Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/91

e-Reformed edisi 91 (17-9-2007)

Pembuktian Saksi Mata


Dear e-Reformed Netters,

Salam jumpa.

Berikut ini artikel menarik yang saya ambil dari bagian buku tulisan 
Lee Stroble terbitan Gospel Press. Silakan disimak karena akan 
menolong Anda mengerti bahwa Allah menghargai keingintahuan kita akan 
kebenaran-Nya. Biarlah penghargaan kita terhadap Alkitab semakin 
tinggi. GBU.

In Christ,
Yulia Oeniyati

=====================================================================

                         PEMBUKTIAN SAKSI MATA
                         =====================

CRAIG L. BLOMBERG, PH.D. secara luas dianggap sebagai salah satu pakar 
terkemuka dalam biografi-biografi Yesus yang disebut dalam empat 
Injil. Ia memperoleh gelar doktornya dalam Perjanjian Baru dari 
Aberdeen University di Skotlandia, selanjutnya melayani sebagai 
seorang rekanan periset senior di Tyndale House pada Cambridge 
University di Inggris, di mana ia adalah bagian dari sebuah kelompok 
sarjana elit internasional yang menghasilkan serangkaian karya tentang 
Yesus yang disambut dengan sangat baik. Selama dua belas tahun 
terakhir, ia menjadi seorang profesor dalam Perjanjian Baru di Denver 
Seminary yang amat disegani.

Buku-buku Blomberg termasuk "Jesus and the Gospels; Interpreting the 
Parables; How Wide the Divide?"; dan penjelasan-penjelasan Injil 
Matius dan 1Korintus. Ia juga membantu mengedit jilid keenam dari 
"Gospel Perspectives", yang menguraikan mujizat-mujizat Yesus secara 
panjang lebar, dan ia menjadi rekanan penulis "Introduction to 
Biblical Interpretation". Ia memberikan kontribusi beberapa bab 
tentang kehistorisan empat Injil kepada buku "Reasonable Faith" dan 
buku pemenang penghargaan, "Jesus Under Fire". Keanggotaannya meliputi 
Society for the Study of the New Testament, Society of Biblical 
Literature, dan The Institute for Biblical Research.

SAKSI-SAKSI MATA ATAS SEJARAH

"Coba beritahukan saya," kata saya dengan sedikit nada menantang dalam 
suara saya, "apakah mungkin untuk menjadi seseorang yang berpikiran 
pintar serta kritis dan tetap percaya bahwa keempat Injil ditulis oleh 
orang-orang yang namanya dilekatkan ke kitab-kitab tersebut?"

Blomberg meletakkan cangkir kopi di pinggir mejanya dan menatap dengan 
sungguh-sungguh kepada saya. "Jawabannya adalah ya," katanya dengan 
penuh keyakinan.

Ia duduk kembali dan melanjutkan. "Penting untuk mengakui bahwa secara 
terus terang, keempat Injil memang tanpa nama. Namun, kesaksian yang 
seragam dari gereja mula-mula adalah bahwa Matius, juga dikenal 
sebagai Lewi, si pemungut cukai dan salah satu dari dua belas murid, 
adalah penulis Injil pertama dalam Perjanjian Baru; bahwa Yohanes 
Markus, yang menyertai Petrus, adalah penulis Injil yang kita sebut 
Markus; dan bahwa Lukas, dikenal sebagai "tabib yang dikasihi" Paulus, 
menulis Injil Lukas serta Kisah Para Rasul."

"Seberapa seragamnya kesaksian bahwa mereka adalah para penulisnya?" 
saya bertanya.

"Tidak ada satu saingan pun bagi ketiga Injil ini," katanya. "Rupanya, 
itu sama sekali tidak dipersoalkan."

Bahkan meskipun demikian, saya ingin menguji isu ini lebih lanjut. 
"Mohon maklumi keskeptisan saya," kata saya, "tetapi tidak adakah 
seorang pun yang akan memiliki suatu motivasi untuk berbohong dengan 
menyatakan bahwa orang-orang ini menulis ketiga Injil tersebut, 
padahal sebenarnya bukan mereka?"

Blomberg menggelengkan kepalanya. "Mungkin tidak. Ingat, mereka adalah 
karakter-karakter yang tidak mungkin ditunjuk untuk maksud itu," 
katanya, suatu senyum lebar terbentuk di wajahnya. "Markus dan Lukas 
bahkan tidak termasuk dalam keduabelas murid. Matius memang, namun 
sebagai seorang bekas pemungut cukai yang dibenci, ia pasti akan 
menjadi karakter yang paling tidak disukai selain Yudas Iskariot, yang 
mengkhianati Yesus!"

"Bandingkan ini dengan apa yang terjadi ketika injil-injil apokrifa 
ditulis dan muncul lama sesudah itu. Orang-orang memilih nama figur-
figur yang terkenal dan patut dicontoh sebagai penulis fiktifnya --
Filipus, Petrus, Maria, Yakobus. Nama-nama itu jauh lebih berbobot 
daripada nama-nama Matius, Markus, dan Lukas. Jadi untuk menjawab 
pertanyaan Anda, tidak akan ada alasan apa pun untuk menghubungkan 
kepenulisan kepada ketiga orang yang lebih kurang dihormati ini jika 
itu tidak benar."

Ini kedengaran logis, namun nyata bahwa ia dengan mudahnya melewatkan 
satu dari para penulis Injil. "Bagaimana dengan Yohanes?" saya 
bertanya. "Ia amat sangat menonjol; sebenarnya, ia bukan saja salah 
satu dari keduabelas murid melainkan salah satu dari tiga orang yang 
paling dekat dengan Yesus, bersama Yakobus dan Petrus."

"Ya, itu merupakan satu pengecualian," Blomberg mengakuinya dengan 
satu anggukan kepala. "Dan yang menarik, Yohanes adalah satu-satunya 
Injil yang dipertanyakan dalam hal kepenulisannya."

"Nama si penulis tidaklah diragukan -- tentu saja Yohanes," jawab 
Blomberg. "Pertanyaannya adalah apakah itu Yohanes sang rasul atau 
Yohanes yang lain."

