Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/82 |
|
e-Reformed edisi 82 (23-3-2007)
|
|
Dear e-Reformed Netters, Mendengar kisah kesaksian tentang seseorang yang pintar (secara intelektual) yang akhirnya menerima Kristus sebagai Juruselamat memang sering membuat hati kita terkagum-kagum. Namun, kita juga tidak dapat menyangkal bahwa kadang-kadang kesaksian seperti itu terlalu manis untuk dipercaya, seperti "fairy tale" atau dongeng belaka. Mengapa? Karena pada kenyataannya untuk benar-benar percaya kepada Kristus secara jiwa raga dibutuhkan proses yang sebenarnya tidak semudah seperti dalam cerita. Banyak orang yang lebih suka mengambil jalan pintas dan percaya bulat-bulat bahwa selama kita memiliki iman maka masalah-masalah intelektual yang masih menghalangi iman percaya kita akan hilang dengan sendirinya. Sebagai orang percaya ia tidak boleh lagi memiliki keraguan pada kebenaran Alkitab. Kalau masih memiliki keraguan maka ia akan dicap sebagai orang yang tidak beriman. Betulkah demikian? Saya ingin mempromosikan sebuah buku karya Lee Strobel, yang berjudul PEMBUKTIAN ATAS KEBENARAN IMAN KRISTIANI, terbitan Gospel Press. Menurut saya buku ini patut Anda baca dan simak baik-baik. Saya hanya akan mengambil satu bagian kecil saja dari buku tersebut (saya bagi menjadi 2 bagian). Harapan saya tulisan ini akan menolong Anda memahami pergumulan dan kesulitan orang-orang tertentu dalam membangun iman percayanya kepada Kristus. Bagi Anda yang saat ini sedang bergumul dan memiliki banyak keraguan tentang iman percaya Anda, jangan putus asa, masih ada harapan bagi Anda untuk menjadi orang Kristen yang sejati. Selamat menyimak. In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net > --------------------------------------------------------------------- JIKA SAYA MASIH PUNYA KERAGUAN, APAKAH SAYA TIDAK DAPAT MENJADI ORANG KRISTEN? (Bag. 1) AKAR KEBIMBANGAN ---------------- Anderson adalah anak laki-laki dari keluarga Kristen yang berkomitmen, yang menjadi bagian dari sebuah jemaat kecil dan memiliki ikatan yang sangat erat, tetapi dalam sebuah wilayah di mana orang-orang Kristen sangat langka. Dia mengatakan bahwa dia mewarisi identitas dan penghargaannya terhadap nilai-nilai kehidupan dari keluarga dan komunitas gerejanya. Namun, meskipun begitu, keraguannya terhadap kekristenan sudah dimulai sejak dia masih kecil. "Bahkan sewaktu aku masih kecil, aku sudah memiliki kepribadian yang melankolis dan kontemplatif (suka merenung)," katanya memulai. "Aku sering sekali termenung. Aku selalu berusaha melihat sisi bawah dari segala sesuatu, tidak langsung saja menerima nilai di permukaannya, selalu mempertanyakan, selalu menyidik setingkat lebih dalam. Aku belum pernah dapat melepaskan kebiasaanku itu." Saya tersenyum. Sejak dahulu saya sendiri juga selalu dituduh terlalu banyak mengajukan pertanyaan. "Sejak kapan Anda menjadi orang Kristen?" tanya saya kepada Anderson dalam sebuah wawancara. "Aku membuat pengakuan iman dalam sebuah acara perkemahan musim panas pada waktu aku berumur sebelas tahun, tetapi sesudah itu aku selalu merasa hidupku tidak bersih. Seharusnya aku sudah menyerahkan segenap hidupku kepada Yesus, tetapi aku bahkan tidak begitu yakin bahwa Yesus ada. Aku merasa membohongi diriku sendiri." "Apakah Anda menceritakan perasaan Anda itu kepada orang lain?" tanya saya. "Aku pernah berbicara dengan seorang pendeta, tetapi tampaknya dia tidak dapat memahaminya," jawabnya. "Jadi, aku telan saja terus, tetapi tentu saja aku tetap berdoa untuk berbagai hal. Aku masih ingat aku terus-menerus berdoa supaya dapat memperoleh sebuah sepeda, tetapi aku tidak pemah memperolehnya. Agaknya Tuhan tidak terhubung dengan diriku. Lalu aku berpikir, `Terima saja fakta bahwa ketika kita berdoa, di atas sana tidak ada apa-apa kecuali langit biru.