Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/59

e-Reformed edisi 59 (30-3-2005)

Penderitaan Sang Juruselamat

                     PENDERITAAN SANG JURUSELAMAT
                     ============================

Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus.

a. Ia menderita seumur hidup-Nya di dunia.
------------------------------------------
Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan
yang akan dialami-Nya menjelang akhir hidup-Nya, kita sering cenderung
untuk berpikir bahwa penderitaan-Nya di atas kayu salib merupakan
penggenapan dari seluruh penderitaan-Nya. Tetapi sesungguhnya
keseluruhan hidup-Nya adalah penderitaan. Ia harus mengambil rupa
seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak
berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. Hidup-
Nya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena
dosa. Jalan ketaatan menjadi milik-Nya bersamaan dengan jalan
penderitaan-Nya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang
berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umat-Nya, dan dari
perlawanan musuh-musuh-Nya. Oleh karena Ia harus masuk ke dalam
pemerasan anggur itu sendiri, kesendirian-Nya pastilah merupakan suatu
tekanan bagi-Nya, dan rasa tangung jawab-Nya menghancurkan.
Penderitaan-Nya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin
berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak
inkarnasi akhirnya mencapai titik puncak dalam "pasio magna"
(penderitaan terbesar) pada akhir hidup-Nya. Kemudian murka Allah atas
dosa segera menghambur ke arah-Nya.

b. Ia menderita secara tubuh dan jiwa.
--------------------------------------
Pernah ada satu masa di mana perhatian terlalu dipusatkan pada
pendertiaan jasmani Kristus. Penderitaan ini bukanlah sekedar rasa
sakit fisik yang tercakup dalam esensi penderitaan-Nya, tetapi juga
rasa sakit yang disertai penderitaan rohani dan kesadaran sebagai
seorang pengantara atas dosa umat manusia yang harus ditanggung-Nya.
Kemudian menjadi suatu kebiasaan untuk meremehkan arti penting
penderitaan secara jasmani, sebab dirasakan bahwa dosa sebagai suatu
natur yang sifatnya spiritual. Pandangan-pandangan yang hanya
menekankan satu sisi seperti ini harus kita hindari. Baik tubuh maupun
jiwa manusia telah dipengaruhi dosa, dan karena itu hukuman atas dosa
juga mencakup keduanya. Lebih lanjut Alkitab dengan jelas memberi
penjelasan bahwa Kristus menderita dalam keduanya. Ia sangat
berdukacita dan menderita di taman Getsemani, di mana jiwa-Nya "sangat
takut, seperti mau mati rasanya" dan Ia ditangkap, disiksa, dan
disalibkan.

c. Penderitaan-Nya berasal dari berbagai sebab.
-----------------------------------------------
Dalam pembicaraan sebelumnya kita melihat semua penderitaan Kristus
bermula dari kenyataan bahwa Ia harus mengambil tempat orang berdosa
sebagai seorang pengganti. Akan tetapi kita dapat membedakan beberapa
penyebab secara terinci seperti:

(1) Kenyataan bahwa Ia yang adalah Tuhan atas alam semesta harus
    menempati kedudukan manusia, bahkan kedudukan sebagai budak atau
    hamba yang terikat, dan bahwa Ia yang memiliki segala hak untuk
    memerintah sekarang harus diperintah dan harus taat.

(2) Kenyataan bahwa Ia yang murni dan kudus harus hidup dalam
    lingkungan dan suasana yang sudah dicemari dosa, tiap hari harus
    bergaul dengan orang bedosa, dan senantiasa harus diingatkan
    tentang betapa besarnya dosa yang harus dipikul-Nya oleh karena
    dosa uamt-Nya.

(3) Kesadaran-Nya yang sempurna dan antisipasi-Nya yang jelas sejak
    awal kehidupan-Nya tentang penderitaan tertinggi yang akan
    dialami-Nya pada akhirnya. Ia tahu dengan tepat apa yang akan Ia
    alami dan pengetahuan ini jelas tidak menimbulkan kegembiraan.

