Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/51

e-Reformed edisi 51 (24-6-2004)

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Semoga Anda semua baik-baik saja dan menikmati anugerah sukacita dari
Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merenungkan tentang apa artinya
spiritualitas. Hal ini bermula dari rasa penasaran karena pada
kenyataannya tidak hanya para teolog atau orang beragama saja yang
membicarakan tentang spiritualitas, tapi juga para intelektual
(contohnya pencetus ide SQ -- Spiritual Intelligence). Sayangnya,
rasa penasaran saya itu cepat sekali lenyap ketika mengetahui bahwa
ternyata yang dimaksud dengan ´spiritual intelligence´ tidak harus
dihubungkan dengan hal-hal agamawi atau rohani, atau bahkan Tuhan.
Menurut mereka, orang yang memiliki kecerdasan spiritualitas yang
tinggi belum tentu memiliki agama atau tahu menahu tentang hal-hal
rohani, apalagi mempercayai adanya Tuhan. Nah makanya jangan mudah
terkecoh dengan istilah yang keren.

Namun, rasa penasaran saya kembali tertantang ketika melihat lunturnya
semangat kaum Injili dalam menanggapi isu-isu tentang spiritualitas
Kristen yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak lagi terdengar
suara-suara orang Injili yang dapat menjadi tonggak dimana orang-orang
Kristen bisa menambatkan perhatiannya sehingga terus menghargai
keunikan spiritualitas Injili ..... Saya tiba-tiba tersentak, ketika
menyadari bahwa, mungkin, kalau kita tidak hati-hati, mungkin saja
kita bisa kehilangan satu generasi orang Kristen yang tidak lagi
menghargai, atau bahkan lebih parah lagi, mengenal apa itu semangat
Injili, spiritualitas Injili ........?!

Ketika saya bertanya pada diri sendiri ´Apa yang bisa saya lakukan
untuk generasi saya? Maka salah satu jawaban yang muncul adalah saya
ingin terus menyuarakan kembali suara-suara kaum Injili. Inilah
tujuan saya memilih artikel Stanley J. Grenz berikut ini. Saya harap
melalui tulisan ini kita semua diingatkan lagi tentang "warisan"
keyakinan yang sangat berharga, yang dibangun oleh para leluhur rohani
kita sebelumnya, yang telah menggumuli poin-poin penting spiritualitas
Injili yang penting untuk dilestarikan. Tulisan Stanley J. Grenz di
bawah ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kita meneruskan
semangat kaum Injili, misalnya dengan cara meninjau ulang agar menjadi
semakin tajam dan aplikatif bagi generasi kita sekarang dan menjadi
inspirasi bagi generasi anak-anak kita yang akan datang.

Mari kita suarakan kembali semangat Kaum Injili!

In Christ,
Yulia Oen

======================================================================

             SPIRITUALITAS INJILI: SUATU TINJAUAN ULANG

                 Disadur dari buku Stanley J. Grenz
Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the 21th Century
           Downers Grove, Illinois: IVP, 1993. Hal. 31-59

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya
pada keselamatan yang dialami secara pribadi -- komitmen kepada Yesus
Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini
adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang
sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan
mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar
pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan
spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karakteristik unik Gerakan Injili
ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan
pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui
Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin
rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas
Alkitab, penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang
sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau
doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan
sejarah Gerakan Injili itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh,
Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
Gerakan Injili ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan
hidup sebagai respon terhadap Doktrin Pilihan dari Calvinisme.
Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah
yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan
Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki
status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada
pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen,
maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa
seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah
ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan:
pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah.
Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada
kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi,
penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan
pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk
mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme
dan Gerakan Injili adalah pada: panggilan hidup baru, buah-buah
rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan
anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist
dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang
percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang
menekankan pada aktivitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat
kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada
keunikkan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili
--------------------------------------

Salah satu definisi ´spiritualitas´ yang cukup baik diberikan oleh
Robert Webber:
   "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang
   sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib
   Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang
   menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan
   dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah
   kepada Allah, spiritualitas kita terus menerus dibentuk. Dan misi
   kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui
   perkataan dan tindakan kita."

Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan
mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan
seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan
Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada
Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili
sangat menekankan akan ´pola pikir rohani´ yang dikontraskan dengan
manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta -- yaitu
bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus -- Kaum
Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai ´the
Normal Christian life´, yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus
yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan
demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan
melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan
dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu
usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan,
yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar
(outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward
--------------------------------------

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan
aktivitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih
kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan
tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang
Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus
yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward)
merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih
tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada
kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan
doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti
ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu
secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya
merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke
gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena
dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat
percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar
untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan
suatu pujian dari dari hati, "I´m so glad, I´m a part of the family of
God."

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan
pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal
dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang
bersumber pada Injil Yohanes: ´Iman harus menjadi nyata dalam
pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!´ Pengalaman lahir baru
merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya
bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi
kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi
yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum
Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

  ´The outworking ... of the grace of God in the soul of man,
  beginning with conversion to conclusion in death or Christ´s second
  advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike
  life.´[1]
  (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan
  kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus
  ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan
  dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan
akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian
luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber
pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti
pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas
sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati
harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini
bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari
kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan
spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ).
Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup
Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus
dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita
menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun penghapusan
sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu
alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi
di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang
sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) sebagai suatu ibadah yang
sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah
dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat
mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus
juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita
menekankan mengikut Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan
hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan
bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style).
Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah
bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki
gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus-menerus
ditekankan pada ibadah Minggu adalah: ´Jika engkau adalah orang
percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu
tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu
harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak
demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.´

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan
dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba
menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup
yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam
sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam
mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup
pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik
kedua dimensi ini, ´Trust and obey, for there´s no other way, to be
happy in Jesus, but to trust and obey.´

Keseimbangan Personal dan Komunal
---------------------------------

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara
individu. ´Membaca Alkitab´ berarti membaca secara pribadi; ´berdoa´
berarti berdoa secara pribadi; ´keselamatan´ berarti diselamatkan
secara pribadi; ´hidup dalam Kristus´ berarti memiliki hubungan
pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: "Perjalanan
Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada
pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan
diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang
dibangun bagi pribadi."[2]

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang
cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman
orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang
terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang
percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal
dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang
bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman
harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang
percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara
pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan
meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip
tradisional Prostestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama
penekanannya mengenai ´kompetensi individu´. Prinsip kompetensi
individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara
pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespons
secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting
bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja.
Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen
berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir
dalam negara tertentu, atau bahkan karena beragama tertentu. Kaum
Injili biasanya mengatakan: ´Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi
tidak mempunyai cucu.´ Karena itu para penginjil selalu menekankan:
´Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak
ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.´ Penekanan ini sangat
jelas pada lagu yang begitu terkenal: ´Manis lembut, Tuhan Yesus
memanggil. Memanggil saya dan kau ... pulang, pulang, kau yang
berlelah pulang.´

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat
menekankan disiplin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani.
Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut
sebagai ´saat teduh´; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak
kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam
misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar
di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh
peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil
kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini
dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat
kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat
pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun
tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili
sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu.
Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap
pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang
Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal
atau korporat. Tidak ada seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam
mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu
supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan
adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan
bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia
akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang
Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit
untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu
bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan
terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung
jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung
kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan
dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja.
Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling
menasihatkan, mendukung, dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih
jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat
dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja
untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari
kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang
berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah
esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya
menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam
kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara
bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja
liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai
sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya
inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling
penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus
dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah Minggu
pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk
mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia
bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk
mendengar ´Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi´.
Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan
arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita
berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar
sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih
dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang
sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah
Robert Webber yang mengatakan:

   ´Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that
   point through the preaching of the Word and through the
   administration of the sacrament, that God makes himself uniquely
   present in the body of Christ. Because worship is not
   entertainment, there must be a restoration of the incarnational
   understanding of worship, that is, in worship the divine meets the
   human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the
   sacrament. We respond in faith and go out to act on it!´[3]
   (Ibadah adalah gladi-bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada
   titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen,
   Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan
   merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang
   bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam
   ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang
   kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar
   untuk hidup sesuai dengan itu!)

Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti
meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah Minggu. Tetapi hal ini
lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang
lebih baik demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk ´menemukan pelayanan dalam
gereja´, kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi
personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap
individu untuk ´menemukan pelayanan´ dalam konteks gereja lokal. Dan
hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dari spiritualitas
Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen,
kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan
juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan
dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong,
menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari
itu: supaya mereka yang menerima pelayanan bisa bertumbuh dewasa
secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam
tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah
persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang-
orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi
spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayanan untuk
mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang
bertanggung jawab bernyanyi bersama: ´Kami akan berjalan bersama, kami
akan berjalan bergandengan tangan.´ Karena jalan spiritualitas adalah
jalan yang mengikat setiap individu bersama-sama. (BS)


[1] James M. Houston, "Spirituality" in The Evangelical Dictionary
    of Theology, ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, Michigan: Baker
    Book House, 1984),1047.

[2] Daniel B. Stevick, Beyond Fundamentalism (Richmond, Va: John
    Knox Press, 1964),127.

[3] Robert Webber, The Majestic Tapestry (Nashville: Thomas
    Nelson,1986),129.

======================================================================

Bahan di atas dikutip dari sumber:
----------------------------------
Judul Buletin: Momentum, Edisi 44, Triwulan III/Oktober 2000
Judul Artikel: Spiritualitas Injili: Suatu Tinjuan Ulang
Penulis      : Stanley J. Grenz
Penerbit     : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman      : 29-36

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org