`" Saya bertanya lagi apakah Anderson hanya merasakan kebimbangan, atau pernahkah dia merasakan imannya bertumbuh subur. "Kadang-kadang aku dapat sungguh-sungguh merasakan hadirat Tuhan," katanya. "Kadang-kadang dalam perjalanan pulang dari sekolah pada petang hari di tengah badai salju, aku menyanyikan lagu-lagu pujian dan merasakan bahwa aku berada dalam lindungan tangan Tuhan. Akan tetapi, di sebagian besar waktuku, aku tidak terlalu percaya kepada- Nya -- paling tidak, tidak sama dengan teman-teman sebayaku di gereja." "Takutkah Anda kalau teman-teman Anda mengetahuinya?" "Tentu saja, karena aku punya kebutuhan yang sangat besar untuk dicintai dan diterima, serta memiliki status dalam sebuah komunitas orang-orang percaya. Aku takut kalau mereka mengangap aku jahat, mereka akan marah, dan mereka akan menilai orang tuaku gagal dalam membina kehidupan spiritualku. Aku takut orang tuaku akan menjadi kecewa atau malu." Sebenarnya, para orang tua dapat memainkan peran yang menonjol dalam membentuk pandangan seorang anak tentang Allah. Bahkan, sebuah studi menunjukkan bahwa sebagian besar dari ateis-ateis terbesar di dunia ini, termasuk Bertrand Russell, Jean Paul Sartre, Friedrich Nietzche, Albert Camus, Sigmund Freud, Madalyn Murray O`Hair, dan Karl Marx memiliki hubungan yang tegang dengan ayah mereka, atau ayah mereka meninggal dalam usia muda, atau meninggalkan mereka sewaktu mereka masih kecil sehingga menimbulkan kesulitan dalam diri mereka untuk dapat percaya kepada seorang Bapa sorgawi. Karena itu, saya memutuskan untuk menyidik lebih jauh masalah ini. "Tolong ceritakan sedikit tentang orang tua Anda," kata saya dengan nada tidak pasti, sambil berharap saya tidak bersikap terlalu pribadi. Anderson melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di atas Alkitab yang terbuka di depannya. "Kalau aku menengok kembali," katanya, "kukira sebagian dari kebimbanganku itu berasal dari gaya ibuku mendidikku. Dia mencintaiku lebih dari apa pun dalam hidup ini, tetapi dia tidak punya sarana emosional untuk menunjukkannya. Caranya untuk mengajarkan agar Anda menjadi semakin baik adalah dengan menunjukkan kesalahan yang Anda lakukan. Dia diajari bahwa para ibu tidak boleh menunjukkan cinta secara fisik kepada anak-anak laki-laki karena itu dapat mendorong mereka menjadi homoseksual, dan juga supaya Anda jangan memuji orang agar mereka tidak menjadi besar kepala." "Apakah itu mewarnai pandangan Anda terhadap Allah?" "Sebagaimana Anda tahu, orang sering kali mendefinisikan Allah dengan citra orang tuanya. Semua itu ada alasannya -- karena Alkitab menyebutnya dengan panggilan bapa, bahkan kadang-kadang ibu. Jadi, sebagian dari jarak yang kurasakan dengan Allah mungkin berasal dari jarak antara aku dengan ibuku. Sebaliknya, ayahku adalah seseorang yang suka banyak kegiatan di luar, penuh kasih sayang, dan bersikap positif, tetapi menurutku ada sesuatu dalam kondisi kita sebagai manusia yang sudah berbuat dosa, kabar buruk itu datang melalui kabar baik." "Jadi, apakah pesan dasar kristiani yang Anda terima semasa anak- anak?" Pesannya adalah, "Kalau kamu tidak memenuhi standar ini, kamu kalah. Tetapi tak seorang pun mampu memenuhi standar itu, terutama kamu. `Sebagai akibatnya, semakin dekat aku kepada Tuhan -- ketika aku mulai percaya dan mulai mencoba berhubungan serius dengan Dia -- semakin aku merasa tak berdaya karena aku tidak mampu memenuhi harapan-harapan- Nya.