"Anda lihat, kesaksian seorang penulis Kristen bernama Papias, 
bertanggal sekitar 125 M, merujuk kepada Yohanes sang rasul dan 
Yohanes yang lebih tua, dan tidak jelas dari konteksnya apakah ia 
berbicara tentang seseorang dari dua sudut pandang yang berbeda atau 
berbicara tentang dua orang yang berbeda. Namun karena pengecualian 
tadi, kesaksian awal selebihnya dengan suara bulat menyepakati bahwa 
Yohanes sang rasullah -- anak Zebedeus -- yang menulis Injil."

"Dan," kata saya dalam usaha untuk menekannya lebih keras, 
"Anda yakin bahwa ia yang menulisnya?"

"Ya, saya percaya bahwa mayoritas penting dari material itu 
kembali kepada sang rasul," ia menjawab. "Bagaimanapun juga, 
jika Anda membaca Injil dengan teliti, Anda dapat melihat beberapa 
indikasi bahwa ayat- ayat kesimpulannya mungkin telah diberi sentuhan 
akhir oleh seorang editor. Secara pribadi, saya tidak punya masalah 
untuk percaya bahwa seseorang yang memiliki hubungan sangat dekat 
dengan Yohanes mungkin memainkan peran itu, memperbaiki ayat-ayat 
terakhir dan kemungkinan besar menciptakan keseragaman gaya bahasa 
pada seluruh dokumen."

"Namun dalam peristiwa apa pun," ia menekankan, "Injil 
ini jelas-jelas berdasar pada material saksi mata, seperti halnya 
ketiga Injil yang lain."

MENYELIDIKI HAL-HAL YANG SPESIFIK

"Mari kembali ke Markus, Matius, dan Lukas," kata saya. "Bukti 
spesifik apa yang Anda miliki bahwa mereka adalah para penulis Injil?"

Blomberg mencondongkan diri ke depan. "Sekali lagi, kesaksian tertua 
dan mungkin terpenting datang dari Papias, yang pada sekitar tahun 125 
M, secara spesifik menegaskan bahwa Markus telah dengan teliti dan 
akurat mencatat pengamatan-pengamatan saksi mata Petrus. Sebenarnya, 
ia berkata bahwa Markus `tidak membuat kesalahan` dan tidak memasukkan 
`pernyataan palsu apa pun.` Dan Papias berkata bahwa Matius juga telah 
memelihara ajaran-ajaran Yesus secara demikian."

"Kemudian Irenaeus, menulis sekitar tahun 180 M, memperkuat 
kepenulisan tradisional tersebut. Sebenarnya, di sini," ia berkata, 
meraih sebuah buku. Ia membukanya dan membaca kata-kata Irenaeus.

"Matius menerbitkan Injilnya sendiri di antara orang-orang Yahudi 
dalam bahasa mereka sendiri, selagi Petrus dan Paulus memberitakan 
Injil di Roma dan mendirikan gereja di sana. Setelah kepergian mereka, 
Markus, murid dan penafsir Petrus, memberikan sendiri kepada kami 
tulisan berisi pokok-pokok khotbah Petrus. Lukas, pengikut Paulus, 
mengumpulkan Injil yang diberitakan gurunya dalam sebuah buku. 
Kemudian Yohanes, murid Tuhan, yang juga bersandar di dada-Nya, 
menuliskan sendiri Injilnya sementara ia tinggal di Efesus di Asia."

Saya mendongak dari catatan-catatan yang sedang saya buat. "Oke, 
biarkan saya menjernihkan hal ini," kata saya. "Jika kita dapat 
meyakini bahwa keempat Injil ditulis oleh Matius dan Yohanes, murid-
murid Yesus, oleh Markus, yang menyertai Rasul Petrus, dan oleh Lukas, 
si sejarawan yang menyertai Paulus, dan semacam jurnalis abad pertama, 
kita dapat menjadi yakin bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka catat 
didasarkan pada kesaksian saksi mata secara langsung ataupun tak 
langsung."

"Tepat sekali," katanya singkat.

BIOGRAFI-BIOGRAFI KUNO VERSUS MODERN

Masih ada beberapa aspek yang mengganggu dari keempat Injil yang perlu 
saya jernihkan. Secara khusus, saya ingin lebih memahami jenis gaya 
sastra yang mereka wakili.

"Ketika saya pergi ke toko buku dan melihat pada bagian biografi, saya 
tidak melihat jenis tulisan yang sama dengan yang saya lihat dalam 
keempat Injil," kata saya. "Kalau seseorang menulis suatu biografi 
saat ini, mereka secara menyeluruh menyelidiki kehidupan orang 
tersebut. Namun coba lihat Markus, ia tidak berbicara tentang 
kelahiran Yesus atau apa pun juga tentang tahun-tahun pertama 
kedewasaan Yesus. Sebaliknya, ia berfokus pada suatu periode tiga 
tahun dan mengisi separuh Injilnya dengan peristiwa-peristiwa yang 
menuju ke dan memuncak pada minggu terakhir Yesus. Bagaimana Anda 
dapat menjelaskan itu?"

Blomberg mengacungkan dua jari. "Ada dua alasan," jawabnya. "Yang satu 
berkaitan dengan kesusastraan dan yang lain bersifat teologis."

"Alasan kesusastraan adalah bahwa pada dasarnya, beginilah cara orang-
orang menulis biografi pada zaman kuno. Mereka tidak memiliki 
pemahaman, seperti yang kita miliki sekarang, bahwa penting untuk 
memberikan proporsi yang seimbang kepada semua periode dalam kehidupan 
seseorang atau bahwa perlu untuk menceritakan kisah tersebut dalam 
urutan kronologis yang tepat atau bahkan untuk mengutip orang-orang 
secara kata demi kata, sejauh esensi dari apa yang mereka katakan 
dipertahankan. Orang-orang Yunani dan Yahudi kuno bahkan tidak 
memiliki simbol untuk tanda-tanda kutipan."

