI MANUSIA
"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
(Yohanes 1:14)
Yesus adalah Allah dalam wujud manusia. Dengan datang ke dalam
dunia, Dia menyatakan Bapa Surgawi kepada kita. Itulah yang dimaksud
oleh Yohanes ketika dia mengatakan bahwa "Firman itu telah menjadi
manusia".
F.W. Boreham menerapkan kebenaran ini ketika dia menulis, "Orang
Kristen harus menyampaikan pesan kekristenan. Firman itu harus
disampaikan dalam bentuk yang sesuai untuk manusia .... Firman yang
menjadi manusia itu dinyatakan dengan suatu aksen dan penyampaian
yang menarik .... Kata-kata manusia akan menjadi penuh semangat dan
kuasa hanya bila dinyatakan dalam bentuk manusia. Demikian pula
dengan rencana Allah atas manusia hanya akan seimbang menjadi
menarik bila diekspresikan."
Boreham juga mengutip perkataan George Elliot, seorang penulis yang
berasal dari Inggris, "Terkadang (Firman) telah menjadi manusia,
Firman itu bernapas di sekitar kita dengan napas yang hangat,
menyentuh kita dengan tangan halus yang peka, mereka melihat kita
dengan sedih, mata yang tulus, dan berbicara pada kita dengan nada
yang menarik; mereka berjubahkan jiwa manusia yang hidup."
Jika orang-orang ingin "mendengar" firman Tuhan, mereka harus
"melihat" firman itu dilakukan dalam hidup kita. Yesus berkata,
"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya
mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di
sorga" (Matius 5:16). Orang kristen yang hidup menurut apa yang
mereka percayai, membuat firman itu menjadi manusia. (t/Yohanna)
Orang percaya, ingatlah kau menanggung nama-Nya
Hidupmu adalah apa yang dilihat oleh orang lain;
Kau adalah contoh -- orang lain bisa memuji atau menyalahkanmu
Dan menilai Penyelamatmu melalui dirimu
- NN -
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Our Daily Bread, Large Print-Annual Edition
Edisi: Kamis, 18 Desember
Judul asli artikel: The Word Made Flesh
Penulis: Richard W. De Haan
Penerbit: Yayasan Gloria, Yogyakarta 1996
______________________________________________________________________
- DUNIA WANITA
BERSINAR
Saat kami menyantap makan malam sembari membaca kalender adven,
tokoh orang Majus hampir tiba di kota Bethlehem. Kini giliran Sanna
yang berusia 15 tahun untuk membaca dengan suara nyaring, namun
pikirannya melayang-layang sehingga ketiga orang Majus tersebut
sepertinya tidak bisa sampai ke palungan di kandang domba
secepatnya. Gigi saya bergemeretak saat adik laki-lakinya, Jonathan,
menatap Sanna dengan wajah lucu, penuh rasa kemenangan melihat Sanna
kehilangan konsentrasi dan tertawa terkekeh-kekeh. Laura, anak kami
yang berusia 17 tahun, terlihat acuh tak acuh, mengunyah makanannya
dengan santai.
Sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, pikir saya berusaha menutupi
kekecewaan. Biasanya rumah ini dipenuhi semangat Natal. Tetapi,
anak-anak tidak antusias lagi melakukan tradisi tua yang biasa
mereka tunggu-tunggu, seperti membaca kalender adven setiap malam.
Setelah makan malam, saya mengembalikan kalender ke pintu lemari es
dan menyalakan mesin cuci piring, berangan-angan tentang kontes
Natal tahunan yang biasa dipersiapkan anak-anak untuk Whitney dan
saya. Saya membiarkan mereka mengambil kain linen dari lemari untuk
dibuat kostum. Setiap tahun, tengkuk anjing kami yang berwarna hitam
menjadi tiga orang Majus. Ekornya terkulai di alas tidurnya. Saat
saya melihatnya berjalan, tua dan kaku, melintasi dapur menuju
kandangnya, saya berpikir apakah anjing itu juga mengingat Natal.
Keadaan agak berubah keesokan harinya saat anak tertua kami, Wendy,
pulang dari kampus. "Aku pulang!" suaranya terdengar saat ia membuka
pintu dari dapur, mendorong koper besar melintasi lantai linoleum.
Saya menyebut Wendy anak angin puyuh. Saya tak henti-hentinya
mengingatkan Wendy agar melakukan segala sesuatu dengan santai dan
dipikirkan dahulu, namun tak pernah didengar. Tetapi, Whitney dan
saya sangat bersyukur atas kemurahan hatinya mengajak adik-adiknya
untuk makan malam di luar malam ini. Ia memberi kami waktu untuk
menyiapkan sentuhan akhir hari Natal di rumah. Rumah kami sudah
bersih dari noda dan dipenuhi wangi jeruk lemon dan pinus, serta
pai-pai yang baru dipanggang. Saya ingin memberikan yang terbaik
pada saat kedatangan Anak Allah. Ketika Whitney akhirnya menyalakan
lampu hias di pohon Natal, saya merasakan kegembiraan semangat Natal
yang sudah tua. "Nah," kata saya, bersandar di bahu Whitney. "Sudah
sempurna."
Keesokan harinya adalah malam Natal. Rumah disibukkan oleh keriuhan
kami sekeluarga berdandan untuk pergi ke gereja. Whitney, Jonathan,
dan saya mengikuti kebaktian pukul lima sore. Anak-anak perempuan
saya memilih mengikuti kebaktian berikutnya. Namun, kami berjanji
akan bertemu di sebuah restoran untuk makan malam. "Sampai ketemu
pukul 7 nanti, ya," sahut Whitney sebelum kami pergi. Sesaat sebelum
menutup pintu depan, saya melihat untuk terakhir kalinya hasil kerja
kami yang rapi. Ya, sepertinya sudah terasa nuansa Natalnya.
Kebaktian pukul lima sore dipenuhi oleh jemaat. Para ibu yang gugup
membantu anak-anak mereka mengenakan kostum. Saya merasa iri,
mengingat bagaimana dulu menolong anak saya bersiap-siap mengikuti
pertunjukan. Saya merasa lelah melakukan semua kerja keras mengikuti
kebiasaan saat Natal. Lampu diredupkan dan panggung kecil berubah
menjadi kandang hewan. Kesederhanaan kandang itu mengingatkan saya
betapa bercahayanya Natal pertama berlangsung, namun hanya untuk
sementara. Drama Natal diakhiri adegan bintang berkerlap-kerlip yang
menuntun ketiga orang Majus menuju palungan bayi, tempat mereka
berlutut sambil membawa hadiah. Seluruh jemaat menyanyikan lagu "We
Three Kings of Orient Are", dan kebaktian pun usai.
Whitney memasuki lahan parkir di restoran dan mata saya dengan cepat
mencari mobil Dodge tua yang biasa dipakai Wendy. Kami memasuki
restoran. Lilin bulat menyala di rangkaian ranting pohon pinus yang
ada di atas meja. Lagu Natal berkumandang dari pengeras suara yang
tersembunyi. Ada di mana anak-anak perempuan saya?
Pelayan membawa kami ke meja dekat jendela. Saya sangat bersyukur
bisa melihat ke arah parkir sehingga saya bisa berhenti khawatir di
menit mobil Dodge tua memasuki tempat tersebut. Ketika mobil Wendy
benar-benar tiba, amarah, dan kelegaan bertarung berusaha menguasai
perasaan saya. Kemudian saya melihat wajah anak-anak perempuan saya
yang murung saat melirik ke arah jendela dan masuk ke dalam
restoran.
Mereka duduk di kursi yang tersedia. Saya tidak yakin ingin
mendengar penjelasan yang sebentar lagi akan saya dengar. "Bu,"
Wendy memulai percakapan, meremas serbet hijau bertuliskan "SELAMAT
NATAL", "Tadi terjadi kebakaran. Hanya kebakaran kecil di dapur,
tetapi mengakibatkan jelaga hitam."
Daftar menu makanan jatuh dari tangan saya. "Seberapa besar
jelaganya?"
Kemudian Wendy mulai menangis, raung tangisan yang sudah lama sekali
tidak pernah saya lihat selama bertahun-tahun. Ia melelehkan lilin
untuk mencabut bulu kakinya (cara mencukur yang ia tiru dari
Perancis), dan seperti kebiasaannya yang selalu terburu-buru, Wendy
berpikir sudah mematikan api di dapur, namun ternyata kenyataannya
berbeda. Itulah awalnya panci menjadi terbakar. "Paling tidak rumah
kita tidak terbakar seluruhnya," kata Laura menenangkan, melihat
secercah sinar di langit yang gelap. "Puji Tuhan, kalian semua
selamat," ujar Whitney.
"Aku benar-benar minta maaf, Bu," pinta Wendy.
Saat kami memasuki rumah, bau jelaga yang menyengat tercium dengan
jelas. Lantai bawah berantakan -- langit-langit, dinding, perabotan
rumah, dekorasi Natal, dan hiasan tentang kelahiran Kristus,
semuanya bertebaran dan penuh kotoran berwarna hitam. Jelaga
ternyata sampai ke ruangan ini, di perlengkapan makan dan peralatan
dari perak, toples bumbu masak, dan makanan kalengan. Kue pai saya
hancur berantakan. Sol sepatu kami menghitam gara-gara berjalan di
lantai yang terkena jelaga. Tangan saya pun menjadi hitam.
Di lemari es, kalender adven dengan gambar orang Majus yang melekat
di pintu terkena jelaga hitam, bintangnya sepertinya juga ikut
terbakar. Cukup bagi saya melihat kerusakan akibat kebakaran ini.
Kami beristirahat di lantai atas dan menghabiskan malam berdiam di
rumah. Tetapi, bau asap sangat terasa dan dapur benar-benar tidak
bisa digunakan, sehingga pada keesokan paginya kami terpaksa
menelantarkan rumah. Pada hari Natal.
Satu-satunya tempat yang dapat kami pakai untuk makan malam adalah
di kedai kopi sebuah hotel. Kami merasa malas memberitahu keadaan
rumah kepada teman-teman. "Sepertinya tidak ada kamar kosong di
hotel ini sekarang," komentar Whitney saat kami menyantap hamburger.
"Betul," tutur Laura menyetujui, "kurasa keadaan kita sama seperti
di Bethlehem waktu dulu." Suami saya menyeringai dan anak-anak
tertawa -- saya juga berusaha tertawa, betul-betul berusaha, namun
sulit. Rasa marah masih menguasai saya. Wendy sudah meminta maaf. Ia
merasa menyesal dan telah belajar dari kejadian tersebut, ujarnya
kepada saya. Saya katakan kepada Wendy bahwa saya telah
memaafkannya. Perusahaan asuransi membayar semua kerusakan, bahkan
biaya menginap kami di hotel sampai lantai bawah selesai dibersihkan
dan dicat kembali. Namun, di hati saya masih berkecamuk perasaan
marah yang sepertinya bertambah besar setiap kali saya berpikir
tentang Natal keluarga yang berantakan. Hancur berantakan.
Keesokan harinya, kami sekeluarga pergi untuk bermain boling.
Tetapi, saya tidak ikut. "Kamu saja yang pergi," ujar saya kepada
Whitney. "Aku perlu waktu untuk sendirian." Wendy meremas tangan
saya sesaat sebelum mereka menutup pintu kamar.
Setelah mereka pergi, saya mengambil mantel dan berjalan menuju
rumah, berpikir untuk mengambil beberapa hiasan Natal dan
membersihkannya sebisa saya. Saya perlu melakukan sesuatu.
Kabut dan gerimis menyelimuti rumah saat saya berada di tempat
parkir. Di dalam rumah, udara masih berbau asap. Sepertinya noda
2jelaga bertambah banyak. Rumah saya terasa pengap dan menyedihkan.
Saya membuat kesalahan dengan kembali ke rumah.
Saya mulai mencabut hiasan-hiasan dari pohon Natal dan menggosoknya
hingga bersih dengan kain lap. Dengan cepat, tangan saya menjadi
hitam, hidung saya dipenuhi jelaga. Apakah ini benar-benar tempat
sempurna yang sama dengan tempat saat saya dan Whitney berdiri dan
merasakan kedatangan Kristus?
Ornamen-ornamen Natal jatuh dari jemari tangan saat mata saya
dipenuhi air mata dan mengalir turun di pipi saya yang penuh
kotoran. Saya memang sudah merasakan sesuatu yang tak biasa di Natal
kali ini. Bahkan sebelum kebakaran terjadi. Anak-anak terlihat
berbeda -- lebih tua dan lesu. Tak satu pun dari mereka yang peduli
terhadap hiasan Natal yang saya persiapkan dengan hati-hati. Saya
mendekat ke sebuah kursi dan menghempaskan badan di atasnya.
Kemudian mata saya melihat ke arah "creche" (boneka Bayi Yesus di
palungan, yang biasanya dikelilingi oleh figur Maria, Yusuf, para
gembala, binatang, dan para Majus). Secara naluriah, saya meraihnya
dengan satu tangan sambil membersihkan pipi yang penuh bekas tetesan
air mata dengan tangan lainnya. Saya menarik boneka bayi Yesus dari
palungan-Nya. Boneka itu berada di telapak tangan saya, terlihat
abu-abu akibat jelaga, berantakan, sama seperti semua benda lainnya
di ruangan ini, seperti juga keluarga saya pada Natal ini. Saya
menggosokkan boneka itu di lengan baju denim tua saya. Air mata saya
turut membantu membersihkan beberapa noda kotoran. Saya menyekanya
sekali lagi dan lagi. Saya ingin paling tidak boneka ini bisa
menjadi bersih, sempurna. Akhirnya boneka Kristus ini bersinar.
Dan kemudian saya mulai merasakannya, untuk pertama kalinya
sepanjang tahun ini, semangat Natal. Luar biasa, pikir saya,
bagaimana boneka kecil ini, diseka hingga bersih, bersinar mengatasi
semua hal.
Tidak ada hiasan saat Ia turun dari surga di Natal pertama. Dunia
ini berantakan, sama sekali tidak sempurna, sama seperti saat ini.
Tapi, hal itu tidak menghalangi kasih Allah bagi kita tercurah dari
Bethlehem.
Perayaan Natal tak pernah sama. Senantiasa berubah dari tahun ke
tahun, dan tak pernah berjalan benar-benar sempurna, tak peduli
betapa besarnya usaha kita untuk membuatnya sempurna. Hal yang
sempurna adalah keajaiban yang terjadi di Bethlehem 2000 tahun yang
lalu dan kasih Allah yang terus tercurah di tengah kekacauan manusia
yang tak sempurna; Natal adalah menemukan pancaran Bayi Kristus di
tengah-tengah kehidupan yang menyesakkan.
Setelah mengucapkan doa ucapan syukur, saya dengan hati-hati
meletakkan kembali Bayi Kristus ke dalam palungan. Acara
bersih-bersih bisa menunggu untuk dilanjutkan di kemudian hari. Saya
harus menemukan Whitney dan anak-anak. Saya tahu mereka mungkin
sedang menyantap hamburger di kedai kopi hotel. Saya tak sabar
bergabung bersama mereka
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Guideposts bagi Jiwa: Kisah-Kisah Iman Natal
Judul asli buku: Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of
Faith
Penulis: Shari Smyth
Penerjemah: Mary N. Rondonuwu
Penerbit: Gospel Press, Batam 2006
Halaman: 261 -- 271
______________________________________________________________________
- POTRET WANITA
Maria: Pujian dalam Kesesakan
Diringkas oleh: Novita Yuniarti
Pada bulan keenam, Maria tiba-tiba dikunjungi oleh malaikat Gabriel
yang menyampaikan sebuah pesan Allah untuknya, bahwa ia akan
mengandung dan melahirkan seorang anak yang akan disebut sebagai
Mesias. Pesan itu sungguh sangat membingungkannya, mengingat
kondisinya saat itu belum bersuami. Namun, Maria tetap mengambil
sebuah keputusan untuk tetap taat dan memercayai perkataan Allah.
Maria sadar betul akan risiko dari keputusan yang ia ambil. Ia dapat
saja dianggap sebagai wanita yang tidak setia, wanita yang telah
mencemarkan nama baik keluarga dan agamanya, bahkan yang lebih
parah, ia dapat saja dijatuhi hukum mati. Tapi risiko-risiko ini
sama sekali tidak membuatnya mundur, melainkan sebagai hamba Tuhan,
ia tetap bersyukur dan memuji Tuhan, serta berserah kepada-Nya.
Keputusan tersebut telah mengubah seluruh perjalanan hidup Maria. Ia
"terhisap" ke dalam karya Allah untuk seluruh umat manusia. Meskipun
demikian, Maria tidak merasa dirinya orang yang hebat. Ia sadar
bahwa ia hanyalah "pengemban tugas", sementara segala pujian dan
kebesaran hanyalah menjadi milik "Sang Pemberi Tugas". Dari kisah
hidup Maria, ada satu hal yang dapat kita pelajari, yakni hidup kita
tidak selamanya berjalan seperti apa yang kita harapkan. Tidak
jarang Tuhan membelokkan arah kehidupan kita. Dalam situasi semacam
ini, apakah yang kita lakukan? Jawabannya bersikaplah seperti Maria.
Diringkas dari:
Judul buku: Penggenapan Pengharapan
Penulis: Ayub Yahya
Penerbit: BPK Gunung Mulia, Jakarta 2007
Halaman: 8 -- 14
______________________________________________________________________
- PENA WANITA
Dari: Anggriani Gabe <anggriani_gabe@>
> terima kasih redaksi e-wanita atas kiriman renungannya
> saya tunggu renungan berikutnya
> Tuhan Yesus memberkati
Dari: Rita Silaban <rita_silaban@>
> Dear Redaksi,
> Terima kasih atas welcome letter nya. Saya suda menerima Edisi
> Perdana nya. Semoga dgn hadirnya E-Wanita, banyak wanita dan
> keluarganya diberkati Tuhan. Amen
> Salam
> Rita
Dari: Erna L. Kusoy <elkusoy@>
> Dear redaksi,
> Saya ucapkan terima kasih atas email ibu dan memnberitahukan bahwa
> publikasi perdana Wanita sudah sampai dan pasti saya akan
> menikmatinya.
> Banyak terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan perhatian anda.
> Have a wonderful day.
> Warm regards,
> Erna L. Kusoy
Redaksi:
Kami juga mengucapkan terima kasih atas e-mail yang telah dikirimkan
oleh Sahabat-Sahabat Wanita sekalian. Hal ini benar-benar menjadi
motivasi dan penguatan bagi redaksi untuk bekerja lebih giat lagi.
Kami bersukacita karena edisi wanita ini bisa menjadi berkat bagi
Sahabat Wanita. Ayo, perkenalkan e-Wanita pada teman atau saudara
Sahabat Wanita yang lain, agar makin banyak wanita-wanita Kristen
Indonesia yang ikut diberkati. Jika ingin mengirimkan alamat e-mail
rekan-rekan Anda agar dapat kami daftarkan untuk menjadi pelanggan
e-Wanita, silakan kirimkan ke: ==> wanita(at)sabda.org
Melalui alamat di atas pula, kami mengundang Sahabat Wanita
memberikan saran maupun kritik untuk pengembangan e-Wanita
selanjutnya. Terima kasih.
______________________________________________________________________
- EDISI BERIKUTNYA
Sahabat Wanita yang setia jangan lupa membaca edisi e-Wanita bulan
Januari dengan tema Tahun Baru. Adapun topiknya adalah:
- e-Wanita 03: Harapan Baru dalam Kristus
- e-Wanita 04: Menjadi Intim dengan Tuhan
Kami juga mengajak Sahabat Wanita sekalian untuk mengirimkan cerita,
kesaksian, dan pokok doa. E-mail Anda akan kami publikasikan setiap
bulannya melalui kolom Surat Anda, supaya menjadi berkat bagi orang
lain. Kami tunggu e-mail Anda di meja redaksi yang beralamat di:
==> wanita(at)sabda.org
Selamat melayani, Tuhan memberkati!
______________________________________________________________________
Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan kepada redaksi:
<wanita(at)sabda.org> atau <owner-i-kan-wanita(at)hub.xc.org>
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Yohanna Prita Amelia
Staf Redaksi: Novita Yuniarti dan Christiana Ratri Yuliani
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) e-Wanita 2008 -- YLSA
http://www.ylsa.org/ ~~ http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________
Anda terdaftar dengan alamat email: $subst(`Recip.EmailAddr`)
Alamat berlangganan: <subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org>
Alamat berhenti: <unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org>
Arsip e-Wanita: http://www.sabda.org/publikasi/e-wanita/
______________MILIS PUBLIKASI WANITA KRISTEN INDONESIA________________
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |