Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/89 |
|
e-Reformed edisi 89 (27-7-2007)
|
|
Dear e-Reformed Netters, Selamat berjumpa lagi di edisi e-Reformed bulan Agustus. Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat topik tentang "inner healing" atau yang banyak dikenal di Indonesia dengan "penyembuhan luka batin". Praktik penyembuhan luka batin yang sangat fenomenal ini memang telah banyak menarik orang, termasuk orang Kristen. Hasilnya memang kadang "mengagumkan", tidak hanya kepribadiannya yang berubah, tapi juga pelayanan menjadi sangat maju. Namun sayang, praktik pelayanan penyembuhan luka batin yang tidak didasari dengan prinsip- prinsip Alkitab yang benar dapat membuat kita terjerumus kepada membangkitkan manusia lama yang seharusnya menurut Alkitab perlu kita matikan. How come? Silakan simak artikel berikut ini dan harapan saya, kita semakin peka menilai praktik-praktik yang kurang bertanggung jawab. Selamat menyimak. Redaksi, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > ===================================================================== PENYEMBUHAN LUKA BATIN (INNER HEALING): APAKAH MERUPAKAN BAGIAN DARI PENGUDUSAN ORANG PERCAYA? PENDAHULUAN Luka batin sering kali dituduhkan sebagai penyebab masalah-masalah yang timbul dalam pribadi orang-orang percaya. Jika ada orang yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat tetapi masih memunyai kebiasaan yang buruk, perilaku yang dianggap "aneh", khususnya yang tak dapat dikendalikan, itu adalah karena trauma masa lalunya. Trauma masa lalu itu meninggalkan luka pada batinnya (inner man) baik disadarinya maupun tidak. Jika tidak disembuhkan, hal itu akan terus menghalangi dan membelenggunya untuk bisa bertumbuh dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, Tuhan, dan sesamanya. Sebaliknya, penyembuhan akan membuat orang itu terlepas dari ikatan trauma masa lalu dan membebaskannya untuk bertumbuh dan melayani Tuhan.[1] Penyembuhan inilah yang sekarang dikenal sebagai "inner healing" atau penyembuhan luka batin yang sangat banyak dipraktikkan di kalangan gereja-gereja Kharismatik, tetapi masih sangat dicurigai, bahkan ditolak di kalangan gereja-gereja Protestan konservatif. Di satu sisi, "inner healing" diakui membawa dampak positif dalam kehidupan kekristenan, bahkan oleh mereka yang menentangnya.[2] Tetapi di sisi lain ajaran ini menimbulkan keresahan pada sebagian orang percaya karena para praktisinya cenderung mengungkit-ungkit masa lalu (bahkan setengah memaksa) dan menghubungkannya dengan kelemahan karakter dan kegagalan pelayanan saat ini. Banyak pelayan di kalangan gereja konservatif merasa "dihakimi" oleh para penyembuh "inner healing" ketika dikatakan bahwa kelemahan mereka pasti karena ada masa lalu yang belum dibereskan. Karena itu, diperlukan suatu sikap yang lebih bijak dan pemahaman yang lebih seimbang untuk dapat menilai praktik dan pengajaran penyembuhan luka batin ini. Tulisan ini secara terbatas berusaha untuk mengkaji dan menanggapi dengan seimbang ajaran dan praktik "inner healing" dalam kaitan dengan proses pengudusan orang percaya. Apakah ia termasuk dalam proses pengudusan? Ataukah ia sebenarnya sama sekali bukan, bahkan bertentangan dengan karya pengudusan Roh Kudus. Oleh sebab itu, pertama-tama penulis akan membahas pengudusan (sanctification) orang percaya; apakah maknanya, tujuannya, dan bagaimana prosesnya. Berikutnya secara singkat akan ditinjau konsep "inner healing" dan praktiknya, juga beberapa pandangan yang berkembang tentang penyembuhan luka batin ini. Kemudian penulis akan melakukan analisa dengan memerhatikan ajaran dan firman Tuhan. Penutup akan merupakan kesimpulan dan pandangan penulis terhadap ajaran dan praktik "inner healing" dalam kehidupan dan pelayanan gereja Tuhan saat ini. PENGUDUSAN ORANG PERCAYA Pengudusan: Antara Karya Allah dan Tanggung Jawab Manusia Orang percaya yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pasti selamat. Keselamatan adalah hasil dari pembenaran (justification) yang diterima oleh orang percaya berdasarkan penebusan Yesus Kristus di salib. Pembenaran adalah karya Allah sendiri, satu kali untuk selamanya dan merupakan pernyataan Allah tentang status orang percaya sebagai anak Allah yang tidak berubah oleh situasi dan kondisi hidup orang percaya itu.