"Satu-satunya tujuan untuk apa sejarah perlu dicatat menurut mereka 
adalah karena terdapat beberapa hal yang harus dipelajari dari 
karakter-karakter yang dideskripsikan. Dengan demikian, para penulis 
biografi ingin berdiam sepanjang porsi bagian kehidupan orang tersebut 
yang patut diteladani, yang membantu menjelaskan, yang dapat menolong 
orang lain, yang memberi makna pada suatu periode sejarah."

"Dan apa alasan teologisnya?" tanya saya.

"Itu mengalir dari pokok yang baru saja saya jelaskan. Orang-orang 
Kristen percaya bahwa sebagaimana menakjubkannya kehidupan dan ajaran 
dan mujizat Yesus, kehidupan mereka tidak akan bermakna jika secara 
historis kematian Kristus dan kebangkitan-Nya dari kematian dan bahwa 
ini memberikan pendamaian, atau pengampunan, atas dosa kemanusiaan, 
tidak berdasar pada fakta-fakta yang sesungguhnya."

"Jadi, Markus pada khususnya, sebagai penulis dari Injil yang mungkin 
ditulis paling awal, mempersembahkan kira-kira separuh kisahnya bagi 
peristiwa-peristiwa yang menuju ke dan mencakup periode waktu satu 
minggu dan memuncak pada kematian dan kebangkitan Kristus."

"Dengan pentingnya penyaliban," ia menyimpulkan, "ini sangat masuk 
akal dalam literatur kuno."

MISTERI Q

Sebagai tambahan kepada keempat Injil, para sarjana sering merujuk 
kepada apa yang mereka sebut Q, yang mewakili kata bahasa Jerman 
"Quelle", atau "sumber." Karena kemiripan bahasa dan isi, telah 
diasumsikan secara tradisional bahwa Matius dan Lukas menggunakan 
Injil Markus yang telah ditulis lebih dulu dalam menuliskan Injil 
mereka sendiri. Sebagai tambahan, para sarjana berkata bahwa Matius 
dan Lukas juga memasukkan beberapa material dari Q misterius ini, 
material yang tidak ada dalam Markus.

"Sebenarnya apakah Q ini?" tanya saya pada Blomberg.

"Itu tidak lebih dari suatu hipotesis," jawabnya, sekali lagi 
menyandar dengan santai di kursinya. "Dengan sedikit perkecualian, itu 
hanyalah perkataan-perkataan atau ajaran-ajaran Yesus, yang mungkin 
sekali waktu dulu pernah menjadi sebuah dokumen yang berdiri sendiri 
dan terpisah."

"Anda lihat, dulu adalah suatu gaya sastra yang umum untuk 
mengumpulkan perkataan-perkataan dari guru-guru yang dihormati, 
seperti kalau kita memilih lagu-lagu terbaik dari seorang penyanyi dan 
mengumpulkannya dalam suatu album `terbaik`. Q mungkin adalah sesuatu 
seperti itu. Setidaknya itulah teorinya."

Namun, jika Q ada sebelum Matius dan Lukas, itu akan merupakan 
material awal tentang Yesus. Barangkali, saya pikir, itu dapat memberi 
penjelasan baru pada seperti apakah Yesus sebenarnya.

"Izinkan saya menanyakan ini," kata saya. "Jika Anda memisahkan 
material dari Q saja, gambaran Yesus seperti apa yang Anda dapatkan?"

Blomberg mengusap janggutnya dan menatap langit-langit ruangan untuk 
sesaat seraya ia merenungkan pertanyaan itu. "Yah, Anda harus tetap 
mengingat bahwa Q adalah suatu kumpulan perkataan, dan dengan demikian 
itu tidak memiliki material kisah yang akan memberi kita suatu 
gambaran tentang Yesus yang lebih bulat sepenuhnya," jawabnya, 
berbicara dengan perlahan sementara ia memilih tiap kata yang ia 
ucapkan dengan hati-hati.

"Meskipun demikian, Anda mendapati bahwa Yesus membuat beberapa 
pernyataan yang kuat sebagai misal, bahwa Ia adalah Firman yang 
menjelma menjadi manusia dan bahwa Ia adalah Dia yang melalui-Nya 
Tuhan akan menghakimi semua manusia, entah mereka mengakui-Nya atau 
menyangkali-Nya. Sebuah buku kesarjanaan penting baru-baru ini telah 
mengajukan pendapat bahwa jika Anda memisahkan semua perkataan Q, 
seseorang sebenarnya memperoleh gambaran yang sama tentang Yesus --
seorang yang membuat pernyataan-pernyataan yang berani tentang diri-
Nya sendiri -- sebagaimana yang Anda dapati dalam keempat Injil secara 
lebih umum."

Saya ingin menekannya lebih jauh pada titik ini. "Tidakkah Ia akan 
terlihat sebagai seorang pembuat mujizat?" selidik saya.

"Sekali lagi," jawabnya, "Anda harus mengingat bahwa Anda tidak akan 
mendapatkan banyak cerita mujizat sebagai sesuatu yang berdiri 
sendiri, karena itu semua biasanya ditemukan di dalam kisah, dan Q 
terutama adalah suatu daftar perkataan."

Ia berhenti untuk menjangkau ke atas mejanya, mengambil sebuah Alkitab 
bersampul kulit, dan membalik halaman-halamannya yang usang.

"Namun, sebagai contoh, Lukas 7:18-23 dan Matius 11:2-6 berkata bahwa 
Yohanes Pembaptis mengirim utusan-utusannya untuk bertanya pada Yesus 
apakah Ia benar-benar Kristus, sang Mesias yang mereka nanti-nantikan. 
Yesus menjawab pada intinya, `Katakan padanya untuk mempertimbangkan 
mujizat-mujizat-Ku. Katakan pada-Nya apa yang telah kamu lihat: yang 
buta melihat, yang tuli mendengar, yang timpang berjalan, yang miskin 
telah mendengar kabar baik yang diberitakan kepada mereka.`"

"Jadi, bahkan dalam Q," ia menyimpulkan, "jelas terdapat suatu 
kesadaran akan pelayanan mujizat-mujizat Yesus."

