Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/81

e-Reformed edisi 81 (29-1-2007)

"Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis dan Pastoral (2)

Dear e-Reformed netters,

Artikel berikut ini adalah sambungan dari artikel yang diterbitkan di 
Edisi e-Reformed sebelumnya. Jika Anda belum menerima edisi sebelumnya 
tersebut, silakan menghubungi saya.


In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

======================================================================

                    ANATOMI KEPERCAYAAN DAN IMAN:
                SEBUAH REFLEKSI TEOLOGIS DAN PASTORAL (2)
                =====================================
                       Oleh: Joseph Tong, Ph.D.


MAKNA DAN DAMPAK IMAN

Berbicara dari sudut pandang teologis, iman berarti komitmen total dan 
memercayakan diri dalam Kebenaran dan memiliki hidup persekutuan 
dengan Allah sejati yang Esa -- sebuah perpalingan ontologikal kembali 
kepada Sang Pencipta. Perpalingan kembali ini tidak boleh dimengerti 
dalam pola pikir struktur pantheistik atau panentheistik, perpalingan 
kembali ke asal, seperti dalam praktik-praktik kontemplatif para-
religius, kembali kepada sifat ketuhanan di dalam. Tidak juga boleh 
dimengerti sebagai kemampuan mencapai Firman untuk menjadi seperti 
Tuhan, atau untuk menjadi Tuhan. Sebaliknya, ini adalah sebuah 
perpalingan kembali yang asasi kepada Allah dalam konteks keselamatan 
kristiani. Pengertian yang benar akan kekristenan adalah bahwa Kristus 
adalah Firman yang menjadi daging supaya kita menjadi manusia, bukan 
menjadi allah. Sewaktu kita kembali kepada Allah, kita menjadi anak-
anak Allah. Iman kita di dalam Kristus menghasilkan kepastian dan 
jaminan di dalam diri kita dengan cara-cara berikut ini dalam 
pengertian akan realitas:

Kepastian akan Kebaikan dan Kesempurnaan Allah
----------------------------------------------

Masalah kejahatan dalam filsafat hanya dapat dijelaskan dalam konteks 
iman kristiani, di mana iman menyediakan pembacaan dan interpretasi 
yang benar akan realitas secara keseluruhan. Tanpa iman dan 
kepercayaan kepada Firman Allah, tidak akan ada makna bagi keberadaan 
apa pun. Iman kita dalam Kristus memberikan jaminan kepada kita akan 
kepastian kebaikan, sekaligus meyakinkan bahwa kejahatan adalah kesia-
siaan. Dalam kekristenan, kejahatan tidak memiliki keberadaan yang 
nyata. Sebenarnya, kejahatan bukanlah lawan dari kebaikan, tetapi 
ketiadaan atau miskinnya kebaikan. Karya dan tindakan dari Allah yang 
sempurna selalu baik. Kebaikan seperti itu adalah fondasi dari semua 
kebaikan. Oleh karena itu, dalam iman, apa yang kita miliki dan apa 
yang kita alami adalah baik sempurna. Kesempurnaan seperti itu menjadi 
lengkap dan menjadi subjek pujian dalam keselamatan di dalam Yesus 
Kristus bagi anak-anak-Nya yang ditebus.

Adalah benar bahwa kehidupan di dunia ini penuh kesulitan, 
penderitaan, dan tragedi. Akan tetapi, bagi orang beriman, hidup itu 
penuh dengan anugerah dan hal-hal yang menyenangkan. Sebagaimana 
terang menjadi lebih cemerlang dalam kegelapan, kebaikan menjadi lebih 
manis di tengah-tengah kepahitan, begitu pula hidup kita lebih 
bermakna di dalam kesulitan, kesedihan dan penderitaan. Bagi mereka 
yang memiliki iman, segala sesuatu bekerja bersama untuk mendatangkan 
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang dipanggil 
oleh Allah (Roma 8:28). Dalam imanlah kita melihat keindahan ciptaan, 
pemeliharaan dan penebusan Allah.

Jaminan akan Makna dan Nilai yang Sejati
----------------------------------------

Dalam psikologi sosial dan ekonomi, nilai selalu mengikuti harga 
sedemikian rupa sehingga nilai dapat diciptakan oleh harga. Makna 
kemudian mengikuti. Oleh karena itu, selama seseorang berani untuk 
membayar harganya, walaupun mungkin tidak ada pasaran untuk sementara 
waktu, tetapi bila ia dapat bertahan cukup lama dan berani untuk 
melipatgandakannya dengan propaganda dan promosi yang baik, orang lain 
pastinya akan menerima nilai dalam harga tersebut, atau harga yang 
mereka bayar. Dalam perilaku seperti itu, harga menentukan pasar, dan 
lebih lanjut lagi, nilai dibentuk ketika harga dibayar. Manusia bahkan 
akan berpikir bahwa makna yang benar sejalan dengan harga. Walaupun 
kenyataannya tidak sesederhana itu, akan tetapi, seperti inilah 
tepatnya bagaimana struktur nilai dalam pola pikir modern berjalan 
pada saat ini. Kebanyakan orang tidak lagi tertarik dalam mencari 
makna dan nilai. Inilah penyebab utama dari kerusakan moral pada saat 
ini: Deskripsi yang murni dari manusia yang tidak mempunyai iman.

Secara teologis, maknalah yang menentukan nilai. Intisari dari makna 
tidak ditemukan dalam pembacaan dan interpretasi kenyataan, tetapi 
dalam relasi dan kesatuan antara makna tersebut dengan kebenaran dari 
kenyataan secara keseluruhan. Kebenaran adalah dasar dari semua makna. 
Sebenarnya, masalah kita bukanlah bahwa kita menyangkal kenyataan 
bahwa kebenaran ada, tetapi dalam asumsi kita bahwa kebenaran perlu 
dimengerti sebagai sesuatu yang nyata dan bermakna. Inilah tepatnya 
alasan kebanyakan orang menganggap pembacaan dan interpretasi 
kenyataan sebagai realitas dan kebenaran, meyakini bahwa tanpa 
pembacaan dan interpretasi, fakta, realitas dan kebenaran tidak 
memiliki makna dan oleh karena itu tidak memiliki nilai.

Asumsi seperti itu menegaskan bahwa kebenaran adalah murni keberadaan 
yang pasif. Ini adalah asumsi yang salah. Oleh karena pembacaan dan 
interpretasi harus dimulai dengan beberapa pendirian dan mengasumsikan 
dasar-dasar tertentu, yang tanpanya tidak mungkin ada komunikasi. Oleh 
sebab itu, dapat dicatat bahwa kebenaran tidaklah pasif. Sebaliknya 
kebenaran harus aktif. Seseorang yang membaca, memahami, dan 
menginterpretasikan, harus mengambil peran sebagai peran pembantu. 
Aktor utamanya, dalam hal ini, adalah Kebenaran itu sendiri atau 
pemberi Kebenaran. Iman hanyalah sebuah agen dalam proses tersebut.

Dalam teologi, kita menganggap iman adalah sesuatu yang dianugerahkan 
Allah oleh kemurahan-Nya di dalam hati manusia, yang memampukannya 
untuk membuat tanggapan yang sepatutnya pada saat kebenaran 
dinyatakan. Iman membuka pikiran manusia untuk menerima wahyu Allah 
dan berserah kepada Kebenaran, mengenal Kebenaran, menyatakan makna, 
menegaskan nilai dan mempertandingkan keberadaan kita. Secara 
sederhana, iman yang sejati membawa kita kepada pengertian yang jelas 
akan makna, merasakan nilainya, dan menikmati keberadaan kita. Tanpa 
iman, makna menghilang, nilai terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan 
kecemasan dan tekanan. Ini menjawab pertanyaan mengapa orang yang 
tidak beriman selalu hidup dalam kesia-siaan dan berkeluh tanpa 
harapan.

Kepastian akan Kenikmatan dari Keberadaan
-----------------------------------------

Dalam penciptaan, keberadaan adalah sebuah keharusan ontological. 
Seperti itu, keberadaan menjadi tidak ada rasanya, tidak bermakna, 
membuat kita putus asa. Secara filosofis, selain Allah yang membuat 
keberadaan-Nya sendiri, segala sesuatu penuh keterbatasan. Oleh karena 
itu, jikalau tidak ada iman, tidak ada suatu apa pun dapat dinikmati. 
Keberadan tanpa iman menghasilkan ketidakberdayaan dan membawa 
keputusasaan, frustasi dan kebosanan. Iman membawa kita untuk 
merasakan kenikmatan dari kehidupan. Inilah tepatnya mengapa Paulus 
dapat berkata; Aku hidup oleh karena iman di dalam Anak Allah.

Bagi orang Kristen, karena kita percaya dalam Kristus dan mengambil 
bagian dalam sifat Allah, kita pastinya mengalami kebesaran dan 
kebaikan Allah, dan juga Allah sendiri, dalam keberadaan kita. 
Augustine pernah berkata, Allah memberikan segala sesuatu bagi kita 
untuk digunakan (uti) sehingga kita dapat menikmati (frui) Allah. 
Dalam pengertian seperti itu, walaupun kita harus melalui pencobaan-
pencobaan Ayub, kita masih dapat bersukacita dalam penderitaan, 
seperti Ayub menyatakan bahwa: "Tuhan yang memberi, Tuhan juga 
yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan." (Ayub 1:21). Oleh karena 
itu, sekalipun Ia membunuhku, aku akan tetap percaya kepada-Nya. Iman 
membawa kita untuk merasakan anugerah-Nya dan Diri-Nya sendiri, 
membuat kita tidak hanya bersuka dalam kehadiran Allah, tetapi juga 
bersuka di dalam Tuhan. (Ibrani 11:6; Roma 5:11).

Puncak Kepercayaan dan Iman dalam Tindakan
------------------------------------------

Bagi kebanyakan orang, iman adalah suatu alat untuk mencapai atau 
menegaskan anugerah Allah. Hal ini benar hanya dalam pandangan 
pengertian religius akan iman. Secara teologis, iman bukanlah suatu 
alat; melainkan iman adalah suatu keadaan hati dan jiwa sebagai 
kepercayaan dan komitmen yang total kepada Allah. Kata 
"fiducia" dalam teologi mengandung banyak makna yang dalam. 
Kadang kala disebut "fiducia cordis" sebagai hati dan inti 
dari iman. Dalam bagian penggunaannya sepanjang sejarah Gereja, kata 
itu tampaknya kehilangan maksud dan maknanya seiring berlalunya waktu. 
Gereja secara bertahap telah bergeser dari penekanannya pada aspek 
percaya seperti yang dituntut oleh objek yang kita percayai, kepada 
aspek-aspek percaya tertentu dari seseorang yang percaya. Bergeser 
dari penekanan teosentris kepada penekanan antroposentris, dari 
teologi ke antropologi.

Bagi manusia, perwujudan kepercayaan dan iman adalah tindakan dan 
perilaku yang baik, secara umum dikenal sebagai pembenaran di hadapan 
manusia dan dipuji oleh orang lain. Karena Allah tidak memerhatikan 
penampilan, Allah tidak perlu untuk mendasarkan pembenarannya pada 
perbuatan baik manusia. Oleh karena itu, walaupun iman selalu didukung 
oleh perbuatan baik, tetapi iman dalam ciri-cirinya sendiri adalah 
perbuatan baik dihadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Inilah 
mengapa iman kadang-kadang disebut tindakan baik semata. (Lihat Lukas 
12:8). 
Iman adalah tindakan kepada Allah dan di hadapan Allah. Inilah 
mengapa Allah membenarkan manusia karena imannya bukan perbuatannya. 
Dengan kata-kata biasa, karena iman adalah percaya dalam Allah, 
percaya adalah penyerahan diri yang total kepada Allah, seperti Paulus 
menyatakan bahwa kita dapat percaya pada-Nya dan juga menderita bagi-
Nya. (Filipi 1:29).

Sisa makalah ini akan mendedikasikan dirinya pada penjelasan mengenai 
iman dalam arti "fiducia", dimana teologi Kristen 
menjelaskan lebih lanjut maknanya dalam istilah-istilah "iman 
yang takut" (apprehensio fiducialis); "iman inti atau hati 
yang percaya" (fiducia cordis), dan "kebaikan iman atau 
tindakan iman" (actus fidei).

Aspek-aspek yang Takut dari Iman
--------------------------------

Apa yang kita maksud dengan iman yang takut adalah hasil dari tindakan 
dan pekerjaan yang mulia dari Roh Kudus, membuat manusia mampu 
mengamati dan memahami anugerah, karya, dan kehendak sempurna dari 
Allah dalam tindakan-Nya. Dengan kata lain, dalam iman yang takut, 
pikiran manusia ditangkap oleh Firman Allah. Karenanya, dia akan 
sepenuhnya mengerti dalam pengetahuan dan penyerahan kepada Allah dan 
Firman-Nya yang dinyatakan, dan dengan rela menerima penghakiman dan 
pengampunan-Nya.

Seperti Abraham, dia percaya apa yang telah Allah janjikan, dan Allah 
menganggap hal ini sebagai kebajikan-Nya. Inilah dasar dari iman 
kristiani, tantangan dan pencobaan yang utama yang dihadapi orang-
orang Kristen saat ini. Pemazmur berkata, apabila dasar-dasar 
dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu? (Mazmur 
11:2). 
Inilah tepatnya dimana penyakit-penyakit Gereja modern dan 
teologi modern dihasilkan. Baru-baru ini, banyak usaha didedikasikan 
pada diskusi-diskusi dan rekonstruksi teologi kristiani, mengabaikan 
fakta bahwa kita telah meragukan dasar iman kita dan mencoba untuk 
menggantikan Allah dengan nama-nama yang lain. (Mazmur 16:4). Ini 
adalah sebuah tanda yang nyata akan kurangnya iman yang takut. Usaha 
seperti itu dianggap gagal, karena bibit kerusakan ditanam pada saat 
itu bahkan sebelum usaha itu memulai rekonstruksi.

Iman yang sejati memahami kehadiran Allah dan kebesaran Allah, bahkan 
sebuah pengertian akan membawa kita pada pengalaman dari Yusuf muda 
yang pernah berkata, "Bagaimana bisa aku melakukan dosa yang 
begitu besar terhadap Allah! Bahkan ketika tak seorangpun tahu!"

Iman Inti atau Hati yang Percaya
--------------------------------

Kata "cordis fiducia" mengandung dua arti: 1) sebagai sebuah 
indikasi bahwa tempat iman adalah dalam hati manusia, dan 2) bahwa 
inti dari iman adalah ketika hati menyatu dengan iman mengarahkan diri 
pada Kebenaran. Hal yang terakhir menunjuk pada fakta bahwa iman 
senantiasa melampaui intelektual dan ia berada pada jiwa yakni bagian 
utama dari eksistensi manusia. "Cordis fiduca" menentukan 
religiusitas manusia dan hubungannya dengan Allah. Hal yang terakhir 
itu mengacu pada fakta bahwa jiwa memiliki kemampuan mengasihi, 
memerhatikan, dan melekatkan diri pada Allah dan firman-Nya.

Secara harafiah dapat dikatakan bahwa kemampuan mengasihi dan memberi 
penghargaan adalah dua hal yang berbeda. Kasih cenderung lebih nyata 
sedangkan penghargaan berbentuk konkret. Keduanya adalah tanda dari 
sebuah kondisi dari perasaan dan karya yang benar sebagai suatu 
ungkapan dari sikapnya terhadap obyek dari keyakinan dan kasihnya. 
Iman yang sejati mengungkapkan diri sendiri dalam hati dan lewat 
ucapan. Hati dan ucapan berjalan seiring memercayai dan mengakui bahwa 
Kristus adalah Tuhan (Rm. 10:9-10). Iman yang sejati lebih dari 
sekedar itu, ia tidak akan pernah malu pada injil Yesus Kristus 
(Rm. 1:16; Mrk. 8:38-39).

Dalam konteks pastoral, iman mengandung aspek mistik dan keajaiban. 
Iman membawa seseorang yang percaya dalam keberadaan tertawan, 
sehingga orang itu tidak dapat menahan diri untuk bersaksi di depan 
umum ataupun menolak dorongan untuk memproklamirkan nama Kristus dan 
memuliakan-Nya. Sesungguhnya, orang itu begitu bangga menjadi miliki 
Allah.

Dari zaman ke zaman, kita telah menyaksikan bahwa walaupun memercayai 
Yesus adalah hal spiritual dan pribadi, namun sejauh kaitannya dengan 
iman, sekali orang mengakui imannya pada Kristus (?). Dia tidak akan 
ragu untuk memproklamirkannya di depan umum sekalipun ia harus 
membayar harga dengan nyawanya sendiri. Bagi orang lain, seorang yang 
sudah percaya tidaklah perlu begitu offensif. Beberapa orang bahkan 
berpikir bahwa orang percaya meyakini dan berdoa secara diam-diam 
sendiri. Namun bagi orang percaya sejati, iman mereka membara sehingga 
mereka tidak memiliki pilihan lain selain melakukan sesuatu. Seperti 
Maria dari Betania, orang percaya yang sejati akan menghancurkan kendi 
minyak narwastu untuk mengurapi kaki Tuhan, meresikokan dirinya 
diserang oleh kritik tajam dan kecaman orang lain. Hal ini merupakan 
ekspresi dari penghargaan yang terbaik. Iman yang sejati tidaklah 
dapat diungkapkan sepenuhnya. Iman sejati dapat memperlihatkan 
dorongan yang dashyat, yang mampu memindahkan gunung dan membelah 
lautan. Iman sejati seperti api yang menghanguskan dan seperti air 
yang tiada henti menetes melubangi batu kerikil yang tebal. Semua hal 
ini merupakan penjelasan tentang iman, keyakinan yang dirasakan oleh 
hati.

Kebajikan atau Tindakan Iman
----------------------------

Sebagaimana kita diskusikan dalam tulisan ini, iman sejati tidaklah 
membutuhkan perbuatan untuk membuktikannya. Iman sejati sebaliknya 
merupakan perbuatan itu sendiri di hadapan Allah dan diterima oleh 
Allah. Teologi merujuk kebenaran ini sebagai kebajikan iman atau 
tindakan iman. Mengikuti Paulus, gereja tradisional menyakini iman, 
pengharapan, dan kasih sebagai tiga pilar utama dari keutamaan 
Kristen. Kebajikan iman, dipahami secara umum sebagai hal yang paling 
jelas di antara ketiganya. Sekalipun demikian, secara ontologis, iman 
sesungguhnya merupakan sebuah kesadaran diri yang jelas mengenai 
kehadiran ilahi yang menuntut sebuah ketertundukan total dan komitmen 
pada Allah dan firman-Nya. Penjelasan berikut ini memberikan gambaran 
mengenai tindakan iman sebagai kebajikan moral.

IMAN DALAM KOMITMEN

Komitmen merupakan sebuah tindakan sukarela alami dari seorang yang 
sudah diyakini oleh Kebenaran. Hal ini membawa kita pada beberapa 
pertanyaan teologis, sejauh pembahasan dalam konteks iman dan 
komitmen, apakah iman adalah hasil dari kemampuan subyektif manusia, 
"habitus fidei", ataukah hasil dari anugerah Allah, yang 
memampukan orang itu untuk secara total menyerahkan dirinya di hadapan 
Allah? Jika iman adalah inisiatif ilahi, maka apa yang seorang manusia 
lakukan hanyalah mempraktikkan hak istimewa yang diberikan oleh Allah 
saat ia berkonfrontasi dengan wahyu ilahi. Manusia tidaklah memiliki 
pilihan lain selain daripada respons yang sewajarnya kepada panggilan 
Allah. Berbicara dalam terang keyakinan Reformed, komitmen iman 
bukanlah usaha manusia, sebaliknya, iman adalah anugerah Allah. Dan 
dengan demikian, keutamaan iman merupakan pekerjaan Allah itu sendiri. 
Jelas tidak ada kontribusi manusia sama sekali. Oleh sebab itu tidak 
ada alasan bagi manusia untuk mengakui bahwa iman itu miliknya. Iman 
itu ada karena Allah bersedia tinggal di dalam manusia. Sebagaimana 
pepohonan dihanyutkan oleh banjir badang, demikianlah manusia 
disandera oleh Allah dan oleh kasih-Nya. Oleh sebab itu, komitmen 
penulis adalah agar kita dapat tinggal tenang seperti anak yang 
terlelap, sepenuhnya menyerahkan diri di atas pangkuan sang ibu. Dan 
hal ini merupakan tanda dari iman yang sejati yang membawa ucapan 
syukur dan pujian dalam diri kita. Orang yang memiliki iman tidaklah 
pernah menyombongkan diri, dia lebih memilih untuk berkomitmen total 
dan hanya bersedia berbicara hal yang besar mengenai Kristus yang 
tersalib (1Kor. 2:1-5).

IMAN DALAM KETERTUNDUKAN DAN KETAATAN

Iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan ekspresi 
konkret dari keyakinan terhadap Kristus. Secara teologis, lawan dari 
iman bukanlah ketidakpercayaan, ataupun keragu-raguan melainkan 
kesombongan dan ketidaktaatan. Kejatuhan dari Adam dan Hawa, dan 
seluruh tokoh Alkitab merujuk pada fakta bahwa mereka terlalu sombong 
dan tidak taat. Alkitab menyatakan bahwa kesombongan mendahului 
kehancuran. Langkah pertama dari iman yang sejati adalah penyangkalan 
dan penyerahan diri dalam rangka mengikut Tuhan. Ketaatan dalam iman 
melibatkan hal berikut:

Pengetahuan akan Allah
----------------------

Mengenal kedaulatan dan kemuliaan Allah. Keberadaan kita amat 
bergantung pada diri-Nya. Bagaimana kita dapat mempertanyakan Allah 
dan meragukan diri-Nya, dan firman-Nya? Pemazmur pernah mengatakan, 
"Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang 
bertindak" (Mzm. 39:10). Demikian juga kita mendengar pemilik 
kebun anggur berkata. "Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku 
menurut kehendak hatiku? (Mat. 20:15) Apakah yang dapat kita lakukan 
selain berkata "Aku hanya hamba Allah, lakukanlah sebagaimana 
yang Engkau kehendaki." Ketika Anak Allah datang ke dunia ini, 
Dia sengaja mengosongkan diri dan merendahkan diri. Mengambil rupa 
seorang hamba, dan menjadi manusia. Saat menjadi seorang manusia, Ia 
merendahkan diri sedemikian rupa dan taat sampai mati bahkan sampai 
mati di kayu salib! (Fil. 2:6-8). Dia bahkan tetap taat saat menderita 
(Ibr. 5:8). Jika kita pernah mengenal Allah, mengapa kita tidak 
merendahkan diri dan secara penuh merendahkan diri kepada Tuan kita?

Pengetahuan akan Diri Sendiri
-----------------------------

Dalam kenyataannya, kita sering membandingkan diri kita pada yang 
lain. Dengan berbuat demikian, kita akan terjebak di dalam kealpaan 
terhadap diri, posisi dan pendirian kita sendiri. Sesungguhnya, 
sebagian besar orang tidaklah puas terhadap hak istimewa yang mereka 
miliki. Hal ini merupakan hasil dari kealpaan kita terhadap fakta 
bahwa kita merupakan anggota keluarga sorgawi dan dunia (Ef. 3:15). 
Saat Petrus masih berpikir banyak mengenai nasib yang akan menimpa 
Yohanes, Yesus menjawab apa yang harus kamu lakukan adalah mengikuti 
Aku (Yoh. 21:22).

Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagian dan piala bagi kita; Dia 
menjaga harta benda kita agar tetap aman. Sebagaimana Pemazmur 
mengungkapkan "Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang 
permai; ya milik pusakaku menyenangkan hatiku." (Mzm. 16:6-8). 
Oleh sebab itu, mari kita berdiam dan menenangkan diri dan ketahuilah 
bahwa ialah Allah (Mzm. 46:10). Mari kita dengar perkataan-Nya pada 
Daniel, "Tetapi engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman, dan 
engkau akan beristirahat, dan akan bangkit untuk mendapatkan bagianmu 
pada kesudahan zaman" (Dan. 12:13). Tunduklah pada rencana dan 
pengaturan-Nya. Lakukan hal terbaik untuk tetap menaati-Nya. Karena 
Dialah bagian dari warisan dan piala kita (Mzm. 16:5). Jika Anda 
memiliki iman, akuilah dan puaslah dengan keadaanmu saat ini -- inilah 
tanda dari pengetahuan yang benar mengenai diri sendiri.

Pengetahuan akan Otoritas
-------------------------

Takut akan orang yang memiliki kuasa merupakan sebuah praktik yang 
wajar. Oleh sebab itu, otoritas dan kuasa telah menjadi tempat dimana 
orang mudah untuk menunjukkan ketaatan. Ketakutan jenis ini merupakan 
hasil dari ketidaktahuan akan otoritas yang sebenarnya. Ketaatan yang 
sejati menyerahkan diri pada otoritas yang tidak mengenal ketakutan. 
Otoritas itu adalah buah dari iman yang sejati. Di dalam otoritas 
seperti ini, kasih dimungkinkan untuk bertumbuh.

Kita percaya dan taat pada Kristus bukan karena kita takut pada-Nya 
namun karena kita terpaku oleh kedashyatan kasih Allah, dan oleh 
karenanya kita mengasihi Allah. Dalam konteks ini, ketaatan dan 
ketertundukan bukan lagi persoalan intelektual dan pemahaman 
sensasional, melainkan sebuah dorongan dari jiwa menuju pemenuhan. 
Oleh sebab itu, kita menjadikan hal menyenangkan hati Allah sebagai 
tujuan hidup kita (2Kor. 5:9). Sekalipun kita tidak pernah melihat 
Dia, kita mengasihi Dia. Dan sekalipun kita tidak melihat Dia saat 
ini, kita percaya pada-Nya dan hati kita dipenuhi oleh sukacita yang 
tidak dapat diungkapkan, karena kita telah menerima tujuan dari iman 
kita, yakni keselamatan dari jiwa ini (1Pet. 1:8-9). Klarifikasi dari 
pemahaman kita akan otoritas akan selalu menghasilkan ketaatan 
batiniah dalam diri kita.

IMAN DAN HAL MENGIKUT YESUS

Apa yang Kristus inginkan dari para pengikut-Nya adalah usaha 
menyangkal diri mereka sendiri, memikul salib dan mengikuti-Nya. Orang 
yang percaya pada Allah, akan mengikut Allah. Hal ini memerlukan iman. 
Yohanes, murid yang dikasihi Kristus menyatakan bahwa orang yang 
mengikut Kristus adalah mereka yang menaati firman-Nya, di mana kasih 
Allah sungguh sempurna berada dalam diri mereka ... sebab barangsiapa 
yang berkata ia hidup di dalam Dia haruslah ia melakukan apa yang 
Yesus lakukan (1Yoh. 2:5-6).

Pesan terakhir Kristus kepada para murid-Nya hampir sama dengan 
ungkapan di atas, Dia berkata: "sebab Aku telah memberikan suatu 
teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah 
Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba 
tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan 
daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka 
berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya" (Yoh. 13:15-17). 
Mengikuti Kristus adalah salah satu karakteristik yang terpenting dari 
menjadi seorang Kristen. Jika iman didirikan di atas dasar Firman 
Allah, maka hasilnya adalah kasih terhadap Allah dan meneladani hidup 
Kristus. Dokumen dan warisan literatur pada masa Abad Pertengahan 
mengindikasikan bahwa para orang-orang kudus mewariskan praktik hidup 
yang meneladani Kristus. Mereka mengikut Tuhan secara konstan dan 
konsisten. Dibandingkan dengan hidup kita hari ini, patutlah kita 
menjadi malu, karena walaupun kita mengakui telah mengenal Kristus dan 
memproklamirkan nama-Nya, namun dalam hal ketertundukan dan penyerahan 
diri untuk mengikuti serta meneladani-Nya, kita masih jauh dari apa 
yang Tuhan harapkan.

KESIMPULAN

Penyederhanaan iman rupanya merupakan paradoks pada kenyataannya. 
Setelah kejatuhan manusia, tidak ada seorangpun memiliki iman. Kita 
telah jatuh di dalam perangkap kepercayaan, yakni ketidakpercayaan dan 
keraguan terhadap hal-hal yang benar dan dapat dipercaya. Inilah 
sebabnya sejarahwan dan filosof, Will Durant pernah berkata: 
"Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan berlangsung 
selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, ketakhayulan 
tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara 
terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah 
dengan kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak 
dengan agama ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang 
sejati -- yakni iman yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman 
yang benar mengenai Allah dan wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada 
Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya 
itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku 
itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? Demikian 
Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan 
dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:28-29).

Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk 
berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan yang palsu. Biarkan kita 
membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di dalam 
Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah sementara 
kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita 
kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri 
pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku 
telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita 
senantiasa percaya dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang 
taat dan menjadi manusia beriman yang kelak mendapat pujian dari 
Allah.

======================================================================

Bahan diambil dari:
Judul buku    : Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005
Judul Artikel : Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis
                dan Pastoral
Penerbit      : Sekolah Tinggi Teologia Bandung
Penulis       : Joseph Tong, Ph.D.
Halaman       : 108 -- 119

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org