` Lalu aku berpikir, `Yang benar saja! Mengapa aku harus percaya pada sesuatu yang akan menghukumku, tak peduli apa pun yang kulakukan? Kalau Tuhan itu memang ada, pastilah Dia tidak seperti itu. Hanya seorang siluman yang seperti itu.`" "Menurut Anda, apakah sekarang Anda sudah berhasil meninggalkan pemikiran seperti itu?" "Aku memang berharap itu hanya bagian dari masa kecilku saja, tetapi sewaktu aku mahasiswa, keraguan itu pindah dari keraguan emosional menjadi keraguan intelektual. Aku mulai mempertanyakan bermacam-macam hal dalam Alkitab, dan aku bertanya-tanya mengapa ada sebegitu banyak penderitaan di dunia ini." Dia tersenyum sewaktu mengingat kembali kisahnya. "Aku masih ingat, suatu hari seorang mahasiswa mengajukan beberapa pertanyaan dilematis yang sangat besar dalam Alkitab. Dosen itu tidak mampu menjawabnya. Akhirnya, setelah tergagap-gagap sebentar, dosen itu mengatakan, `Kalau semua fakta itu memang ada, kita dapat melihatnya sebagai hal yang akan mengurangi kredibilitas Alkitab.`" Anderson tertawa lebar. "Aku masih ingat saat itu aku berpikir, `Oh, no! Ternyata dosen ini pun berharap bahwa Alkitab itu benar! Ternyata kalau Anda menyibak permukaannya, dia sama penakutnya dengan aku!`" BERBAGAI JENIS KEBIMBANGAN -------------------------- Anderson telah menjelaskan dirinya sendiri sebagai "orang yang selalu bimbang sejak lahir," atau orang yang selalu mengajukan pertanyaan, "Bagaimana kalau?" Seperti para ahli hukum dan akuntan yang dididik dan dilatih untuk mengidentifikasikan apa yang mungkin menyimpang, orang-orang yang pada dasarnya bimbang, bagaikan magnit akan tertarik pada pertanyaan-pertanyaan serta rasa ketidakpastian. Umumnya mereka memiliki kepribadian yang melankolik atau dipenuhi oleh siksaan batin. Bagi mereka iman tidak bisa datang dengan begitu saja. Namun, itu baru salah satu spesies atau jenis keraguan. Aku minta Anderson menyebutkan contoh-contoh kebimbangan yang lain. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, sambil mengangkat kedua kakinya dari lantai, dan kemudian mengayunkan kursinya perlahan-lahan ke belakang. "Oh, ada banyak sekali jenisnya," katanya. "Beberapa orang yang bimbang itu memberontak, meskipun mereka tidak merasa begitu. Mereka bersikap begini, `Aku tidak mau membiarkan siapa pun mengurusi hidupku atau mencampuri pemikiranku.` Ini dapat muncul dalam bentuk kesombongan. Kadang-kadang, seorang pemuda ingin memberontak terhadap orang tuanya, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memberontak terhadap Tuhan yang dipercayai oleh orang tuanya." "Lalu ada lagi orang-orang yang kebimbangannya berasal dari kekecewaan mereka terhadap Tuhan. Seperti anak perempuan yang kukunjungi kemarin. Allah berkata, `Carilah dan mintalah,` dia sudah meminta, tetapi Tuhan belum memberikannya. Jadi, dia bergumul dalam ketidakpastian. Apakah Allah serius? Atau sebenarnya adakah Dia itu?" "Yang lain lagi punya luka batin pribadi maupun dalam keluarga. Beberapa minggu yang lalu aku berbicara dengan seorang wanita yang menderita siksaan fisik dari ayah dan ibunya yang sangat religius -- mereka memaksanya berlutut di samping tempat tidur dan berdoa, lalu memukulinya. Aku dapat mengerti kalau dia punya masalah dengan Tuhan! Ada lagi yang secara pribadi terluka dalam pengertian karena merasa ditolak oleh rekannya, atau bisnis mereka gagal, atau kesehatan mereka merosot. Mereka bertanya-tanya, `Kalau Allah itu memang ada, mengapa semua ini bisa terjadi?"