Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/37

e-Reformed edisi 37 (26-6-2003)

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

              Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya 
pada keselamatan yang dialami secara pribadi-komitmen kepada Yesus 
Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini 
adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang 
sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan 
mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar 
pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan 
spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karekteristik unik Gerakan Injil ini: 
orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan 
pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui 
Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin 
rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas 
Alkitab, namun penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, 
yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau 
doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan 
sejarah Gerakan Injil itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, 
Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap 
gerakan injil ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan 
hidup sebagai respon terhadap doktrin pilihan dari Calvinisme. 
Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah 
yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan 
Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki 
status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada 
pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, 
maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa 
seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah 
ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: 
pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. 
Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada 
kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, 
penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan 
pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk 
mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme 
dan Gerakan Injili adalah pada: penggilan hidup baru, buah-buah 
rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan 
anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist 
dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang 
percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang 
menekankan pada aktifitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat 
kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada 
keunikan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili 
--------------------------------------

Salah satu definisi 'spiritualitas' yang cukup baik diberikan oleh   
Robert Webber adalah: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan 
sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari 
bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan 
sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini 
dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui 
ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan 
misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui 
perkataan dan tindakan kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa 
spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah 
pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar 
hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan 
Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1 Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili 
sangat menekankan akan 'pola pikir rohani' yang dikontraskan dengan 
manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta - yaitu 
bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus - Kaum 
Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai 'the 
normal Christian life', yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus 
yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan 
demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan 
melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan 
dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu 
usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, 
yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar 
(outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward
--------------------------------------

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan 
aktifitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih 
kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan 
tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang 
Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus 
yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) 
merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih 
tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada 
kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan 
doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti 
ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu 
secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya 
merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke 
gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena 
dorongah hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat 
percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar 
untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan 
suatu pujian dari hati 'I'm so glad I'm a part of the family of God.'

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan 
pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal 
dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang 
bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata dalam 
pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir baru 
merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya 
bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi 
kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi 
yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum 
Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai, 

    'The outworking...of the grace of God in the soul of man,     
    beginning with conversion to conclusion in death or Christ's 
    second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike 
    life.' (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai 
    dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan 
    Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan 
    kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan   
akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian 
luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber 
pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti 
pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas 
sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati 
harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini 
bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari 
kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan 
spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). 
Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup 
Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus 
dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita 
menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun panghapusan 
sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu 
alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi 
di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang 
sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) sebagai suatu ibadah yang 
sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah 
dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat 
mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus   
juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita 
menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan 
bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa 
kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup 
(life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk 
menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan 
untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus-
menerus ditekankan pada ibadah minggu adalah: 'Jika engkau adalah 
orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari 
Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari 
Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika 
tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.'

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan 
dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba 
menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup 
yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam 
sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam 
mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup 
pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik 
kedua dimensi ini, 'Trust and obey, for there's no other way, to be 
happy in Jesus, but to trust and obey.'

Keseimbangan Personal dan Komunal
---------------------------------

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara 
individu. 'Membaca Alkitab' berarti membaca secara pribadi; 'berdoa' 
berarti berdoa secara pribadi; 'keselamatan' berarti diselamatkan 
secara pribadi; 'hidup dalam Kristus' berarti memiliki hubungan 
pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: 'Perjalanan 
Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada 
pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan 
diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang 
dibangun bagi pribadi.'

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang 
cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman 
orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang 
terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang 
percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal 
dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang 
bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman 
harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang 
percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara 
pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan 
meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip 
tradisional Protestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama 
penekanannya mengenai 'kompetensi individu'. Prinsip kompetensi 
individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara 
pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespon 
secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting 
bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang 
dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. 
Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen 
berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir 
dalam negara tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: 'Allah hanya 
mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.' Karena itu para 
penginjil selalu menekankan: 'Keputusan untuk menerima Kristus atau 
menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya 
bagimu.' Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: 
'Lemah, lembut, Tuhan Yesus memanggil,. Memanggil saya dan kau 
...pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.'

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat 
menekankan disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. 
Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut 
sebagai 'saat teduh'; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak 
kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam 
misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar 
di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh 
peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil 
kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini 
dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat 
kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat 
pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun 
tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili 
sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. 
Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap 
pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang 
Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal 
atau korporat. Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam 
mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu 
supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan 
adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan 
bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia 
akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang 
Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit 
untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu 
bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan 
terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung 
jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung 
kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan 
dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. 
Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling 
menasihatkan, mendukung dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih 
jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat 
dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja 
untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari 
kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang 
berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah 
esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya 
menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam 
kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara 
bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja 
liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai 
sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya 
inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling 
penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus 
dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah minggu 
pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk 
mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia 
bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk 
mendengar 'Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi.' 
Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan 
arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita 
berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar 
sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih 
dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang 
sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah 
Robert Webber yang mengatakan:

    'Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at 
    that point through the preaching of the Word and through the 
    administration of the sacrament, that God makes himself uniquely 
    present in the body of Christ. Because worship is not 
    entertainment, there must be a restoration of the incarnational 
    understanding of worship, that is, in worship the divine meets the 
    human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the 
    sacrament. We respond in faith and go out to act on it!' (Ibadah 
    adalah gladi bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik 
    itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah 
    hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan 
    merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang 
    bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam 
    ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang 
    kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar 
    untuk hidup sesuai dengan itu!)

Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan   
berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah minggu. Tetapi hal 
ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan 
yang lebih baik lagi demi menjalankan tugas gereja dengan lebih 
efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk 'menemukan pelayanan dalam 
gereja', kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi 
personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap 
individu untuk 'menemukan pelayanan' dalam konteks gereja lokal. Dan 
hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dadri spiritualitas 
Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita 
berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga 
secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam 
hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan 
memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya 
mereka yang menerima pelayanan itu bisa bertumbuh dewasaa secara 
rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh 
Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah 
persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang-
orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi 
spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayana untuk 
mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang 
bertanggung jawab bernyanyi bersama: 'Kami akan berjalan bersama, kami 
akan berjalan bergandengan tangan.' Karena jalan spiritualitas adalah 
jalan yang mengikat setiap individu bersama- sama. 

[Catatan: Tulisan di atas disadur dari buku Stanley J. Grenz; Revisioning Evangelical Theology; A Fresh Agenda for the 21th Century, Downers Grove, Illinois; IVP, 1993. Hal. 37-59]

=====================================================================  
Sumber:
Judul Buku : Momentum 44/Triwulan III/2000
Artikel    : Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang
Penulis    : Stanley J. Grenz
Penerbit   : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman    : 29-36

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org