Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/89

e-Reformed edisi 89 (27-7-2007)

Penyembuhan Luka Batin (Inner Healing): Apakah Merupakan Bagian dari Pengudusan Orang Percaya?

Dear e-Reformed Netters,

Selamat berjumpa lagi di edisi e-Reformed bulan Agustus.

Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat topik tentang "inner 
healing" atau yang banyak dikenal di Indonesia dengan "penyembuhan 
luka batin". Praktik penyembuhan luka batin yang sangat fenomenal ini 
memang telah banyak menarik orang, termasuk orang Kristen. Hasilnya 
memang kadang "mengagumkan", tidak hanya kepribadiannya yang berubah, 
tapi juga pelayanan menjadi sangat maju. Namun sayang, praktik 
pelayanan penyembuhan luka batin yang tidak didasari dengan prinsip-
prinsip Alkitab yang benar dapat membuat kita terjerumus kepada 
membangkitkan manusia lama yang seharusnya menurut Alkitab perlu kita 
matikan.

How come? Silakan simak artikel berikut ini dan harapan saya, kita 
semakin peka menilai praktik-praktik yang kurang bertanggung jawab. 
Selamat menyimak.

Redaksi,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >


=====================================================================

               PENYEMBUHAN LUKA BATIN (INNER HEALING):
        APAKAH MERUPAKAN BAGIAN DARI PENGUDUSAN ORANG PERCAYA?


PENDAHULUAN

Luka batin sering kali dituduhkan sebagai penyebab masalah-masalah 
yang timbul dalam pribadi orang-orang percaya. Jika ada orang yang 
sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat tetapi masih 
memunyai kebiasaan yang buruk, perilaku yang dianggap "aneh", 
khususnya yang tak dapat dikendalikan, itu adalah karena trauma masa 
lalunya. Trauma masa lalu itu meninggalkan luka pada batinnya (inner 
man) baik disadarinya maupun tidak. Jika tidak disembuhkan, hal itu 
akan terus menghalangi dan membelenggunya untuk bisa bertumbuh dalam 
hubungannya dengan dirinya sendiri, Tuhan, dan sesamanya. Sebaliknya, 
penyembuhan akan membuat orang itu terlepas dari ikatan trauma masa 
lalu dan membebaskannya untuk bertumbuh dan melayani Tuhan.[1]

Penyembuhan inilah yang sekarang dikenal sebagai "inner healing" atau 
penyembuhan luka batin yang sangat banyak dipraktikkan di kalangan 
gereja-gereja Kharismatik, tetapi masih sangat dicurigai, bahkan 
ditolak di kalangan gereja-gereja Protestan konservatif.

Di satu sisi, "inner healing" diakui membawa dampak positif dalam 
kehidupan kekristenan, bahkan oleh mereka yang menentangnya.[2] Tetapi 
di sisi lain ajaran ini menimbulkan keresahan pada sebagian orang 
percaya karena para praktisinya cenderung mengungkit-ungkit masa lalu 
(bahkan setengah memaksa) dan menghubungkannya dengan kelemahan 
karakter dan kegagalan pelayanan saat ini. Banyak pelayan di kalangan 
gereja konservatif merasa "dihakimi" oleh para penyembuh "inner 
healing" ketika dikatakan bahwa kelemahan mereka pasti karena ada masa 
lalu yang belum dibereskan. Karena itu, diperlukan suatu sikap yang 
lebih bijak dan pemahaman yang lebih seimbang untuk dapat menilai 
praktik dan pengajaran penyembuhan luka batin ini.

Tulisan ini secara terbatas berusaha untuk mengkaji dan menanggapi 
dengan seimbang ajaran dan praktik "inner healing" dalam kaitan dengan 
proses pengudusan orang percaya. Apakah ia termasuk dalam proses 
pengudusan? Ataukah ia sebenarnya sama sekali bukan, bahkan 
bertentangan dengan karya pengudusan Roh Kudus. Oleh sebab itu, 
pertama-tama penulis akan membahas pengudusan (sanctification) orang 
percaya; apakah maknanya, tujuannya, dan bagaimana prosesnya. 
Berikutnya secara singkat akan ditinjau konsep "inner healing" dan 
praktiknya, juga beberapa pandangan yang berkembang tentang 
penyembuhan luka batin ini. Kemudian penulis akan melakukan analisa 
dengan memerhatikan ajaran dan firman Tuhan. Penutup akan merupakan 
kesimpulan dan pandangan penulis terhadap ajaran dan praktik "inner 
healing" dalam kehidupan dan pelayanan gereja Tuhan saat ini.

PENGUDUSAN ORANG PERCAYA

Pengudusan: Antara Karya Allah dan Tanggung Jawab Manusia

Orang percaya yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru 
Selamat pasti selamat. Keselamatan adalah hasil dari pembenaran 
(justification) yang diterima oleh orang percaya berdasarkan penebusan 
Yesus Kristus di salib. Pembenaran adalah karya Allah sendiri, satu 
kali untuk selamanya dan merupakan pernyataan Allah tentang status 
orang percaya sebagai anak Allah yang tidak berubah oleh situasi dan 
kondisi hidup orang percaya itu.[3]

Tetapi orang percaya yang sudah dibenarkan secara status itu tidak 
terlepas begitu saja dari kecenderungan untuk berbuat dosa. Ada 
kebiasaan, sifat, dan situasi buruk yang membuat orang-orang percaya 
masih harus terus bergumul untuk hidup semakin serupa Kristus. Dalam 
konteks inilah semua orang percaya harus melewati proses pengudusan 
(sanctification) yang dikerjakan Roh Kudus dalam dirinya sekaligus 
bersama-sama dengannya.

Anthony Hoekema, mendefinisikan pengudusan sebagai:

  ... that gracious operation of the Holy Spirit, involving our
  responsible participation, by which he delivers us as justified
  sinners from the pollution of sin, renews our entire nature
  according to the image of God, and enables us to lives that are
  pleasing to Him.[4]

David Peterson mendefinisikan pengudusan sebagai berikut:[5]

  Sanctification is a state in which believers find themselves
  because of the work of Christ and the operation of his Spirit in
  their lives. They are called to remain in that state "by living in
  correspondence to their given holiness". It is also a state in
  which they must strive, which they must "pursue", or "complete". In
  sum, sanctification in the New Testament is seen as "a one-time
  event and as a process, the believers being and becoming holy and
  acting correspondingly".

Peterson menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru konsep pengudusan 
orang percaya adalah dalam sebuah ketegangan antara hakikat (being), 
proses (becoming), dan usaha (acting). Ada unsur kepastian yang 
berasal dari Allah, tetapi ada usaha/bagian manusia dalam proses 
menuju kekudusan yang ditetapkan Allah itu.

Daniel Lukito, sehubungan dengan karya Allah dan tanggung jawab 
manusia dalam proses pengudusan, mencatat:

  Berbicara tentang pengudusan berarti berbicara mengenai karya Allah
  dan tanggung jawab manusia. Berbeda dengan pembenaran yang
  merupakan karya Allah semata, dalam pengudusan orang percaya
  memiliki peranan untuk memperlihatkan atau membuktikan keabsahan
  karya pembenaran Allah yang telah berlangsung dalam dirinya. Bersama
  dengan karya Roh Kudus yang bekerja secara definitif dan progresif,
  orang Kristen didorong bukan untuk menjadi orang yang duduk berdiam
  diri saja untuk menjadi serupa dengan Kristus, melainkan harus
  terus-menerus berjuang sepenuh tenaga untuk melawan si jahat,
  mematikan dosa, dan untuk mengikuti teladan Kristus secara lambat
  laun dan dari hari ke hari, menjadi semakin bebas dari polusi dosa
  dan makin serupa dengan Kristus di dalam kehidupan yang aktual.[6]

Jadi, jelaslah bahwa peranan manusia mendapatkan tempat yang penting 
dalam proses pengudusan. Adalah usaha manusia yang ikut menentukan 
kelangsungan proses pengudusan dalam diri tiap orang percaya (lih. 
Kol. 3:5).


Tujuan Pengudusan Orang Percaya: Kemuliaan Allah dan Berkat bagi 
Sesama

Surat 1Petrus 2:9[7] dengan jelas menyatakan tujuan pengudusan orang 
percaya. Pertama-tama tujuan pengudusan adalah untuk menjadikan orang-
orang percaya itu umat yang layak bagi Allah sendiri. Tuhan adalah 
kudus, Ia menghendaki agar umat-Nya juga kudus (Im. 19:2; 1Ptr. 1:16). 
Dalam pengudusan itu, orang-orang percaya dibawa untuk makin dekat 
dalam persekutuan dengan Allah, makin seperti Dia dalam gambaran 
Kristus Yesus Tuhan (Ef. 4:15).

Selanjutnya, tujuan pengudusan adalah agar kita layak menjadi saksi 
bagi karya kasih Allah yang menyelamatkan. Keselamatan dalam Kristus 
bukanlah tujuan akhir, tetapi menjadi titik pijak dari proses 
pengudusan bagi maksud Allah untuk membawa keselamatan bagi dunia. 
Melalui pengudusan, orang-orang percaya bukan hanya diubahkan menjadi 
serupa dengan Kristus, tetapi juga dipersatukan dalam keutuhan tubuh 
Kristus, gereja Tuhan. Kemudian sebagai gereja, orang-orang percaya 
menjadi garam dan terang dunia yang menyaksikan Kristus dan menjadi 
wakil Kristus di tengah dunia (Ibr. 1:3; lKor. 15:49). Dengan 
kesaksian itu, gereja akan dimampukan untuk menggenapkan rencana 
keselamatan Allah untuk menjadi berkat bagi seluruh dunia bagi 
kemuliaan Allah.

Tujuan akhir dari pengudusan orang percaya adalah bagi kemuliaan nama 
Tuhan.[8] Keberadaan orang percaya dan gereja bukanlah untuk dirinya 
sendiri, tetapi semuanya untuk menyenangkan, memuliakan Tuhan. Di 
sanalah terletak kesempurnaan maksud dari keberadaan setiap makhluk. 
Pengudusan membawa orang-orang percaya untuk menuju suasana pemuliaan 
Tuhan itu (Ef. 1:6; Flp. 2:9-11).

Proses Pengudusan: Transformasi, Pembaharuan dan Pertumbuhan

Peterson mencatat bahwa dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus bekerja dalam 
proses pengudusan melalui tiga cara: transformasi, pembaharuan, dan 
pertumbuhan.[9] Dengan pengalaman yang berbeda-beda, orang-orang 
percaya masuk dalam proses pengudusan yang dilakukan oleh Roh dalam 
hidup mereka. Transformasi menyatakan karya Roh Kudus yang mengubahkan 
keberadaan kita dengan kuasa-Nya agar kita menjadi makin serupa dengan 
Kristus; aktivitas ini di luar kemampuan kita untuk terlibat (lKor. 
15:51-52). Pembaharuan menyatakan hal-hal dalam proses pengudusan yang 
melibatkan orang-orang percaya (Rm. 12:2); dan pertumbuhan yang 
merupakan hasil interaksi orang-orang percaya dengan firman Tuhan 
(Mat. 13:1-23).

Dalam perjalanan iman mereka yang percaya, "inner healing" dianggap 
merupakan salah satu cara yang dipakai Roh Kudus untuk melakukan 
transformasi dan pembaharuan dalam hidup mereka;[10] khususnya pada 
mereka yang mengalami trauma masa lalu yang berat. Dalam bagian 
selanjutnya akan dibahas mengenai hal tersebut.

PENYEMBUHAN LUKA BATIN (INNER HEALING): KONSEP DAN APLIKASINYA DI 
KALANGAN ORANG-ORANG PERCAYA

Mike Flynn mendefinisikan "inner healing" sebagai "sebuah metode doa, 
di mana Yesus Kristus diundang hadir dalam penderitaan masa lalu dan 
melakukan penyembuhan dari akibat-akibatnya yang negatif."[11] 
Sedangkan Lee Kwan-jik mendefinisikannya sebagai "sebuah proses terapi 
holistik di mana seseorang akan mengalami beberapa tahap penyembuhan 
holistik dalam hubungan dengan diri sendiri (intrapsychic health), 
orang lain (interpersonal health), dan Tuhan (suprapersonal 
health).[12]

Dari dua definisi di atas, secara sederhana "inner healing" atau 
penyembuhan luka batin dapat diartikan sebagai sebuah proses 
penyembuhan dengan metode doa, di mana dalam imajinasi Yesus diundang 
dalam peristiwa traumatik, masa lalu dan melakukan penyembuhan 
terhadapnya sehingga orang percaya itu bisa memunyai hubungan yang 
sehat dengan dirinya sendiri, sesama, dan Tuhan. John dan Paula 
Sandford menambahkan betapa pentingnya untuk menyatakan pengampunan 
oleh darah Yesus dalam proses itu.[13]

Siapakah yang Memerlukan Penyembuhan Luka Batin?

Charles Kraft menyatakan bahwa "pada dasarnya ada dua jenis orang yang 
memerlukan penyembuhan luka batin: pendosa dan para korban."[14] 
Berdasarkan pendapatnya ini, sesungguhnya hampir semua orang percaya 
memerlukan penyembuhan luka batin ini. Sebab siapakah orang yang tidak 
pernah berdosa dan terbebas sama sekali dari masa lalu yang 
menyakitkan hatinya? Tidak heran Lee Kwan-jik, dalam penelitian yang 
dilakukan dalam kelasnya di Chongsin Theological Seminary mencatat 
bahwa dari antara 120 mahasiswa 96,3% mengakui bahwa mereka berasal 
dari keluarga yang bermasalah, di antaranya 59,3% sangat 
bermasalah.[15] Lee menganjurkan agar dilakukan upaya penyembuhan luka 
batin di antara para mahasiswa seminari di Korea.

Bagaimana Proses Penyembuhan Luka Batin Umumnya Dilakukan?

Metode penyembuhan luka batin sangat bervariasi.[16] Dalam hal ini 
penulis membatasi diri dalam metode seperti yang terdefinisi pada awal 
pembahasan di atas. Isi doa "inner healing" umumnya didafarkan pada 
kasus-kasus yang sudah dikategorikan (misalnya, masalah seksual, 
penganiayaan, keluarga yang retak, dan sebagainya). Tetapi berdasarkan 
kasus-kasus yang dikemukakan,[17] penulis mendapati tipikal proses 
penyembuhan ini adalah sebagai berikut.

1. Ada pengakuan dosa atau kelemahan dari konseli/klien, yang biasanya
   adalah orang yang sudah percaya.
2. Dalam sebuah proses konseling/percakapan dengan pelayan kesembuhan
   (yang memunyai karunia kesembuhan), dicari akar masalah yang
   biasanya berkonsentrasi pada adanya trauma masa lalu.
3. Setelah pelayan dan klien sepakat tentang akar masalahnya, mereka
   akan berdoa bersama.
4. Pelayan akan membimbing klien untuk membayangkan peristiwa masa
   lalu yang menyakitkan itu, sedetail dan sejelas mungkin, sampai
   klien betul-betul bisa merasakan ia sedang melihat dirinya sendiri
   sedang mengalami itu.
5. Kemudian pelayan mengajak klien untuk membayangkan Yesus hadir
   dalam peristiwa itu dan Dia memberikan solusi, bisa dengan
   membersihkan, mengampuni, menjamah dan menyembuhkan dan lain-lain.
6. Klien mendapatkan kelegaan dan pelayan meneguhkan dengan firman
   Tuhan, doa, atau dorongan semangat yang lain.

Diakui bahwa proses ini tidak selalu berlangsung singkat. Ada kalanya 
memakan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Tetapi mereka yang 
mempraktikkannya percaya bahwa cara ini adalah salah satu karya Roh 
Kudus dalam rangka membangun kehidupan orang percaya. Mereka bersaksi 
bahwa orang-orang yang disembuhkan/dipulihkan ini kemudian menjadi 
saksi dan memuliakan Tuhan dalam hidupnya.

Beberapa Pandangan tentang Hubungan "Inner Healing" dan Pengudusan

Pertama, tentu para praktisi "inner healing" menerima praktik ini 
sebagai bagian dari proses pengudusan orang percaya dengan berdasarkan 
hasil-hasil penyembuhan yang "nyata" dan tentu saja dasar-dasar 
Alkitab yang ditafsirkan sebagai menyatakan praktik ini adalah karya 
Roh Kudus.[18] Melalui "inner healing" mereka yakin bahwa orang 
percaya dipulihkan hubungannya dengan diri, Tuhan, dan sesama sehingga 
bisa menjadi saksi dan melayani dengan efektif.

Kedua, ada pula mereka yang menolak "inner healing" sebagai bagian 
dari pengudusan karena ditengarai metode ini merupakan salah satu 
praktik New Age Movement yang menyusup dalam ajaran gereja. Herlianto 
adalah salah seorang yang mewakili mereka.[19] Praktik imajinasi aktif 
yang membayangkan kehadiran pembimbing spiritual (spiritual guide) 
untuk dijadikan pelaku penyembuhan, sangat mirip dengan praktik 
perdukunan pada agama-agama Timur; sehingga dalam praktiknya, Kristus 
bisa saja digantikan oleh tokoh yang lain. "Inner healing" juga 
ditengarai sesungguhnya bukan berdasarkan ajaran kitab suci, melainkan 
berdasarkan praktik kesembuhan batin yang diajarkan tokoh 
psikoanalisis Sigmund Freud dan muridnya Carl Jung. Kedua tokoh inilah 
yang melakukan penelitian secara ilmu jiwa tentang pengaruh kejiwaan 
masa lalu terhadap perilaku hari ini. Visualisasi aktif adalah juga 
salah satu cara penyembuhan mereka.

Lebih jauh, mereka yang menolak melihat bahwa sesungguhnya konsep dan 
praktik "inner healing" menjadikan karya penebusan Kristus "belum" 
tuntas melepaskan manusia lama dalam diri orang percaya sehingga masih 
harus disembuhkan lagi dari luka-luka batin yang tersisa. Tokoh mereka 
bahkan ada yang menganggap bahwa "inner healing" adalah proses 
penebusan.[20] Banyak lagi keberatan yang lain; tetapi intinya bagi 
kelompok ini inner healing bukanlah karya Roh Kudus; jika ada hasilnya 
itu adalah dari kekuatan manusia atau bahkan manipulasi dari kuasa-
kuasa Gerakan Zaman Baru yang ada dibaliknya.

Mark A. Pearson bisa mewakili pandangan ketiga yang meletakkan praktik 
"inner healing" sebagai bagian dari penyembuhan fisik yang memang bisa 
saja dipakai Allah untuk memelihara umat-Nya. Pearson mencatat bahwa 
Allah bisa bekerja melalui empat cara penyembuhan[21] berikut.

1. Melalui keahlian dan ilmu pengetahuan kedokteran.
2. Melalui upacara dan sakramen yang dilakukan dengan iman oleh gereja
   Tuhan.
3. Melalui orang-orang yang menerima karunia rohani untuk
   menyembuhkan.
4. Melalui doa semua orang-orang percaya.

Semua bentuk penyembuhan itu bisa berdiri sendiri, tetapi juga bisa 
bekerja bersama.

Bagi kelompok ini, "inner healing" adalah bagian dari pelayanan 
pastoral yang mengusahakan kesehatan jiwa bagi orang percaya yang 
dilakukan oleh mereka yang memunyai karunia penyembuhan sekaligus 
keterampilan pastoral. Pearson tidak menolak praktik imajinasi aktif 
dalam proses "inner healing", tetapi ia menyadari bahwa praktik itu 
harus dilakukan dengan dasar-dasar Alkitab yang jelas karena praktik 
ini memang sangat dekat dengan praktik penyembuhan Gerakan Zaman 
Baru.[22]

TANGGAPAN KRITIS DAN ALKITABIAH TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BATIN DALAM 
PROSES PENGUDUSAN ORANG PERCAYA

Disadari atau tidak, praktik penyembuhan luka batin dilandaskan pada 
kenyataan bahwa banyak orang percaya hidup dengan kondisi batin yang 
sakit karena adanya pengalaman traumatis masa lalu. Pengalaman itu 
biasanya membuat orang percaya itu tidak bisa "berdamai" dengan 
dirinya sendiri dan kemudian mengganggu hubungannya dengan sesama dan 
Tuhan. Bagi para penyembuh "inner healing", ini terjadi karena orang 
percaya itu belum bisa menghayati sepenuhnya pengampunan Kristus. 
Melalui "inner healing", ia dibawa kepada masa lalu dan membawa 
Kristus untuk menyembuhkan luka batinnya dan mengampuni dosa masa 
lalunya. Tetapi benarkah itu yang dikatakan Alkitab tentang trauma 
masa lalu orang percaya?

Pandangan Alkitab Tentang Masa Lalu Orang Percaya dan Penyembuhan Luka 
Batinnya.

Pertama, Alkitab menyatakan bahwa orang percaya telah mati dan bangkit 
bersama Kristus. Bukan hanya secara status (hasil justification) 
tetapi juga naturnya sebagai manusia (yang dalam proses 
sanctification). Paulus dengan jelas menyatakan,

  Karena kita tahu manusia lama kita telah disalibkan supaya tubuh
  dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi
  kepada dosa. Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa
  (Rm. 6:6-7).

Dan juga,

  Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan
  aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.
  Dan hidupku yang kuhidupi sekarang dalam daging, adalah hidup oleh
  iman dalam anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan
  diri-Nya untuk aku (Gal. 2:19b-20).

Oleh kuasa Roh Kudus, ia menerima hidup baru yang menggantikan hidup 
lama; "siapa yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru: yang lama 
sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang" (2Kor. 5:17). 
Masih banyak lagi bagian Alkitab yang menyatakan bahwa di dalam 
Kristus orang percaya itu "mati" atau "putus hubungan" dengan hidup 
lamanya. Itulah yang harus kita perjuangkan: untuk memperoleh 
pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol. 3:5-10).

Jadi, nyatalah bahwa Alkitab menyatakan bahwa hidup baru orang percaya 
tidak bergantung lagi, bahkan seharusnya tidak dipengaruhi lagi oleh 
hidup lamanya. Sebab perubahan hidup yang dikerjakan Roh Kudus 
bukanlah sebagian (hanya melakukan perbaikan terhadap apa yang buruk), 
melainkan total; yang lama sudah mati dalam Kristus, dan yang baru 
dikaruniakan dalam Kristus.[23]

Berdasarkan pemahaman firman Tuhan ini, aneh jika dalam penyembuhan 
luka batin orang percaya begitu tergantung pada penyelesaian trauma 
masa lalunya. Bukankah itu berarti kuasa hidup lama itu masih begitu 
melekat pada orang percaya itu? Hal itu sungguh sangat bertentangan 
dengan pernyataan firman Tuhan yang dengan tegas menyatakan bahwa di 
dalam Kristus hidup lama itu hilang kuasanya oleh hidup baru yang 
adalah bersatu dengan Roh Kudus sendiri. Dari aspek ini, jelaslah 
bahwa "inner healing" sama sekali bukan bagian karya Roh Kudus dalam 
pengudusan orang percaya. Bahkan praktik kembali ke masa lalu 
bertentangan dengan kebenaran hidup baru dalam Kristus.[24]

Kedua, Alkitab mengajarkan bahwa karya Roh Kudus selalu berfokus pada 
pengharapan akan masa depan dan bukannya berfokus pada masa lalu. 
Fokus karya Roh Kudus adalah pengudusan orang percaya sampai menjadi 
serupa Kristus (Ef. 4:15). Manusia baru itu "terus-menerus 
diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar 
Khaliknya" (Kol. 3:10). Yang dikehendaki Paulus, yang menjadi fokus 
hidupnya ialah:

  mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam
  penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam
  kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara
  orang mati (Flp. 3:10-11).

Dan lagi Paulus menulis tentang dirinya:

  tetapi ini yang kulakukan: Aku melupakan apa yang telah di
  belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan
  berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan
  sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Flp. 3:13b-14).

Jadi, proses pengudusan orang percaya seharusnya berorientasi pada 
masa depan. Paulus juga pasti memunyai banyak trauma masa lalu, 
khususnya pengalamannya menganiaya dan membunuh banyak murid Tuhan. 
Tetapi dia bukan mengatasinya dengan mengingat kembali luka batinnya 
untuk disembuhkan, tetapi melupakan, bahkan membunuhnya (Gal. 2:20) 
dengan mengarahkan hati, mata, dan hidupnya kepada Kristus yang adalah 
tujuan hidupnya. Hal ini sangat selaras dengan pengajaran Alkitab 
tentang hidup orang percaya yang berfokus pada Kristus.

Fokus "inner healing" yang menengok ke belakang, kepada "inner child", 
dan luka batinnya jelas tidak selaras dengan konsep Alkitab tentang 
cara mengatasi pergumulan masa lalu.[25]

Ketiga, Alkitab mengajarkan bahwa kelemahan orang percaya bukanlah 
menjadi halangan bagi Roh Kudus untuk menyatakan karyanya, bahkan 
makin menyatakan kemuliaan Allah. Paulus mengatakan bahwa: "harta ini 
kami punyai dalam bejana tanah liat supaya nyata, bahwa kekuatan yang 
melimpah-limpah itu berasal dari Allah dan bukan dari diri kami" 
(2Kor. 4:7). "Harta ini" adalah Injil, "bejana tanah liat" adalah 
kehidupan Paulus dan para rasul yang lain pada waktu itu, yang 
sederhana, banyak kelemahan, rapuh, dan tak sempurna. Tetapi justru 
karena itulah kuasa Allah bekerja dengan hebat untuk menopang bejana 
rapuh itu agar terus bisa menyimpan Injil yang sangat mulia itu. Tidak 
selalu kelemahan harus dicari-cari akarnya dan harus disingkirkan. 
Firman Tuhan menyatakan bahwa penyerahan diri yang total kepada 
Allahlah yang terpenting ketika kelemahan menghantui kita. Paulus 
mengomentari kelemahannya menulis:

  Sebab itu aku terlebih suka bermegah dalam kelemahanku, supaya
  kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di
  dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam
  penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku
  lemah, maka aku kuat (2Kor. 12: 9-11).

Jadi, jelaslah firman Tuhan mengajarkan agar orang-orang menyerahkan 
segala kelemahan, termasuk akibat trauma masa lalu pada Tuhan. Dialah 
yang akan memakai hidup yang lemah itu seturut kehendaknya, bagi 
penyataan kebenaran (Rm. 6:13). Jika Roh Kudus akan menghilangkan 
sebuah kelemahan kita, Ia akan melakukannya bagi kebaikan, bagi maksud 
pemberitaan kebenaran injil. Tetapi jika Roh membiarkan kelemahan itu 
tetap ada, Ia akan memakainya juga untuk tujuan kebaikan, bagi maksud 
pemberitaan Injil, bagi kemuliaan Tuhan. Roh Kuduslah yang akan 
memperlengkapi orang percaya dengan apa yang perlu bagi penyataan 
karya Allah dalam diri orang percaya (lKor. 12: 1-31; Rm. 12:6-8; Gal. 
5:22).

Dalam hal inilah "inner healing" bisa menjadi salah satu alat di 
tangan Roh Kudus untuk secara ilmu jiwa, dengan bersandarkan kebenaran 
firman Tuhan, menyembuhkan kelemahan orang percaya yang dikehendakinya 
bagi kemuliaan nama Tuhan.

Akhirnya, tidak pernah sekalipun Alkitab mengajarkan orang percaya 
untuk mempersoalkan masa lalunya yang buruk. Fokus firman Tuhan adalah 
pada Allah yang mengasihi dan menyelamatkan. Kalaupun ada keburukan 
masa lalu yang disinggung, itu hanya untuk menyatakan bahwa dalam 
keadaan yang paling buruk pun Allah dalam Kristus Yesus tetap 
mengasihi kita. Yesus Kristus tidak pernah mempersoalkan masa lalu 
para murid, Ia memanggil mereka dan mengubah mereka begitu saja: 
"Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia" (Mat. 
4:19;
lih. juga Mat. 9:9). Reaksi para murid adalah: mereka taat. 
Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42), memang Ia 
menyinggung masa lalunya. Tetapi Ia melakukannya hanya untuk menarik 
perhatian perempuan itu pada-Nya dan kemudian Kristus memfokuskan 
pembicaraan itu pada Injil. Masa lalu tidak pernah menjadi perhatian 
Injil.

Dalam hal ini, peringatan Mark Pearson tentang praktik "inner healing" 
-- yang selalu membawa kita kembali kepada "inner child", patut kita 
perhatikan:

  we are to listen to Christ and believe and rely only on the truths
  of His written Word, Scripture. If Jesus wanted us to listen to our
  inner child, He would have said so. When Jesus commended the little
  children and told us to be like them, He was telling us to emulate
  their trust in Him (Matt. 19:13-15), not to listen to them
  for guidance and wisdom.[26]

Menyikapi "Inner Healing" berdasarkan Terang Firman Tuhan

Berdasarkan pemahaman firman Tuhan, jelaslah bahwa secara rohani 
"inner healing" bukanlah bagian dari pengajaran firman Tuhan, bahkan 
ajaran ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab tentang 
pengudusan orang percaya. Orientasi pada masa lalu dan praktik 
imajinasi aktifnya menghadirkan Kristus sangat berbau spiritisme 
agama-agama Timur.[27] Pribadi Kristus yang hadir sangat dapat 
dipertanyakan dan distorsi imajinasi sangat mungkin terjadi dalam 
proses imajinasi aktif dalam metode ini. Lebih jauh lagi, metode 
penyembuhan ini juga erat sekali hubungannya dengan konsep-konsep 
pelepasan, peperangan rohani (spiritual warfare), dan "health and 
wealth theology" yang sangat dekat dengan (dan sangat mungkin 
dipengaruhi) Gerakan Zaman Baru. Oleh karena itu, metode ini tidak 
tepat dipraktikkan dalam konteks penyembuhan Kristiani.[28]

Dalam hal bahwa metode ini bisa memberikan pengaruh positif dalam 
hidup orang percaya, "inner healing" dapat diterima sebagai salah satu 
metode terapi psikologi yang berlaku umum dalam menolong mereka yang 
menghadapi masalah kejiwaan dan membutuhkan perawatan dan pemulihan. 
Metode ini sejauh-jauhnya bagi orang percaya hanya dapat sebagai 
bagian dari penyembuhan secara psikis, bukan rohani. Jika dalam proses 
itu Roh Kudus bekerja dan menjadikannya sarana bagi orang percaya 
untuk mendapatkan kesehatan jiwa yang membuatnya lebih bisa bersaksi, 
melayani, dan memuliakan Allah, itu adalah kedaulatan-Nya. Dalam kasus 
yang setara, Roh juga bisa memakai dokter dan obat-obatan untuk 
menjadikan orang percaya disembuhkan dari penyakit, memperoleh 
kesehatan, dan boleh melayani serta bersaksi lebih efektif.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Pengudusan (sanctification) adalah karya Allah Roh Kudus yang terjadi 
dalam setiap diri orang percaya agar terus bertumbuh menjadi serupa 
dengan Kristus. Namun, berbeda dengan keselamatan yang kita terima 
satu kali untuk selamanya, pengudusan kita terima secara bertahap. 
Dalam proses pengudusan Roh Kudus melibatkan orang percaya untuk 
berperan di dalamnya sehingga proses dan pencapaiannya berbeda pada 
masing-masing orang. Tetapi Roh Kudus adalah jaminan bahwa proses ini 
akan berhasil, sekalipun kesempurnaannya baru akan kita terima di 
surga.

Kenyataan bahwa dalam kehidupan kita sebagai orang percaya, sekalipun 
telah menerima hidup baru dan penyertaan Roh Kudus, masih terus 
mengalami kelemahan dan kegagalan harus kita hayati sebagai bagian 
dari pembentukan yang dikerjakan Roh Tuhan. Melalui-Nyalah kita sedang 
dibentuk untuk menjadi umat yang memiliki karakter Kristus, 
memperkenankan hati-Nya, dan menjadi saksi dan saluran berkat-Nya bagi 
dunia.

Mengatasi kelemahan akibat dosa atau peristiwa masa lalu adalah bagian 
dari pergumulan semua orang percaya. Tapi harus jelas bagi kita bahwa 
sesungguhnya hidup yang lama itu sudah mati dalam Kristus, akibatnya 
saja yang masih terus bersama kita dalam hidup baru ini. Dalam 
ketaatan kepada Kristus dan firman-Nya, kita harus berjuang untuk 
mengatasinya. Dalam pengharapan akan pimpinan dan kuasa Roh Kudus yang 
akan menuntun pada kesempurnaan, kita terus maju.

"Inner healing" bukanlah solusi yang diajarkan firman Tuhan untuk 
mengatasi kelemahan akibat masa lalu. Metode ini, yang berfokus pada 
masa lalu, yaitu manusia lama kita, bahkan bertentangan dengan ajaran 
firman Tuhan. Sejauh yang bisa kita terima ia hanyalah salah satu dari 
metode penyembuhan jiwa secara psikologi, yang melaluinya Roh Kudus 
juga bisa bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang percaya 
sesuai dengan yang dirancangkannya. Tetapi memasukkan "inner healing" 
sebagai bagian dari metode pengudusan rohani yang sesuai firman Tuhan 
adalah tidak benar.

Akhirnya, dalam Kristus kita telah menerima hidup yang baru. Tidak ada 
lagi kutuk hidup lama bagi orang percaya karena Kristus telah mati 
disalib menanggung kutukan kita (Gal. 3:11-14). Di dalam Kristus, Roh 
Kudus telah menjadi bagian dari hidup orang percaya yang menyertai, 
menuntun, dan berkarya menguduskan kita sampai pada kesempurnaan. 
Jikalau dalam hidup ini ada kelemahan, pergumulan, dan hambatan akibat 
masa lalu, dalam Kristus pasti kita bisa memperoleh kemenangan demi 
kemenangan. Jika masih ada satu-dua kegagalan dan kelemahan yang belum 
teratasi, kita harus yakin melaluinya Roh Kudus sedang berkarya untuk 
menjadikan kita lebih serupa dengan-Nya. Tetapi jika kegagalan dan 
kelemahan itu begitu menguasai dan tidak pernah ada kemenangan atas 
akibat dosa dan masa lalu kita, kita harus memeriksa diri. Jangan-
jangan kita belum menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat; 
kita belum ditebus dari hidup lama kita, dan tidak ada kuasa Roh Kudus 
yang menyertai kita melawan dosa. Jika itu yang terjadi kita harus 
bertobat dan berpaling pada Kristus. Hanya dengan Dia saja kita akan 
beroleh kemenangan.

======================================================================
Dikutip dari:
Nama jurnal  : Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan
               (Vol. 6 No. 2 Okt. 2005)
Judul artikel: Penyembuhan Luka Batin (Inner Healing): Apakah
               Merupakan Bagian dari Pengudusan Orang Percaya?
Penulis      : Tikijo Hardjowono
Penerbit     : Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)
Halaman      : 211 -- 227

Catatan:
1. Berhubung artikel ini cukup panjang, di surat terpisah saya
   kirimkan catatan kaki yang seharusnya menyertai artikel ini.
2. Jika dalam artikel di atas Anda menemukan nomor dengan tanda kurung
   berikut [ ], itulah nomor catatan kaki yang kami maksudkan di
   surat terpisah. Terima kasih untuk perhatiannya.

------------------------- ><> e-Reformed <>< -------------------------

Anda terdaftar dengan alamat: $subst(`Recip.EmailAddr`)
Kontak Redaksi : < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti : < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Melihat arsip Publikasi e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi >

><>  e-Reformed -------------------------------------- e-Reformed  <><

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org