[3] Tetapi orang percaya yang sudah dibenarkan secara status itu tidak terlepas begitu saja dari kecenderungan untuk berbuat dosa. Ada kebiasaan, sifat, dan situasi buruk yang membuat orang-orang percaya masih harus terus bergumul untuk hidup semakin serupa Kristus. Dalam konteks inilah semua orang percaya harus melewati proses pengudusan (sanctification) yang dikerjakan Roh Kudus dalam dirinya sekaligus bersama-sama dengannya. Anthony Hoekema, mendefinisikan pengudusan sebagai: ... that gracious operation of the Holy Spirit, involving our responsible participation, by which he delivers us as justified sinners from the pollution of sin, renews our entire nature according to the image of God, and enables us to lives that are pleasing to Him.[4] David Peterson mendefinisikan pengudusan sebagai berikut:[5] Sanctification is a state in which believers find themselves because of the work of Christ and the operation of his Spirit in their lives. They are called to remain in that state "by living in correspondence to their given holiness". It is also a state in which they must strive, which they must "pursue", or "complete". In sum, sanctification in the New Testament is seen as "a one-time event and as a process, the believers being and becoming holy and acting correspondingly". Peterson menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru konsep pengudusan orang percaya adalah dalam sebuah ketegangan antara hakikat (being), proses (becoming), dan usaha (acting). Ada unsur kepastian yang berasal dari Allah, tetapi ada usaha/bagian manusia dalam proses menuju kekudusan yang ditetapkan Allah itu. Daniel Lukito, sehubungan dengan karya Allah dan tanggung jawab manusia dalam proses pengudusan, mencatat: Berbicara tentang pengudusan berarti berbicara mengenai karya Allah dan tanggung jawab manusia. Berbeda dengan pembenaran yang merupakan karya Allah semata, dalam pengudusan orang percaya memiliki peranan untuk memperlihatkan atau membuktikan keabsahan karya pembenaran Allah yang telah berlangsung dalam dirinya. Bersama dengan karya Roh Kudus yang bekerja secara definitif dan progresif, orang Kristen didorong bukan untuk menjadi orang yang duduk berdiam diri saja untuk menjadi serupa dengan Kristus, melainkan harus terus-menerus berjuang sepenuh tenaga untuk melawan si jahat, mematikan dosa, dan untuk mengikuti teladan Kristus secara lambat laun dan dari hari ke hari, menjadi semakin bebas dari polusi dosa dan makin serupa dengan Kristus di dalam kehidupan yang aktual.[6] Jadi, jelaslah bahwa peranan manusia mendapatkan tempat yang penting dalam proses pengudusan. Adalah usaha manusia yang ikut menentukan kelangsungan proses pengudusan dalam diri tiap orang percaya (lih. Kol. 3:5). Tujuan Pengudusan Orang Percaya: Kemuliaan Allah dan Berkat bagi Sesama Surat 1Petrus 2:9[7] dengan jelas menyatakan tujuan pengudusan orang percaya. Pertama-tama tujuan pengudusan adalah untuk menjadikan orang- orang percaya itu umat yang layak bagi Allah sendiri. Tuhan adalah kudus, Ia menghendaki agar umat-Nya juga kudus (Im. 19:2; 1Ptr. 1:16). Dalam pengudusan itu, orang-orang percaya dibawa untuk makin dekat dalam persekutuan dengan Allah, makin seperti