Disebutkannya Matius oleh Blomberg memunculkan pertanyaan lain dalam 
pikiran saya tentang bagaimana keempat Injil dikumpulkan. "Mengapa," 
tanya saya, "Matius -- yang mengaku sebagai saksi mata Yesus --
memasukkan bagian dari suatu Injil yang ditulis oleh Markus, yang 
semua orang setuju bahwa ia bukanlah seorang saksi mata? Jika Injil 
Matius benar-benar ditulis oleh seorang saksi mata, Anda akan berpikir 
bahwa ia pasti mengandalkan pengamatannya sendiri.

Blomberg tersenyum. "Itu hanya masuk akal jika Markus memang 
mendasarkan laporannya pada ingatan kesaksian mata Petrus," katanya. 
"Seperti yang Anda katakan sendiri, Petrus adalah seorang yang berada 
dalam kalangan terdekat Yesus dan secara pribadi dapat melihat dan 
mendengar hal-hal yang tidak dilihat dan didengar murid-murid lain. 
Jadi, akan masuk akal bagi Matius, bahkan meskipun ia adalah seorang 
saksi mata, untuk mengandalkan versi Petrus tentang peristiwa-
peristiwa sebagaimana yang diteruskannya melalui Markus."

Ya, pikir saya kepada diri sendiri, itu memang masuk akal. Sebenarnya, 
suatu analogi mulai terbentuk dalam pikiran saya berdasarkan 
pengalaman saya selama bertahun-tahun sebagai seorang reporter surat 
kabar. Saya ingat menjadi bagian dari sekerumunan jurnalis yang 
mengepung seorang tokoh politik Chicago terkenal, almarhum Walikota 
Richard J. Daley, untuk menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan 
tentang sebuah skandal yang terjadi di dalam angkatan kepolisian. Ia 
mengucapkan beberapa perkataan sebelum menyelamatkan diri ke dalam 
limusinnya.

Bahkan walaupun saya adalah seorang saksi mata atas apa yang telah 
terjadi, saya segera mendatangi seorang reporter radio yang telah 
berada lebih dekat dengan Daley, dan memintanya untuk memutar kembali 
rekamannya yang berisi apa yang baru saja dikatakan oleh Daley. Dengan 
cara ini, saya dapat memastikan bahwa saya menuliskan kata-katanya 
dengan tepat.

Itu, setelah saya renungkan, rupanya adalah apa yang Matius lakukan 
dengan Markus -- meskipun Matius memiliki ingatannya sendiri sebagai 
seorang murid (saksi mata), pencariannya akan keakuratan mendorongnya 
untuk mengandalkan beberapa material yang datang langsung dari Petrus 
sebagai kalangan terdekat Yesus.

PERSPEKTIF UNIK YOHANES

Merasa puas dengan jawaban-jawaban awal Blomberg mengenai tiga Injil 
pertama -- yang disebut sinoptik, yang berarti `melihat pada saat yang 
bersamaan` karena garis besar dan hubungan timbal-balik mereka yang 
mirip -- selanjutnya saya mengalihkan perhatian saya pada Injil 
Yohanes. Siapa pun yang membaca keempat Injil secara menyeluruh akan 
segera menyadari bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara sinoptik 
dan Injil Yohanes, dan saya ingin mengetahui apakah ini berarti 
terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak dapat dirujukkan di antara 
mereka.

"Dapatkah Anda menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Injil-injil 
sinoptik dengan Injil Yohanes?" tanya saya pada Blomberg.

Kedua alisnya terangkat. "Pertanyaan besar!" serunya. "Saya berharap 
dapat menulis satu buku penuh mengenai topik ini."

Setelah saya meyakinkannya bahwa saya hanya mencari pokok-pokok dari 
isu ini, bukan suatu diskusi yang mendalam, ia kembali memapankan diri 
di kursinya.

"Yah, memang benar bahwa Yohanes lebih berbeda daripada mirip dengan 
sinoptik," ia memulai. "Hanya sedikit kisah-kisah utama dalam tiga 
Injil lain yang muncul dalam Yohanes, meskipun perubahan-perubahan itu 
kelihatan jelas jika seseorang membaca sampai pada minggu terakhir 
Yesus. Sejak titik itu paralel -- maka paralel selanjutnya jauh lebih 
mirip."

"Kelihatannya juga terdapat suatu gaya bahasa yang sangat berbeda. 
Dalam Yohanes, Yesus menggunakan peristilahan yang berbeda, ia 
berbicara dalam khotbah-khotbah yang panjang, dan kelihatannya 
terdapat suatu Kristologi (studi atas karya dan pribadi Yesus Kristus 
serta literatur yang berkaitan dengan-Nya) yang lebih tinggi, yakni 
pernyataan-pernyataan yang lebih langsung dan blak-blakan bahwa Yesus 
adalah satu dengan Bapa; Tuhan sendiri; Jalan, Kebenaran, dan Hidup; 
Kebangkitan dan Hidup."

"Apa yang menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut?" tanya saya.

"Selama bertahun-tahun, asumsinya adalah bahwa Yohanes mengetahui 
semua yang ditulis oleh Matius, Markus, dan Lukas, dan ia melihat 
bahwa semuanya itu tidak perlu diulangi lagi, jadi secara sadar ia 
memilih untuk memberi tambahan kepada mereka. Baru-baru ini muncul 
asumsi bahwa Yohanes sebagian besar tidak bergantung pada ketiga Injil 
yang lain, yang dapat menjelaskan tidak hanya pilihan-pilihan material 
yang berbeda melainkan juga perspektif-perspektif yang berbeda tentang 
Yesus."

PERNYATAAN-PERNYATAAN YESUS YANG PALING BERANI

"Terdapat beberapa perbedaan teologis dalam Yohanes," kata saya 
setelah melakukan pengamatan.

"Memang, tetapi apakah mereka pantas disebut sebagai kontradiksi-
kontradiksi? Saya pikir jawabannya adalah tidak, dan sebabnya adalah: 
hampir untuk setiap tema atau perbedaan utama dalam Yohanes, dapat 
Anda temukan paralelnya dalam Matius, Markus, dan Lukas, bahkan jika 
mereka tidak sama banyaknya."

Itu merupakan suatu pernyataan yang sangat tegas. Saya segera 
memutuskan untuk mengujinya dengan mengangkat isu yang mungkin paling 
penting di atas segalanya mengenai perbedaan-perbedaan antara sinoptik 
dan Injil Yohanes.

"Yohanes membuat pernyataan-pernyataan yang sangat eksplisit tentang 
Yesus sebagai Tuhan, yang beberapa di antaranya berhubungan dengan 
fakta bahwa ia menulisnya lebih belakangan daripada yang lain dan 
mulai membumbui banyak hal," kata saya. "Dapatkah Anda menemukan tema 
ketuhanan ini dalam sinoptik?"

"Ya, saya dapat," katanya. "Lebih implisit dan Anda akan menemukannya 
di sana. Pikirkan kisah Yesus berjalan di atas air, temukan dalam 
Matius 14:22-33 dan Markus 6:45-52. Sebagian besar terjemahan bahasa 
Inggris menyembunyikan bahasa Yunaninya dengan mengutip bahwa Yesus 
berkata, `Aku ini, jangan takut! (Fear not, it is I)` Sebenarnya, 
bahasa Yunaninya secara harafiah mengatakan, `Jangan takut, Akulah Aku 
(Fear not, I am).` Kedua kata terakhir ini identik dengan apa yang 
Yesus katakan dalam Yohanes 8:58, ketika ia ia memanggil diri-Nya 
sendiri nama ilahi `Aku (adalah Aku),` yang merupakan cara Tuhan 
mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada Musa dalam semak-semak yang 
terbakar dalam Keluaran 3:14. Jadi, Yesus mengungkapkan diri-Nya 
sendiri sebagai Dia yang memiliki kuasa ilahi atas alam yang sama 
seperti Yahwe, Tuhan Perjanjian Lama."

Saya mengangguk. "Itu satu contoh," kata saya. "Apakah Anda memiliki 
contoh lainnya?"

"Ya, saya dapat menjelaskan ini satu per satu," kata Blomberg. 
"Sebagai contoh, gelar Yesus yang paling umum bagi diri-Nya sendiri 
dalam tiga Injil pertama adalah `Anak Manusia` dan ..."

Saya mengangkat tangan saya untuk menghentikannya. "Tunggu sebentar," 
kata saya. Meraih ke dalam tas kerja saya, saya menarik sebuah buku 
dan membalik-balik halamannya sampai saya menemukan kutipan yang saya 
cari. "Karen Armstrong, mantan biarawati yang menulis buku laris `A 
History of God` (Sejarah Tuhan), berkata bahwa kelihatannya istilah 
`Anak Manusia` `hanya menekankan kelemahan dan mortalitas kondisi 
manusia`, jadi dengan menggunakan istilah tersebut, Yesus sekadar 
menekankan bahwa `ia adalah seorang manusia lemah yang pada suatu hari 
akan menderita dan mati`. Jika itu benar," kata saya, "itu tidak 
terlalu kedengaran sebagai suatu pernyataan akan ketuhanan."

Ekspresi Blomberg menjadi masam. "Lihat," katanya sungguh-sungguh, 
"bertentangan dengan apa yang secara populer dipercayai, `Anak 
Manusia` terutama tidak merujuk pada kemanusiaan Yesus. Sebaliknya, 
itu adalah suatu kiasan langsung dari Daniel 7:13-14."

Bersamaan dengan itu ia membuka Perjanjian Lama dan membaca kata-kata 
Nabi Daniel itu.

"Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan 
awan-awan dari langit seorang seperti anak-manusia; datanglah ia 
kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu 
diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai 
raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa 
mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang 
tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan 
musnah."

Blomberg menutup Alkitab itu. "Jadi, lihat pada apa yang Yesus lakukan 
dengan menerapkan istilah `Anak Manusia` kepada diri-Nya sendiri," 
lanjutnya. Ini adalah seseorang yang mendekati Tuhan berdiri dalam 
hadirat sorgawi-Nya dan diberikan kekuasaan serta dominion universal. 
Itu membuat `Anak Manusia` menjadi sebuah gelar kemuliaan yang besar, 
bukan sekedar kemanusiaan."

Selanjutnya saya menemukan sebuah komentar oleh sarjana lain yang akan 
segera saya wawancarai untuk buku ini, William Lane Craig, yang telah 
membuat pengamatan serupa.

"Anak Manusia" sering dianggap mengindikasikan kemanusiaan Yesus, 
persis seperti ekspresi refleks "Anak Allah" mengindikasikan 
ketuhanan-Nya. Sebenarnya, kebalikannyalah yang benar. Anak Manusia 
adalah seorang figur ilahi dalam kitab Daniel di Perjanjian Lama yang 
akan datang pada akhir zaman untuk menghakimi umat manusia dan 
memerintah selamanya. Akibatnya, pernyataan sebagai Anak Manusia akan 
menjadi suatu pernyataan ketuhanan.

Lanjut Blomberg: "Sebagai tambahan, Yesus menyatakan akan mengampuni 
dosa-dosa dalam Injil-injil sinoptik, dan itu adalah sesuatu yang 
hanya Tuhan yang dapat melakukannya. Yesus menerima doa dan 
penyembahan. Yesus berkata, `Barangsiapa mengakui Aku, Aku akan 
mengakuinya di hadapan Bapa di sorga.` Penghakiman terakhir didasarkan 
pada reaksi seseorang kepada siapa? Manusia biasa ini? Tidak, itu akan 
menjadi suatu pernyataan yang sangat arogan. Penghakiman terakhir 
didasarkan pada reaksi seseorang pada Yesus sebagai Tuhan."

"Seperti yang dapat Anda lihat, ada semua jenis material dalam 
sinoptik tentang ketuhanan Kristus, yang kemudian menjadi lebih 
eksplisit dalam Injil Yohanes."

AGENDA TEOLOGIS KEEMPAT INJIL

Dalam menulis Injil terakhir, Yohanes benar-benar memiliki keuntungan 
karena dapat mempertimbangkan isu-isu teologis dalam suatu periode 
waktu yang lebih lama. Jadi saya bertanya pada Blomberg, "Tidakkah 
fakta bahwa Yohanes menulis dengan suatu kecenderungan teologis yang 
lebih besar berarti bahwa material historisnya mungkin telah dicemari 
dan dengan demikian menjadi kurang dapat dipercaya?"

"Saya tidak percaya bahwa Yohanes lebih teologis," Blomberg 
menekankan. "Ia hanya memiliki kumpulan penekanan-penekanan teologis 
yang berbeda. Matius, Markus, dan Lukas masing-masing memiliki sudut-
sudut teologis yang sangat berbeda yang ingin mereka soroti: Lukas, 
teolog yang memberi perhatian pada mereka yang miskin dan masalah 
sosial; Matius, teolog yang mencoba memahami hubungan antara 
Kekristenan dengan Yudaisme; Markus, yang menunjukkan Yesus sebagai 
budak yang menderita. Anda dapat membuat daftar yang panjang mengenai 
perbedaan teologis antara Matius, Markus, dan Lukas."

Saya menyelanya karena takut Blomberg kehilangan maksud utama saya 
yang lebih luas. "Oke, tetapi tidakkah motivasi-motivasi teologis itu 
menimbulkan keraguan akan kemampuan dan kemauan mereka untuk secara 
akurat melaporkan apa yang terjadi?" tanya saya. "Apakah tidak mungkin 
bahwa agenda teologis mereka akan mendorong mereka untuk mengubah dan 
memutarbalikkan sejarah yang mereka catat?"

"Itu tentunya berarti bahwa sebagaimana halnya dengan dokumen 
ideologis mana pun juga, kita harus mempertimbangkannya sebagai suatu 
kemungkinan," ia mengakui. "Ada orang-orang dengan keyakinan kuat 
untuk melakukan sesuatu dengan mengubah sejarah untuk mencapai tujuan 
ideologis mereka, namun sayangnya orang-orang telah menyimpulkan bahwa 
itu selalu terjadi, padahal itu adalah suatu kesimpulan yang salah."

"Dalam dunia kuno, gagasan untuk menulis sejarah yang tidak memihak 
dan objektif sekadar untuk mencatat peristiwa-peristiwa secara 
kronologis, tanpa tujuan ideologis apa pun, tidak pernah terdengar. 
Tidak seorang pun menulis sejarah jika tidak terdapat suatu alasan 
untuk belajar dari itu."

Saya tersenyum. "Saya kira Anda dapat berkata bahwa itu membuat 
segalanya menjadi patut dicurigai," saya berpendapat.

"Ya, pada suatu tingkat memang," jawabnya. "Namun, jika kita secara 
masuk akal dapat merekonstruksi sejarah yang akurat dari semua jenis 
sumber sejarah kuno lainnya, kita seharusnya mampu melakukannya dari 
keempat Injil, bahkan meskipun mereka juga ideologis."

Blomberg berpikir sejenak, memikirkan sebuah analogi yang sesuai untuk 
menyampaikan maksudnya. Akhirnya ia berkata, "Berikut ini adalah 
sebuah paralel modern, dari pengalaman komunitas Yahudi, yang mungkin 
dapat menjelaskan apa yang saya maksudkan."

"Beberapa orang, biasanya untuk tujuan-tujuan anti-Semitik (Semitik: 
bangsa-bangsa yang berbahasa Semit, umumnya dipakai untuk mengacu 
kepada bangsa Yahudi), menyangkal atau mengecilkan kengerian-kengerian 
Holocaust (usaha pemusnahan orang-orang ras Yahudi di Eropa oleh Nazi 
sebelum dan selama Perang Dunia II). Namun, para sarjana Yahudilah 
yang menciptakan museum-museum, menulis buku-buku, memelihara artifak-
artifak, dan mendokumentasikan kesaksian saksi mata mengenai 
Holocaust."

"Nah, mereka memiliki suatu tujuan yang sangat ideologis yakni, untuk 
memastikan agar kekejaman semacam itu tidak akan pernah terjadi lagi, 
namun mereka juga menjadi orang-orang yang paling setia dan objektif 
dalam melaporkan kebenaran sejarah.

"Kekristenan juga berdasar pada pernyataan-pernyataan historis 
tertentu bahwa Tuhan secara unik memasuki ruang dan waktu dalam 
pribadi Yesus dari Nazaret sehingga ideologi yang diupayakan oleh 
orang-orang Kristen untuk dikembangkan itu memerlukan karya historis 
yang sehati-hati mungkin."

Ia membiarkan analoginya diresapi. Berpaling untuk menghadap saya 
lebih langsung, ia bertanya, "Apakah Anda menangkap maksud saya?"

Saya mengangguk untuk mengindikasikan bahwa saya sudah menangkap 
maksudnya.

BERITA-BERITA HANGAT DARI SEJARAH

Mengatakan bahwa keempat Injil berakar pada kesaksian saksi mata 
langsung maupun tidak langsung adalah satu hal, namun menyatakan bahwa 
informasi ini secara dapat diandalkan dipelihara sampai akhirnya 
dituliskan bertahun-tahun kemudian merupakan hal yang berbeda. Ini, 
saya tahu, adalah suatu pokok pernyataan besar, dan saya ingin 
menantang Blomberg dengan isu ini seterus-terang mungkin.

Sekali lagi saya mengambil buku populer Armstrong, "A History of God". 
"Coba dengarkan hal lain yang ia tulis," kata saya.

"Kita hanya mengetahui sangat sedikit tentang Yesus. Laporan panjang 
pertama tentang kehidupan-Nya adalah dalam Injil Santo Markus, yang 
tidak dituliskan sampai sekitar tahun 70, kira-kira empat puluh tahun 
setelah kematian-Nya. Pada saat itu, fakta-fakta sejarah telah 
diselaputi elemen-elemen dongeng yang mengekspresikan makna yang telah 
Yesus berikan kepada para pengikut-Nya. Makna inilah yang terutama 
disampaikan oleh Santo Markus lebih daripada suatu pelukisan terus 
terang yang dapat dipercaya.

Melemparkan buku itu kembali ke dalam tas kerja saya yang terbuka, 
saya berpaling kepada Blomberg dan melanjutkan. "Beberapa sarjana 
berkata bahwa keempat Injil ditulis begitu jauh setelah legenda 
mengembang dan mengubah peristiwa-peristiwa yang akhirnya dituliskan; 
mengubah Yesus dari sekadar seorang guru yang bijak menjadi Anak Allah 
yang mitologis. Apakah itu merupakan suatu hipotesis yang masuk akal 
atau adakah suatu bukti yang bagus bahwa keempat Injil dicatat lebih 
awal daripada itu, sebelum legenda dapat sepenuhnya mengubah apa yang 
pada akhirnya dicatat?"

Kedua mata Blomberg menyipit, dan suaranya bernada kukuh. "Ada dua isu 
terpisah di sini, dan penting untuk menjaga keduanya tetap terpisah," 
katanya. "Saya sungguh-sungguh berpikir bahwa terdapat bukti yang 
bagus untuk mengusulkan tanggal-tanggal yang awal bagi penulisan 
keempat Injil. Namun kalaupun tidak ada, argumen Armstrong 
bagaimanapun juga tidak akan terbukti."

"Mengapa tidak?" tanya saya.

"Penanggalan standar oleh para sarjana, bahkan dalam kalangan yang 
sangat liberal, adalah Markus pada tahun 70-an, Matius dan Lukas pada 
tahun 80-an, Yohanes pada tahun 90-an. Tapi dengar: itu masih tetap di 
dalam masa ketika banyak saksi mata Yesus masih hidup, termasuk para 
saksi mata yang memusuhi yang akan berperan sebagai pengoreksi jika 
ajaran-ajaran yang salah tentang Yesus disebarluaskan.

"Secara konsekuen, tanggal-tanggal untuk keempat Injil ini benar-benar 
tidak semuanya selambat itu. Sebenarnya, kita dapat membuat suatu 
perbandingan yang sarat informasi."

"Dua biografi Alexander Agung yang paling awal ditulis oleh Arrian dan 
Plutarch lebih dari empat ratus tahun setelah kematian Alexander pada 
tahun 323 SM. Walaupun demikian, para sejarawan menganggap bahwa 
secara umum keduanya patut dipercaya. Ya, material legendaris tentang 
Alexander memang berkembang seiring berlalunya waktu, namun itu hanya 
dalam abad-abad setelah kedua penulis ini mati.

"Dengan kata lain, kisah Alexander terpelihara cukup utuh selama lima 
ratus tahun pertama; material legendaris mulai muncul selama lima 
ratus tahun sesudahnya. Jadi, entah apakah keempat Injil dituliskan 
enam puluh atau tiga puluh tahun setelah kehidupan Yesus, jumlah 
waktunya dapat diabaikan menurut perbandingan ini. Itu hampir bukan 
merupakan isu."

Saya dapat memahami apa yang dikatakan Blomberg. Pada saat yang sama, 
saya memiliki beberapa keberatan mengenai itu. Menurut saya, secara 
intuitif kelihatan jelas bahwa semakin singkat celah antara sebuah 
peristiwa dan saat ketika itu dicatat dalam tulisan, semakin berkurang 
kemungkinan bahwa rulisan-tulisan itu akan menjadi legenda atau 
memori-memori yang salah.

"Untuk saat ini saya mengakui kebenaran pendapat Anda, namun marilah 
segera kembali pada penanggalan keempat Injil," kata saya. "Anda 
mengindikasikan bahwa Anda percaya keempat Injil ditulis lebih awal 
daripada tanggal-tanggal yang Anda sebutkan."

"Ya, lebih awal," katanya. "Dan kita dapat menguatkannya dengan 
memerhatikan kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas. Kisah 
Para Rasul rupanya belum selesai ditulis -- Paulus adalah figur 
sentral dalam kitab itu, dan ia berada dalam tahanan rumah di Roma. 
Dengan laporan itu, kitab tersebut secara mendadak terputus. Apa yang 
terjadi pada Paulus? Kita tidak menemukannya dalam Kisah Para Rasul, 
mungkin karena kitab itu ditulis sebelum Paulus dihukum mati."

Blomberg semakin bersemangat seraya ia melanjutkannya. "Itu berarti 
Kisah Para Rasul tidak dapat diberi tanggal lebih lama daripada tahun 
62 M. Dengan menetapkan demikian, kita kemudian dapat bergerak mundur 
dari situ. Karena Kisah Para Rasul merupakan yang kedua dari sebuah 
karya yang terdiri dari dua bagian, kita tahu bagian yang pertama --
Injil Lukas -- pasti telah ditulis lebih awal dari itu. Dan karena 
Lukas memasukkan bagian-bagian dari Injil Markus, itu berarti Markus 
ditulis bahkan lebih awal lagi."

"Jika Anda memberikan waktu mungkin satu tahun bagi tiap-tiap kitab 
tersebut, Anda akan mendapat hitungan akhir bahwa Injil Markus ditulis 
tidak lebih lama dari sekitar tahun 60 M., mungkin bahkan pada akhir 
tahun 50-an. Jika Yesus dihukum mati tahun 30 atau 33 M, kita 
membicarakan suatu celah maksimum sebesar kurang lebih tiga puluh 
tahun."

Ia duduk kembali di kursinya dengan suatu raut kemenangan. "Berbicara 
secara historis, khususnya dibandingkan dengan Alexander Agung," 
katanya, "itu seperti suatu berita kilat!"

Memang, itu mengesankan, menutup celah antara peristiwa-peristiwa 
kehidupan Yesus dan penulisan keempat Injil sampai pada titik di mana 
itu dapat diabaikan oleh standar-standar historis. Bagaimanapun juga, 
saya masih ingin mendesakkan isu ini. Sasaran saya adalah memutar 
waktu mundur kembali sejauh yang saya bisa untuk sampai pada informasi 
yang paling awal tentang Yesus.

KEMBALI KE AWAL

Saya berdiri dan berjalan ke lemari buku. "Mari lihat apakah kita 
dapat kembali bahkan lebih jauh lagi," kata saya, berpaling menghadap 
Blomberg. "Seberapa awal kita dapat memberi tanggal pada kepercayaan-
kepercayaan mendasar kepada pendamaian Yesus, kebangkitan-Nya, dan 
hubungan-Nya yang unik dengan Tuhan?"

"Penting untuk mengingat bahwa kitab-kitab Perjanjian Baru tidak 
disusun berdasarkan urutan kronologis," ia memulai. "Keempat Injil 
ditulis setelah selesainya hampir seluruh surat-surat Paulus, yang 
pelayanan menulisnya barangkali dimulai pada akhir tahun 40-an. 
Kebanyakan surat-surat utamanya muncul selama tahun 50-an. Untuk 
menemukan informasi yang paling awal, seseorang melihat surat-surat 
Paulus dan kemudian bertanya, `Apakah ada tanda-tanda bahwa sumber-
sumber yang bahkan lebih awal digunakan dalam penulisan semua surat 
itu?`"

"Dan," potong saya, "apa yang kita temukan?"

"Kita menemukan bahwa Paulus memasukkan beberapa pernyataan 
kepercayaan, pengakuan-pengakuan iman, atau himne-himne dari gereja 
Kristen paling awal. Ini semua kembali ke bangkitnya gereja segera 
sesudah Kebangkitan Kristus."

"Pernyataan kepercayaan yang paling terkenal mencakup Filipi 2:6, yang 
berbicara tentang Yesus dalam `rupa Allah`, dan Kolose 1:15-20, yang 
mendeskripsikan Yesus sebagai `gambar Allah yang tidak kelihatan`, 
yang menciptakan segalanya dan melalui siapa segala sesuatu 
diperdamaikan dengan Allah dengan `mengadakan pendamaian oleh darah 
salib Kristus.`"

"Semua itu tentu saja penting dalam menjelaskan apa yang diyakini 
orang-orang Kristen paling awal tentang Yesus. Namun barangkali 
pernyataan kepercayaan paling penting dalam istilah-istilah Yesus yang 
historis adalah 1Korintus 15, di mana Paulus menggunakan bahasa teknis 
untuk mengindikasikan bahwa ia sedang menyampaikan tradisi oral ini 
dalam bentuk yang relatif lebih pasti."

"Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa 
yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena 
dosa- dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, 
dan bahwa la telah dibangkitkan, pada hari yang ke tiga, sesuai dengan 
Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas (Petrus) dan 
kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu, Ia menampakkan 
diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari 
mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah 
meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian 
kepada semua Rasul."

"Dan inilah intinya," kata Blomberg. "Jika Penyaliban terjadi seawal 
tahun 30 M, pertobatan Paulus terjadi sekitar tahun 32. Dengan segera 
Paulus diantar ke Damaskus, di mana ia bertemu dengan seorang Kristen 
bernama Ananias dan beberapa murid lainnya. Pertemuan pertamanya 
dengan para rasul di Yerusalem akan berarti terjadi kira-kira tahun 35 
M. Pada suatu waktu di sana, Paulus diberi pernyataan kepercayaan ini, 
yang telah dirumuskan dan digunakan dalam gereja mula-mula."

"Kini, Anda telah memiliki fakta-fakta kunci tentang kematian Yesus 
untuk dosa-dosa kita, ditambah sebuah daftar rinci berisi semua orang 
kepada siapa Ia menampakkan diri dalam wujud kebangkitan -semuanya 
bertanggal kembali pada dua sampai lima tahun dari peristiwa-peristiwa 
itu sendiri!"

"Itu bukan mitologi yang lebih lambat dari empat puluh tahun atau 
lebih sesudahnya, seperti pendapat Armstrong. Suatu pembuktian yang 
bagus bisa dibuat untuk mengatakan bahwa orang Kristen memercayai 
Kebangkitan yang, meskipun belum dituliskan, dapat diberi tanggal 
dalam dua tahun setelah peristiwa itu sendiri terjadi."

"Ini luar biasa penting," katanya, suaranya sedikit meninggi untuk 
memberi penekanan. "Kini Anda tidak membandingkan tiga puluh sampai 
enam puluh tahun dengan lima ratus tahun yang secara umum diterima 
untuk data lain -- Anda membicarakan kira-kira dua tahun!"

Saya tak dapat menyangkal pentingnya bukti itu. Itu tentu saja 
kelihatannya meredam tuduhan bahwa Kebangkitan -- yang disebut oleh 
orang-orang Kristen sebagai penegasan atas penobatan ketuhanan Yesus -
- hanyalah sekadar konsep mitologis yang berkembang setelah periode 
waktu yang panjang sementara legenda-legenda mengubah laporan-laporan 
para saksi mata kehidupan Kristus. Bagi saya, ini khususnya menghantam 
hampir tepat pada sasaran -sebagai seorang skeptik, ini adalah salah 
satu dari penolakan-penolakan terbesar saya terhadap kekristenan.

=====================================================================

Sumber-sumber lain mengenai topik ini
-------------------------------------
Barnett, Paul. Is the New Testament History? Ann Arbor, Mich.: Vine, 
   1986. jesus and the Logic of History. Grand Rapids: Eerdmans, 1997.
   
Blomberg, Craig. The Historical Reliability of the Gospel. Downer 
   Grove, I11.: InterVarsity Press, 1997.

Bruce, F.F. The New Testament Document: A re They Reliable? Grand 
   Rapids: Eerdmans, 1960.

France, R. T. The Evidence for Jesus. Downers Grove, I11.:   
   InterVarsity Press, 1986.

=====================================================================
Judul buku: Pembuktian atas Kebenaran Kristus; Investigasi Pribadi
            Seorang Jurnalis atas Bukti tentang Yesus
Penulis   : Lee Strobel
Penerbit  : Gospel Press
Tahun     : 25 -- 44

------------------------- ><> e-Reformed <>< -------------------------
Anda terdaftar dengan alamat: $subst(`Recip.EmailAddr`)
Kontak Redaksi : < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti : < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Melihat arsip Publikasi e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi >
><>  e-Reformed -------------------------------------- e-Reformed  <><

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org