` "Kemudian ada lagi keraguan-keraguan yang bersifat intelektual, dan aku berada di sana. Aku berusaha mati-matian untuk secara intelektual mempertahankan imanku, tetapi ada banyak orang yang lebih pintar daripadaku yang tidak percaya kepada Allah. Aku mulai berpikir, `Apakah iman itu hanya untuk orang-orang yang brilian? Bagaimana iman itu dapat begitu penting bagi Allah, padahal Anda harus punya IQ 197 untuk dapat mempertahankannya?`" Saya ingin tahu apakah ada faktor-faktor tertentu yang dapat memperuncing keraguan dalam diri orang-orang. Saya bertanya kepada Anderson, "Apa saja yang dapat menambah keraguan, yang mungkin tidak disadari oleh orang itu?" "Naik turunnya kehidupan atau masa-masa tertentu dalam hidup juga sangat mempengaruhi," jawabnya. "Ada orang-orang yang sangat beriman sewaktu mereka masih di kampus, tetapi ketika mereka menjadi pasangan orang tua muda dengan bayi kedua, dan mereka harus bekerja enam puluh sampai delapan puluh jam seminggu, dan istrinya selalu sakit-sakitan dan bosnya terlalu menuntut -- mereka tidak akan punya waktu lagi untuk merefleksikannya. Menurutku tidak mungkin iman dapat berkembang tanpa ada waktu untuk merenungkannya. Kalau mereka tidak menyediakan waktu untuk itu, iman mereka tidak akan bertumbuh dan keraguan akan mulai merasuki jiwanya." "Salah satu faktor lain adalah membanding-bandingkannya dengan iman orang lain. Saya pernah bertemu seorang perempuan muda yang mengatakan, `Aku benci pergi ke gereja karena di sana aku mendengar banyak cerita yang tidak pernah kualami. Aku percaya, aku membaca Alkitab, aku berdoa, aku bekerja keras dalam pelayanan sama dengan mereka semua, tetapi aku tidak mendapatkan sukacita itu, doa-doaku tidak terjawab, aku tidak memperoleh kedamaian, aku tidak merasa seperti berada dalam pemeliharaan Tuhan yang menuntunku di sepanjang jalan hidupku dan yang memedulikanku.` Orang-orang mulai berpikir. `Apakah yang tidak beres dengan Tuhan, sehingga Dia tidak mau memberikan semua itu kepadaku?`" Saya ingin tahu bagaimana Anderson mengatasi situasi itu. "Apa yang Anda katakan kepadanya?" tanya saya. "Saya menasihatinya agar membaca kitab Mazmur, karena itu akan mengubah sudut pandangnya tentang seperti apa iman yang normal itu. Ketika kita memfokuskan pada kitab Mazmur, sembilan puluh persen isinya merupakan ratapan, di mana orang-orang berseru-seru dengan teriakan seperti, `Allah, di manakah Engkau?` Iman yang normal diperbolehkan memukul-mukul dada dan berkeluh kesah." "Ada banyak rasa takut terhadap komitmen dalam budaya kita," kata saya. "Apakah itu mempengaruhi kerelaan seseorang untuk beriman kepada Allah?" "Ya, bisa saja," jawabnya. "Negeri kita ini adalah negeri yang narsistik (suka mengagumi diri sendiri), dan definisi kita tentang kemerdekaan adalah kemerdekaan untuk memilih kehendak kita sendiri, serta membiarkan berbagai pilihan terbuka bagi kita. Beberapa orang muda takut menikah karena pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Jadi, komitmen paling tinggi adalah komitmen terhadap Allah. Kita memiliki kultur Walls (merek es krim terkenal, artinya Anda tinggal pilih rasa yang Anda suka), di mana kalimat yang paling ditakuti adalah menjalani hidup tanpa ada pilihan lain. Menurut saya itulah yang membuat orang semakin takut untuk membuat komitmen kepada Kristus." YANG BUKAN