Dia dalam gambaran Kristus Yesus Tuhan (Ef. 4:15). Selanjutnya, tujuan pengudusan adalah agar kita layak menjadi saksi bagi karya kasih Allah yang menyelamatkan. Keselamatan dalam Kristus bukanlah tujuan akhir, tetapi menjadi titik pijak dari proses pengudusan bagi maksud Allah untuk membawa keselamatan bagi dunia. Melalui pengudusan, orang-orang percaya bukan hanya diubahkan menjadi serupa dengan Kristus, tetapi juga dipersatukan dalam keutuhan tubuh Kristus, gereja Tuhan. Kemudian sebagai gereja, orang-orang percaya menjadi garam dan terang dunia yang menyaksikan Kristus dan menjadi wakil Kristus di tengah dunia (Ibr. 1:3; lKor. 15:49). Dengan kesaksian itu, gereja akan dimampukan untuk menggenapkan rencana keselamatan Allah untuk menjadi berkat bagi seluruh dunia bagi kemuliaan Allah. Tujuan akhir dari pengudusan orang percaya adalah bagi kemuliaan nama Tuhan.[8] Keberadaan orang percaya dan gereja bukanlah untuk dirinya sendiri, tetapi semuanya untuk menyenangkan, memuliakan Tuhan. Di sanalah terletak kesempurnaan maksud dari keberadaan setiap makhluk. Pengudusan membawa orang-orang percaya untuk menuju suasana pemuliaan Tuhan itu (Ef. 1:6; Flp. 2:9-11). Proses Pengudusan: Transformasi, Pembaharuan dan Pertumbuhan Peterson mencatat bahwa dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus bekerja dalam proses pengudusan melalui tiga cara: transformasi, pembaharuan, dan pertumbuhan.[9] Dengan pengalaman yang berbeda-beda, orang-orang percaya masuk dalam proses pengudusan yang dilakukan oleh Roh dalam hidup mereka. Transformasi menyatakan karya Roh Kudus yang mengubahkan keberadaan kita dengan kuasa-Nya agar kita menjadi makin serupa dengan Kristus; aktivitas ini di luar kemampuan kita untuk terlibat (lKor. 15:51-52). Pembaharuan menyatakan hal-hal dalam proses pengudusan yang melibatkan orang-orang percaya (Rm. 12:2); dan pertumbuhan yang merupakan hasil interaksi orang-orang percaya dengan firman Tuhan (Mat. 13:1-23). Dalam perjalanan iman mereka yang percaya, "inner healing" dianggap merupakan salah satu cara yang dipakai Roh Kudus untuk melakukan transformasi dan pembaharuan dalam hidup mereka;[10] khususnya pada mereka yang mengalami trauma masa lalu yang berat. Dalam bagian selanjutnya akan dibahas mengenai hal tersebut. PENYEMBUHAN LUKA BATIN (INNER HEALING): KONSEP DAN APLIKASINYA DI KALANGAN ORANG-ORANG PERCAYA Mike Flynn mendefinisikan "inner healing" sebagai "sebuah metode doa, di mana Yesus Kristus diundang hadir dalam penderitaan masa lalu dan melakukan penyembuhan dari akibat-akibatnya yang negatif."[11] Sedangkan Lee Kwan-jik mendefinisikannya sebagai "sebuah proses terapi holistik di mana seseorang akan mengalami beberapa tahap penyembuhan holistik dalam hubungan dengan diri sendiri (intrapsychic health), orang lain (interpersonal health), dan Tuhan (suprapersonal health).[12] Dari dua definisi di atas, secara sederhana "inner healing" atau penyembuhan luka batin dapat diartikan sebagai sebuah proses penyembuhan dengan metode doa, di mana dalam imajinasi Yesus diundang dalam peristiwa traumatik, masa lalu dan melakukan penyembuhan terhadapnya sehingga orang percaya itu bisa memunyai hubungan yang sehat dengan dirinya sendiri, sesama, dan Tuhan. John dan Paula Sandford menambahkan betapa pentingnya untuk menyatakan pengampunan oleh darah Yesus dalam proses itu.[13] Siapakah yang Memerlukan Penyembuhan Luka Batin? Charles Kraft menyatakan bahwa "pada dasarnya ada dua jenis orang yang memerlukan penyembuhan luka batin: pendosa dan para korban."