Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/87

e-Reformed edisi 87 (25-7-2007)

Gereja dan Alkitab (2)


Dear e-Reformed Netters,

Artikel berikut ini merupakan sambungan dari bagian (1) yang sudah
saya kirim sebelumnya. Jika Anda ternyata belum mendapatkan bagian
sebelumnya, silakan berkirim surat ke saya dan saya akan
mengirimkannya untuk Anda.

Selamat melanjutkan perenungan Anda.

In Christ,
Yulia
yulia(a t)in-christ.net

=====================================================================

                        GEREJA DAN ALKITAB (2)

Sejarah perkembangan penerjemahan dan penggunaan Alkitab ditinjau dari
  segi perkembangan dan persatuan bangsa serta kesatuan umat Tuhan di
                              Indonesia

                        Oleh: T.B. SIMATUPANG

(Sambungan dari bagian 1)

Waktu Injil tiba di Indonesia untuk pertama kali pada abad ke-7 dan
untuk kedua kali dalam abad ke-16, Indonesia telah memunyai
perkembangan yang menarik dari segi sejarah dan dari segi agama serta
kebudayaan. Injil tidak tiba di Indonesia dalam keadaan yang "kosong"
dari segi agama dan kebudayaan. Dapat kita catat adanya beberapa
"lapisan" dalam sejarah keagamaan dan kebudayaan kita sehingga
Indonesia dapat kita lihat sebagai suatu kue lapis yang memperlihatkan
lapisan-lapisan keagamaan dan kebudayaan yang memunyai coraknya
masing-masing.

Lapisan pertama ialah lapisan kebudayaan dan keagamaan Indonesia asli,
yang memperlihatkan persamaan-persamaan yang mendasar di samping
perbedaan-perbedaan dari suatu daerah ke daerah yang lain. Studi-studi
mengenai kebahasaan dan adat-istiadat yang dahulu banyak dijalankan
oleh sarjana-sarjana Belanda, mencatat persamaan-persamaan yang pokok
di samping adanya perbedaan-perbedaan dalam lapisan Indonesia asli ini
di berbagai daerah dan kalangan berbagai suku. Di beberapa daerah,
lapisan asli ini masih tampak pada permukaan kehidupan kebudayaan dan
adat istiadat, seperti di Tanah Batak, di Tanah Toraja, dan di Sumba.
Lapisan-lapisan kedua dan ketiga yang akan kita bicarakan di bawah,
tidak banyak memengaruhi keadaan dan keagamaan di daerah-daerah itu.

Lapisan kedua ialah pengaruh kebudayaan dan keagamaan yang datang dari
India. Selama lebih dari seribu tahun, pengaruh kebudayaan dari
keagamaan yang berasal dari India ini sangat berakar di Pulau Jawa dan
Bali dan sebagian Pulau Sumatera. Lapisan ini menghasilkan Kerajaan
Sriwijaya yang beragama Budha dan Kerajaan Majapahit yang beragama
Hindu. Kedua kerajaan itu pernah mempersatukan seluruh kepulauan
Indonesia. Sampai sekarang, pengaruh dari lapisan yang berasal dari
India ini masih tetap sangat kuat di Pulau Jawa dan Bali. Seperti
telah kita catat tadi, Injil telah tiba di Indonesia pada abad ke-7
dalam kurun tibanya lapisan kedua ini di Indonesia, tetapi pengaruh
Injil itu hanya terbatas kepada Fansur (Barus) saja dan pengaruh itu
kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas.

Lapisan ketiga dengan datangnya Islam. Di banyak daerah di Indonesia
peta keagamaan dan kebudayaan mengalami perubahan yang mendasar
sebagai akibat kedatangan Islam itu. Muncullah banyak kerajaan Islam
di berbagai daerah, tetapi tidak sempat ada kerajaan Islam yang
mempersatukan seluruh kepulauan Indonesia, seperti pernah terjadi oleh
Kerajaan Budha Sriwijaya dan oleh Kerajaan Hindu Majapahit. Injil
tidak hadir di Indonesia selama tibanya lapisan ketiga ini.

Masih ada pengaruh kebudayaan yang cukup luas yang berasal dari Tiongkok.
Tetapi pengaruh ini tidak pernah sempat menjadi suatu lapisan
tersendiri dalam peta keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Hal Ini
berbeda dengan sejarah Vietnam, di mana pengaruh kebudayaan dan
keagamaan yang berasal dari Tiongkok merupakan lapisan yang utama.

Lapisan keempat tiba di Indonesia dengan datangnya pengaruh kebudayaan
dan keagamaan yang berasal dari Eropa atau lebih tepat dari Eropa
Barat atau Barat yang modern. Mula-mula datang orang-orang Portugis
dan kemudian orang-orang Belanda. Injil tiba di Indonesia untuk kedua
kalinya bersamaan dengan kedatangan lapisan keempat yang berasal dari
Eropa atau Barat modern ini.

Namun, Injil tidak identik dengan Eropa. Injil mula-mula justru telah
tiba di Eropa dari Asia, yaitu dari Yerusalem. Telah kita lihat bahwa
Rasul Paulus dituntun oleh Roh Kudus untuk membawa Injil dari Asia ke
Eropa. Agama Kristen bukan agama Eropa. Eropa justru telah mengalami
perubahan yang mendasar sebagai akibat dari datangnya kekristenan dari
Asia ke Eropa. Perubahan yang sangat penting terjadi setelah
Renaissance pada abad ke-14. Sebagai hasil dari proses perubahan sejak
Renaissance itu, muncullah di Eropa apa yang disebut peradaban modern.
Eropa beralih dari pramodern menjadi modern. Dengan ini, Eropa Barat
mengembangkan peradaban modern yang pertama di dunia kita ini.

Apakah yang disebut modern itu? Pada dasarnya, peradaban yang modern
itu memperlihatkan pola pikir, pola kerja, dan pola hidup baru yang
paling sedikit memperlihatkan dua ciri yang tidak terdapat pada
peradaban-peradaban pramodern, yaitu ciri kerasionalan dan ciri
kedinamikaan. Mengapa kemodernan itu muncul untuk pertama kali di
Eropa Barat, sedangkan sebelum itu banyak peradaban di luar Eropa
Barat termasuk peradaban Arab-Islam, yang lebih unggul dari peradaban
Eropa Barat itu? Ada pandangan yang melihat adanya dua sumber utama
bagi lahirnya kemodernan itu di Eropa Barat. Pertama, rasionalitas
yang berasal dari filsafat Yunani dan kedua kedinamikaan yang berasal
dari perkembangan dari suatu Alkitab yang melihat adanya dinamika
perubahan dalam sejarah awal menuju suatu tujuan atau penggenapan yang
terletak di depan. Dengan demikian pemikiran modern berorientasi ke
masa depan, dan tidak ke masa lampau, seperti halnya dalam pemikiran
pramodern yang tradisional.

Setelah Eropa Barat menjadi modern, mereka menjalankan ekspansi dan
eksploitasi di seluruh dunia. Rahasia keunggulan Barat selama beberapa
abad tidak terletak pada ke-Baratannya, tetapi pada kemodernannya.
Semua perlawanan dari bangsa-bangsa non-Barat terhadap ekspansi dan
eksploitasi oleh Eropa modern itu, yang dijalankan secara pramodern,
menemui kekalahan. Di Amerika dan Australia, penduduk asli praktis
dimusnahkan oleh ekspansi dan eksploitasi oleh Barat modern itu. Kedua
benua itu praktis menjadi perluasan dari dunia Barat. Tiongkok tidak
ditaklukkan tetapi mengalami revolusi yang berkepanjangan, yang
tampaknya masih terus berlangsung sampai sekarang ini. Jepang berhasil
untuk mengambil alih kemodernan dan mengalahkan bangsa Barat dalam
perang Rusia 1904 -- 1905. Ini membuktikan bahwa apabila suatu bangsa
non-Barat berhasil menguasai kemodernan, dia tidak akan terus
mengalami kekalahan dari bangsa Barat.

India, Indonesia, Vietnam, dan bangsa-bangsa lain dijadikan jajahan
dalam rangka ekspansi dan eksploitasi oleh Barat modern itu, yang
mula-mula dipelopori oleh Spanyol dan Portugal, yang diperintah oleh
raja-raja yang beragama Roma Katolik. Raja-raja itu memerintahkan
armada-armada mereka berlayar ke Amerika dan ke Asia untuk menaklukkan
daerah-daerah dan bangsa-bangsa yang mereka temui guna memperoleh
keuntungan dan sekaligus guna menyebarkan Agama Kristen Katolik.
Kemudian yang menjadi pelopor-pelopor dalam ekspansi dan eksploitasi
oleh Barat modern itu ialah orang-orang Inggris dan Belanda, yang
merupakan bangsa-bangsa Kristen Protestan. Mereka ini memusatkan
perhatiannya terutama kepada keuntungan. Mereka hanya memunyai
perhatian yang sangat terbatas pada penyebaran Agama Kristen Protestan
melalui penaklukan seperti dijalankan oleh Spanyol dan Portugal. Apa
yang dialami oleh bangsa-bangsa non-Barat dan non-modern yang lain,
kita alami juga di Indonesia. Dalam semua perlawanan yang kita
jalankan secara pramodern terhadap ekspansi dan eksploitasi oleh
Barat modern yang datang tanpa diundang itu, kita mengalami kekalahan.
Orang-orang Portugis yang mula-mula datang menyebarkan agama Kristen
Katolik di beberapa daerah, yaitu di Maluku, Flores, dan di daerah
lain seperti Timor. Belanda yang tiba belakangan mengusir orang-orang
Portugis dan lambat laun mereka menegakkan kekuasaannya. Di Maluku,
sebagian besar orang-orang Kristen Katolik menjadi Kristen Protestan
setelah Belanda berkuasa di sana, tetapi pada umumnya Belanda yang
Protestan itu memunyai perhatian yang terbatas pada penyebaran agama
Kristen melalui penaklukan dibandingkan dengan orang-orang Portugis.
Penyebaran Agama Kristen yang kemudian terjadi di berbagai daerah
adalah terutama hasil pekerjaan dari perkumpulan-perkumpulan pekabaran
Injil, yang tidak ada kaitannya dengan Pemerintah Belanda. Sebagian
dari perkumpulan-perkumpulan pekabaran Injil itu tidak berpangkalan di
negeri Belanda, tetapi di Jerman dan Swiss. Di beberapa daerah, yang
sebelumnya tidak atau hampir tidak disentuh oleh apa yang kita sebut
dengan lapisan kedua dan ketiga, yaitu lapisan yang berasal dari India
dan lapisan Islam, agama Kristen menjadi agama rakyat. Kita sebut
sebagai contoh, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, Nias, Toraja,
Minahasa, Sangir, sebagian Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Sumba,
Timor, Flores, Maluku, dan Irian Jaya.

Di banyak daerah lain, lahir gereja-gereja yang jumlah anggotanya
relatif kecil dibanding dengan penduduk daerah itu, seperti di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara. Ada juga gereja-gereja yang mula-mula
beranggotakan keturunan Tionghoa. Di beberapa daerah gereja hampir tidak
sempat berakar. Dengan demikian, telah diletakkan landasan bagi peta
keagamaan dan kebudayaan di Indonesia, yang pada dasarnya masih tetap
bertahan sampai sekarang ini.

Dalam hubungan itulah, kita harus tempatkan peristiwa yang terjadi 360
tahun yang lalu (sesuai tahun penulisan buku ini -- Red.), yaitu
penerbitan kitab pertama dari Alkitab dalam bahasa Indonesia (Melayu).
Hal itu penting sebab bahasa Melayu memunyai posisi yang penting di
seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga di beberapa daerah di luar
Indonesia, sebagai bahasa pergaulan dengan bangsa-bangsa asing. Posisi
bahasa Melayu itu dapat dibandingkan dengan posisi bahasa Yunani di
kawasan sekitar Laut Tengah sebelum dan sesudah lahirnya gereja purba.
Penerbitan kitab pertama dari Alkitab dalam bahasa Melayu yang terjadi
360 tahun yang lalu telah disusul oleh upaya penerjemahan dan
penerbitan yang lebih lanjut sehingga akhirnya tersedia Alkitab yang
lengkap dalam bahasa Melayu. Yang paling terkenal ialah terjemahan
Leydecker, yang memunyai pengaruh yang sangat luas, antara lain di
bagian timur Indonesia.

Setelah pemerintahan selingan Inggris pada awal abad ke-19 berakhir,
kembalinya kekuasaan Belanda telah disambut dengan
pemberontakan-pemberontakan di tiga daerah, yaitu pemberontakan Paderi
di Sumatera Barat, yang bercorak Islam Wahabi; pemberontakan Pangeran
Diponegoro di pulau Jawa yang bercorak Islam Jawa; dan pemberontakan
Pattimura di Maluku yang bercorak Kristen Ambon. Konon waktu Pattimura
terpaksa harus meninggalkan Kota Saparua, dia telah meninggalkan
Alkitab di mimbar gereja Saparua yang terbuka pada Mazmur 17, dengan
kalimat-kalimat awalnya yang berbunyi:

"Dengarlah, Tuhan, perkara yang benar, perhatikanlah seruanku; berilah
telinga akan doaku, dari bibir yang tidak menipu. Dari pada-Mulah
kiranya datang penghakiman; mata-Mu kiranya melihat apa yang benar".

Melalui Mazmur 17 itu Pattimura rupanya ingin menyampaikan pesan
kepada komandan pasukan Belanda yang memasuki kota Saparua, bahwa
sekalipun Belanda menang, kebenaran adalah di pihak Pattimura dan
teman-teman seperjuangannya. Alkitab yang ditinggalkan oleh Pattimura
terbuka pada Mazmur 17 di mimbar gereja Saparua agaknya ialah Alkitab
terjemahan Leydecker.

Dalam rangka pekabaran Injil di berbagai daerah yang dijalankan secara
intensif sejak abad ke-19 dan yang seperti kita lihat tadi banyak
dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pekabaran injil yang tidak
terkait dengan Pemerintah Kolonial Belanda, dengan sendirinya telah
lahir terjemahan-terjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa daerah.
Untuk itu, bahasa-bahasa daerah itu telah dipelajari sebaik-baiknya
secara ilmiah. Dalam hubungan itu, salah satu tokoh yang paling
menarik ialah Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894). Atas
penugasan oleh Lembaga Alkitab Belanda, van der Tuuk telah memelopori
upaya untuk mempelajari bahasa Batak dan kemudian bahasa Bali secara
ilmiah.

Pada peresmian Perpustakaan Nasional pada tanggal 11 Maret 1989 di
Jakarta, Presiden Soeharto berkata bahwa di Perpustakaan Nasional itu
terdapat naskah terjemahan Alkitab dalam bahasa dan aksara Batak.
Naskah itu agaknya adalah terjemahan oleh van der Tuuk, yang di Tanah
Batak terkenal dengan nama Pandortuk. Di Bali dia terkenal dengan nama
Tuan Dertik.

INDONESIA MEMASUKI ERA MODERN
-----------------------------

Sejarah modern Indonesia dapat dianggap mulai dengan Kebangkitan
Nasional pada tahun 1908. Sebelum itu, bangsa kita selalu mengalami
kekalahan dari Belanda, oleh karena kita menjalankan perang-perang
lokal secara pramodern, sedangkan Belanda menjalankan peperangan
secara modern serta strategi yang mencakup seluruh Hindia Belanda.
Peperangan-peperangan lokal dan pramodern yang terakhir ialah Perang
Aceh, Perang Batak, dan Perang Bali. Waktu Perang Aceh, Perang Batak,
dan Perang Bali itu berakhir pada awal abad ke-20, di Jakarta
(Batavia) telah ada pemuda-pemuda terpelajar yang mendirikan Budi
Utomo pada tahun 1908. Sejak Kebangkitan Nasional 1908 itu, kita
melanjutkan perlawanan terhadap Belanda yang sebelumnya kita jalankan
secara lokal dan pramodern dengan cara-cara yang secara
berangsur-angsur makin bersifat nasional dan makin bersifat modern.

Gerakan-gerakan pemuda yang mula-mula bersifat kedaerahan, di mana
pemuda-pemuda Kristen dari daerah-daerah yang bersangkutan aktif
mengambil bagian, menjadi gerakan Pemuda Nasional dengan Sumpah Pemuda
pada tahun 1928. Dengan Sumpah Pemuda itu, bahasa Indonesia memperoleh
kedudukan sebagai bahasa persatuan dan bahasa Nasional.

Dalam iklim yang dijiwai oleh cita-cita kemerdekaan Nasional itu,
telah lahir pula gereja-gereja yang mandiri di berbagai daerah. Banyak
di antara gereja-gereja itu menggunakan Alkitab dalam bahasa daerah
masing-masing. Tetapi berdasarkan keyakinan bahwa bahasa Indonesia
akan memunyai tempat yang menentukan dalam perkembangan persatuan
bangsa dan kesatuan umat Tuhan di masa depan, diadakan juga terjemahan
dalam bahasa Indonesia di bawah pimpinan Bode. Dengan didirikannya
Hoogere Theologische School (HTS) pada tahun 1934 yang sekarang
menjadi Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta, dimulailah pendidikan
calon-calon pendeta yang berwawasan persatuan bangsa dan kesatuan
gereja untuk semua gereja. Para lulusan dari HTS itu kemudian menjadi
pelopor-pelopor bagi gerakan menuju kesatuan gereja.

Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa kita memasuki
era yang baru, yaitu era bangsa dan negara yang merdeka. Dalam
hubungan ini, perlu dicatat bahwa dasar negara yang diterima secara
bulat pada tahun 1945, yaitu Pancasila, terbukti merupakan dasar yang
sangat tepat yang telah mampu menjamin persatuan dan kesatuan bangsa
yang terus makin kokoh serta kerukunan antar umat beragama. Kita lihat
bahwa banyak negara baru yang lain telah mengalami pergolakan serta
konflik-konflik antar agama yang berkepanjangan.

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 terdapat pertentangan
yang tajam antara dua konsep kenegaraan, yaitu konsep negara agama dan
konsep negara nasional. Dengan Pancasila, kita telah menghindarkan
perpecahan dan sejak itu, persatuan bangsa kita terwujud waktu
proklamasi. Dalam sejarah India, pertentangan antara konsep negara
agama dan konsep negara nasional telah menghasilkan dua dan kemudian
tiga negara.

Pada perang kemerdekaan (1945 -- 1949) melawan Belanda, kita
menjalankan strategi nasional yang modern yang terdiri dari kombinasi
antara strategi militer yang modern dan strategi diplomasi yang modern
telah menghasilkan kemenangan bagi kita dalam arti Belanda mengakui
kedaulatan kita. Dalam perjuangan yang kita jalankan secara nasional
dan modern antara 1945 dan 1949, kita dapat mengalahkan Belanda,
sedangkan dalam peperangan-peperangan sebelum Kebangkitan Nasional
1908, yang kita jalankan secara lokal dan pramodern, kita selalu
mengalami kekalahan dari Belanda.

Perang Kemerdekaan itu telah meningkatkan kesadaran mengenai kesatuan
dan persatuan nasional di semua golongan dan lapisan bangsa kita,
termasuk di kalangan umat Kristen. Orang-orang Kristen mengambil
bagian dalam Perang Kemerdekaan itu secara bahu-membahu dengan
saudara-saudaranya yang menganut agama-agama lain, seperti yang kita
lihat ketika kita mengunjungi Taman-taman Pahlawan di seluruh tanah
air. Setelah Perang Kemerdekaan berakhir dengan pengakuan kedaulatan
kita menjelang akhir tahun 1949, pada tahun 1950 pemimpin-pemimpin
dari gereja-gereja di Indonesia mendirikan Dewan Gereja-gereja di
Indonesia (DGI) dengan tujuan mendirikan Gereja Kristen yang Esa di
Indonesia. Dengan perkataan lain, para pemimpin gereja hendak
mewujudkan kesatuan umat Tuhan di Indonesia dalam rangka persatuan
bangsa. Tetapi kesatuan umat Tuhan itu tentu lebih luas daripada
persatuan bangsa. Kesatuan umat Tuhan mencakup umat Tuhan di semua
tempat dan sepanjang zaman. Kesatuan umat Tuhan yang merupakan inti
dari gerakan Oikumenis bersumber pada Injil. Tuhan Yesus berdoa,
"Supaya mereka menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam
Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya
dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes
17:21). 
Dengan demikian, jelas bahwa yang Oikumenis tidak dapat
dipertentangkan dengan yang Injili. Yang Oikumenis adalah di dalam
yang Injili dan yang Injili adalah di dalam yang Oikumenis. Baik yang
Injili, maupun yang Oikumenis sama-sama bersumber pada Alkitab. Mereka
dipersatukan oleh Alkitab yang satu.

Setelah pengakuan kedaulatan kita pada tahun 1950, lahirlah pula
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada tahun 1954. Dalam rangka
persatuan bangsa dan kesatuan umat Tuhan, lahir pula terjemahan dalam
bahasa Indonesia modern, di mana terdapat kerja sama yang erat antara
LAI dengan semua gereja di Indonesia, termasuk Gereja Roma Katolik.
Dalam rangka persatuan bangsa dan kesatuan umat Tuhan itu pulalah
terjemahan dalam banyak bahasa daerah dibaharui dan
terjemahan-terjemahan dalam bahasa-bahasa yang belum mengenal
terjemahan Alkitab terus diadakan. Dalam hubungan persatuan bangsa dan
kesatuan umat Tuhan itu pula, dirasakan kebutuhan akan
terjemahan-terjemahan dalam bahasa-bahasa sehari-hari, agar Alkitab
itu dapat lebih mudah dibaca dan dipahami di tengah-tengah kehidupan
sehari-hari.

Waktu bangsa kita hidup dalam iklim revolusi selama Demokrasi
Terpimpin dengan kecenderungannya untuk menuntut penyesuaian secara
total dengan ketentuan-ketentuan revolusi, dalam gereja-gereja kita
banyak mempelajari Roma 12:2 yang berbunyi "Janganlah kamu menjadi
serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,
sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik,
yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna". Itulah yang melahirkan
rumus yang terkenal bahwa dalam terang Injil Kerajaan Allah: kita
mengambil bagian dalam revolusi secara positif, kreatif, kritis, dan
realistis. Waktu kita memasuki era pembangunan, rumus tersebut
dilanjutkan dengan mengatakan bahwa dalam terang Injil Kerajaan Allah
kita mengambil bagian dalam pembangunan secara positif, kreatif,
kritis, dan realistis.

Dalam hubungan penerjemahan dengan penggunaan Alkitab dalam rangka
persatuan bangsa dan kesatuan umat Tuhan, dapat dicatat pengalaman
kita dalam rangka perjuangan untuk mengintegrasikan Irian Jaya
(sekarang Papua -- Red.) ke dalam persatuan bangsa dan usaha untuk
mengintegrasikan Gereja Kristen Injili di Irian Jaya ke dalam
persatuan umat Tuhan di Indonesia. Pada waktu itu, Belanda bekerja
keras untuk memisahkan Irian Jaya dari bagian-bagian yang lain dari
Indonesia, antara lain dengan mengusahakan agar Gereja Kristen Injili
di Irian Jaya dan rakyat di Irian Jaya umumnya, tidak lagi menggunakan
bahasa Indonesia. Usaha Belanda itu telah gagal karena gereja dan
rakyat di Irian Jaya tidak bersedia untuk melepaskan bahasa Indonesia
dan Alkitab dalam bahasa Indonesia. Alkitab dalam bahasa Indonesia
yang dibaca luas di Irian Jaya merupakan salah satu sebab yang utama
bagi kegagalan upaya Belanda untuk memisahkan rakyat Irian Jaya dan
untuk memisahkan Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dari persatuan
bangsa dan dari kesatuan umat Tuhan di Indonesia.

Kita telah mencapai kemajuan yang besar dalam proses untuk
terus-menerus memperkuat persatuan bangsa antara lain dengan
memantapkan Pancasila sebagai satu-satunya alas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada tahun 1985. Kita telah
mencapai kemajuan dalam proses yang terus-menerus untuk membaharui,
menumbuhkan, membangun, dan mempersatukan umat Tuhan antara lain
dengan peningkatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) menjadi
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 1984. Dalam
rangka persatuan bangsa dan kesatuan umat Tuhan itu, penerjemahan dan
penggunaan Alkitab akan terus kita tingkatkan di masa depan.

MELIHAT KE MUKA
---------------

Dalam memperingati penerbitan bagian Alkitab dalam bahasa Indonesia
(Melayu) 360 tahun yang lalu, pada satu pihak kita melihat ke belakang
dengan mengucap syukur atas pekerjaan yang telah dijalankan oleh
begitu banyak hamba Tuhan yang setia di masa lampau dalam
menerjermahkan, menerbitkan, dan mendistribusikan Alkitab, dengan
tujuan agar semua orang di Indonesia dapat membawa Alkitab dalam
bahasanya sendiri, dengan harga yang terjangkau oleh orang banyak.

Pada pihak lain kita melihat ke muka untuk melihat tanda-tanda zaman
yang dapat membantu kita menjalankan persiapan-persiapan agar kita
dapat menghadapi perkembangan di masa depan sebaik-baiknya, baik dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita, maupun dalam kehidupan
gereja-gereja kita dan demikian juga dalam kehidupan Lembaga Alkitab
di Indonesia (LAI). Masyarakat, bangsa dan negara kita sedang
bersiap-siap untuk menjalankan pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila menuju tinggal landas menjelang akhir abad ke-20 dan awal
abad ke-21 agar kita dapat "naik kelas" dari negara berkembang menjadi
negara maju yang membangun masyarakat Pancasila yang maju, adil,
makmur dan lestari, yang akan dapat memberikan sumbangan yang
sebesar-besarnya dalam upaya umat manusia untuk membangun masyarakat
dunia dengan berpedoman kepada keadilan, perdamaian, dan keutuhan
ciptaan.

Ilmu dan teknologi yang harus makin maju dan makin canggih akan
menjadikan dunia dan juga Indonesia makin kecil dan makin bersatu.
Ancaman-ancaman baru yang dapat membawa kepada kehancuran akan
dihadapi, di samping peluang-peluang yang baru untuk membangun
masyarakat dunia dan juga masyarakat Indonesia yang makin adil, makin
damai, dan makin mampu untuk menjamin keutuhan ciptaan.

Apakah akan ada perbedaan dalam masa depan dunia dan dalam masa
Indonesia tanpa atau dengan kehadiran serta partisipasi gereja?
Perbedaan itu tentu ada sebab gereja telah ditempatkan oleh Tuhannya
di dunia ini, termasuk di Indonesia yang menjalankan pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas, sebagai
"garam", "terang", dan berkat bagi semua orang. Untuk itu, gereja
harus menjalankan tugasnya yang tidak berubah di semua tempat dan
sepanjang zaman, seperti telah dirumuskan bersama-sama oleh
gereja-gereja di Indonesia dalam Sidang Raya DGI 1984, sebagai
berikut.

1. Memberitakan Injil kepada semua makhluk (Markus 16:15).

2. Menampakkan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan
   rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh (I Korintus 12:4).

3. Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan
   (Markus 10:45, Lukas 4:18, 10:25-37; Yohanes 15:16).

Dalam menjalankan tugas panggilannya tadi di tengah-tengah
perkembangan dunia umumnya dan juga di tengah-tengah perkembangan
Indonesia, gereja-gereja di seluruh dunia termasuk di Indonesia
berbicara mengenai Kisah Para Rasul Kontemporer. Dalam Kisah Para
Rasul, kita baca bahwa setelah bertemu dengan Kristus yang bangkit dan
memperoleh kuasa dari Roh Kudus menjadi saksi di Yerusalem, di seluruh
Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi, gereja purba telah keluar
dari keterbatasannya semula sebagai gereja dari dan untuk orang-orang
Yahudi, untuk menjadi gereja bagi semua orang dalam Kerajaan Romawi
dengan tidak mengadakan diskriminasi antara Yahudi, Yunani, dan
seterusnya.

Dalam menjalankan Kisah Para Rasul kontemporer di dunia umumnya dan
khususnya di Indonesia di tengah-tengah pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila menuju tinggal landas menjelang akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21, gereja-gereja di Indonesia berdoa agar mereka
bertemu dengan Kristus yang bangkit dan memperoleh kuasa Roh Kudus
untuk menjadi aksi sampai ke ujung Indonesia bahkan sampai ke ujung
bumi. Untuk itu, gereja harus keluar dari berbagai bentuk
keterbatasannya sehingga gereja-gereja di Indonesia itu bersama-sama
menjadi gereja bagi semua orang di Indonesia di tengah-tengah
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal
landas. Dalam hubungan itulah penerjemahan, penerbitan, dan distribusi
Alkitab akan terus ditingkatkan agar Alkitab yang dapat dibaca oleh
semua orang dalam bahasanya sendiri dengan harga yang terjangkau oleh
orang banyak menjadi pelita yang menerangi jalan bagi semua orang
dalam hubungan peningkatan persatuan bangsa dan kesatuan umat Tuhan,
di tengah-tengah pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila
menuju tinggal landas menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.

======================================================================
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku   : Tantangan Gereja di Indonesia
Editor       : Pusat Literatur Euangelion
Penerbit     : Pusat Literatur Euangelion dan
               Yayasan Penerbit Kristen Injili (YAKIN)
Judul artikel: Gereja dan Alkitab
Penulis      : T.B. Simatupang
Halaman      : 5 -- 14 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org