IMAN --------------- Saya tahu bahwa miskonsepsi atau salah memahami iman, dapat membuka pintu pada kebimbangan karena dapat memberikan harapan-harapan palsu atau juga salah memahami sifat-sifat Allah. Misalnya, orang-orang secara keliru mengira bahwa Allah sudah berjanji menyembuhkah setiap orang, atau membuat setiap orang kaya dan makmur kalau mereka menunjukkan iman yang cukup, karena kalau begitu orang akan dapat dengan mudah menjadi mangsa keraguan kalau terserang penyakit atau kalau ditimpa kebangkrutan. Agar kita dapat memperoleh gambaran yang akurat tentang iman, saya memutuskan untuk pertama-tama menyisihkan dahulu semua teori teologi dengan mendefinisikan apa yang bukan iman itu. "Kesalahpahaman apakah yang paling umum tentang iman?" tanya saya. "Orang-orang cenderung mencampuradukkan iman dan perasaan," jawab Anderson. "Sebagai contohnya, orang-orang tertentu menyamakan iman dengan perasaan religius yang tinggi dan terus-menerus. Kalau kondisi tinggi itu luntur atau menurun, dan kenyataan itu memang tak terhindarkan, mereka mulai bimbang apakah mereka sungguh-sungguh memiliki iman." Saya menginterupsi. "Apakah Anda mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara perasaan dan iman?" "Tidak," katanya. "Perasaan berkaitan dengan beberapa dimensi iman, tetapi sebagian besar berkaitan dengan temperamen manusia. Beberapa orang memang cenderung terlalu diikat oleh perasaannya, meskipun mungkin mereka memiliki nilai-nilai dan keyakinan yang kuat." "Bagaimana dengan Anda sendiri?" saya bertanya. Dia tertawa kecil. "Secara emosi aku cenderung naik turun. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memastikan bahwa ini hanya sekadar fluktuasi iman. Itu sebabnya kita harus berhati-hati dengan perasaan kita -- sebab dapat berubah-ubah. Izinkan aku memberikan sebuah contoh." "Seorang pria memberitahukan kepadaku, `Aku tidak menyukai istriku lagi.` Responsku tentu saja menasihatinya, `Pulanglah dan cintailah dia.` Tetapi dia berkata, `Anda tidak memahamiku -- aku sama sekali tidak punya lagi perasaan itu kepadanya.` Lalu kujawab lagi, `Aku tidak menanyakan bagaimana perasaanmu. Aku cuma katakan, `Pulanglah dan cintailah dia.` Lalu dia berkata lagi, `Tetapi secara emosi aku tidak jujur kalau aku memperlakukan istriku seperti itu, padahal aku tidak merasakannya.`" "Lalu aku bertanya, `Apakah ibumu mencintaimu?` Pertanyaan itu tampaknya dirasakannya seperti hinaan. Dia berkata, `Ya, tentu saja.` Kemudian, aku berkata lagi, `Kira-kira tiga minggu sesudah dia membawamu pulang dari rumah sakit, dan kamu menangis menjerit-jerit karena popokmu basah, dan dia terpaksa terbangun walaupun tubuhnya masih sangat letih, dan berjalan tanpa alas kaki di atas ubin, dan harus mengganti popokmu dan menyusuimu apakah menurut Anda dia sungguh-sungguh menikmati semua itu?` Dia menjawab, `Tidak.` Aku berkata lagi, `Baik, kalau begitu menurutku ibumu juga secara emosi tidak jujur.`" "Inilah tujuan dari pembicaraan saya tadi: ukuran besarnya cinta ibunya bukan karena dia menikmati mengganti popok di tengah malam, melainkan karena dia rela melakukannya meskipun dia tidak terlalu menyukainya. Menurut saya kita juga perlu belajar tentang iman. Iman tidak selalu memiliki emosi yang positif tentang Allah maupun terhadap kehidupan." "Baiklah, itu salah satu miskonsepsi," kata saya. "Bagaimana dengan pemikiran bahwa iman adalah di mana tidak ada keraguan?" "Ya, beberapa orang tertentu mengira bahwa iman berarti tidak ada keraguan, tetapi itu tidak benar," katanya. "Salah satu teks dalam Alkitab yang menjadi favoritku adalah tentang seorang pria yang datang kepada Yesus dengan anak laki-lakinya yang dirasuk setan, dengan harapan anaknya akan disembuhkan. Yesus berkata bahwa segala sesuatunya mungkin bagi orang yang percaya. Respons pria itu ternyata sangat berpengaruh. Dia berkata, `Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!`" Anderson menepuk lututnya. "Aduh," keluhnya. "Aku hampir dapat disamakan dengan orang itu!" "Jadi, keraguan dan iman itu dapat berdampingan?" tanya saya. "Ya, itu berarti Anda dapat saja memiliki keraguan, meskipun Anda percaya. Hal yang sama juga terjadi kepada Abraham. Dia jelas-jelas percaya, tetapi pada saat yang sama dia juga punya keraguan. Anda dapat melihatnya melalui apa yang dilakukannya berulang kali dan apa yang dikatakannya. Aku memang tidak tahu di mana kita dapat menarik garis batas dengan kebimbangan yang berkarat, menggerogoti, dan yang negatif, tetapi aku sangat percaya di mana tidak pernah ada keraguan sama sekali, berarti juga tidak ada iman yang sehat." "Jadi, keraguan dapat benar-benar memainkan peran yang positif?" "Menurutku ya. Aku selalu agak gugup dengan apa yang kusebut sebagai mentalitas `orang percaya sejati` -- yaitu orang-orang yang memiliki senyum yang ceria dan mata yang berbinar-binar yang tidak pernah memiliki keraguan dalam hidupnya, yang selalu berpikir bahwa semuanya selalu indah, segalanya selalu hebat. Menurutku orang itu tidak hidup dalam dunia yang sama dengan duniaku. Aku mengkhawatirkan apa yang akan terjadi dengan mereka, kalau ada sesuatu peristiwa buruk terjadi." "Sebagai contohnya, aku mengenal seorang dokter yang anaknya baru berumur empat tahun terkena penyakit kanker. Aku masih ingat selama bermalam-malam, empat puluh atau lima puluh orang memenuhi rumah itu untuk mendoakan kesembuhan anak itu dengan sepenuh hati. Beberapa di antara mereka berpikir, `Tentu saja dia akan disembuhkan karena kita sudah mendoakannya.` Dan ketika ternyata dia tidak sembuh, mereka semua kecewa berat." "Teologi mereka itu sudah disesatkan dan tidak terkendali. Iman mereka tidak pernah tertantang oleh keraguan atau pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Keraguan dan kebimbangan sebenarnya dapat membantu mereka mengembangkan iman yang substansial dan realistik -- mempercayai Tuhan walau menghadapi kematian, dan bukan hanya mengharapkan kesembuhan." Mata Anderson menatap ke arah saya dengan pandangan sayu, seolah-olah dia ingin memberikan tekanan khusus pada kata-katanya berikut. "Anda lihat," tegasnya, "iman yang pernah tertantang oleh kemalangan, atau oleh pertanyaan-pertanyaan yang tegas, atau oleh perenungan yang mendalam, pada akhirnya sering kali menjadi iman yang lebih kuat." MENYELAM KE BAWAH PERMUKAAN --------------------------- Harus diakui bahwa kebimbangan kadang-kadang dapat membawa dampak positif, tetapi selama bertahun-tahun saya juga sudah menyadari bahwa kalau semua kebimbangan kita ungkapkan ke permukaan, mungkin juga menyesatkan. Seperti respons pertama saya terhadap kisah Ron Bronski, kadang-kadang sikap skeptis berlebihan dapat secara halus dimanfaatkan sebagai tameng untuk menjauhkan orang lain dari motivasi yang lebih dalam. Saya tidak ingin menolak keabsahan dari orang-orang yang mencari jawaban terhadap hambatan-hambatan mereka dalam mendekat kepada Allah, tetapi saya merasa perlu sampai ke akar permasalahan, mengapa beberapa individu mengemukakan isu-isu tentang keraguan. "Dalam pengalaman