[14] Berdasarkan pendapatnya ini, sesungguhnya hampir semua orang percaya memerlukan penyembuhan luka batin ini. Sebab siapakah orang yang tidak pernah berdosa dan terbebas sama sekali dari masa lalu yang menyakitkan hatinya? Tidak heran Lee Kwan-jik, dalam penelitian yang dilakukan dalam kelasnya di Chongsin Theological Seminary mencatat bahwa dari antara 120 mahasiswa 96,3% mengakui bahwa mereka berasal dari keluarga yang bermasalah, di antaranya 59,3% sangat bermasalah.[15] Lee menganjurkan agar dilakukan upaya penyembuhan luka batin di antara para mahasiswa seminari di Korea. Bagaimana Proses Penyembuhan Luka Batin Umumnya Dilakukan? Metode penyembuhan luka batin sangat bervariasi.[16] Dalam hal ini penulis membatasi diri dalam metode seperti yang terdefinisi pada awal pembahasan di atas. Isi doa "inner healing" umumnya didafarkan pada kasus-kasus yang sudah dikategorikan (misalnya, masalah seksual, penganiayaan, keluarga yang retak, dan sebagainya). Tetapi berdasarkan kasus-kasus yang dikemukakan,[17] penulis mendapati tipikal proses penyembuhan ini adalah sebagai berikut. 1. Ada pengakuan dosa atau kelemahan dari konseli/klien, yang biasanya adalah orang yang sudah percaya. 2. Dalam sebuah proses konseling/percakapan dengan pelayan kesembuhan (yang memunyai karunia kesembuhan), dicari akar masalah yang biasanya berkonsentrasi pada adanya trauma masa lalu. 3. Setelah pelayan dan klien sepakat tentang akar masalahnya, mereka akan berdoa bersama. 4. Pelayan akan membimbing klien untuk membayangkan peristiwa masa lalu yang menyakitkan itu, sedetail dan sejelas mungkin, sampai klien betul-betul bisa merasakan ia sedang melihat dirinya sendiri sedang mengalami itu. 5. Kemudian pelayan mengajak klien untuk membayangkan Yesus hadir dalam peristiwa itu dan Dia memberikan solusi, bisa dengan membersihkan, mengampuni, menjamah dan menyembuhkan dan lain-lain. 6. Klien mendapatkan kelegaan dan pelayan meneguhkan dengan firman Tuhan, doa, atau dorongan semangat yang lain. Diakui bahwa proses ini tidak selalu berlangsung singkat. Ada kalanya memakan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Tetapi mereka yang mempraktikkannya percaya bahwa cara ini adalah salah satu karya Roh Kudus dalam rangka membangun kehidupan orang percaya. Mereka bersaksi bahwa orang-orang yang disembuhkan/dipulihkan ini kemudian menjadi saksi dan memuliakan Tuhan dalam hidupnya. Beberapa Pandangan tentang Hubungan "Inner Healing" dan Pengudusan Pertama, tentu para praktisi "inner healing" menerima praktik ini sebagai bagian dari proses pengudusan orang percaya dengan berdasarkan hasil-hasil penyembuhan yang "nyata" dan tentu saja dasar-dasar Alkitab yang ditafsirkan sebagai menyatakan praktik ini adalah karya Roh Kudus.[18] Melalui "inner healing" mereka yakin bahwa orang percaya dipulihkan hubungannya dengan diri, Tuhan, dan sesama sehingga bisa menjadi saksi dan melayani dengan efektif. Kedua, ada pula mereka yang menolak "inner healing" sebagai bagian dari pengudusan karena ditengarai metode ini merupakan salah satu praktik New Age Movement yang menyusup dalam ajaran gereja. Herlianto adalah salah seorang yang mewakili mereka.[19] Praktik imajinasi aktif yang membayangkan kehadiran pembimbing spiritual (spiritual guide) untuk dijadikan pelaku penyembuhan, sangat mirip dengan praktik perdukunan pada agama-agama Timur; sehingga dalam praktiknya, Kristus bisa saja digantikan oleh tokoh yang lain. "Inner healing" juga ditengarai sesungguhnya bukan berdasarkan ajaran kitab suci, melainkan berdasarkan praktik kesembuhan batin yang diajarkan tokoh psikoanalisis Sigmund Freud dan muridnya Carl Jung. Kedua tokoh inilah yang melakukan penelitian secara ilmu jiwa tentang pengaruh kejiwaan masa lalu terhadap perilaku hari ini. Visualisasi aktif adalah juga salah satu cara penyembuhan mereka. Lebih jauh, mereka yang menolak melihat bahwa sesungguhnya konsep dan praktik "inner healing" menjadikan karya penebusan Kristus "belum" tuntas melepaskan manusia lama dalam diri orang percaya sehingga masih harus disembuhkan lagi dari luka-luka batin yang tersisa. Tokoh mereka bahkan ada yang menganggap bahwa "inner healing" adalah proses penebusan.[20] Banyak lagi keberatan yang lain; tetapi intinya bagi kelompok ini inner healing bukanlah karya Roh Kudus; jika ada hasilnya itu adalah dari kekuatan manusia atau bahkan manipulasi dari kuasa- kuasa Gerakan Zaman Baru yang ada dibaliknya. Mark A. Pearson bisa mewakili pandangan ketiga yang meletakkan praktik "inner healing" sebagai bagian dari penyembuhan fisik yang memang bisa saja dipakai Allah untuk memelihara umat-Nya. Pearson mencatat bahwa Allah bisa bekerja melalui empat cara penyembuhan[21] berikut. 1. Melalui keahlian dan ilmu pengetahuan kedokteran. 2. Melalui upacara dan sakramen yang dilakukan dengan iman oleh gereja Tuhan. 3. Melalui orang-orang yang menerima karunia rohani untuk menyembuhkan. 4. Melalui doa semua orang-orang percaya. Semua bentuk penyembuhan itu bisa berdiri sendiri, tetapi juga bisa bekerja bersama. Bagi kelompok ini, "inner healing" adalah bagian dari pelayanan pastoral yang mengusahakan kesehatan jiwa bagi orang percaya yang dilakukan oleh mereka yang memunyai karunia penyembuhan sekaligus keterampilan pastoral. Pearson tidak menolak praktik imajinasi aktif dalam proses "inner healing", tetapi ia menyadari bahwa praktik itu harus dilakukan dengan dasar-dasar Alkitab yang jelas karena praktik ini memang sangat dekat dengan praktik penyembuhan Gerakan Zaman Baru.[22] TANGGAPAN KRITIS DAN ALKITABIAH TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BATIN DALAM PROSES PENGUDUSAN ORANG PERCAYA Disadari atau tidak, praktik penyembuhan luka batin dilandaskan pada kenyataan bahwa banyak orang percaya hidup dengan kondisi batin yang sakit karena adanya pengalaman traumatis masa lalu. Pengalaman itu biasanya membuat orang percaya itu tidak bisa "berdamai" dengan dirinya sendiri dan kemudian mengganggu hubungannya dengan sesama dan Tuhan. Bagi para penyembuh "inner healing", ini terjadi karena orang percaya itu belum bisa menghayati sepenuhnya pengampunan Kristus. Melalui "inner healing", ia dibawa kepada masa lalu dan membawa Kristus untuk menyembuhkan luka batinnya dan mengampuni dosa masa lalunya. Tetapi benarkah itu yang dikatakan Alkitab tentang trauma masa lalu orang percaya? Pandangan Alkitab Tentang Masa Lalu Orang Percaya dan Penyembuhan Luka Batinnya. Pertama, Alkitab menyatakan bahwa orang percaya telah mati dan bangkit bersama Kristus. Bukan hanya secara status (hasil justification) tetapi juga naturnya sebagai manusia (yang dalam proses sanctification). Paulus dengan jelas menyatakan, Karena kita tahu manusia lama kita telah disalibkan supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa (Rm. 6:6-7). Dan juga, Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Gal. 2:19b-20). Oleh kuasa Roh Kudus, ia menerima hidup baru yang menggantikan hidup lama; "siapa yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2Kor. 5:17). Masih banyak lagi bagian Alkitab yang menyatakan bahwa di dalam Kristus orang percaya itu "mati" atau "putus hubungan" dengan hidup lamanya. Itulah yang harus kita perjuangkan: untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol. 3:5-10). Jadi, nyatalah bahwa Alkitab menyatakan bahwa hidup baru orang percaya tidak bergantung lagi, bahkan seharusnya tidak dipengaruhi lagi oleh hidup lamanya. Sebab perubahan hidup yang dikerjakan Roh Kudus bukanlah sebagian (hanya melakukan perbaikan terhadap apa yang buruk), melainkan total; yang lama sudah mati dalam Kristus, dan yang baru dikaruniakan dalam Kristus.