Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/64

e-Reformed edisi 64 (3-8-2005)

Bimbingan dan Rencana Allah (1)


                   BIMBINGAN DAN RENCANA ALLAH (1)
                   ===============================

RICK adalah perancang grafis berbakat yang saya kenal beberapa tahun 
lalu. Ia telah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan periklanan 
yang sukses, namun ia tertekan oleh persaingan yang tajam di antara 
para karyawan yang berebut untuk menjadi rekanan di perusahaan 
tersebut. Ia juga mencemaskan kondisi moral yang rendah dan tekanan 
kerja yang berat. Wajar jika ia mulai berpikir untuk berwiraswasta, 
namun ia sangat takut untuk bersaing dengan perusahaan lamanya. Ia 
bermimpi bahwa jika ia dapat memulai perusahaannya sendiri, ia tentu 
akan dapat mengatur hidupnya sendiri. Ia dapat menetapkan jam kerjanya 
dan dapat lebih banyak terlibat dalam pelayanan. Namun, ia juga 
memiliki seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil. Jika ia 
gagal dalam usahanya untuk berwiraswasta, semua akan menderita. Ia 
mungkin akan kehilangan rumah dan tabungannya.

Rick berdoa agar Allah menyatakan rencana-Nya. Ia bertanya apakah
Allah mau memanggilnya untuk berwiraswasta atau tetap bertahan dengan
pekerjaannya sekarang. Ia mulai mencari cara-cara yang mungkin Allah
gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Ia mencari pelanggan potensial
yang mungkin datang dengan cara yang tidak seperti biasanya. Ia mulai
berusaha mendengarkan suara Allah dalam pikirannya beberapa "kesan"
khusus yang akan meyakinkannya bahwa pikiran tersebut sungguh berasal
dari Allah. Ia mencari-cari alat uji yang dapat ia pakai untuk
mengambil keputusan. Misalnya, jika ada fitnah, gosip yang tidak
wajar, atau hal-hal buruk lain saat ia merayakan hari pertobatannya,
mungkin itu menjadi tanda bahwa tempat kerjanya sudah terlalu rusak.

Saat ia merenungkan semua ini, sebuah gagasan yang menggelisahkan
mulai menyusup dalam benaknya. Ia tidak yakin, tapi ia takut kalau-
kalau ia sudah keluar dari rencana Allah sejak saat ia masih kuliah
dulu. Ia telah menghadiri Konvensi Misionaris Mahasiswa Urbana dan
telah menyerahkan diri untuk pelayanan misi. Namun saat kembali ke
kampus, dengan mudah pembimbing akademisnya meyakinkannya untuk
meninggalkan niat tersebut. Apa yang akan terjadi seandainya ia
memakai kemampuan komunikasinya bukan untuk menciptakan iklan,
melainkan untuk menyebarkan Injil? Mungkin ia telah berada jauh dari
kehendak Allah bagi hidupnya sehingga sia-sia untuk mencoba kembali,
atau untuk meminta Allah membimbingnya dalam rencana yang "tidak taat"
ini.

Masalah yang dihadapi Rick dalam mencari bimbingan Allah sangat lazim
terjadi pada umat Kristen. Bagi Rick dan sebagian besar orang,
pemahaman mereka tentang rencana dan kehendak Allah tidak pernah
dipertajam oleh konsep yang alkitabiah. Salah satu masalah utama yang
dihadapi Rick adalah mencampuradukkan dua penggunaan yang sangat
berbeda di dalam Alkitab untuk istilah "kehendak Allah".

Dalam Alkitab, frasa "kehendak Allah" bisa berarti rencana atau
perintah Allah. Para teolog menjelaskan hal ini sebagai dua bentuk
kehendak Allah: "Kehendak-Nya yang dekritif" (dekrit/ketetapan atau
rencana Allah) dan "kehendak-Nya yang preseptif" (titah atau perintah
Allah) (Hodge 1865, 1:405). Kehendak Allah yang dekritif mengarahkan
segala sesuatu yang terjadi di bawah kendali Allah. Kehendak Allah
yang preseptif berkaitan dengan perintah Allah apa yang Ia perintahkan
supaya kita lakukan. Karena Alkitab memakai kata "kehendak Allah"
untuk menyebut keduanya, maka kerancuan mudah sekali terjadi dan
mengacaukan upaya kita dalam mencari bimbingan. Inilah salah satu
masalah Rick.

Supaya Anda terhindar dari jebakan ini, mari kita memeriksa kedua
konsep yang Alkitab ajarkan tentang kehendak Allah ini. Dalam bab ini
kita akan melihat "kehendak Allah" yang merujuk kepada rencana Allah
yang berdaulat (yang dalam teologi sering disebut sebagai ketetapan
atau kehendak-Nya yang dekritif). Dalam bab berikut kita akan
mempelajari "kehendak Allah" sebagai perintah-perintah Allah.

Kehendak Allah: Rencana-Nya
---------------------------

Alkitab sering memakai frasa "kehendak Allah" untuk menyebut rencana
Allah. Paulus dalam Efesus 1:5 berbicara tentang rencana Allah yang
berdaulat, "Ia [Allah] telah menentukan kita dari semula ... sesuai
dengan kerelaan kehendak-Nya." Setiap orang percaya seharusnya
terhibur jika mengetahui bahwa ia telah dipilih sebelum penciptaan
untuk mewarisi keselamatan. Pilihan itu dilakukan oleh Allah dalam
rencana-Nya yang berdaulat. Paulus melanjutkan tema ini dalam Efesus
1:11, "Di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan -- kami
yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan
maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan
kehendak-Nya."

Yakobus 4:15 merupakan contoh lain yang serupa. Yakobus mendorong
pembacanya untuk tidak membuat rencana (berangkat ke sebuah kota,
tinggal dan berdagang) dengan bersandar pada diri sendiri. Mereka
seharusnya berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan
berbuat ini atau itu." Yakobus tidak mengecam perencanaan; ia mengecam
rencana yang tidak melibatkan rencana Allah di dalamnya. Yakobus
mengajarkan kepada kita untuk tidak memberikan perhatian yang
berlebihan pada rencana kita, karena hidup kita adalah seperti uap
yang terlihat hanya sebentar kemudian lenyap begitu saja.

Dalam Roma 15:32, Paulus menerapkan ajaran Yakobus. Ia meminta jemaat
Roma untuk berdoa demikian, "Agar aku yang dengan sukacita datang
kepadamu oleh kehendak Allah, beroleh kesegaran bersama-sama dengan
kamu." Paulus ingin mengunjungi orang-orang Kristen di Roma, namun ia
sadar bahwa ia bisa datang hanya oleh karena providensi dan rencana
Allah, yaitu jika Allah menetapkannya.

Jika kita bermaksud memaksakan makna lain kepada frasa "kehendak
Allah" yang ada dalam perikop ini, hasilnya tidak akan masuk akal.
Paulus tidak meminta agar orang-orang Roma berdoa supaya ia dapat
melakukan kehendak Allah (seperti memenuhi perintah Allah). Paulus
ingin mereka berdoa supaya Allah mengizinkannya datang ke Roma dengan
menyediakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi.

Contoh terakhir: Petrus memakai kata "kehendak Allah" juga dalam arti
ini di 1Petrus 3:17: "Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik,
jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat
jahat." Ketika mendorong umat Kristen untuk menderita karena berbuat
baik daripada menderita karena berbuat jahat, Petrus mengemukakan
pokok tambahan bahwa penderitaan itu sendiri datang melalui izin dan
rencana Allah. Karena itu, ia berbicara tentang penderitaan yang bisa
terjadi "jika hal itu dikehendaki Allah". Sekali lagi, kita bertemu
dengan pelaksanaan rencana Allah.

Rick tidak hanya mengacaukan kedua istilah ini, tetapi kekacauan ini
menjeratnya ke dalam apa yang saya sebut sebagai "Sindrom Rencana B".
Menurut pemikiran Rick: jika Allah memiliki rencana yang sudah
ditetapkan secara mendetail bagi kehidupan setiap orang percaya dan Ia
ingin kita mengikuti rencana itu, apa yang harus kita lakukan ketika
kita terlanjur menyimpang dari rencana itu? Kita akan turun ke Rencana
B dan harus memulainya dari sana.

Saya akan memberikan contoh. Setiap tahun saya menghadapi rutinitas 
yang menyusahkan karena harus menentukan rencana mana yang akan saya 
pilih untuk kontrak servis bagi alat panggangan tua saya. Menurut 
penjual bensin langganan kami yang ramah, Rencana A tampaknya akan 
menjauhkan semua kekuatiran saya. Dengan Rencana A mereka akan 
memperbaiki segala kerusakan, tetapi tentu biayanya mahal. Biaya 
Rencana B lebih terjangkau, tapi hanya mengatasi permasalahan yang 
perlu saja. Rencana C hanya memberikan servis tanpa perbaikan apa-apa. 
Jika saya memiliki uang cukup, maka saya cenderung memilih Rencana 
A. Jika tidak, maka saya akan memilih Rencana C, dan dengan Rencana C 
itu berarti tukang reparasi akan sering datang ke rumah saya tiap 
tahun.

Kita pun cenderung berpikir bahwa meskipun Allah memiliki sebuah
rencana yang "terbaik" bagi hidup kita, Ia juga memiliki rencana lain
yang "lebih murah" bagi mereka yang telah meleset dari rencana yang
terbaik itu. Kita teringat keputusan bodoh dan berdosa yang pernah
kita ambil dan, akibatnya, kita melihat diri kita berada dalam
"Rencana B" kehendak Allah bagi hidup kita. Jika kita tetap membuat
keputusan yang jelek, maka kita akan turun lagi ke Rencana C, Rencana
D, dan  karena kita orang berdosa kita akan segera kehabisan daftar
abjad yang tersedia. Kita berpikir tentang "apa yang mungkin terjadi"
seandainya kita tidak menikahi pasangan hidup kita yang sekarang,
seandainya kita tidak hamil sebelum hari pernikahan, seandainya kita
tidak mengambil pekerjaan yang mengerikan ini dan menerima pekerjaan
satunya yang mungkin akan membuat kita sukses, atau seandainya kita
tidak meledak dalam kemarahan kepada anak kita yang masih remaja.

Dalam bab ini kita akan melihat bahwa bagi mereka yang berada di dalam
Kristus, hanya ada satu rencana, Rencana A. Rencana ini tetap
tergenapi meskipun kita melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Kita
akan melihat keajaiban perhatian Allah sebagai Gembala, dan detail
kasih-Nya di sepanjang rencana yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita.
Kebenaran agung ini sungguh mencerahkan, menghiburkan, dan terkadang
menakutkan ciptaan Allah yang sombong.

Satu Rencana yang Berdaulat
---------------------------

Alkitab mengajarkan bahwa (1) Allah memiliki satu rencana khusus bagi
hidup Anda dan (2) peristiwa-peristiwa dan pilihan-pilihan dalam hidup
Anda secara tak dapat ditolak dan secara berdaulat mengerjakan rencana
itu dalam setiap detailnya. Berlawanan dengan pandangan Rick tentang
rencana Allah, seseorang tidak mungkin bisa "gagal ujian" dalam
rencana itu. Semua kesalahan, kebutaan, dan dosa Anda telah
diperhitungkan sebelumnya. Kebenaran ini diajarkan dalam doktrin
providensi Allah. Tanpa memahami providensi, kita tidak akan dapat
memahami keterlibatan Allah secara jelas dalam hidup kita sehari-hari.
Kekacauan dalam hal bimbingan Allah di kalangan Kristen banyak
disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan doktrin ini.

Doktrin providensi telah diringkaskan dengan sangat cemerlang pada
tahun 1648 dalam Pengakuan Iman Westminster (Westminster Confession of
Faith, dokumen yang mendasari theologi gereja Kongregasional,
Reformed, Presbiterian, dan Baptis yang berbahasa Inggris). Bab 5 yang
diberi judul "Mengenai Providensi" dimulai demikian:
  "Allah, Pencipta yang agung atas segala sesuatu, menopang, memimpin,
  mengatur, dan memerintah atas semua ciptaan, tindakan, dan segala
  sesuatu; mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil; dengan
  providensi-Nya yang agung dan suci; menurut pra-pengetahuan-Nya yang
  tak dapat bersalah (infallible) dan pertimbangan kehendak-Nya yang
  bebas dan kekal; untuk mendatangkan pujian bagi kemuliaan hikmat,
  kuasa, keadilan, kebaikan, dan kemurahan-Nya."

Pernyataan ini meringkaskan jawaban bagi banyak pertanyaan yang muncul
saat kita mencoba memahami apa yang Alkitab katakan tentang
pengendalian Allah atas dunia ini. Perhatikan, doktrin ini menegaskan
bahwa Allah mengerjakan setiap detail "menurut pertimbangan kehendak-
Nya yang kekal [tidak berubah]". Jika hal ini benar, dampaknya sangat
luas sekali terhadap Rick ketika ia mengevaluasi pilihannya. Rick
tidak perlu memanjat keluar dari lubang yang telah ia gali sendiri
agar dapat kembali pada kehendak Allah bagi hidupnya. Sejarah hidup
Rick dan keputusan-keputusan yang menyebabkan hal itu terjadi, berada
di dalam rencana keselamatan yang Allah siapkan baginya.

Jika hal ini benar, itu berarti keputusan yang harus diambilnya
sekarang juga adalah sah, karena ia tidak terjerat dalam situasi
terbaik kedua atau situasi terbaik kedua puluh. Ia berada dalam
program providensi Allah yang Mahabijaksana dan Mahasempurna. Ia bukan
seperti pemain golf yang harus memulai pertandingan dengan dua puluh
pukulan penalti. Jika doktrin ini benar, ada harapan yang besar ketika
kita membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita.

Namun sebelum kita melihat lebih jauh implikasi dari kebenaran ini,
kita harus bertanya, "Apakah ini sungguh-sungguh benar?" Dan jika ini
benar, bagaimana dengan tanggung jawab dan kebebasan manusia?
Bagaimana dengan masalah yang diakibatkan oleh dosa dan kebebalan
kita? Bagaimana dengan masalah kejahatan yang ada di dunia ini? Apakah
itu menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan? Mari kita uji beberapa
bagian kunci Alkitab yang dipakai untuk mendasari doktrin providensi.
Semua ini akan menolong kita memahami implikasi providensi terhadap
banyak bidang kehidupan kita yang penting.

Berbagai Situasi
----------------

Apakah Allah mengendalikan segala keadaan dalam semua situasi? Kristus
sendiri menjawab pertanyaan itu dalam Matius 10:29-31. Ia berkata,
"Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari
padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu,
rambut kepalamupun terhitung semuanya." Yesus menjelaskan pemeliharaan
dan pengendalian Allah yang luar biasa ini untuk menenangkan ketakutan
para murid ketika mereka menghadapi ujian dan penganiayaan. Hal-hal
yang terlihat kebetulan (menemukan seekor burung mati di tepi jalan)
tidak terjadi tanpa seizin Allah. Kristus berkata (ay. 31), "Sebab itu
janganlah kamu takut karena kamu lebih berharga dari pada banyak
burung pipit."

Perhatikan tujuan pengajaran Yesus. Ia tidak bertujuan menyusun suatu
prinsip abstrak yang dapat diterapkan dalam segala hal yang kita
angankan. Ia mengajarkan hal ini untuk mengatasi ketakutan umat-Nya
akan kehilangan, kematian, penderitaan, penganiayaan, dan lain-lain.
Pengajaran ini dengan jelas menegaskan pengendalian Allah yang
berdaulat dan menyeluruh atas kehidupan, tetapi doktrin ini juga 
memiliki maksud pastoral yang harus dihormati.

Sebagian orang mungkin bertanya, "Bagaimana saya dapat menerima
penghiburan dari doktrin yang mengajarkan bahwa segala sesuatu telah
ditetapkan, yang implikasinya adalah bahwa tidak ada gunanya saya
berdoa dan berupaya?" Orang non-Kristen mungkin akan menolak dan
berkata, "Mengapa saya harus menerima pandangan yang menempatkan Allah
sebagai sumber kejahatan?" Kesalahan mereka adalah melihat doktrin ini
sebagai kebenaran yang terisolasi, yang bertentangan dengan logika
mereka. Alkitab tidak pernah memakai doktrin kedaulatan Allah untuk
meremehkan doa atau upaya manusia, yang benar justru sebaliknya.
Karena Allah dapat campur tangan, kita harus berdoa dan berupaya.
Doktrin ini tidak pernah dipakai untuk mengesahkan Allah sebagai
sumber kejahatan. Hal ini jelas dibantah dalam Yakobus 1:13 dan
banyak bagian Alkitab lain. Iblis dan dosa umat manusialah yang
dilihat sebagai penyebab semua kejahatan.

Mari kita perhatikan tujuan doktrin ini dalam Alkitab. Doktrin ini
bertujuan menjadikan makhluk ciptaan Allah rendah hati (Roma 9:20),
membangkitkan pujian bagi kasih Allah yang besar atas para pendosa
(Efesus 1:11), meyakinkan orang percaya kepada kasih Allah yang tidak
dapat dirusak dan sangat praktis (Roma 8:28), dan untuk menegur para
musuh akan pemberontakan dan perlawanan mereka yang sia-sia (Mazmur
2:9-10; Daniel 4:34-35). Doktrin ini menggarisbawahi fakta bahwa
individualitas dan musim-musim kehidupan kita diatur oleh Allah
(Mazmur 139:13-16). Daud merenungkan betapa bernilainya pemahaman
bahwa Allah terus memperhatikannya. Ia berkata:
  "Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar
  jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada
  pasir." (Mazmur 139:17-18)

Berapa banyak dari antara kita yang sungguh-sungguh percaya bahwa
Allah yang kita sembah begitu menyadari kondisi-kondisi kehidupan
kita? Bahwa Ia memperhatikan kondisi-kondisi kita bahkan secara lebih
mendetail daripada yang kita bayangkan? Daud berkata bahwa kita bahkan
tidak dapat menghitung pikiran Allah, apa lagi memberikan perhatian
yang begitu berlimpah dan mendetail kepada kondisi-kondisi kita
sendiri. Saya menangisi orang Kristen yang telah menyimpulkan bahwa
mereka tidak dapat menikmati keyakinan kepada providensi Allah karena
takut membuat Allah menjadi sumber kejahatan.

Kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang menyalahgunakan
doktrin providensi, seperti seorang Calvinis garis keras (yang percaya
bahwa Allah mengendalikan segala sesuatu) yang suatu pagi terjatuh di
tangga saat ia akan sarapan pagi. "Untungnya" tangga itu dilapisi
karpet sehingga ia masih mampu bangkit berdiri, mengebaskan debu, dan
berjalan terpincang-pincang menuju meja. Ia duduk, memandang istrinya,
dan berkata, "Saya lega semua ini telah berakhir." Meski secara logis
(dan humoris) respons itu mungkin menarik, respons itu hanya
mengalihkan perhatiannya dari tugas untuk memikirkan apa yang salah
dan mengambil langkah pencegahan untuk masa mendatang. Allah tidak
menyingkapkan realitas providensi-Nya untuk membuat kita tidak lagi
mengurus hidup kita. Tetapi panggilan intim seperti itu terkadang
memang mengingatkan kita kepada perhatian Allah yang tidak kelihatan.

Saya pernah mendengar kisah tentang John Witherspoon, presiden
Princeton University dan juga penandatangan Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat. Suatu hari dalam perjalanan menuju Princeton, ia
terlempar dari kereta kudanya. Kereta kuda itu masuk ke selokan, dan
ia terlempar sampai tergeletak di tanah dan berlumuran kotoran.
Sesampainya di kantor, ia mulai membersihkan diri dan mengomentari
providensi Allah yang begitu ajaib dalam melindungi hidupnya pada
situasi yang amat berbahaya. Asistennya yang masih muda mengamati
dengan bijak, "Tetapi Dr. Witherspoon, bukankah perhatian Allah bahkan
lebih ajaib dalam ratusan pagi hari saat Anda berangkat kerja tanpa
mengalami kecelakaan?" Witherspoon mendapat pelajaran berharga tentang
mensyukuri providensi Allah saat hal itu tidak terlihat dan tidak
dramatis.

Sebuah gambaran indah mengenai providensi Allah tercatat di Kejadian 
50:20. Pada bagian itu dikisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf 
menjualnya menjadi budak, bagaimana ia secara keliru dituduh 
memperkosa dan dipenjara secara tidak adil, bagaimana ia mendapat 
kekuasaan yang besar di Mesir, lalu menyelamatkan Mesir dan 
keluarganya dari bencana kelaparan. Setelah semua itu, Yusuf berkata 
kepada saudara-saudaranya mengapa ia tidak membalas dendam atas 
pengkhianatan mereka. Katanya, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang 
jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk 
kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, 
yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." Setiap tindakan 
saudara-saudara Yusuf, Yusuf sendiri, Firaun, dan bahkan cuaca yang 
mendatangkan bencana, semua sesuai dengan kendali Allah yang 
berdaulat.

Singkatnya, tidak ada situasi mulai dari jumlah rambut hingga
pergerakan bangsa-bangsa yang dalam segala halnya tidak menggenapi
rencana Allah.

Jika kita mengakui bahwa semua situasi ditentukan oleh providensi
Allah, bagaimana dengan akibat tindakan umat manusia yang jahat? Kisah
Yusuf memperlihatkan jawabannya.

Orang Baik, Orang Jahat, dan Politikus
--------------------------------------

Apakah rencana Allah digenapi oleh tindakan manusia yang bebas dan
bertanggung jawab, entah itu baik atau jahat? Inilah pertanyaan yang
ditimbulkan oleh Hitler, Pol Pot, dan penjahat keji yang menyerang
anak Anda. Inilah pertanyaan Wilberforce dan Martin Luther King, yang
memperjuangkan hak asasi dan martabat keturunan Afrika.

Pertanyaan ini wajar sehubungan dengan realitas penghakiman terakhir
yang akan menuntut setiap pria, wanita, dan anak-anak untuk
bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Menurut Yohanes 5:28-29:
  "Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa
  semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan
  mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup
  yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit
  untuk dihukum."

Implikasi dari kisah Yusuf di atas secara khusus diajarkan dalam
Alkitab: setiap tindakan yang dilakukan setiap individu adalah sesuai
dengan cetak biru Allah yang tidak dapat berubah. Alkitab menekankan
fakta bahwa orang yang paling "bebas" (para raja dan penguasa)
mengerjakan rencana Allah. Amsal 21:1 menyatakan, "Hati raja seperti
batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini."
Bagian-bagian lain Alkitab juga membawa pesan yang sama tentang
kedaulatan Allah:
  "Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya
  turun-temurun." (Mazmur 33:11)

  "Tuhan semesta alam telah merancang, siapakah yang dapat
  menggagalkannya? Tangan-Nya telah teracung, siapakah yang dapat
  membuatnya ditarik kembali?" (Yesaya 14:27)

  "Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya
  Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada
  yang seperti Aku, Yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian
  dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, Yang berkata:
  Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan."
  (Yesaya 46:9-10)

  "Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang
  terlaksana." (Amsal 19:21)

Tidak ada tindakan musuh-musuh Allah atau para penguasa yang
berpengaruh terhadap kemampuan Allah untuk melaksanakan setiap detail
dari rencana-Nya. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka tidak terpisah
dari rencana yang telah Allah tetapkan, sama seperti tindakan Firaun
yang sia-sia ketika menentang Musa dalam Keluaran. Roma 9:17 mencatat
perkataan Allah kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan
engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan
supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Sangat menarik bahwa di
dalam catatan Keluaran tentang pemberontakan Firaun, dikatakan Allah
mengeraskan hati Firaun tetapi juga dikatakan bahwa Firaun mengeraskan
hatinya sendiri (Keluaran 14:4, 9:34). Firaun bertindak menurut
kehendaknya sendiri, namun kehendaknya itu melaksanakan rencana kekal
Allah.

Kedaulatan Allah atas tindakan jahat manusia dinyatakan dengan paling
murni dalam khotbah Petrus di Kisah Para Rasul 2:23. "Dia [Yesus] yang
diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan
dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka." Perhatikan,
sekalipun Petrus menyatakan bahwa kejahatan terkeji dalam sejarah
manusia itu telah ditetapkan oleh rencana Allah, namun ia tetap berani
meletakkan tanggung jawab atas kejahatan itu secara langsung kepada
para permimpin rohani bangsa Israel.

Pemahaman bahwa semua tindakan manusia tercakup di dalam rencana Allah
sungguh sangat menghibur saya setiap hari. Istri saya adalah staf
pengerja kampus di InterVarsity Christian Fellowship [Perkantas]. Tiga
atau empat kali dalam seminggu ia pergi ke kampus hingga larut malam
(anak-anak kami sudah beranjak remaja). Baru-baru ini, seorang siswi
diculik di pinggiran jalan sekitar jam delapan malam. Padahal istri
saya baru saja melewati jalan itu sekitar sepuluh menit sebelumnya.
Siswi itu dibawa ke sebuah parkiran kosong lalu diperkosa. Dengan
kondisi seperti itu, saya sangat mengkuatirkan istri saya yang sering
keluar malam, dan kami mengambil beberapa langkah pencegahan. Tetapi
hal yang paling menghibur kami adalah pemahaman bahwa tak seorang pun,
termasuk pemerkosa paling tangguh, yang dapat menyentuh istri saya
tanpa menggenapi rencana keselamatan Allah.

Anda mungkin bertanya, "Bukankah mustahil, bahwa Allah yang
mengendalikan, namun manusia tetap menjadi penyebab bagi kebaikan dan
kejahatan?" Hal ini terbukti tidak mustahil bagi Allah. Pikiran kita
tidak dapat memahami bagaimana Allah dapat menciptakan makhluk
bertanggung jawab yang benar-benar harus memberi pertanggungjawaban
kepada-Nya meskipun semua dosa mereka, sejak Adam di taman hingga
pedihnya kebinasaan akhir si Iblis, terlaksana sesuai dengan rencana-
Nya. Kehidupan berada di bawah kendali yang sedemikian rumit, yang
melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya. Dengan kehendak kita
sendiri yang bertanggung jawab, kita mengerjakan rencana Allah
meskipun Allah sama sekali tidak mencobai atau secara langsung memaksa
kehendak kita. Meski kita tidak tahu bagaimana Allah mengendalikan
segala sesuatu, tampaknya Ia biasanya tetap "lepas tangan" terhadap
mekanisme kehendak kita. Tetapi kita bertanggung jawab dan dengan
bebas memilih untuk melakukan semua yang Ia rencanakan.

Selama bertahun-tahun begitu banyak orang percaya berkata kepada saya,
"Anda tidak mungkin bisa mempercayai kedua-duanya secara bersamaan;
Anda harus memilih antara tindakan manusia yang sepenuhnya bertanggung
jawab, atau rencana Allah yang sedang bekerja." Kita harus dengan
tegas menolak pendapat bahwa karena kita tidak tahu bagaimana Allah
melakukan hal ini, maka kita harus memilih antara tanggung jawab
manusia atau kedaulatan ilahi; kita menolak anggapan bahwa kita hanya
bisa memilih satu, dan bukan kedua-duanya.

Fakta bahwa keduanya benar merupakan kemuliaan bagi hikmat Allah. Kita
harus sujud dan menyembah, bukannya terhanyut dalam pikiran kita yang
dengan sombong memikirkan apa yang bisa atau tidak bisa Allah
kerjakan. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan tidak memiliki akses
untuk menjangkau tingkat pemikiran atau eksistensi Allah. Sesungguhnya
ini merupakan inti dari logika dan pemahaman yang baik, yang
mempercayai pewahyuan Allah tentang diri-Nya. Kita harus menikmati
kepenuhan providensi Allah yang begitu mulia, dan penghiburan dari
pengendalian-Nya yang misterius dan berdaulat. Seharusnya ini
mendorong kita untuk menanggapi dengan gentar sebagai orang-orang yang
mengetahui bahwa diri mereka yang harus bertanggung jawab, sebagai
penyandang gambar dan rupa Allah.

Bukan hanya perbuatan-perbuatan jahat yang tercakup di dalam
providensi Allah, tetapi perbuatan-perbuatan baik manusia juga telah
ditetapkan sebelumnya. Efesus 2:10 menyatakan, "Karena kita ini buatan
Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik,
yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di
dalamnya." Tetapi kita tetap berulang kali diperintahkan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan baik (1Timotius 6:18; Ibrani 10:24).
Dalam Filipi 2:12-13, Paulus menyingkapkan tirai metafisika dan
mengizinkan kita melihat dua fakta ini berfungsi bersamaan. Ia
berkata, "... tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar,
... karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun
pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Bukannya mengurangi tanggung jawab
orang Kristen, kebenaran ini justru meningkatkan tanggung jawab dengan
mengaitkannya kepada kuasa yang tidak dapat ditolak Allah sedang
mengerjakan rencana-Nya yang baik di dalam diri kita. Dari sini kita
melihat providensi Allah sedang berkarya di dalam keselamatan kita.


(Redaksi: Bagian 2 dari artikel di atas akan dikirimkan pada 
          pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

======================================================================

Bahan di atas dikutip dari sumber:
---------------------------------
Judul buku   : Step By Step
Penulis      : James C. Petty
Penerbit     : Penerbit Momentum, Surabaya, 2004
Hal          : 41 - 54

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org