Anda," kata saya kepada Anderson, "apakah orang- orang tertentu mengaku memiliki keberatan-keberatan intelektual, meskipun kebimbangan mereka bersumber pada hal yang berbeda?" "Ya, tentu saja," katanya sambil menganggukkan kepalanya dan menegakkan kembali kaki-kaki kursi depannya ke atas lantai lagi. "Bahkan faktanya, secara pribadi menurutku semua rasa tidak percaya sebenarnya memiliki alasan-alasan mendasar yang lain. Kadang-kadang seseorang dapat secara jujur mempercayai bahwa masalah mereka bersifat intelektual, tetapi sebenarnya mereka belum cukup mengenali dirinya sendiri dan belum menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang lain." "Dapatkah Anda memberiku sebuah contoh?" saya bertanya. Dia hanya membutuhkan waktu sejenak untuk menemukan sebuah contoh yang pas. "Ketika aku masih remaja, seorang novelis yang brilian -- seorang ateis yang paling ateis, dan berasal dari keluarga komunis -- mengunjungi kota kecil kami di Kanada untuk mengumpulkan warna-warna lokal bagi buku barunya yang masih dalam proses penulisan. Suatu hari dia mengunjungi keluarga kami dan ikut dalam sebuah percakapan serius. Dia berkata, `Bolehkah aku menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang agamamu?` Meskipun aku sudah cukup lama bergumul dengan keraguanku, aku menjawab ya." "Dia bertanya, `Sungguhkah Anda percaya ada Allah yang mengenal namamu? Aku menjawab, `Ya, itulah yang kupercaya.` Dia berkata lagi, `Percayakah Anda bahwa Alkitab itu benar? Tentang bayi yang lahir dari seorang perawan, orang-orang mati yang dibangkitkan lagi dari kuburnya?` Aku menjawab, `Ya, itulah yang kupercaya.`" "Lalu dia berbicara lagi dengan penuh emosi, `Aku sudah tidak mau lagi mempercayai semua itu, karena aku sudah bepergian ke seluruh dunia dan aku melihat bahwa sebagian besar manusia hidup menderita. Orang-orang yang tampaknya benar-benar memperoleh apa yang mereka harapkan dari kehidupan adalah orang-orang yang mengatakan bahwa mereka percaya pada apa yang kamu percayai. Tetapi aku masih belum dapat percaya karena otakku selalu menjadi penghalangnya!`" Mata Anderson semakin melebar. "Aku sangat terkejut, Lee. Aku benar- benar tidak tahu harus menjawab bagaimana karena otaknya jauh lebih cemerlang daripada otakku!" Kemudian Anderson menjulurkan badannya ke arah saya. "Namun, setelah kurenungkan kembali, menurutku masalah sebenarnya bukan pada otaknya," katanya. Aku mulai memikirkan tentang apa yang akan membuatnya rugi kalau dia mengikut Yesus. Dia adalah bagian dari sekelompok penulis yang menganggap semua agama adalah tipuan belaka. Aku yakin bahwa kesombongan profesionalnya, serta penolakan dari kawan-kawannya merupakan harga yang terlalu tinggi yang harus dibayarnya." Anderson membiarkan kisah itu mengendap sejenak. "Perkenankan aku memberikan sebuah contoh yang lain," katanya menawarkan. "Suatu kali aku pernah berbicara dengan seorang mantan Marinir yang mengatakan, `Aku sedang susah sekali. Aku punya lima orang anak, dan aku menghasilkan banyak sekali uang, lebih banyak daripada yang dapat kubelanjakan dengan kedua tanganku. Aku suka tidur dengan perempuan berganti-ganti di kotaku -- dan aku membenci diriku sendiri. Anda harus menolong aku, tetapi jangan menceramahi aku dengan pembicaraan- pembicaraan tentang Tuhan sebab aku tidak akan percaya semua itu.`" "Kami berbicara selama berjam-jam. Akhirnya aku berkata, `Mungkin Anda mengira Anda sedang menembak langsung kepadaku, tetapi menurutku tidak. Menurutku masalahnya bukan karena kamu tidak dapat percaya; menurutku adalah karena kamu tidak mau percaya, karena kamu takut meninggalkan semua kesenangan-kesenangan yang kamu nikmati setiap malam.`" "Dia berpikir sejenak dan kemudian mengatakan, `Ya, kukira itu memang benar. Aku tidak dapat membayangkan tidur hanya dengan seorang wanita saja, aku tidak dapat membayangkan hidup dengan uang yang lebih sedikit daripada yang kudapatkan sekarang -- dan itulah yang harus terus kulakukan karena aku berbohong untuk mendapatkannya.` Akhirnya dia mencoba untuk berbicara jujur." Sesudah itu, suara Anderson menurun sampai mendekati bisikan. "Dan inilah pendapatku," katanya, "orang itu terus-menerus mendebat selama berjam-jam tentang kebimbangan intelektualnya. Dia berusaha meyakinkan orang lain bahwa dia tidak dapat percaya, karena dia memiliki terlalu banyak keberatan intelektual. Namun, semua itu sebenarnya hanya kamuflase dan tipuan. Semua itu cuma seperti kabut yang dipakainya untuk menutupi alasan sebenarnya dia ragu mendekat kepada Tuhan." Anderson kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku berbicara dengan seorang anak gadis lain yang pernah mengalami pelecehan seksual," katanya melanjutkan. "Cara memperkenalkan Tuhan kepadanya, disaring melalui sikap religius orang tuanya, memang sangat mengerikan. Aku tidak dapat menyalahkan kalau dia menghadapi masalah sebegitu besar untuk dapat percaya, tetapi argumentasinya masih selalu dalam alam intelektual. Kalau Anda mencoba untuk menggali lebih dalam lagi ke dalam hambatan-hambatan yang sesungguhnya, dia tidak ingin mengulang dan menghadapi kembali kepedihan yang pernah dirasakannya. Dia memanfaatkan kebimbangan intelektual untuk mengelabui orang." "Kemudian ada lagi, aku pernah berbincang-bincang tentang Allah dengan seorang pria di Pacific Northwest. Dia mengemukakan semua isu-isu intelektual, tetapi ketika kita lebih mendalaminya lagi, ternyata dia tidak ingin percaya kepada Allah, karena dia tidak ingin menjual topless bar (yang dilayani oleh perempuan-perempuan muda tanpa penutup dada) yang dimilikinya. Uang yang dihasilkan dari bar itu banyak sekali, dan baginya itu sangat menyenangkan hatinya." "Itulah pengalamanku," kata Anderson menyimpulkan. "Kalau Anda menggali ke bawah permukaan, sebenarnya ada keinginan untuk percaya atau ada ketidakinginan untuk percaya. Itulah intinya." Saya meraba dagu saya sambil berpikir. "Jadi, Anda mengatakan bahwa mengakui beriman adalah sebuah pilihan," kata saya. Anderson menganggukkan kepalanya tanda setuju. "Benar sekali," jawabnya, "Itu memang sebuah pilihan." (Catt.: Bagian ke 2 dari artikel ini dikirim dalam surat yang berbeda) ----------------------------------------------------------------------- UNTUK PEMBUKTIAN LEBIH JAUH Sumber-sumber Tambahan untuk Topik Ini • Lynn Anderson. If Really Believe, Why Do I Have These Doubts? 2d Edition. West Monroe, La.: Howard, 2000. • Gary E. Parker. The Gift of Doubt. San Francisco: Harper & Row, 1990. • Os Guinness. In Two Minds. Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1976. • Gary R. Habermas. The Thomas Factor. Nashville: Broadman & Holman, 1999 ----------------------------------------------------------------------- Judul buku : Pembuktian atas Kebenaran Iman Kristiani Judul asli : The Case of Faith Judul Artikel : Saya Masih Punyai Keraguan Karena Itu, Saya Tidak Dapat Menjadi Orang Kristen Penulis : Lee Strobel Penerbit : Gospel Press, Batam Center 2005 Halaman : 286 -- 296
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |