Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/92

e-Reformed edisi 92 (15-10-2007)

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi


Salam,

Reformasi abad ke-16 yang dimotori oleh Martin Luther adalah momentum 
Illahi. Sebuah gerakan pembaharuan rohani yang muncul tepat pada 
puncak penduniawian gereja oleh Katolik Roma. Momen ini dapat 
ditafsirkan sebagai sejarah yang terulang sejak Reformasi Ezra dan 
Nehemia dalam sejarah umat Allah untuk pemurnian umat.

Dipublikasikannya 95 Tesis sebagai data akurat dan tidak terbantahkan 
yang disusun oleh Martin Luther untuk menunjukkan bukti penyimpangan 
ajaran dan korupsi gereja Katolik Roma di gerbang gereja Wittenburg 
adalah titik penentu keefektifan Reformasi ini. Efektivitas Reformasi 
yang terutama adalah revitalisasi religiusitas dan teologis. Reformasi 
adalah awal babak baru pemurnian iman dan pengajaran dalam gereja 
Tuhan dan menjadi penentu arah perkembangan teologi dan pengajaran di 
kemudian hari.

Calvin, penerus Luther, adalah salah seorang reformator yang mampu 
menafsirkan gerakan itu sebagai momen yang mampu merevitalisasi 
kehidupan religius dan teologia pada zamannya dan berefek sampai hari 
ini. Baginya, kebenaran ajaran dan teologi gereja ditentukan dan 
didasarkan pada Alkitab dan interpretasinya yang benar. Prinsip Sola 
Scriptura adalah penentu keberhasilan Reformasi. Dari prinsip ini akan 
ditemui prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti Sola Gratia dan 
Sola Fide, termasuk Sola Gloria.

Tugas Calvin, khususnya sebagai penafsir Alkitab, telah berhasil 
membawa Reformasi keluar dari mistikisme gereja; corak dominan 
pengajaran dan teologia gereja abad pertengahan, dengan cara menolak 
interpretasi Alkitab secara alegoris. Sebaliknya, Calvin, secara 
realistis sanggup memadukan doktrin dan mengajarkannya dari sudut 
pandang pembinaan untuk warga jemaat secara sistematis dan alkitabiah. 
Calvin mampu mengajarkan kemuliaan Allah berdasarkan kebutuhan rohani 
pada zamannya yang secara esensi tidak bisa dilepaskan dari prinsip 
Alkitab. Gerakan Reformasi itu sangat biblikal karena menekankan 
pentingnya penafsiran Alkitab secara literal dan historis.

Alkitab adalah dasar Reformasi dan kedaulatan Allah adalah segala-
galanya. Karena Reformasi sangat menekankan Alkitab dan kedaulatan 
Allah sebagai pusat teologi, maka pada era-era sekarang, teologi 
Reformasi cenderung menjadi "tolok ukur" untuk menguji teologia-
teologia lainnya. Teologi Reformasi "mampu mengukur" konsistensi dan 
ketepatan, sekaligus mendeteksi penyimpangan berbagai aliran teologi. 
Dari sinilah prinsip Calvin, "Speak where the Scriptures speak; be 
silent where they are silent" menjadi terkenal. Bagi Calvin, Alkitab 
dan Allah tidak dapat dipisahkan dalam pengajaran dan teologia 
alkitabiah. Inilah salah satu warisan Reformasi yang sangat 
berpengaruh sampai saat ini di samping warisan-warisan besar lainnya.

Untuk memperingati Hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati 
tanggal 31 Oktober 2007 nanti, dan juga untuk mengingat kembali 
efektivitas gerakan Reformasi abad ke-16 yang lalu dan menguji kembali 
apakah kebenaran yang telah ditegakkan oleh para reformator, khususnya 
Calvin, tentang pentingnya Alkitab sebagai sumber final pengajaran dan 
teologi itu masih relevan, maka, tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito di 
bawah ini mencoba menganalisa kesinambungan esensi dan relevansi 
gerakan tersebut dalam pengajaran iman dan teologi Kristen hari ini.

Selamat memperingati Hari Reformasi Gereja!

Sola Gratia,
Riwon Alfrey

======================================================================

                ESENSI DAN RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI
                ======================================

PENDAHULUAN

Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada 
peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun saat itu Martin Luther --
juga kemudian John Calvin -- menentang ajaran gereja Katolik Roma, 
mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan Reformasi 
itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali 
kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan 
dibangunkan agar berpaling pada "raison d`etre" dan vitalitasnya di 
bawah terang Injil.

Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki 
"gudang" penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang-
orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi 
keselamatan mereka. Itulah sebabnya, bagi mereka yang kekurangan 
anugerah, gereja sebagai sumber dapat menyalurkannya. Dari konsep 
pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang "surat penghapusan 
siksa" (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus 
IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan 
itu dapat ditransferkan kepada orang Kristen yang jiwanya "tersangkut" 
dalam purgatori atau (tempat) api penyucian.

Karena itulah, pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau 
keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan 
keberatan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan kepada 
penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan 
"surat penghapusan siksa" di mana seakan-akan pengampunan dosa itu 
sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, 
tujuan Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya ialah 
mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen.

Memang secara umum, istilah "reformasi" menunjuk pada adanya suatu 
penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu 
usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, 
terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, 
Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa 
pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan 
kembali untuk menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja 
Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang 
korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar 
(ay. 21-23).

Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf "r" kapital) menunjuk 
pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda 
dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau 
dihidupkan kembali agar kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu 
Allah dan firman-Nya. Jadi, Reformasi terhadap gereja pada abad 16 
merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a 
revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial 
itu tetap dipelihara. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan 
sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja 
yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja 
yang ada saat itu (gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian 
tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang 
rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan 
sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi 
abad 16 itu bukanlah faktor yang utama karena asal-usul dan maksud 
Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis.

Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi 
yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, 
Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan 
lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari 
esensi pemikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi 
Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan 
iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih 
banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509 -- 1564) 
tentang esensi Reformasi itu sendiri karena di dalam pemikiran 
Calvinlah kita dapat menemukan pemikiran dasar teologi Reformasi dalam 
struktur yang lebih mendalam dan sistematis.

ESENSI TEOLOGI REFORMASI

Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang 
dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata 
ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila 
dilihat dari karyanya yang agung seperti "Institutes of the Christian 
Religion",[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, tampaknya 
tidak ada seorang reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang 
sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa 
"iri" kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (tahun 1536) telah 
menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3]

Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang 
aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis (zaman sekarang, 
di belakang meja komputer) dan menjadi seorang "scholar" yang 
nongkrong di atas "menara gading." Perkiraan seperti itu benar-benar 
keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang 
melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan 
menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan 
untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di 
dalam edisi perdana dari "Institutio"-nya bahwa karya tersebut 
ditujukan "terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di 
antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku 
ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana 
dan elementer." Di dalam karya tersebut kita melihat catatan-catatan 
yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di 
rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya, 
tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva 
menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi.

Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu 
per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari 
satu sisi, seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas 
Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi 
yang berbeda orang yang lain dapat menekankan keajaiban kasih karunia 
(sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). 
Dari sisi yang lebih spesifik, bisa saja orang yang lain lagi 
membicarakan epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang 
keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang "covenant", 
predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan 
seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu 
per satu, tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau 
menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa 
esensi atau "benang merah" dari Reformasi itu sendiri tidak bisa 
dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the 
Scriptural principle).[5]

Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas siapa Allah, siapa manusia, 
dan kaitan antara kedua tema itu. "True knowledge of man is 
unattainable without knowledge of the living God."[6] Namun, ia 
senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. 
Singkatnya, "worldview" dan "lifeview"-nya selalu memiliki referensi 
yang tepat di dalam Alkitab. Sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan 
teolog, ia selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. "Holy 
Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing 
.... "[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata 
pertama-tama adalah seorang "biblical theologian", oleh karena ia 
memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang 
berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab.

Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari 
teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, 
dan memolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab 
yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab 
dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen 
katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang 
Allah. Oleh karena itu, di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus 
sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas 
dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas 
dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Itulah 
sebabnya, Calvin kerap mengutip Ulangan 29:29 di dalam karyanya.

Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya 
tersebut membuat Calvin "tertawan" pada pikiran bahwa Alkitablah satu-
satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan 
kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, 
simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu 
dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidak terlalu 
berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi 
neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya 
karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua 
kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, 
esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin.

Sedangkan bagi kalangan yang "gemar" berglosolalia, menikmati 
penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, 
dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam 
Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah "pelengkap 
penderita" atau "catatan kaki" bagi usaha pelegitimasian atau 
pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab 
sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut.

Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan 
terhadap prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab ialah 
sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, 
"message" atau berita dari berita Injil hanya dapat ditemukan di dalam 
atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apa pun yang Allah 
ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti 
keselamatan), arti sesungguhnya hanya ditemukan di dalam Alkitab. 
Karena itulah, di dalam seluruh "Institutio"-nya ia menulis dengan dua 
tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh 
bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia 
menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata 
pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil 
diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara 
sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak 
mengherankan, sebab "Institutio" bukan karya yang ia tujukan bagi para 
teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan 
untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen.

Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya 
bagian tertentu dari Alkitab saja yang menjadi otoritas iman Kristen. 
Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), kanon 
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ialah firman Allah yang utuh.[9] 
Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, 
Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan 
pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin 
adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, 
ia menegaskan berulang-ulang: "Speak where the Scriptures speak; be 
silent where they are silent."[11] Sungguh, zaman sekarang ini banyak 
aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas.

Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar-
mandir ke surga. Yang lain, sepertinya tidak ingin kalah dengan 
pengalaman tersebut, menceritakan tentang "darmawisata"-nya ke neraka. 
Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman hebat-
hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman itu sudah atau 
berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi 
seakan-akan menegaskan proposisi ini: "Dengarlah, taatilah Alkitab, 
dan hindarkan spekulasi." Dengan demikian, prinsip tersebut 
menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), 
dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] 
Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, Alkitab 
harus menjadi satu-satunya sumber di dalam pengajaran iman Kristen dan 
satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen.

Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin 
menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara 
apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak 
ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya 
menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana 
seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, ia akan menjawab 
dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan 
kristosentris. "First then, we must hold that Christ cannot be 
properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it 
follows that the Scriptures should be read with the aim of finding 
Christ in them."[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan 
kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus tidak 
dapat dipisahkan.

Jadi dapat disimpulkan, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di 
zaman modern ini, pengakuan dan disposisi Calvin tersebut harus tetap 
berlaku. Esensi pengajarannya adalah: gereja tidak boleh mengabaikan, 
apalagi membuang, pengajaran Alkitab karena Alkitab merupakan otoritas 
satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan 
itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juru Selamat satu-
satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka pada waktu seseorang 
menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari 
Kristus.

RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI

Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah 
seorang teolog yang berbicara "di atas angin," melainkan ia pertama-
tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat "down 
to earth" (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling 
pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja 
harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para 
anggotanya persis seperti yang pernah dilakukan oleh Calvin sendiri 
karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang 
serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat.

Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang 
memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan 
dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah 
pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas 
katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih 
jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, 
lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui 
literatur Kristen.[14] Dengan demikian, "Christian scholarship" 
seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke 
segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah 
dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman 
Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. 
Van Til, Pierre Marcel, dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri 
serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada 
tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah 
yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang.

Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, 
tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan 
penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Karena 
kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang 
bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah 
menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkat dan 
seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan 
bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi 
Reformasi. Hanya pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu 
(penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) 
tetap mendapatkan prioritas utama di dalam agenda pelayanan gereja? 
Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia 
yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas 
bergerejanya.

Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas ialah, selain 
pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi 
sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, 
pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia 
yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang 
menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi 
Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan 
ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi-
terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan 
ajaran Alkitab yang adalah firman Allah, gereja tersebut akan 
mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap 
firman Allah.

Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukan menekankan pemberitaan 
kerugma saja, tetapi juga memberi penekanan yang benar tentang 
tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] 
Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang 
diaken adalah untuk maksud seperti itu, yakni untuk menjadi 
administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang 
yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinan 
tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, 
ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab harus bergema di dalam 
setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni 
dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam 
dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan 
Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar 
dunia mengenal, menjalani hidup, dan mempraktikkan kasih karunia Allah 
yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja 
Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman 
kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati 
dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab.

PENUTUP

Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di 
dalamnya, tampaknya sedang mengalami keguncangan karena manusia lebih 
cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Cukup banyak orang 
Kristen dan gereja cenderung meninggalkan paham dan tradisi lama yang 
kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan 
zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, -isme, dan 
keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih daripada 
itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis 
sifatnya dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia 
modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup 
secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit 
penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru.

Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan 
pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan 
gereja yang berbobot sangat esensial serta menentukan sekali untuk 
memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa 
angin pengajaran yang palsu. Itu sebabnya, pandangan dari teologi 
Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk 
pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah 
sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin tentang kehidupan 
Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan 
melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami 
kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini.


Footnote: --------- *Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku 
"Perjuangan Menantang Zaman" (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed 
Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed 
Institute Press tanggal 5 Juni 2001.

1. Untuk melihat ringkasan sejarah Reformasi, lih. J. E. McGoldrick,    
   "Three Principles of Protestantism," Reformation & Revival Journal 
   1/1 (Winter 1992) 13-15; W Stevenson, The Story of the Reformation 
   (Richmond: John Knox, 1959) 29-49; H. J. Hillerbrand, The 
   Protestant Reformation (NY: Harper Torchbooks, 1968) xi-xxvii. 
   Mengenai Luther dan sejarah hidupnya, lih. H. A. Oberman Luther: 
   Man Between God and the Devil (New Haven: York University Press, 
   1982) 3-206; M. Brecht, Martin Luther: His Road to Reformation 
   1483-1521 (Minneapolis: Fortress, 1985).

2. Calvin: Institutes of the Christian Religion (ed. J. T McNeill; 
   LCC, 2 vols.; Philadelphia: Westminster, 1960).

3. Lih. pujian dan deskripsi terhadap Institutio oleh W Cunningham, 
   The Reformers and the Theology of the Reformation (Edinburgh: Banner 
   of Truth, 1989) 294-296.

4. Menurut J. L. Mays, ketika menuliskan tafsiran Mazmur pun, Calvin    
   menulisnya guna kepentingan jemaat Tuhan, bukan untuk para scholars 
   ("Calvin`s Commentary on the Psalms: The Preface as Introduction" 
   dalam John Calvin and the Church: A Prism of Reform [ed. T George; 
   Louisville: Westminster/John Knox, 1990] 197).

5. Istilah ini diadopsi dari artikel F. H. Klooster, "The Uniqueness 
   of Reformed Theology," Calvin Theological Journal 14/1 (April 1979) 
   39; bdk. J. F. Peter, "The Place of Tradition in Reformed 
   Theology," Scottish Journal of Theology 18/3 (1965) 294-307. (Dalam 
   beberapa segi pemikiran dasar untuk artikel ini penulis berhutang 
   banyak pada kedua tulisan tersebut.) Perlu dicatat bahwa istilah 
   "the Scriptural principle" di atas berbeda pengertiannya dengan K. 
   Barth ("The Scripture Principle" dalam The Gottingen Dogmatics: 
   Instruction in the Christian Religion [Grand Rapids: Eerdmans, 
   1991] I: 201-226).

6. J. D. Gort, "The Contours of the Reformed Understanding of 
   Christian Mission," Calvin Theological Journal 15/1 (April 1980) 49.

7. Dikutip dari J. H Leith, Introduction to the Reformed Tradition 
   (Atlanta: John Knox, 1977) 101.

8. Institutes 4, Intro. ix; bdk. pendapat R. C. Gamble, "Exposition    
   and Method in Calvin," Westminster Theological Journal 49 (1987) 
   153- 165, khususnya kesimpulan h. 164.

9. Menurut D. H. Kelsey (The Uses of Scripture in Recent Theology    
   [Philadelphia: Fortress, 1975]), hampir setiap teolog Protestan 
   modern (seperti B. B. Warfield, K. Barth, R. Bultmann, P. Tillich) 
   selalu ingin menyesuaikan teologinya dengan isi Alkitab dalam 
   batas-batas tertentu; tetapi menurut Kelsey, masing-masing dari 
   mereka hanya menampilkan aspek tertentu saja dari Alkitab yang 
   dianggap berotoritas; jadi, bukan Alkitab secara menyeluruh.

10. Leith, Introduction 103.

11. Dikutip dari Klooster, "The Uniqueness", 39.

12. Istilah H. Thielicke, The Evangelical Faith (Grand Rapids: 
    Eerdmans, 1977) 1:27.

13. J. Calvin, The Gospel According to St. John 1-10 (repr. ed.; Grand     
    Rapids: Eerdmans, 1961) 139, yaitu tafsiran terhadap Yoh. 5:39; 
    lih. juga K. Runia, "The Hermeneutics of the Reformers," Calvin 
    Theological Journal 19/2 (November 1984) 144; dan W Niesel, The 
    Theology of Calvin (Philadelphia: Westminster, 1956) 27. Sama 
    dengan hal itu, Calvin juga menegaskan bahwa Alkitab harus menjadi 
    otoritas yang manunggal dengan kehidupan gereja. Hal ini bukan 
    hanya bertalian dengan pemberitaan gereja semata-mata, tetapi juga 
    bersangkutan dengan seluruh aspek kehidupan dan pelayanan gereja.

14. Lih. juga penekanan yang mirip dengan di atas dari D. K. McKim,     
    "Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society," 
    Reformed World 38/8 (1985) 405-421; bdk. D. H. Bouma "Sociological 
    Implications for Reformed Christianity," Reformed Review 2/2 
    (1966) 50-63; O. Fourie, "Thinking Biblically; Education: Whose 
    Responsibility?," Calvinism Today 3/1 (January 1993) 24-29; R. S. 
    Wallace, Calvin, Geneva and the Reformation: A Study of Calvin as 
    Social Reformer, Churchman, Pastor and Theologian (Grand Rapids: 
    Baker, 1988) 131-218; E. H. Harbison, "Calvin" dalam The Christian 
    Scholar in the Age of the Reformation (New York: Charles 
    Scribner`s Sons, 1956) 145-146.

15. Perh. himbauan dari K. Runia, "Evangelical Responsibility in A     
    Secularized World," Christianity Today 14/19 (1970) 851-854; bdk. 
    P. F. Scotchmer, "Reformed Foundations for Social Concern," 
    Westminster Theological Journal 40/2 (1978) 318-349; W. J. 
    Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (NY: Oxford 
    University Press, 1988) 191- 203, dan R. M. Kingdon, "Calvinism 
    and Social Welfare," Calvin Theological Journal 17/2 (November 
    1982) 212-230.

16. Ketuhanan Kristus dalam gereja Reformasi bukan hanya menuntut     
    gereja terus-menerus diperbarui secara internal (ecclesia 
    reformata semper reformanda), melainkan juga memperbarui 
    masyarakat dunia dan kebudayaan (sempersocietas reformanda); lih. 
    J. Verkuyl, Theology of Transformation, or Towards a Political 
    Theology (Johannesburg: The Christian Institute of Southern 
    Africa, 1973) 2.

======================================================================
Diambil dari:
Judul majalah: Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan (Vol. 2 No. 2)
Judul artikel: Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi
Penulis      : Daniel Lucas Lukito
Halaman      : 149 -- 157

------------------------- ><> e-Reformed <>< -------------------------
Anda terdaftar dengan alamat: $subst(`Recip.EmailAddr`)
Kontak Redaksi : < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti : < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
><>  e-Reformed -------------------------------------- e-Reformed  <><

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org