Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/69

e-Reformed edisi 69 (2-1-2006)

Firman Menjadi Daging (1)

  "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
  (Yohanes 1:14)

SAYA telah menikah selama lebih dari seperempat abad. Allah telah
memberikan kepada saya seorang istri yang saleh yang karakternya lebih
baik dari pada saya. Luella dan saya menikmati hubungan yang indah
dalam berbagai hal. Kami dibesarkan dalam keluarga Kristen dimana kami
diajarkan kebenaran sejak kecil. Kami berdua mengenal Kristus ketika
masih anak-anak dan dididik di perguruan tinggi Kristen. Kami telah
mempergunakan waktu kami untuk pelayanan dan telah diberkati dengan
pengajaran alkitabiah yang baik. Kami telah bekerja keras untuk
mengikuti rancangan Kristus bagi pernikahan kami.

Kami menghabiskan waktu bersama-sama setiap minggu di luar rumah untuk
membicarakan hal-hal yang perlu didiskusikan. Selama bertahun-tahun
kami telah mencoba untuk mengadakan ibadah keluarga setiap hari.
Namun, saya mengakui bahwa sekalipun dengan semuanya itu, sampai saat
saya mempersiapkan buku ini, kami tidak bebas dari kesulitan dalam
komunikasi kami. Saya tidak mengatakan bahwa kami menjerit dan
berteriak. Kami tidak selalu marah-marah dan bersitegang urat leher
satu sama lain. Tetapi kami tidak perlu melihat terlalu jauh untuk
menemukan dosa dalam percakapan kami. Dosa itu mungkin adalah
perkataan yang diucapkan terburu-buru dan tanpa pikir panjang, kata-
kata kekesalan, tuduhan yang terlalu cepat, tuntutan atau komentar
yang mementingkan diri sendiri, kalimat "Kan sudah saya bilang,"
sementara yang diperlukan sebenarnya adalah kata-kata penghiburan dan
pemberi semangat. Dosa itu mungkin juga berupa jawaban yang tidak
sabar, saat-saat mengorek detail yang tidak perlu, komentar yang
bernada membenarkan diri atau mengasihani diri, atau situasi dimana
dosa masa lalu diungkit kembali.

Sekalipun dengan semua ajaran Alkitab yang telah kami terima, dengan
semua komitmen pribadi dan usaha-usaha praktis kami, dengan semua
permohonan pengampunan kami dan doa kami meminta pertolongan, sebagai
pasangan kami masih bermasalah dengan percakapan kami. Begitulah
besarnya kebutuhan kami! Begitulah dalamnya persoalan kami!

KECENDERUNGAN KITA UNTUK LUPA

Ketika saya mengunjungi toko buku Kristen, kadang saya merasa heran
apakah kita telah melupakan persoalan kita yang sesungguhnya. Apakah
kita benar-benar merasa bahwa kita bisa menyelesaikan persoalan
komunikasi yang kronis dengan pengertian manusia dan teknik yang
pintar? Apakah kita telah melupakan bahwa masalah komunikasi
menunjukkan masalah yang jauh lebih mendalam dan tingkatan yang lebih
mendasar? Jika kita tidak mengatasi masalah yang lebih mendalam ini,
kita tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan komunikasi kita
sehari-hari. Jika yang kita perlukan hanyalah pengetahuan dan
ketrampilan, Luella dan saya sudah menyelesaikan persoalan pembicaraan
kami jauh sebelumnya. Tetapi kami membutuhkan sesuatu yang lebih
mendalam daripada teknik, ketrampilan, dan pengetahuan. Kebutuhan yang
mendalam ini ditunjukkan setiap hari ketika kami berkomunikasi.

Baru-baru ini saya memperhatikan dua anak laki-laki saya yang sedang
bertengkar. Ini bukan sesuatu yang baru; usia mereka terpaut dua tahun
dan telah sering bertengkar. Sebenarnya, pertengkaran ini adalah
pertengkaran yang telah sering mereka alami sebelumnya. Tetapi, sekali
ini pertengkaran mereka menarik perhatian saya. Kata-kata mereka penuh
dengan tuduhan. Nada bicara mereka penuh kemarahan. Tidak ada di
antara mereka yang berhenti untuk mendengarkan pada saat berondongan
perkataan mereka meningkat dan volume suara mereka meninggi. Tidak
begitu lama kemudian mereka telah meninggalkan masalah yang mereka
hadapi dan saling melemparkan luka masa lalu. Mereka berdua berbicara
dengan penuh rasa sakit, frustrasi dan kemarahan, ketidaksabaran dan
kecemburuan. Mereka tidak berbicara untuk menyelesaikan persoalan atau
mendengar untuk memahami. Kata-kata mereka hanyalah senjata dalam
peperangan. Masing-masing dari mereka ingin membungkam lawannya dan
menang. Kalimat-kalimat mereka penuh dengan "kamu selalu" dan "kamu
tidak pernah". Mereka berdua berdiri di sana, terbungkus oleh jubah
perasaan benar sendiri, merasa cukup beralasan untuk menuduh yang
lain. Dan sekalipun mereka terus mengeluarkan keluhan mereka, mereka
berdua mengkomunikasikan keyakinan mereka bahwa mereka hanya sedang
membuang-buang waktu. Mereka merasa yakin bahwa lawannya tidak akan
pernah "memahaminya".

Ketika saya mendengarkan itu, dua pikiran muncul dan menarik perhatian
saya. Yang PERTAMA adalah bahwa saya tidak ingin mengatasi "perang"
ini sebagai hal pertama di pagi hari. Tetapi pikiran yang KEDUA lebih
teologis dan lebih mencengkeram. Saya menyadari bahwa saya tidak
pernah mengajar kedua anak laki-laki saya bagaimana bertengkar dan
berkelahi. Saya tidak pernah mengajar mereka bagaimana melukai satu
sama lain dengan kata-kata. Saya tidak pernah mengkuliahi mereka
tentang saat yang tepat untuk melemparkan catatan kesalahan pada orang
lain. Saya tidak pernah mencoba mengajari mereka ketrampilan menuduh
dan mengutuk. Tetapi anak-anak saya berduel dengan percaya diri dan
trampil. Mereka memiliki bakat yang alamiah untuk memakai kata-kata
persis seperti apa yang diinginkan hati mereka yang marah.

Ketika saya mulai campur tangan, hati saya penuh dengan kesedihan.
Saya dapat menghentikan pertengkaran itu, tetapi saya tidak dapat
mengubah apa yang benar-benar membutuhkan perubahan. Lagi pula, saya
menyadari sepenuhnya bahwa apa yang perlu diubah di dalam diri mereka
masih perlu diubah di dalam diri saya! Di rumah kami, jarang ada
beberapa jam (apalagi sehari penuh) yang berlalu tanpa konflik dalam
bentuk apa pun! (Dan, percaya atau tidak, kami memiliki keluarga yang
lumayan baik.) Betapa dalamnya kebutuhan kami! Saya berbicara kepada
anak-anak saya pagi itu dengan air mata, karena sekali itu saya lebih
dikuasai oleh beratnya kebutuhan rohani kami daripada oleh frustrasi
saya yang timbul karena pertengkaran kecil yang harus diselesaikan.

Mungkin Anda sedang berpikir apakah anak-anak saya akan mendapat
manfaat dengan mempelajari teknik komunikasi yang lebih baik atau
kejelian untuk mengenal tempat dan momen yang lebih baik. Tidak
diragukan lagi mereka akan mendapat manfaatnya. Tetapi, perang
perkataan pagi itu lebih dalam lagi sifatnya. Yang ditunjukkan adalah
kebutuhan rohani yang mendalam, yang tidak dapat dipuaskan dengan
beberapa prinsip komunikasi yang baik.

KEDATANGAN SANG FIRMAN

Bagaimana Allah, Sang Pembicara Agung, memenuhi kebutuhan kita dalam
bidang ini? Dia tidak menuntut kita untuk mencapai standar-Nya dengan
kekuatan kita. Tidak, Dia mengutus Anak-Nya, Sang Firman, untuk
menjadi daging, lalu hidup sebagai manusia dan menjadi yang paling
mulia dari seluruh wahyu Allah kepada kita! Firman itu telah menjadi
daging. Dengarkanlah perkataan Yohanes.

    Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah
    dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan
    Allah.

    Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu
    pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia
    ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu
    bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya
    ...

    Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi
    dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya,
    tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi
    semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi
    anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-
    orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan
    pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan
    dari Allah.

    Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan
    kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan
    kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan
    kebenaran.

    ... Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih
    karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh
    Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus
    Kristus. Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak
    Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-
    Nya. (Yohanes 1:1-5, 10-14, 16-18)

Renungkanlah. Allah yang menciptakan perkataan dan menciptakan dunia
ini dengan berfirman, Allah yang memakai perkataan manusia untuk
menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya sepanjang zaman, datang ke dunia-
Nya sebagai Firman, kepada manusia yang telah meninggalkan-Nya. Dia
bukan hanya Pemberita kebenaran, Dia adalah Kebenaran, dan hanya di
dalam Dia ada harapan bagi kita. Hanya di dalam Firman kita menemukan
harapan untuk membereskan perang dengan kata-kata dan kembali
berbicara menurut contoh dan rancangan Pencipta kita. Firman itu telah
menjadi daging karena tidak ada jalan lain untuk mengoreksi kerusakan
di dalam diri kita.

Kenyataan bahwa Firman datang dalam daging memberi tahu kita akan
sesuatu yang sangat penting mengenai kesulitan kita dalam hal
pembicaraan: Persoalan kita pada dasarnya bukan persoalan
ketidaktahuan atau tidak adanya ketrampilan. Ingatlah perkataan
Yakobus: "Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-
binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan
telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang
berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak
terkuasai, dan penuh racun yang mematikan" (Yakobus 3:7-8). Maksud
Yakobus adalah bahwa masalah komunikasi kita tidak dapat diselesaikan
dengan cara manusia yang lazim. Perubahan pada lokasi, situasi,
pendidikan, pelatihan, dan pengulangan, atau sifat dari hubungannya
tidak akan menyelesaikan masalah. Lidah itu tidak dapat dijinakkan
secara manusiawi! Ia adalah sesuatu yang berkuasa, buas, dan tidak
terkuasai yang membuat kita semua kebingungan.

PERANG DI BALIK PERANG DENGAN KATA-KATA

Di sini ada satu pengamatan alkitabiah yang mendasar yang perlu kita
kemukakan: Firman tidak akan datang ke dunia kita kalau pergumulan
kita pada dasarnya adalah pergumulan darah dan daging. Masalah kata-
kata kita adalah masalah kerohanian yang sangat kental, masalah hati
manusia. Mungkin Anda adalah seorang istri yang sangat dilukai oleh
cara suami Anda berkomunikasi dengan Anda. Atau, mungkin Anda adalah
seorang remaja, dan sulit untuk tidak merasa terkutuk oleh cara
orangtua berbicara kepada Anda. Mungkin Anda adalah seorang suami yang
merasa getir karena kurangnya penghormatan yang diberikan oleh
keluarga kepada Anda. Masing-masing kita pernah secara pribadi dilukai
oleh kata-kata orang lain, dan masing-masing kita pernah mengucapkan
kata-kata yang telah menyengat orang lain. Oleh sebab itu, penting
bagi kita untuk mengakui bahwa perang dengan kata-kata sebenarnya
adalah buah dari perang yang lebih besar dan lebih mendasar. Perang
ini adalah perang dari segala perang; ini adalah masalah kehidupan.
Paulus menunjuk kepada perang ini di Efesus 6:12 ketika dia
mengatakan, "Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging,
tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa,
melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat
di udara."

Di Efesus 4 Paulus berbicara panjang lebar tentang percakapan di dalam
tubuh Kristus. Dia menyerukan, "Hendaklah kamu selalu rendah hati,
lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling
membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai
sejahtera ... dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih
... buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain,
karena kita adalah sesama anggota." Dia mengatakan, "Apabila kamu
menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari
terbenam, sebelum padam amarahmu." Dia memberi dorongan kepada kita,
"Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah
perkataan yang baik untuk membangun." Dia mengatakan, "Segala
kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah
dibuang dari antara kamu, demikian juga segala kejahatan, hendaklah
kamu ramah seorang terhadap lain, penuh kasih mesra dan saling
mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."
Dalam Efesus 5 dan 6, Paulus menerapkan prinsip-prinsip ini kepada
gereja, rumah tangga, dan dunia di luar.

Anda tidak dapat membaca apa yang telah dikatakan Paulus tanpa merasa
terkesan oleh kedalaman dan jangkauan dari perintah-perintah ini.
Mungkin ketika Anda membaca, Anda berpikir, Paulus, Anda pasti
bercanda! Pembicaraan yang selalu rendah hati dan lemah lembut di
rumah kami? Tidak mungkin! Komunikasi yang bebas dari segala kemarahan
dan kejahatan? Itu akan menjadi hari yang penuh keajaiban! Namun, ini
adalah seruan Paulus kepada kita. Dan perintah-perintah ini
dimaksudkan untuk menolong kiħa.

Anda berkata, "Perintah-perintah ini tidak membantu saya -- malahan
meninggalkan saya dalam keadaan putus harapan!" Tetapi, mungkin ini
adalah masalahnya. Ketika Anda menghadapi standar Allah yang tinggi
bagi kata-kata kita dan melihat betapa jauhnya kejatuhan kita dari
standar itu, Anda dibuat untuk mengakui dua hal yang merupakan fokus
dari bab ini. Pertama-tama, Anda dan saya segera dihadapkan dengan
kenyataan bahwa kita menghadapi masalah yang menyedihkan dalam
komunikasi kita, masalah yang jauh lebih mendasar daripada
ketrampilan, teknik, dan perbendaharaan kata. Fakta kedua berasal dari
yang pertama: Oleh karena kebutuhan kita lebih mendalam daripada
teknik, kita memerlukan lebih daripada sekadar kelas latihan atau
seperangkat ketrampilan yang baru. Kita memerlukan pertolongan yang
hanya dapat diberikan Yesus, Firman yang hidup dan Penebus kita.

Oleh sebab itu, ketika usaha terbaik kita untuk memenangkan perang
dengan kata-kata gagal, kita menjumpai harapan terbesar. Tetapi, bukan
di dalam diri atau potensi kita, melainkan di dalam diri Sang Firman
dan penyertaan-Nya, kuasa-Nya, dan janji-Nya. Karena Kristus telah
datang untuk hidup, mati, dan dibangkitkan bagi kita, ada harapan bagi
kita untuk berbicara menurut rancangan Allah.

KEHIDUPAN ADALAH PEPERANGAN

Dengan demikian, kata-kata Paulus di Efesus 6:12 adalah paling
praktis. Ketika Paulus menulis tentang peperangan rohani di akhir
surat ini, dia tidak mengganti topik; tetapi merangkum apa yang telah
dia katakan sebelumnya (termasuk apa yang telah dia katakan tentang
komunikasi). Paulus sangat antusias agar kita menyadari bahwa
kehidupan adalah peperangan, bukan dengan orang lain, melainkan dengan
roh-roh jahat di udara!

Kehidupan adalah peperangan. Suatu konflik yang dramatis sedang
berlangsung antara kekuatan dari Sang Pembicara Agung dan Penipu
Besar. Sementara Allah mencoba memperdalam akar kita di dalam
kehidupan, damai sejahtera, dan kebenaran-Nya, Iblis mencoba mencabut
kita dari semua itu dengan rencana yang menipu, dusta yang pintar, dan
jebakan yang jahat. Seperti semua peperangan, peperangan ini juga
untuk merebut kendali. Ini adalah peperangan untuk merebut hati kita.
Dan jika peperangan rohani ini tidak terjadi, maka tidak akan ada
perang dengan kata-kata.

Ini memperkuat pemahaman kita akan Injil, yaitu tentang mengapa Yesus
perlu datang. Yesus, Firman yang hidup, datang sebagai Wahyu dan
Penebus sehingga kita memiliki apa yang kita perlukan untuk teguh
berdiri di tengah-tengah konflik. Pada diri kita sendiri, kita tidak
sanggup melawan "roh-roh jahat di udara" ini. Maka Kristus datang,
bukan hanya sebagai Firman, melainkan juga sebagai Adam kedua. Adam
pertama mewakili kita semua, dan ketika dia menghadapi Iblis, dia
percaya kepada dustanya, menyerah kepada jebakannya, dan jatuh ke
dalam dosa. Kristus harus datang sebagai Adam kedua, kembali sebagai
Wakil kita untuk menghadapi Iblis. Oleh sebab itu, sebelum memulai
pelayanan-Nya kepada orang banyak, Kristus menghadapi musuh-Nya. Tiga
kali Dia dicobai dengan dusta dan jebakan yang sama. Tiga kali Dia
menaklukkan Iblis, menunjukkan kuasa-Nya terhadap kekuatan jahat dan
mencapai kemenangan besar bagi kita (lihat Matius 4:1-11, 12:22-29;
Roma 5:12-21).

Melalui karya-Nya, Kristus memberi kita kuasa dan membekali kita untuk
peperangan ini, sehingga ketika datang hari yang jahat, kita mampu
berdiri teguh dan tidak ada sesuatu apa pun yang menggeser kita dari
kehidupan yang untuknya Dia memanggil kita. Kehidupan ini mencakup
berbicara dengan cara yang layak bagi Injil. Kemenangan Yesus memberi
kita kemampuan untuk hidup damai dengan-Nya dan dengan sesama.

Ini memberi kita pandangan yang sama sekali berbeda tentang rebutan
memakai kamar mandi atau siapa yang menghabiskan sereal yang paling
disenangi keluarga. Masalah pada momen-momen seperti ini melampaui
masalah yang tampak di permukaan, seperti terlalu banyak orang,
terlalu sedikit kamar mandi, dan terlalu banyak kotak sereal yang
kosong. Kita adalah masalahnya dalam setiap keadaan itu. Dan sangat
penting bahwa kita tidak mengecilkan masalah kita (dengan mengatakan
bahwa momen-momen ini tidak penting) atau menjadi pesimis (dengan
mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk berubah). Momen-momen kecil
ini penting, karena di situlah kita hidup setiap hari. Namun ada
harapan untuk perubahan besar karena Yesus Kristus, Firman itu,
Penebus itu, telah memberi kita setiap sumber daya yang kita perlukan
untuk berbicara sebagaimana layaknya.

(Redaksi: Lanjutan dari artikel di atas akan dikirimkan pada
          pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

======================================================================

Bahan di atas dikutip dari sumber:
----------------------------------
Judul buku   : War of Words
Penulis      : Paul David Tripp
Penerbit     : Momentum, Surabaya, 2004
Hal          : 43 - 53

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org