[23] Berdasarkan pemahaman firman Tuhan ini, aneh jika dalam penyembuhan luka batin orang percaya begitu tergantung pada penyelesaian trauma masa lalunya. Bukankah itu berarti kuasa hidup lama itu masih begitu melekat pada orang percaya itu? Hal itu sungguh sangat bertentangan dengan pernyataan firman Tuhan yang dengan tegas menyatakan bahwa di dalam Kristus hidup lama itu hilang kuasanya oleh hidup baru yang adalah bersatu dengan Roh Kudus sendiri. Dari aspek ini, jelaslah bahwa "inner healing" sama sekali bukan bagian karya Roh Kudus dalam pengudusan orang percaya. Bahkan praktik kembali ke masa lalu bertentangan dengan kebenaran hidup baru dalam Kristus.[24] Kedua, Alkitab mengajarkan bahwa karya Roh Kudus selalu berfokus pada pengharapan akan masa depan dan bukannya berfokus pada masa lalu. Fokus karya Roh Kudus adalah pengudusan orang percaya sampai menjadi serupa Kristus (Ef. 4:15). Manusia baru itu "terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya" (Kol. 3:10). Yang dikehendaki Paulus, yang menjadi fokus hidupnya ialah: mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (Flp. 3:10-11). Dan lagi Paulus menulis tentang dirinya: tetapi ini yang kulakukan: Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Flp. 3:13b-14). Jadi, proses pengudusan orang percaya seharusnya berorientasi pada masa depan. Paulus juga pasti memunyai banyak trauma masa lalu, khususnya pengalamannya menganiaya dan membunuh banyak murid Tuhan. Tetapi dia bukan mengatasinya dengan mengingat kembali luka batinnya untuk disembuhkan, tetapi melupakan, bahkan membunuhnya (Gal. 2:20) dengan mengarahkan hati, mata, dan hidupnya kepada Kristus yang adalah tujuan hidupnya. Hal ini sangat selaras dengan pengajaran Alkitab tentang hidup orang percaya yang berfokus pada Kristus. Fokus "inner healing" yang menengok ke belakang, kepada "inner child", dan luka batinnya jelas tidak selaras dengan konsep Alkitab tentang cara mengatasi pergumulan masa lalu.[25] Ketiga, Alkitab mengajarkan bahwa kelemahan orang percaya bukanlah menjadi halangan bagi Roh Kudus untuk menyatakan karyanya, bahkan makin menyatakan kemuliaan Allah. Paulus mengatakan bahwa: "harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah dan bukan dari diri kami" (2Kor. 4:7). "Harta ini" adalah Injil, "bejana tanah liat" adalah kehidupan Paulus dan para rasul yang lain pada waktu itu, yang sederhana, banyak kelemahan, rapuh, dan tak sempurna. Tetapi justru karena itulah kuasa Allah bekerja dengan hebat untuk menopang bejana rapuh itu agar terus bisa menyimpan Injil yang sangat mulia itu. Tidak selalu kelemahan harus dicari-cari akarnya dan harus disingkirkan. Firman Tuhan menyatakan bahwa penyerahan diri yang total kepada Allahlah yang terpenting ketika kelemahan menghantui kita. Paulus mengomentari kelemahannya menulis: Sebab itu aku terlebih suka bermegah dalam kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2Kor. 12: 9-11). Jadi, jelaslah firman Tuhan mengajarkan agar orang-orang menyerahkan segala kelemahan, termasuk akibat trauma masa lalu pada Tuhan. Dialah yang akan memakai hidup yang lemah itu seturut kehendaknya, bagi penyataan kebenaran (Rm. 6:13). Jika Roh Kudus akan menghilangkan sebuah kelemahan kita, Ia akan melakukannya bagi kebaikan, bagi maksud pemberitaan kebenaran injil. Tetapi jika Roh membiarkan kelemahan itu tetap ada, Ia akan memakainya juga untuk tujuan kebaikan, bagi maksud pemberitaan Injil, bagi kemuliaan Tuhan. Roh Kuduslah yang akan memperlengkapi orang percaya dengan apa yang perlu bagi penyataan karya Allah dalam diri orang percaya (lKor. 12: 1-31; Rm. 12:6-8; Gal. 5:22). Dalam hal inilah "inner healing" bisa menjadi salah satu alat di tangan Roh Kudus untuk secara ilmu jiwa, dengan bersandarkan kebenaran firman Tuhan, menyembuhkan kelemahan orang percaya yang dikehendakinya bagi kemuliaan nama Tuhan. Akhirnya, tidak pernah sekalipun Alkitab mengajarkan orang percaya untuk mempersoalkan masa lalunya yang buruk. Fokus firman Tuhan adalah pada Allah yang mengasihi dan menyelamatkan. Kalaupun ada keburukan masa lalu yang disinggung, itu hanya untuk menyatakan bahwa dalam keadaan yang paling buruk pun Allah dalam Kristus Yesus tetap mengasihi kita. Yesus Kristus tidak pernah mempersoalkan masa lalu para murid, Ia memanggil mereka dan mengubah mereka begitu saja: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia" (Mat. 4:19; lih. juga Mat. 9:9). Reaksi para murid adalah: mereka taat. Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42), memang Ia menyinggung masa lalunya. Tetapi Ia melakukannya hanya untuk menarik perhatian perempuan itu pada-Nya dan kemudian Kristus memfokuskan pembicaraan itu pada Injil. Masa lalu tidak pernah menjadi perhatian Injil. Dalam hal ini, peringatan Mark Pearson tentang praktik "inner healing" -- yang selalu membawa kita kembali kepada "inner child", patut kita perhatikan: we are to listen to Christ and believe and rely only on the truths of His written Word, Scripture. If Jesus wanted us to listen to our inner child, He would have said so. When Jesus commended the little children and told us to be like them, He was telling us to emulate their trust in Him (Matt. 19:13-15), not to listen to them for guidance and wisdom.[26] Menyikapi "Inner Healing" berdasarkan Terang Firman Tuhan Berdasarkan pemahaman firman Tuhan, jelaslah bahwa secara rohani "inner healing" bukanlah bagian dari pengajaran firman Tuhan, bahkan ajaran ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab tentang pengudusan orang percaya. Orientasi pada masa lalu dan praktik imajinasi aktifnya menghadirkan Kristus sangat berbau spiritisme agama-agama Timur.[27] Pribadi Kristus yang hadir sangat dapat dipertanyakan dan distorsi imajinasi sangat mungkin terjadi dalam proses imajinasi aktif dalam metode ini. Lebih jauh lagi, metode penyembuhan ini juga erat sekali hubungannya dengan konsep-konsep pelepasan, peperangan rohani (spiritual warfare), dan "health and wealth theology" yang sangat dekat dengan (dan sangat mungkin dipengaruhi) Gerakan Zaman Baru. Oleh karena itu, metode ini tidak tepat dipraktikkan dalam konteks penyembuhan Kristiani.[28] Dalam hal bahwa metode ini bisa memberikan pengaruh positif dalam hidup orang percaya, "inner healing" dapat diterima sebagai salah satu metode terapi psikologi yang berlaku umum dalam menolong mereka yang menghadapi masalah kejiwaan dan membutuhkan perawatan dan pemulihan. Metode ini sejauh-jauhnya bagi orang percaya hanya dapat sebagai bagian dari penyembuhan secara psikis, bukan rohani. Jika dalam proses itu Roh Kudus bekerja dan menjadikannya sarana bagi orang percaya untuk mendapatkan kesehatan jiwa yang membuatnya lebih bisa bersaksi, melayani, dan memuliakan Allah, itu adalah kedaulatan-Nya. Dalam kasus yang setara, Roh juga bisa memakai dokter dan obat-obatan untuk menjadikan orang percaya disembuhkan dari penyakit, memperoleh kesehatan, dan boleh melayani serta bersaksi lebih efektif. KESIMPULAN DAN PENUTUP Pengudusan (sanctification) adalah karya Allah Roh Kudus yang terjadi dalam setiap diri orang percaya agar terus bertumbuh menjadi serupa dengan Kristus. Namun, berbeda dengan keselamatan yang kita terima satu kali untuk selamanya, pengudusan kita terima secara bertahap. Dalam proses pengudusan Roh Kudus melibatkan orang percaya untuk berperan di dalamnya sehingga proses dan pencapaiannya berbeda pada masing-masing orang. Tetapi Roh Kudus adalah jaminan bahwa proses ini akan berhasil, sekalipun kesempurnaannya baru akan kita terima di surga. Kenyataan bahwa dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, sekalipun telah menerima hidup baru dan penyertaan Roh Kudus, masih terus mengalami kelemahan dan kegagalan harus kita hayati sebagai bagian dari pembentukan yang dikerjakan Roh Tuhan. Melalui-Nyalah kita sedang dibentuk untuk menjadi umat yang memiliki karakter Kristus, memperkenankan hati-Nya, dan menjadi saksi dan saluran berkat-Nya bagi dunia. Mengatasi kelemahan akibat dosa atau peristiwa masa lalu adalah bagian dari pergumulan semua orang percaya. Tapi harus jelas bagi kita bahwa sesungguhnya hidup yang lama itu sudah mati dalam Kristus, akibatnya saja yang masih terus bersama kita dalam hidup baru ini. Dalam ketaatan kepada Kristus dan firman-Nya, kita harus berjuang untuk mengatasinya. Dalam pengharapan akan pimpinan dan kuasa Roh Kudus yang akan menuntun pada kesempurnaan, kita terus maju. "Inner healing" bukanlah solusi yang diajarkan firman Tuhan untuk mengatasi kelemahan akibat masa lalu. Metode ini, yang berfokus pada masa lalu, yaitu manusia lama kita, bahkan bertentangan dengan ajaran firman Tuhan. Sejauh yang bisa kita terima ia hanyalah salah satu dari metode penyembuhan jiwa secara psikologi, yang melaluinya Roh Kudus juga bisa bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang percaya sesuai dengan yang dirancangkannya. Tetapi memasukkan "inner healing" sebagai bagian dari metode pengudusan rohani yang sesuai firman Tuhan adalah tidak benar. Akhirnya, dalam Kristus kita telah menerima hidup yang baru. Tidak ada lagi kutuk hidup lama bagi orang percaya karena Kristus telah mati disalib menanggung kutukan kita (Gal. 3:11-14). Di dalam Kristus, Roh Kudus telah menjadi bagian dari hidup orang percaya yang menyertai, menuntun, dan berkarya menguduskan kita sampai pada kesempurnaan. Jikalau dalam hidup ini ada kelemahan, pergumulan, dan hambatan akibat masa lalu, dalam Kristus pasti kita bisa memperoleh kemenangan demi kemenangan. Jika masih ada satu-dua kegagalan dan kelemahan yang belum teratasi, kita harus yakin melaluinya Roh Kudus sedang berkarya untuk menjadikan kita lebih serupa dengan-Nya. Tetapi jika kegagalan dan kelemahan itu begitu menguasai dan tidak pernah ada kemenangan atas akibat dosa dan masa lalu kita, kita harus memeriksa diri. Jangan- jangan kita belum menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat; kita belum ditebus dari hidup lama kita, dan tidak ada kuasa Roh Kudus yang menyertai kita melawan dosa. Jika itu yang terjadi kita harus bertobat dan berpaling pada Kristus. Hanya dengan Dia saja kita akan beroleh kemenangan. ====================================================================== Dikutip dari: Nama jurnal : Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan (Vol. 6 No. 2 Okt. 2005) Judul artikel: Penyembuhan Luka Batin (Inner Healing): Apakah Merupakan Bagian dari Pengudusan Orang Percaya? Penulis : Tikijo Hardjowono Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Halaman : 211 -- 227 Catatan: 1. Berhubung artikel ini cukup panjang, di surat terpisah saya kirimkan catatan kaki yang seharusnya menyertai artikel ini. 2. Jika dalam artikel di atas Anda menemukan nomor dengan tanda kurung berikut [ ], itulah nomor catatan kaki yang kami maksudkan di surat terpisah. Terima kasih untuk perhatiannya. ------------------------- ><> e-Reformed <>< ------------------------- Anda terdaftar dengan alamat: $subst(`Recip.EmailAddr`) Kontak Redaksi : < reformed(a t)sabda.org > Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org > Untuk berhenti : < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org > Melihat arsip Publikasi e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi > ><> e-Reformed -------------------------------------- e-Reformed <><
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |