Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/83

e-Reformed edisi 83 (23-3-2007)

Jika Saya Masih Punya Keraguan, Apakah Saya Tidak Dapat Menjadi Orang Kristen?(Bag. 2)

Dear e-Reformed netters,

Posting artikel ini adalah Bagian ke 2. Jika Anda belum mendapatkan 
Bagian ke 1 dan ingin mendapatkannya, silakan menghubungi saya.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

----------------------------------------------------------------------

                    JIKA SAYA MASIH PUNYA KERAGUAN,
            APAKAH SAYA TIDAK DAPAT MENJADI ORANG KRISTEN?
                               (Bag. 2)


KEPUTUSAN UNTUK PERCAYA
-----------------------
Ketika saya minta agar Anderson berbicara lebih banyak tentang peran 
iman dan kehendak pribadi, segera dia mengambil contoh sesosok 
karakter dari Alkitab Perjanjian Lama, Abraham sebagai ilustrasi.

"Abraham dijuluki sebagai `bapa orang beriman,` kata Anderson, "tetapi 
bukan berarti bahwa dia tidak pernah bimbang, dan tidak berarti bahwa 
dia selalu melakukan hal yang benar, dan juga tidak berarti bahwa 
motivasinya selalu murni. Dia pernah gagal dalam tiga peristiwa. 
Tetapi dengar -- Abraham tidak pernah menyerah dalam keinginannya 
untuk mengikut dan menaati Allah. Dia berkata, `Aku akan 
mempercayainya -- tidakkah raja dari semesta alam ini melakukan yang 
benar?` Dia tidak mau menyerah dan terus mempertahankan imannya kepada 
Allah. Salah satu definisi iman adalah kesediaan untuk percaya. Itu 
keputusan untuk mengikuti pengenalan baik yang Anda miliki tentang 
Allah dan tidak mundur.

"Gagasan tentang pilihan itu tercantum di seluruh Alkitab. Lihat saja 
Yosua. Dia mengatakan memilih hari itu, mana yang kamu mau sembah, 
tetapi dia dan seisi rumahnya akan menyembah Allah. Jadi, iman pada 
dasarnya adalah keputusan dari kehendak pribadi."

Saya mengangkat tangan saya untuk menghentikannya. "Tetapi bukankah 
ada pemahaman yang menyatakan bahwa iman adalah anugerah dari Allah?" 
tanya saya.

"Ya," katanya mengakui, "dan itu menimbulkan misteri besar tentang 
pilihan dan kebebasan memilih. Akan tetapi, aku melihatnya seperti 
kekuatan setir dalam sebuah mobil. Kita tidak mungkin menggerakkan 
roda-roda mobil tanpa kekuatan setirnya. Namun, dengan satu jari Anda 
mampu memberikan tenaga yang diperlukan dan kekuatan pada setir yang 
akan memampukannya menggerakkan roda-roda. Dengan cara yang serupa, 
pilihan kita membuat keputusan untuk menyerahkan kepercayaan kita 
kepada Kristus, dan Allah yang memampukan kita."

Anderson membungkukkan badannya untuk mengambil kacamatanya dari atas 
Alkitab. Dia mengenakannya dan kemudian mulai lagi membalik-balik 
halaman-halaman tipis kitab itu, sampai akhirnya dia menemukan Injil 
Yohanes.

"Dengarkan apa yang tertulis dalam Yohenes 7:17," katanya sambil 
berdehem melegakan kerongkongannya. "Yesus mengatakan, `Barangsiapa 
mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal 
dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri.` Jadi, kalau 
kita memiliki keinginan untuk percaya, Allah akan mengonfirmasikan 
kepada kita bahwa Yesus berasal dari Allah."

Dia membuka lagi beberapa halaman dari Alkitabnya sampai ke Yohanes 
12:37, "
Dan meskipun Yesus mengadakan begitu banyak mukjizat di depan 
mata mereka, namun mereka tidak mau percaya kepada-Nya." Kemudian dua 
ayat sesudah itu mengatakan, `Karena itu mereka tidak dapat percaya.`

"Dengan kata lain, mereka membuat keputusan berdasarkan kemauan mereka 
sendiri untuk menyangkal pesan-pesan mukjizat -- yang merupakan bukti 
bahwa Yesus adalah Allah -- karena mereka tidak mau membayar harganya, 
yaitu seluruh sistem keagamaan mereka harus dibuang jauh-jauh ke dalam 
laut," katanya menjelaskan. "Dan mereka sudah membuat keputusan untuk 
tidak percaya sedemikian lamanya sehingga mereka menanggalkan 
kapasitas mereka untuk percaya. Dengan begitu, pada intinya iman 
adalah keputusan dari keinginan yang terus-menerus kita buat, tetapi 
kita juga diberi pilihan oleh kasih karunia Allah. Kita dimampukan 
untuk tetap pada keputusan tersebut dengan kuasa Roh-Nya."

"Dan," saya mengamati, "adalah pilihan yang harus kita buat tanpa 
harus memiliki semua informasi yang ingin kita peroleh."

"Itu benar. Kalau tidak begitu, kita hanya akan memperoleh 
pengetahuan, bukan iman."

"Jelaskan bedanya."

Anderson meletakkan kembali Alkitabnya ke atas meja dan kemudian 
mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan untuk mencari-cari sebuah 
ilustrasi. Tampaknya dia belum dapat menemukan ilustrasi yang tepat, 
lalu dia mencari-cari ke dalam saku bajunya, dan kembali menarik 
tangannya keluar. "Baik," katanya. "Aku memegang sesuatu dalam 
tanganku. Tahukah Anda apa itu?"

Saya mencoba menebaknya: "Sebuah uang receh (koin)."

"Tetapi kamu belum tahu dengan pasti," katanya. "Itu tadi baru opini 
Anda. Iman kita bukan opini kita. Biarlah kukatakan bahwa aku punya 
koin dua puluh lima sen di tanganku. Percayakah Anda?"

"Tentu saja," jawab saya.

"Kuberitahukan kepada Anda bahwa itu benar, tetapi Anda belum 
melihatnya. Itulah iman. Kitab Ibrani mengatakan bahwa iman adalah 
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat."

Anderson tersenyum. "Perhatikan sewaktu aku menghancurkan iman Anda." 
Sambil berkata begitu, dia membuka genggamannya untuk menunjukkan 
sebuah koin dua puluh lima sen. "Jadi, sekarang bukan lagi iman, hanya 
sebuah pengetahuan."

Dia melemparkan koin itu ke atas meja. Kadang-kadang orang mengira 
bahwa iman adalah mengetahui bahwa sesuatu itu benar tanpa keraguan 
atau tanpa kebimbangan sama sekali, dan karena itu mereka mencoba 
membuktikan iman melalui bukti-bukti empiris," katanya. "Tetapi 
pendekatan seperti itu salah."

Dia menunjuk ke arah koin tadi. "Anda dapat melihat dan menyentuh koin 
ini, jadi Anda tidak butuh iman. Allah, dengan alasannya sendiri, 
tidak membiarkan diri-Nya berada di bawah pembuktian itu."

"Sebaliknya, manusia harus melakukan apa yang Anda lakukan dalam 
pembuktian atas Kebenaran Kristus -- Anda mengandalkan pada bukti-
bukti yang mendukung. Anda menunjukkan bagaimana berbagai macam bukti 
secara meyakinkan mengarah kepada Allah. Itu membuat sesuatu yang 
sangat penting -- bukti-bukti itu memberikan ruang atau kesempatan 
kepada kita untuk membuat pilihan dengan mengambil langkah iman ke 
arah yang sama dengan yang ditunjukkan oleh bukti tersebut."

MENGATASI KEBIMBANGAN
---------------------
Sore itu semakin larut, tetapi saya belum ingin menghentikan 
pembicaraan kami tanpa mendapatkan nasihat dari Anderson tentang 
bagaimana orang-orang dapat mengatasi keraguan-keraguan yang 
menghantui mereka. Saya tahu tidak ada rumusan yang sederhana untuk 
mengatasi rasa ketidakpastian dan pada saat yang sama, ada beberapa 
langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi keraguan tersebut. 
Semuanya dimulai dengan keinginan pribadi.

"Kalau Anda mengajar tentang topik ini, Anda harus memberitahukan 
kepada mereka bahwa sebelumnya mereka perlu memutuskan apakah mereka 
sungguh-sungguh ingin percaya atau tidak," kata saya. "Mengapa Anda 
memulai dengan itu?"

"Karena beberapa orang mengatakan mereka ingin percaya, padahal 
sebenarnya tidak. Seperti sudah saya katakan sebelumnya, mereka 
mengangkat isu-isu intelektual, padahal mereka hanya mencoba untuk 
mengelabui atau mengalihkan perhatian orang dari kenyataan mengapa 
mereka tidak sungguh-sungguh ingin percaya. Sebagai contohnya, seorang 
mahasiswi perguruan tinggi memberitahuku, `Menurut pendapatku, semua 
hiruk-pikuk tentang kekristenan ini diawali oleh orang-orang yang 
memiliki kebutuhan psikologis untuk percaya.`"

"Jawabannya adalah ya, orang-orang memang memiliki kebutuhan 
psikologis untuk percaya -- sama seperti beberapa orang tertentu 
memiliki kebutuhan psikologis untuk tidak percaya. Aku berkata 
kepadanya, `Apakah alasan yang membuat Anda tidak ingin percaya? 
Apakah karena Anda tidak mau menerima tanggung jawab yang harus Anda 
terima bersama iman itu? Atau apakah karena keputusasaan Anda yang 
tidak dapat diperbaiki lagi? Atau apakah karena Anda tidak mau 
meninggalkan kebiasaan pesta pora yang Anda nikmati selama ini?`"

Mahasiswi itu terkejut. Dia berkata, "Siapa yang memberitahukan itu 
kepada Anda? Memang alasannya adalah campuran dari ketiga-tiganya." 
Baik, dia mempunyai alasan-alasan emosional untuk tidak mau percaya. 
Orang lain punya alasan-alasan yang lain lagi.

"Tetapi bagaimanapun orang-orang harus memutuskan apa yang mereka 
ingin percayai. Apakah karena mereka sudah melihat bukti-bukti bahwa 
kekristenan itu benar? Atau karena mereka merasa putus asa tanpa 
Allah? Kemudian, kalau mereka tidak ingin percaya, mengapa tidak?"

"Kalau mereka memiliki kebimbangan intelektual, itu baik, tetapi 
jangan berhenti di situ. Mereka perlu mendalami lebih jauh apa yang 
tampaknya mendorong mereka semakin jauh dari Allah. Selama sepuluh 
tahun aku selalu mengunjungi seorang gadis yang orang tuanya selalu 
bersikap melecehkannya, dan dia mengaku kepadaku bahwa bukan dengan 
Tuhan dia bermasalah, dan juga bukan pertanyaan-pertanyaannya 
melainkan luka-luka batinnya dan emosinya. Dia perlu mulai dari sana."

"Seandainya ada seseorang yang ingin percaya," kata saya, "apa yang 
Anda rekomendasikan sebagai langkah selanjutnya?"

"Menurutku mereka harus menuju ke mana iman itu membawa mereka. Kalau 
Anda ingin menanam bunga mawar, Anda tidak membeli sehektar tanah di 
Kutub Utara. Anda pergi ke mana bunga mawar biasanya tumbuh dengan 
baik. Kalau Anda ingin menerima iman, tentu Anda tidak pergi bergabung 
dengan American Atheist Inc. Pergilah bergabung dengan orang-orang 
yang Anda kagumi dan hormati karena gaya hidupnya, karena pola 
pikirnya, karakternya, imannya, dan belajar dari mereka. Amati 
kehidupan mereka."

"Aku menganjurkan kepada orang-orang agar menumpuk bahan bangunan iman 
ke dalam pikiran mereka. Yang kumaksudkan adalah buku-buku, pita 
rekaman, dan musik yang membina motivasi yang kuat untuk iman, yang 
menjelaskan sifat-sifat Allah, yang mencermati bukti-bukti yang pro 
maupun yang kontra, yang secara inteligen berurusan dengan kritik-
kritik terhadap iman, yang memberikan pengharapan bahwa Anda dapat 
berhubungan dengan Allah, yang memberikan kepada Anda sarana-sarana 
untuk mengembangkan spiritualitas Anda."

Saran-saran tersebut masuk akal, tetapi masih ada yang terasa kurang. 
"Iman hanya demi iman itu sendiri tidak ada artinya," kata saya. 
"Tidakkah itu penting untuk mengakui secara terbuka dan secara persis, 
apa yang Anda imani itu?"

"Tepat sekali. Itu sebabnya langkah selanjutnya adalah 
mengklarifikasikan objek dari iman itu," jawab Anderson. "Kami, orang-
orang Kanada, tahu bahwa ada dua macam es, yang tebal dan yang tipis. 
Anda mungkin saja kurang mempercayai es yang tebal, dan ternyata es 
itu mampu menahan berat badan Anda; sebaliknya Anda mungkin juga 
sangat mempercayai es yang tipis, dan ternyata Anda tenggelam. Jadi, 
bukan besar atau jumlahnya iman yang Anda tumpuk yang paling berarti. 
Iman bisa saja kecil, seperti biji sesawi, tetapi iman itu harus 
diinvestasikan pada sesuatu yang solid."

"Jadi, orang perlu mengklarifikasikan alasan-alasan mereka untuk 
percaya. Mengapa mereka harus percaya kepada Yesus, dan bukan kepada 
sang mahadewa? Mengapa mereka percaya pada bola-bola kristal atau 
dalam mistik Oriental? Di manakah substansinya?" Anderson menunjuk ke 
arah Alkitabnya di atas meja. "Dengan jelas, saya berprasangka," 
katanya, "tetapi ketika waktunya tiba, satu-satunya objek iman yang 
didukung secara penuh oleh bukti-bukti sejarah arkeologi dan sastra 
serta pengalaman adalah Yesus."

PENGALAMAN IMAN
---------------
Memutuskan untuk percaya, mengikuti iman, menyerap materi-materi yang 
membangun iman, menjernihkan objek iman -- yang pasti semua 
rekomendasi ini baik. Namun, tampaknya masih ada sesuatu yang tidak 
hilang. "Pada beberapa poin, perjalanan iman perlu dimulai," kata 
saya. "Bagaimana hal itu terjadi?"

"Duduk dan memikirkan iman dan keragu-raguan tidak akan membuat orang 
lain percaya," respons Anderson. "Tidak juga membaca semua buku yang 
tepat atau bergaul dengan orang-orang yang tepat atau bahkan membuat 
keputusan untuk percaya. Akhirnya, Anda harus mulai pengalaman iman 
Anda dengan cara melakukan apa yang akan dilakukan oleh iman." Anda 
harus memulai pengalaman iman Anda dengan melakukan apa yang 
seharusnya dilakukan dengan iman."

"Yesus mengatakan bahwa kalau kita melanjutkan Firman-Nya, maksud-Nya, 
kita melanjutkan dengan melakukan apa yang dikatakan oleh Yesus --
maka barulah kita menjadi murid-murid-Nya yang sejati. Menjadi seorang 
murid berarti Anda menjadi `pengikut yang sedang belajar.` Kalau Anda 
menjadi seorang pengikut yang sedang belajar, Anda akan mengenal 
kebenaran itu dan kebenaran itu akan memerdekakan Anda."

"Mengenali kebenaran tidak berarti bahwa Anda mengisi kepala Anda 
dengan pengetahuan; ini adalah `pengetahuan` atau `pengenalan` menurut 
orang Yahudi. Jadi, bukan sekadar mengumpulkan informasi saja. Yang 
dimaksudkan di sini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui 
pengalaman. Seperti Adam mengenal Hawa -- dia bukan hanya mengenal 
nama dan alamatnya saja; Adam mengalami keberadaan Hawa."

"Untuk dapat mengenali atau mengalami kebenaran dan dimerdekakan, 
Anda harus menjadi seorang pengikut yang belajar. Dengan kata lain, 
kerjakan apa yang dikatakan oleh Yesus dan Anda akan mengenali 
keabsahan dari ajaran-Nya. Jadi, sama dengan belajar naik sepeda. Anda 
tidak dapat menonton video atau membaca buku tentang naik sepeda; Anda 
harus menaiki sebuah sepeda dan merasakan sendiri bagaimana 
mengayuhnya."

"Bagaimana caranya supaya orang dapat mengalami yang seperti 
itu?" 
saya bertanya lagi.

"Kalau Anda mengatakan, `Aku sudah mendengar beberapa hal yang 
diajarkan oleh Yesus. Kedengarannya cukup bagus untukku, tetapi aku 
tidak tahu apakah semua itu benar atau tidak. Misalnya saja, aku 
pernah mendengar Yesus berkata bahwa terlebih berkat memberi daripada 
menerima. Bagaimana aku dapat mengetahui itu benar atau tidak?` Ribuan 
perdebatan pun tidak akan dapat membuktikannya. Namun, kalau Anda 
menjadi orang yang dermawan, Anda akan merasakan kebenaran ini. 
Mungkin Anda berkata, `Oh, mungkin Yesus secara kebetulan menebak hal 
yang betul dalam kasus itu.` Kemudian teruskanlah. Anda akan terheran-
heran menyaksikan betapa seringnya `tebakannya` itu benar!"

Saya membungkukkan badan saya untuk mengambil Alkitab Anderson, dan 
sambil membuka-buka halamannya, saya menemukan Mazmur 34:9. "Raja 
Daud mengatakan, `Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan 
itu!`" kata saya. "Itukah yang Anda maksudkan?"

"Memang itulah dasar pemikirannya. Semakin banyak Anda merasakan 
itu," katanya dengan penuh keyakinan, "semakin Anda akan 
secara pengalaman berperan dalam jalinan iman."

Saya berharap Anderson mau menambahkan lagi, tetapi untuk sementara 
dia berhenti dengan komentar itu. Kemudian dia menoleh ke arah 
samping, seakan-akan mencoba mengumpulkan lebih banyak pemikiran. Lalu 
dia melanjutkan berbicara tentang pengalaman imannya yang sangat 
menyentuh.

IMAN SEBAGAI KATA KERJA
-----------------------
"Aku tahu, Lee, bahwa Anda adalah mantan seorang ateis," 
kata Anderson.

"Mungkin dahulu Anda punya ratusan pertanyaan tentang Allah yang 
aku tidak akan mampu menjawabnya. Tetapi tahukah Anda? Bagiku itu 
tidak masalah karena aku sudah membuktikannya sendiri bahwa yang 
dikatakan Yesus itu benar."

"Aku tidak menjadi malu atau menyesal. Aku sudah mengalami 
sendiri bahwa terlebih berkat memberi daripada menerima. Aku sudah 
berulang kali mengalaminya dalam kehidupanku. Setiap saat aku 
mendapatkan pengetahuan baru, setiap saat Yesus berbicara kepadaku 
secara pribadi dengan cara-cara yang tidak bisa kuungkapkan dengan 
kata-kata, setiap kali aku mempraktikkan ajaran-ajaran-Nya dan 
menikmati hasilnya -- sesudah berselang beberapa waktu, aku tidak lagi 
peduli berapa pun banyaknya pertanyaan intelektual yang Anda punyai, 
mengapa ini dan itu tidak benar. Aku tahu itu benar."

"Sama dengan kalau Anda mengatakan, `Buktikan kepadaku bahwa 
pelangi itu indah.` Aku mengatakan, `Ya, warnanya merah dan hijau.` 
Tetapi Anda berkata lagi, `Aku tidak suka warna hijau dan merah yang 
dijejerkan bersama.` Lalu aku menjawab, `Tetapi di dalam pelangi, 
warna-warna itu menjadi sangat indah!` Aku belum pernah mendengar 
orang yang mengatakan pelangi itu jelek. Kalau pada akhirnya Anda 
dapat melihatnya sendiri maka aku tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. 
Anda sudah melihatnya, Anda mengalaminya sendiri, dan Anda tahu bahwa 
itu memang indah."

"Menurutku iman memang seperti itu. Akhirnya, Anda harus keluar 
dan melakukannya sendiri. Selain itu, dalam Injil Yohanes, kata `iman` 
tidak pernah dinyatakan dalam bentuk kata benda, selalu dalam bentuk 
kata kerja. Iman adalah perbuatan; bukan hanya sekadar kesepakatan 
mental. Iman adalah arahan hidup. Jadi, ketika kita mulai mengerjakan 
iman, Allah mulai mengabsahkannya. Semakin jauh kita mengikuti plan 
itu, semakin kita mengenali kebenarannya."

Meskipun analisis Anderson itu menarik, saya masih saja merasakan ada 
lubang yang jelas. "Kalau iman itu merupakan sebuah pengalaman 
maka Anda dapat saja mengikuti aliran Timur dan mengalami bahwa 
meditasi menurunkan tekanan darah dan dapat membuat Anda merasa 
nyaman," kata saya mengungkapkan kekurangpuasan saya. 
"Tetapi itu bukan harus berarti bahwa aliran Timur yang 
benar."

"Namun, Anda juga harus ingat bahwa pengalaman adalah sebuah 
jalan pembuktian," kata Anderson mengingatkan. "Anda juga 
masih harus mengklarifikasikan objek iman Anda tadi, untuk dapat 
memastikan apakah ada alasan-alasan yang sah untuk mempercayai 
kebenarannya. Namun, tes yang paling menentukan enak atau tidaknya 
sepotong puding adalah dengan memakannya. Aliran Timur memang baik 
untuk hal-hal tertentu; ateisme juga punya kebaikannya sendiri, tetapi 
kalau Anda mengikuti perjalanan Yesus sepenuhnya, Anda akan menyadari 
bahwa semua ajaran-ajaran-Nya terbukti konsisten karena memang benar. 
Kekristenan bukan benar karena berhasil, kekristenan berhasil karena 
memang ajarannya benar."

Aku tersenyum. "Kedengarannya seperti Anda berbicara dari 
pengalaman."

"Baik, kukatakan kepada Anda imanku sekarang jauh lebih baik 
daripada tiga puluh tahun yang lalu. Apakah aku sudah berhasil 
mendapatkan semuanya? Masih jauh. Namun, sekarang aku merasa jauh 
lebih berdamai dengan siapa sebenarnya Allah itu, dan aku merasa jauh 
lebih yakin bahwa aku berada dalam pelukan-Nya, dan aku percaya bahwa 
Dia menerima upaya-upayaku yang lebih untuk memuliakan nama-Nya dengan 
kehidupanku."

"Masih adakah saat-saat yang diwarnai oleh keraguan?" tanya 
saya.

"Oh, tentu saja!" katanya berseru. "Aku masih bergumul 
mengapa aku tidak maju-maju dalam upayaku mengalahkan dosa-dosa 
kecilku. Yang pasti ini bukanlah salah Tuhan -- tetapi di sisi lain, 
mengapa Dia membiarkan aku menghadapi kesulitan ini? Aku masih punya 
keraguan-keraguan seperti itu. Aku bergumul dengan peristiwa-peristiwa 
mengerikan yang terjadi di Kosovo dan salah satu negara Asean dan juga 
sebagian Afrika, di mana ras-ras atau suku-suku tertentu dimusnahkan -
-beberapa di antaranya dalam nama agama. Mengapa Allah yang penuh 
kasih membiarkan semua itu terjadi? Aku bukan mengatakan bahwa aku 
tidak percaya kepada-Nya. Yang kumaksud adalah karena aku belum 
memperoleh jawaban yang lengkap dan final atas pertanyaan 
tersebut."

"Apakah masih ada harapan bagi orang-orang yang suka bimbang 
sejak lahir seperti Anda ini?"

Anderson tidak segera menyerah. "Ya, ya," katanya 
bersikeras. "Pasti. Kalau aku mengatakan bahwa aku masih bergumul 
dengan keraguan dan dosa-dosaku, aku tidak ingin terdengar seperti 
orang yang sudah dikalahkan, atau orang yang tidak memiliki harapan 
lagi. Seorang pria dari gereja kami membaca bukuku dan mengatakan, 
`Oh, tidak mungkin! Maksud Anda, Anda belum benar-benar percaya?` Lalu 
kukatakan kepadanya, `Bukan, aku benar-benar percaya -- tetapi maukah 
Anda membantuku dalam ketidakpercayaanku?"`

"Sekarang ini aku mengalami hadirat Allah jauh lebih banyak 
daripada sebelumnya. Aku bahkan mampu melihat kasih karunia Tuhan pada 
saat-saat Dia terasa jauh dariku, sama seperti perasaanku bahwa 
keberadaan istriku terasa lebih nyata kalau aku sedang pergi karena 
aku merindukannya. Sekarang ini aku lebih banyak berdoa, dan aku 
menyaksikan lebih banyak jawaban Tuhan terhadap doa-doaku daripada 
saat kapan pun dalam hidupku. Aku merasa tidak perlu lagi terlalu 
banyak mengendalikan orang lain ataupun situasi sebab aku percaya 
Tuhan yang memegang kendali."

"Ironisnya, aku merasa semakin kurang siap dalam menjawab semua 
keberatan-keberatan yang berasal dari para skeptis yang brilian. Namun 
tahukah Anda? Sekarang itu tidak kurasakan penting lagi seperti 
dahulu. Karena yakin apa yang kupercayai itu benar. Aku dapat 
melihatnya."

"Aku melihatnya sendiri dalam kehidupanku, aku melihatnya dalam 
pernikahanku, aku melihatnya dalam anak-anakku, aku melihatnya dalam 
hubungan dengan sesamaku, aku melihatnya dalam kehidupan orang lain 
pada waktu mereka diubahkan oleh kuasa Allah, ketika mereka diperbarui 
oleh-Nya, ketika mereka dimerdekakan oleh kebenaran-Nya."

Suara Anderson menampilkan otoritas yang didukung oleh keyakinan 
penuh. Kemudian, dengan nada mengakhiri, dia menyatakan: "Lee, 
aku sudah merasakannya sendiri. Kukatakan kepada Anda -- aku sudah 
merasakannya sendiri! Dan aku sudah menyaksikan bahwa Tuhan itu 
baik."

Pikiran saya melayang kembali ke bayangan seorang anak muda dari 
Kanada yang risau karena kebimbangannya, yang hampir putus asa mencari 
dasar spiritual yang solid, di mana dia dapat membina kehidupannya. 
Sekarang -- bukan di tengah kebimbangan, tetapi disebabkan oleb-Nya --
dia sudah menemukannya. Pengalaman pribadi dengan Allah sudah 
mengonfirmasikan kepada dia berulang kali, yang tidak pernah dapat 
dibuktikan dengan bukti-bukti empiris.

Saya menjulurkan badan ke depan untuk mematikan mesin perekam. 
"Terima kasih, Lynn karena Anda sudah mau bersikap jujur," 
kata saya.

MEMPERTAHANKAN IMAN DI TENGAH KEBIMBANGAN
-----------------------------------------
Saya terus memainkan rekaman mental dari wawancara saya bersama Lynn 
Anderson sewaktu pesawat yang setengah kosong itu menerbangkan saya 
kembali ke Chicago malam harinya. Saya menyadari bahwa saya menyetujui 
evaluasinya terhadap peran keraguan. Meskipun dapat membingungkan, dan 
meskipun disadari bahwa keraguan akhirnya dapat merugikan kalau tidak 
diatasi dengan baik, keraguan juga jelas-jelas memiliki manfaat. Saya 
teringat pada pandangan Gary Parker dalam bukunya "The Gift of Doubt":

Kalau iman tidak pernah bertemu dengan keraguan, kalau kebenaran tidak 
pernah bergumul dengan kesalahan, kalau kebaikan tidak pernah 
bertempur melawan kejahatan, bagaimana iman dapat mengenali kuasanya 
sendiri? Dalam perjalanan spiritual saya sendiri, saya harus memilih 
di antara iman yang secara terbuka menatap langsung terhadap keraguan 
dan membuatnya berkedip, atau iman yang naif yang belum pernah 
mengenal keraguan yang berkobar, saya akan selalu memilih yang 
pertama.

Saya juga begitu. Saya tahu bahwa kepercayaan fundamental saya 
terhadap Yesus akan menjadi semakin kuat, semakin pasti, semakin penuh 
percaya diri, semakin kuat dalam keyakinan saya, karena iman saya 
sudah dimurnikan melalui api keraguan. Pada akhirnya, meskipun banyak 
pertanyaan, tantangan, dan hambatan, iman saya bukan hanya akan 
bertahan, melainkan juga akan semakin berkobar.

Kemudian pikiran saya melayang-layang kembali kepada Charles 
Templeton. Apakah keberatan-keberatan intelektualnya terhadap Allah 
yang menyebabkan dia menanggalkan imannya -- atau apakah ada hal lain 
yang tersembunyi di bawah kebimbangannya, sebuah motivasi yang tak 
terucapkan dan tak dimunculkan, yang secara rahasia mengobarkan 
penolakannya terhadap kekristenan? Saya tidak punya kesempatan untuk 
memperoleh jawaban yang pasti. Saya tidak ingin mengintip sekeliling 
kehidupan pribadinya untuk menemukan jawabannya. Sekarang ini, yang 
terbaik yang dapat saya lakukan adalah menerima saja keberatan-
keberatannya pada tingkat permukaan.

Ada sebuah implikasi penting dalam wawancara dengan Anderson. Kalau 
kebimbangan dan iman dapat berdiri berdampingan, berarti orang-orang 
tidak perlu sepenuhnya harus mampu mengatasi setiap hambatan dan 
rintangan di antara mereka dengan Allah agar dapat memperoleh iman 
yang autentik.

Dengan kata lain, kalau sebagian besar dari semua bukti-bukti yang ada 
secara pasti mendukung bukti keberadaan Allah, dan seseorang membuat 
pilihan yang rasional untuk menaruh kepercayaan mereka kepadanya, dia 
dapat saja menahan keberatan atau kebimbangan yang tidak terlalu 
prinsip, sampai tiba saatnya semua kebimbangan itu dapat teratasi.

Sementara itu, mereka masih tetap dapat memilih untuk percaya -- serta 
meminta Allah untuk menolong mereka dalam mengatasi kebimbangan 
tersebut.

---------------------------------------------------------------------

UNTUK PEMBUKTIAN LEBIH JAUH

Sumber-sumber Tambahan untuk Topik Ini
• Lynn Anderson. If Really Believe, Why Do I Have These Doubts? 2d  
  Edition. West Monroe, La.: Howard, 2000.
• Gary E. Parker. The Gift of Doubt. San Francisco: Harper & Row, 
  1990.
• Os Guinness. In Two Minds. Downers Grove, I11.: InterVarsity Press, 
  1976.
• Gary R. Habermas. The Thomas Factor. Nashville: Broadman & 
  Holman, 1999
---------------------------------------------------------------------

Judul buku    : Pembuktian atas Kebenaran Iman Kristiani
Judul asli    : The Case of Faith
Judul Artikel : Saya Masih Punyai Keraguan Karena Itu, Saya Tidak
                Dapat Menjadi Orang Kristen
Penulis       : Lee Strobel
Penerbit      : Gospel Press, Batam Center 2005
Halaman       : 296 -- 308

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org