(4) Juga hidup-Nya sendiri, pencobaan iblis, kebencian dan penolakan
    orang-orang atas diri-Nya, serta perlakuan yang tidak adil serta
    siksaan yang harus Ia tanggung.

d. Penderitaan-Nya sangat unik.
-------------------------------
Kadang-kadang kita hanya membicarakan tentang penderitaan Kristus yang
"biasa", disaat kita hanya sekedar melihat penderitaan yang disebabkan
oleh kesusahan biasa dalam dunia ini. Akan tetapi, kita harus ingat
bahwa penyebab-penyebab ini jauh lebih banyak dialami oleh Juruselamat
kita daripada yang kita alami sendiri. Lebih dari itu, bahkan
penderitaan yang biasa ini pun sebenarnya memiliki sifat yang luar
biasa dalam hal diri Kristus, dan dengan demikian pasti unik sifatnya.
Kapasitas penderitaan-Nya berada pada sifat yang tepat dengan
kemanusiaan-Nya, dengan kesempurnaan etis-Nya, dan dengan rasa
kebenaran serta kesucian-Nya. Tak seorang pun yang dapat merasakan
betapa beratnya rasa sakit dan dukacita dan kejahatan moral yang harus
ditanggung oleh Yesus. Akan tetapi di samping penderitaan yang umum
ini, ada lagi penderitaan yang lebih berat, yaitu bahwa segala
pelanggaran dan kesalahan kita ditimpakan oleh Tuhan kepada-Nya
seperti air bah. Penderitaan Sang Juruselamat tidaklah sepenuhnya
terjadi apa adanya, tetapi juga merupakan tindakan positf yang
dilakukan Allah (Yesaya 53:6,10). Pencobaan di padang gurun,
penderitaan di taman Getsemani dan Golgota juga merupakan penderitaan
yang secara khusus dialami oleh Tuhan Yesus.

e. Penderitaan-nya dalam pencobaan.
-----------------------------------
Pencobaan yang dialami Kristus membentuk bagian integral dari
penderitaan-Nya. Pencobaan-pencobaan itu dialami-Nya dalam jalan
penderitaan-Nya, Matius 4:1-11 (dan ayat paralelnya), Lukas 22:28;
Yohanes 12:27, Ibrani 4:15, 5:7,8. Pelayanan-Nya di depan umum
dimulai dengan suatu masa dimana Ia harus dicobai, dan bahkan setelah
masa itu, pencobaan-pencobaan terus dialami-Nya dan berulang pada
masa-masa makin mendekati taman Getsemani. Hanya melalui setiap
pencobaan yang manusia alami, Yesus dapat sepenuhnya menjadi Imam
Besar yang turut merasakan penderitaan, dan akhirnya Ia dapat menjadi
bukti kesempurnaan dan kemenangan (Ibrani 4:15, 5:7-9). Kita tidak
dapat melepaskan diri dari kenyataan pencobaan Kristus sebagai Adam
yang terakhir, betapa pun sulitnya bagi kita untuk memahami seseorang
yang tidak dapat berdosa tetapi harus dicobai. Berbagai upaya
pemecahan persoalan ini telah diusahakan, misalnya dengan mengemukakan
bahwa dalam natur manusia Kristus, sebagaimana dengan natur dalam diri
Adam, ada "nuda possibilitas peccandi", kemampuan abstrak untuk
berdosa (Kuyper); bahwa kesucian Yesus adalah kesucian etis yang harus
terus mencapai perkembangan dan terus mempertahankan diri dalam
pencobaan (Bavinck); dan bahwa pencobaan itu sendiri sebetulnya
berdasarkan hukum, dan berkenaan dengan naluri dan nafsu alamiah
(Vos). Kendatipun demikian masih ada persoalan yang tinggal, bagaimana
mungkin seseorang yang secara kenyataan tidak dapat berdosa, bahkan
sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap dosa, tetapi harus
berada di bawah pencobaan yang sesungguhnya.

KEMATIAN SANG JURUSELAMAT

Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak
tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada
beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

a. Derajat kematian-Nya.
------------------------
Wajar apabila kita membicarakan kematian Kristus, pertama-tama kita
membayangkan kematian jasmani, yaitu terpisahnya tubuh dari jiwa. Pada
saat yang sama kita harus juga selalu ingat bahwa hal ini tidak
menyingkirkan pengertian tentang kematian sebagaimana dikemukakan oleh
Alkitab. Alkitab mempunyai pandangan sintetis (tiruan) tentang
kematian, dan memandang kematian jasmani sebagai salah satu
manifestasinya. Kematian adalah keterpisahan dengan Allah, akan tetapi
keterpisahan ini dapat dipandang dari dua cara yang berbeda. Manusia
memisahkan dirinya sendiri dari Allah melalui dosa, dan kematian
adalah akibat yang wajar. Tetapi bukan kematian seperti ini yang
dialami oleh Yesus, sebab Ia sama sekali tidak mempunyai dosa bagi
diri-Nya sendiri. Dalam kaitan ini harus senantiasa diingat bahwa
kematian bukanlah satu-satunya konsekuensi dosa yang natural, tetapi
di atas semua itu merupakan hukuman atas dosa yang berdasarkan
keadilan.

Kematian adalah bagian manusia dan Tuhan datang menjumpai manusia
dalam kemurkaan. Kematian Kristus harus dilihat berdasarkan titik
pandang keadilan hukum ini. Allah menjatuhkan hukuman mati atas diri
Sang Pengantara secara adil menurut hukum, sebab Sang Pengantara kita
dengan sukarela mengambil alih pembayaran atas upah dosa umat manusia.
Karena Kristus mengambil natur manusia dalam segala kelemahannya, dan
hal ini terjadi setelah kejatuhan manusia, maka Kristus menjadi serupa
seperti kita dalam segala sesuatu, kecuali bahwa Ia tidak berdosa,
karena itu kematian berkuasa atas diri-Nya sejak awal dan dinyatakan
dalam segala bentuk penderitaan yang dialami-Nya.

Kristus adalah manusia yang penuh penderitaan dan sangat sering
mengalami dukacita. Katekismus Heidelberg dengan tepat mengatakan
bahwa "sepanjang umur hidup-Nya di dunia, akan tetapi terutama pada
akhir masa hidup-Nya, Ia mengalami, dalam tubuh ataupun jiwa, murka
Allah atas dosa dari seluruh umat manusia." Penderitaan-penderitaan
ini diikuti oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Akan tetapi ini
bukanlah segalanya; Ia bukan saja harus berada di bawah kematian
jasmani; tetapi juga kematian kekal, walaupun Ia menanggungnya secara
intensif, bukan secara ekstensif, ketika Ia mengalami penderitaan di
taman Getsemani dan ketika Ia di atas salib berteriak: "Allah-Ku,
Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dalam suatu masa yang amat
singkat Ia menanggung murka yang tiada terbatas sampai akhir, dan
akhirnya tampil sebagai pemenang. Hal ini hanya mungkin bagi-Nya,
karena natur diri-Nya yang sangat mulia. Akan tetapi, sampai saat ini
kita harus berhati-hati agar tidak salah mengerti. Kematian kekal
dalam kaitan dengan Kristus ini tidak termasuk dalam pemutusan
keseluruhan hubungan antara Logos dan natur manusia, dan juga bukan
berarti bahwa natur Illahi-Nya ditinggalkan oleh Allah, ataupun
pemutusan kasih Allah Bapa atau kebaikan kemurahan pada pribadi Sang
Pengantara. Logos tetap terikat dengan natur manusia bahkan juga
ketika tubuh-Nya berada dalam kuburan; natur Illahi-Nya sama sekali
tidak mungkin ditinggalkan oleh Allah; dan pribadi sang Pengantara
tetaplah terus berada dalam objek kasih Allah. Kematian itu menyatakan
diri dalam kesadaran manusiawi sang Pengantara sebagai suatu perasaan
ditinggalkan oleh Allah. Hal ini mengandung arti bahwa natur manusia
untuk suatu waktu kehilangan rasa kesadaran kenyamanan yang dapat
diperoleh dari persekutuan dengan Logos Ilahi, dan perasaan kasih
Ilahi; dengan penuh rasa sakit menyadari kepenuhan murka Allah yang
sedang dicurahkan diatas-Nya. Tetapi bagaimanapun juga kita tidak
perlu kecewa, sebab bahkan sampai pada waktu yang paling gelap
sekalipun, pada saat Ia berteriak bahwa Ia ditinggalkan, Ia tetap
mengarahkan doa-Nya pada Allah.

b. Sifat yuridis kematian-Nya.
------------------------------
Sangat perlu bahwa Kristus harus mati, bukan kematian alamiah atau
kebetulan; dan Ia tidak harus mati di tangan para pembunuh, melainkan
di bawah keputusan pengadilan. Ia harus terhitung di antara para
pembuat pelanggaran, harus dituduh sebagai seorang terpidana. Lebih
jauh lagi, hal ini secara providensia telah diatur oleh Allah bahwa Ia
harus diadili dan dijatuhi hukuman oleh seorang hakim Roma. Orang-
orang Roma sangat jenius untuk hukum dan keadilan, dan mewakili
keadilan hukum tertinggi di dunia. Dapat diharapkan bahwa pengadilan
sebelum pengadilan Roma menyajikan suatu pengadilan terhadap Yesus
yang tidak bersalah, sehingga jelaslah bahwa Ia dihukum bukan karena
perbuatan jahat yang Ia lakukan. Hal ini merupakan kesaksian yang
jelas bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan, "Ia tercabut dari
negeri orang hidup dan oleh sebab pelanggaran umat-Ku Ia menderita."
Dan ketika pada akhirnya hakim Romawi itu menghukum orang yang tidak
bersalah, maka sesungguhnya ia juga sedang menghukum dirinya sendiri
serta juga keadilan manusia yang diterapkannya. Pada saat yang sama,
ia sedang menjatuhkan hukuman atas Yesus sebagai wakil dari kuasa
pengadilan tertinggi di dalam dunia, berfungsi melalui anugerah Allah
dan mengeluarkan keadilan atas nama Tuhan. Putusan hukuman oleh
Pilatus adalah putusan hukuman dari Tuhan walaupun dari dasar yang
berbeda. Penting juga bahwa Kristus tidak dipenggal atau dirajam batu
sampai mati. Penyaliban adalah bentuk hukuman Romawi, bukan hukuman
Yahudi. Hukuman salib ini dianggap sedemikian memalukan dan hina
sehingga hukuman salib in tidak pernah dijatuhkan atas warga negara
Romawi, tetapi hanya dijatuhkan pada orang-orang yang dianggap tak
berguna, para pembuat kejahatan yang paling kejam dan para budak.
Dengan kematian-Nya di atas kayu salib, Yesus menggenapi tuntutan
hukum yang tertinggi. Pada saat yang sama Ia mati dalam cara kematian
yang paling hina dan terkutuk, dan dengan demikian Ia membuktikan
kenyataan bahwa Ia menjadi terkutuk karena kita (Ulangan 21:23;
Galatia 3:13).

PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT

Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya,
terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas
kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu
berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana
Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar
digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya
juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini:

a. Manusia harus kembali kepada debu tanah, dari mana ia diambil,
   dinyatakan dalam Alkitab sebagai bagian dari hukuman atas dosa,
   (Kejadian 3:19).

b. Sejumlah pernyataan Alkitab mengandung arti bahwa Sang Juruselamat
   yang dikuburkan itu juga mengalami kehinaan (Mazmur 16:10; Kisah
   Para Rasul 2:27,31, 13:34,35). Ia turun ke dalam kerajaan maut,
   yang sangat mengerikan dan menakutkan, suatu tempat yang penuh
   dengan pelanggaran walaupun Ia sendiri bebas dari segala
   pelanggaran.

c. Dikuburkan berarti harus turun dan ini berarti kehinaan.
   Penguburan atas orang mati diperintahkan Tuhan untuk melambangkan
   kehinaan dari orang berdosa.

d. Ada beberapa persetujuan tertentu antara karya objektif penebusan
   dengan susunan penerapan subjektif karya Kristus. Alkitab
   mengatakan bahwa orang-orang berdosa dikuburkan bersama dengan
   Kristus. Hal ini berarti adalah melepaskan manusia lama dan bukan
   mengenakan yang baru, bandingkan Roma 6:1-6. Penguburan Tuhan
   Yesus juga membentuk bagian dari kehinaan-Nya. Lebih jauh lagi,
   penguburan ini bukan saja membuktikan bahwa Yesus benar-benar
   mati, tetapi juga menyingkirkan segala kengerian kematian bagi
   orang-orang yang telah ditebus dan juga menyucikan kubur bagi
   mereka.

JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT

a. Doktrin ini adalah Pengakuan Iman Rasuli.
--------------------------------------------
Setelah Pengakuan Iman Rasuli menyebutkan tentang penderitaan Kristus,
kematian dan penguburan-Nya, maka pengakuan iman ini dilanjutkan
dengan kalimat "turun ke dalam kerajaan maut." Kalimat ini memang
tidak disebutkan pada masa pertama kali Pengakuan Rasuli ini
ditetapkan. Kalimat ini pertama kali dipakai dalam bentuk Aquileian
dari Pengakuan Iman Rasuli (kira-kira 390 AD) "descendit in inferna."
Di antara orang-orang Yunani kata "inferna" ada yang menerjemahkannya
sebagai "kerajaan maut" tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai
"bagian yang lebih rendah". Pada sebagian bentuk dari Pengakuakn Iman
ini ada yang tidak menyebutkan tentang penguburan Kristus, sedangkan
bentuk Romawi dan Timur pada umumnya menyebutkan penguburan tetapi
tidak menyebutkan tentang turun ke dalam kerajaan maut ini telah
mengimplikasikan maksudnya dalam "dikuburkan". Akan tetapi, beberapa
waktu kemudian bentuk Pengakuan Iman Rasuli dari Roma menambahkan
perkataan "turun ke dalam kerajaan maut" setelah mereka menyebutkan
tentang penguburan Kristus. Calvin dengan tepat mengatakan bahwa
mereka yang menambahkan kalimat itu setelah kata "dikuburkan" tentunya
mereka memang bermaksud menambahkannya.

b. Dasar Alkitab tentang pernyataan tersebut.
---------------------------------------------
Terutama ada 4 ayat dalam Alkitab yang harus kita perhatikan di sini:

(1) Efesus 4:9, "Bukankah `Ia telah naik` berarti bahwa Ia juga telah
    turun ke bagian bumi yang paling bawah?" Mereka yang mencari
    dukungan dari ayat ini menganggap perkataan "turun ke bagian bumi
    paling bawah" sama artinya dengan "kerajaan maut". Akan tetapi
    tafsiran semacam ini masih diragukan. Rasul Paulus berpendapat
    bahwa kenaikan Kristus memberikan presuposisi turun. Namun, lawan
    dari kenaikan Kristus ke surga adalah inkarnasi, bandingkan
    Yohanes 3:13. Sebagian besar para penafsir Alkitab menganggap
    bahwa kalimat "bagian bumi yang paling bawah" adalah bumi itu
    saja. Pernyataan itu dapat diperoleh dari Mazmur 139:15 dan lebih
    menunjuk pada inkarnasi.

(2) 1Petrus 3:18,19, yang membicarakan tentang Kristus "Sebab juga
    Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar
    untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada
    Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia,
    tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu
    juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara."
    Ayat ini dianggap menunjuk kepada Kristus yang turun ke dalam
    kerajaan maut dan menyatakan tujuan tindakan itu. Roh yang
    disebutkan itu kemudian dianggap sebagai jiwa Kristus dan
    memberitakan Injil ini dianggap terjadi antara kematian dan
    kebangkitan-Nya. Tetapi ini pun sama tak mungkinnya dengan yang
    lain. Roh yang disebutkan bukanlah jiwa Kristus, melainkan Roh
    yang mengaktifkannya, dan oleh Roh pemberi hidup yang sama itulah
    Kristus memberitakan Injil. Pandangan Protestan yang umum akan
    ayat ini adalah bahwa di dalam Roh, Kristus memberitakan Injil
    melalui Nuh, pada orang-orang yang tidak taat yang hidup sebelum
    masa air bah. Roh-roh itu ada di dalam penjara ketika Petrus
    menulis surat ini, oleh karena itu dapat dianggap demikian.
    Bavinck menganggap hal ini tidak dapat diterima dan menafsirkan
    ayat ini menunjuk kepada kenaikan Tuhan Yesus, yang dianggapnya
    sebagai pemberitaan Injil yang kaya, penuh kemenangan, dan kuasa
    pada roh-roh yang di penjara.

(3) 1Petrus 4:4-6, terutama ayat 6, yang berbunyi: "Itulah sebabnya
    maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya
    mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani; tetapi
    oleh Roh dapat hidup menurut kehendak Allah". Dalam kaitan ini
    Petrus memperingatkan para pembaca bahwa mereka tidak boleh hidup
    seluruhnya dalam daging dan nafsu manusia, tetapi menurut kehendak
    Allah, bahkan juga jika mereka harus menentang kawan-kawan mereka
    yang lama dan dihina oleh mereka, sebab mereka harus
    mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan, yang
    siap menghakimi orang yang hidup dan yang mati. "Orang mati" yang
    kepadanya Injil diberitakan sebetulnya belumlah mati ketika Injil
    itu diberitakan, sebab tujuan dari pemberitaan itu sebagian adalah
    "agar mereka dapat dihakimi menurut manusia dalam daging." Hal ini
    hanya dapat terjadi ketika mereka masih hidup dalam dunia.
    Bagaimanapun juga Petrus membicarakan roh-roh yang sama yang
    dipenjarakan, yang disebut dalam pasal sebelumnya.

(4) Mazmur 16:8-10 (Bandingkan Kisah Para Rasul 2:25-27,30,31).
    Terutama ayat 10 yang kita bicarakan di sini "Sebab Engkau tidak
    menyerahkan Aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang
    kudus-Mu melihat kebinasaan." Dari ayat ini Pearson menyimpulkan
    bahwa jiwa Kristus berada dalam neraka (kerajaan maut) sebelum
    kebangkitan-Nya, sebab kita diberitahu bahwa Ia tidak ditinggalkan
    di sana. Akan tetapi kita haurs memperhatikan yang berikut:
    (a) Kata "nephesh" (jiwa) sering dipakai dalam bahasa Ibrani untuk
        kata ganti orang, dan "sheol" dipakai untuk menunjukkan
        keadaan kematian seseorang.
    (b) Jika kita memahaminya demikian, maka kita mendapatkan
        `paralelisme sinonimus` yang jelas. Pengertian yang
        diungkapkan adalah bahwa Yesus tidak ditinggalkan dalam kauasa
        maut.
    (c) Hal ini selaras benar dengan tafsiran Petrus dalam Kisah Para
        Rasul 2:30,31 dan tafsiran Paulus dengan Kisah Para Rasul
        13:34,35. 
        Dalam kedua hal tersebut Mazmur dikutip untuk
        membuktikan kebangkitan Yesus.

c. Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut.
---------------------------------------------------------------------
(1) Gereja Katholik menganggap bahwa hal itu berarti setelah Kristus
    mati Ia pergi ke `Limbus Patrum` di mana orang-orang kudus
    Perjanjian Lama menantikan wahyu dan penerapan penebusan-Nya,
    memberitakan Injil kepada mereka dan membawa mereka ke surga.

(2) Lutheran menganggap bahwa Kristus yang dimuliakan, Kristus turun
    ke bumi paling bawah untuk mengungkapkan dan mencapai penggenapan
    kemenangan-Nya atas iblis dan kuasa kegelapan, dan mengumumkan
    hukuman bagi mereka. Sebagian kaum Lutheran menempatkan perjalanan
    kemenangan ini antara kematian Kristus dan kebangkitan-Nya;
    sekelompok lain mengatakan hal ini terjadi setelah kebangkitan.

(3) Gereja di Inggris percaya bahwa kendatipun tubuh Kristus berada
    dalam kuburan, jiwa-Nya pergi ke dalam kerajaan maut, khususnya ke
    Firdaus, tempat tinggal jiwa-jiwa orang benar, dan memberikan
    kepada mereka ungkapan kebenaran yang lebih penuh.

(4) Calvin menafsirkannya secara metafora, menunjukkan penderitaan
    akhir Kristus di atas kayu salib, di mana Ia sungguh-sungguh
    merasakan rasa sakit dari hempasan neraka. Katekismus Heidelberg
    juga berpendapat demikian. Menurut pendapat Raformed yang biasa,
    kalimat itu bukan saja menunjuk pada penderitaan di atas salib,
    tetapi juga penderitaan di taman Getsemani.

(5) Alkitab sama sekali tidak pernah mengajarkan tentang Kristus yang
    secara harafiah turun ke dalam neraka. Lebih dari itu terdapat
    keberatan-keberatan yang serius terhadap pandangan ini. Kristus
    tentunya tidak akan mungkin turun ke neraka menurut tubuh, sebab
    tubuh-Nya ada dalam kubur. Jika seandainya Ia sungguh-sungguh
    turun ke neraka, maka yang paling mungkin adalah jiwa-Nya, dan itu
    berarti bahwa hanya setengah dari natur manusiawinya yang
    mengalami kehinaan ini (atau kemuliaan). Juga, sejauh Kristus
    belum bangkit dari antara orang mati, maka belumlah tiba waktunya
    untuk memasuki perjalanan kemenangan seperti yang dianggap kaum
    Lutheran. Dan akhirnya, pada saat kematian-Nya Kristus menyerahkan
    Roh-Nya kepada Bapa. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Ia akan
    menjadi pasif bukannya aktif sejak kematian-Nya sampai
    kebangkitan-Nya dari kubur. Secara keseluruhan tampaknya yang
    terbaik adalah menggabungkan dua pemikiran:
    (a) bahwa Kristus menderita sakitnya neraka sebelum kematian-Nya,
        di Getsemani dan di atas salib; dan
    (b) bahwa Ia memasuki kehinaan kematian yang terdalam.

======================================================================

Bahan di atas dikutip dari sumber:
----------------------------------
Judul buku   : Teologia Sistematika
Penulis      : Louis Berkhof
Penerbit     : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1996
Hal          : 79 - 93

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org