|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-reformed/143 |
|
e-Reformed edisi 143 (1-8-2013)
|
|
______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________
e-Reformed -- Budaya dan Alkitab (2)
Edisi 143/Agustus 2013
DAFTAR ISI:
ARTIKEL: BUDAYA DAN ALKITAB (2)
Dear e-Reformed Netters,
Edisi kali ini masih merupakan kelanjutan dari artikel edisi yang lalu, yaitu
tentang prinsip menafsirkan Alkitab berkaitan dengan konteks budaya. Pada edisi
ini akan dijelaskan pedoman-pedoman praktis yang akan membantu kita untuk
mengatasi masalah-masalah di dalam penafsiran. Tidak perlu berlama-lama, mari
kita simak kelanjutan artikel berikut ini.
Selamat membaca. Soli Deo Gloria!
Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
ARTIKEL: BUDAYA DAN ALKITAB (2)
Satu hal sudah jelas. Kita memerlukan semacam garis pedoman praktis untuk
membantu kita menguraikan problem-problem seperti itu. Garis pedoman praktis
berikut ini mestinya berfaedah.
Garis Pedoman Praktis
1. Periksalah Alkitab itu sendiri untuk mencari bagian-bagiannya yang jelas
berhubungan dengan adat.
Dengan meneliti cermat Alkitab sendiri, kita dapat mengetahui bahwa Alkitab
menunjukkan suatu ruang gerak adat tertentu. Misalnya, prinsip-prinsip ilahi
dari budaya Perjanjian Lama telah dinyatakan ulang dalam budaya Perjanjian Baru.
Dengan melihat hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang dinyatakan ulang dalam
Perjanjian Lama, kita dapat melihat bahwa sejumlah prinsip inti yang umum dapat
melampaui adat, budaya dan kebiasaan sosial. Pada saat yang sama, kita melihat
sejumlah prinsip Perjanjian Lama (seperti hukum-hukum mengenai apa saja yang
halal dan apa yang haram dalam Pentateukh atau kelima kitab Musa) dibatalkan
dalam Perjanjian Baru. Ini tidak berarti bahwa hukum-hukum mengenai apa yang
boleh dan tidak boleh dimakan semata-mata hanya adat Yahudi, tetapi kita dapat
melihat sebuah perbedaan dalam situasi sejarah penebusan waktu Kristus
membatalkan hukum yang lama. Apa yang harus kita perhatikan dengan cermat ialah,
bahwa baik pemikiran untuk memindahkan prinsip-prinsip Perjanjian Lama
seluruhnya ke dalam Perjanjian Baru maupun sama sekali tidak mengindahkannya
sedikit pun, tidak dapat dibenarkan oleh Alkitab sendiri.
Adat-adat budaya macam apa yang mampu pindah? Bahasa adalah salah satu faktor
budaya yang mudah pindah. Hukum-hukum Perjanjian Lama dapat dialihbahasakan dari
bahasa Ibrani kepada bahasa Yunani. Paling tidak, hal ini memberikan kepada kita
sebuah kunci kepada berbagai macam komunikasi verbal (bahasa). Ini berarti bahwa
bahasa adalah sebuah aspek budaya yang terbuka untuk perubahan. Ini tidak
berarti bahwa isi Alkitab dapat dibengkokkan secara linguistik, tetapi berarti
bahwa Injil dapat dikhotbahkan, baik dalam bahasa Yunani maupun dalam bahasa
Inggris.
Kedua, kita lihat bahwa metode-metode pakaian Perjanjian Lama tidak selalu cocok
di segala zaman untuk umat Allah. Prinsip-prinsip kesederhanaan tetap unggul,
tetapi mode-mode pakaian lokal boleh berubah. Perjanjian Lama tidak
memerintahkan supaya orang beriman harus memakai pakaian seragam ilahi yang
bermode sama untuk segala abad. Perubahan-perubahan budaya lain yang normal,
seperti sistem-sistem uang, jelas terbuka untuk perubahan. Orang-orang Kristen
tidak diharuskan memakai dinar sebagai ganti dolar.
Analisis cara-cara pengungkapan budaya seperti itu mungkin sederhana karena
berhubungan dengan pakaian atau uang, tetapi persoalan-persoalan institusi-
institusi budaya lebih sulit analisisnya. Misalnya, topik mengenai perbudakan
sering diperkenalkan ke dalam perdebatan modern mengenai tidak adanya oposisi
terhadap hukum atas dasar hati nurani, juga topik mengenai struktur-struktur
otoritas pernikahan. Dalam konteks yang sama, waktu Paulus mengimbau wanita-
wanita supaya tunduk pada suami-suami mereka, ia juga mengimbau para budak untuk
tunduk kepada tuan-tuan mereka. Sejumlah orang telah berpendapat bahwa karena
benih-benih penghapusan perbudakan, demikian juga benih-benih penghapusan sikap
tunduk para wanita. Kedua hal tersebut mewakili struktur-struktur institusional
yang dipengaruhi budaya jika ditinjau dari segi garis penalaran ini.
Di sini, kita harus berhati-hati untuk membedakan antara institusi-institusi
yang diakui oleh Alkitab hanya keberadaannya saja, seperti "pemerintah-
pemerintah yang ada" (Roma 13:1), dan institusi-institusi yang jelas didirikan,
diabsahkan dan ditahbiskan oleh Alkitab. Prinsip tunduk kepada struktur-struktur
otoritas yang ada (misalnya pemerintah Roma), tidak mempunyai pengertian yang
diperlukan untuk pengabsahan dari pihak Allah mengenai struktur-struktur, tetapi
hanya merupakan panggilan untuk kerendahan hati dan kepatuhan hukum dan
pemerintah. Allah, di dalam pemeliharaannya yang utama dan rahasia, dapat
menetapkan bahwa ada Kaisar Agustus, tanpa mengabsahkan Kaisar sebagai teladan
kebajikan Kristen. Namun, institusi struktur-struktur dan pola-pola otoritas
pernikahan diberikan dalam konteks institusi dan pengabsahan yang positif dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tindakan menurut struktur-struktur
alkitabiah mengenai rumah tangga setingkat dengan persoalan perbudakan, sama
dengan usaha mengaburkan banyak perbedaan antara keduanya. Jadi, Alkitab
menyediakan dasar bagi perilaku kristiani di tengah situasi-situasi yang menekan
atau yang jahat, Alkitab juga menahbiskan struktur-struktur yang harus menjadi
cermin bagi rancangan-rancangan penciptaan yang baik.
2. Biarlah ada kekhususan-kekhususan Kristen abad pertama.
Usaha memahami isi Alkitab dengan lebih gamblang, dengan cara menyelidiki
situasi budaya abad pertama, tidak sama dengan usaha menafsir Perjanjian Baru
seolah-olah itu hanya gema budaya abad pertama. Menyamakan kedua usaha tersebut
sama dengan mengalami kegagalan dalam usaha menerangkan pertentangan yang
serius, yang dialami oleh gereja waktu itu dalam menghadapi dunia abad pertama.
Orang-orang Kristen waktu itu tidak dilemparkan ke dalam kandang singa kalau
mereka cenderung menjadi konformis.
Cara-cara halus untuk merelatifkan teks ialah dengan memasukkan pertimbangan-
pertimbangan kultural kita sendiri ke dalam teks, yang sesungguhnya tidak ada
dalam teks itu sendiri. Misalnya, sehubungan dengan persoalan kerudung di
Korintus, banyak penafsir Epistola itu menunjukkan bahwa tanda lokal wanita
tunasusila di Korintus adalah tidak berkerudung. Karena itu, mereka berpendapat
inilah alasannya mengapa Paulus ingin para wanita mengerudungi kepala mereka
ialah untuk menghindari penampilan wanita-wanita Kristen yang mirip wanita
skandal.
Apa yang salah pada spekulasi seperti ini? Problem dasar di sini ialah bahwa
pengetahuan kita mengenai orang-orang Korintus dari abad pertama yang
dikonstruksikan ulang, telah mengakibatkan kita melengkapi Paulus dengan
rasional (dasar penalaran) yang asing bagi Paulus sendiri. Jikalau Paulus hanya
menyuruh kaum wanita Korintus berkerudung, tanpa memberikan rasional untuk
instruksi seperti itu, kita akan sangat cenderung untuk melengkapinya dengan
pengetahuan kita sendiri mengenai budaya. Namun hal ini, Paulus menyediakan
sebuah rasional yang didasarkan atas imbauan kepada yang alami, bukan kepada
adat tunasusila Korintus. Kita harus berhati-hati agar semangat kita terhadap
pengetahuan budaya tidak mengaburkan apa yang sebenarnya dikatakan oleh Alkitab.
Meletakkan alasan Paulus yang telah dinyatakannya di bawah kekuasaan penalaran
kita yang berperspektif spekulatif, sama dengan memfitnah rasul itu dan mengubah
eksegesis menjadi metode eisegesis.
3. Peraturan alam ciptaan Allah menunjukkan adanya prinsip-prinsip transtruktural.
Jikalau prinsip-prinsip Alkitab melampaui adat-adat lokal, maka berarti prinsip-
prinsip tersebut diambil dari yang alami. Dukungan dari peraturan-peraturan alam
menunjukkan peraturan-peraturan Allah yang mengikat janji secara hukum dengan
manusia dalam fungsi atau sifatnya sebagai manusia. Hukum-hukum alam tidak
dibenarkan hanya kepada manusia Ibrani atau manusia Kristen atau manusia
Korintus saja, tetapi berakar dalam tanggung jawab dasar semua manusia terhadap
Allah. Menyingkirkan prinsip-prinsip alam dengan memandangnya sebagai adat
lokal, sama dengan merelatifkan isi Alkitab dan menghilangkan isi Alkitab yang
historis. Inilah cara penafsiran yang termasuk paling buruk. Namun, tepatnya
dengan cara inilah banyak ahli telah merelatifkan prinsip-prinsip Alkitab. Di
sinilah, kita melihat metode eksistensial beroperasi dengan cara yang paling
nyata.
Untuk menggambarkan pentingnya peraturan-peraturan alam ciptaan Allah, kita
dapat meneliti bagaimana Tuhan Yesus menangani persoalan perceraian. Pada waktu
orang-orang Farisi menguji Tuhan Yesus dengan bertanya apakah perceraian
dibenarkan oleh hukum untuk alasan apa saja, Tuhan Yesus menjawab dengan cara
menunjuk kepada aturan penciptaan mengenai pernikahan, "Tidakkah kamu baca,
bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya
dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:4-6).
Dengan jalan menyusun kembali situasi kehidupan narasi ini, mudah untuk melihat
bahwa ujian dari pihak orang-orang Farisi berkaitan dengan keinginan mendapatkan
pendapat Tuhan Yesus mengenai pokok persoalan yang secara tajam memisahkan
mazhab-mazhab rabi yang bernama Shammai dan Hillel. Tuhan Yesus tidak berpihak
kepada salah satu mazhab sepenuhnya, tetapi mengembalikan persoalannya kepada
aturan-aturan alam penciptaan untuk mendapatkan norma-norma pernikahan secara
tepat. Sudah barang tentu, Ia mengakui modifikasi Musa terhadap hukum
penciptaan, tetapi Ia tidak bersedia untuk melemahkan norma itu lebih lanjut,
dengan cara menyerah kepada tekanan orang banyak atau pendapat-pendapat budaya
orang-orang yang hidup di zaman-Nya. Kesimpulan yang harus kita tarik ialah
bahwa aturan-aturan penciptaan adalah normatif, kecuali jikalau secara eksplisit
telah dimodifikasi oleh wahyu Alkitab yang lebih belakangan.
4. Dalam hal-hal yang tidak pasti pakailah prinsip kerendahan hati.
Bagaimana kalau setelah kita mempertimbangkan dengan cermat sebuah mandat
Alkitab, kita masih saja belum yakin mengenai hakikinya, apakah itu prinsip
ataukah itu adat? Jikalau kita dihadapkan kepada pilihan untuk memutuskan yang
mana di antara keduanya yang betul, tetapi kita tidak mendapatkan sarana-sarana
yang cukup dapat dipakai untuk pertimbangan bagi keputusan yang betul, apa yang
harus kita lakukan? Di sini, prinsip Alkitab mengenai kerendahan hati dapat
berfaedah. Persoalannya mudah. Mana yang lebih baik, menganggap apa yang
kemungkinan adalah adat, sebagai prinsip, sehingga bersalah karena dalam usaha
kita untuk mematuhi Allah ternyata tidak sesuai dengan kehendak-Nya; Ataukah
lebih baik menganggap apa yang kemungkinan adalah prinsip, hanya sebagai adat
saja, sehingga kita bersalah karena menurunkan kadar tuntutan Allah yang
transenden (di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa) kepada tingkat
kebiasaan manusiawi saja? Saya harap jawabannya jelas.
Jikalau prinsip kerendahan hati dipisahkan dari garis-garis pedoman lain yang
telah disebutkan, sangat mudah disalahartikan sebagai dasar untuk legalisme.
Kita tidak berhak mengatur hati nurani orang-orang Kristen padahal Allah sendiri
tidak mengaturnya. Prinsip ini tidak dapat juga diterapkan, kalau Alkitab
sendiri diam mengenai suatu hal yang sedang ditafsir. Prinsip ini dapat
diterapkan di tempat yang jelas ada mandat-mandat Alkitab, tetapi hakikinya saja
yang tidak pasti (apakah yang ditafsir itu memang adat, ataukah prinsip?),
setelah kita bekerja keras untuk mengatasi kesulitan menafsir, dengan metode
eksegesis secara tuntas.
Kerja keras seperti ini tidak dapat digantikan hanya dengan berhati-hati secara
biasa saja (seperti umumnya dilakukan orang yang tidak memakai metode
eksegesis). Sikap pokoknya hati-hati menafsir meskipun tanpa eksegesis,
berbahaya. Bahayanya ialah mengaburkan antara yang adat dan yang prinsip.
Eksegesis harus dilakukan sejak dari awal penyelidikan Alkitab, bukan kalau
sudah jalan lain tidak berhasil. Sikap ini dapat merusak kebenaran penafsiran.
Problem persyaratan budaya benar-benar problem. Rintangan-rintangan waktu,
tempat, dan bahasa sering menyulitkan komunikasi. Namun, rintangan-rintangan
budaya tidak begitu keras sehingga menyebabkan kita bersikap skeptis atau putus
asa memahami firman Allah. Untungnya, Alkitab benar-benar menunjukkan kemampuan
khusus untuk berbicara kepada kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdalam dan
untuk mengomunikasikan Injil dengan efektif kepada segala bangsa dari segala
waktu, tempat dan adat. Halangan budaya tidak dapat mengosongkan kuasa firman
Allah.
Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Mengenal Alkitab
Judul bab: Budaya dan Alkitab
Penulis: R. C. Sproul
Penerbit: Departemen Literatur SAAT, Malang
Halaman: 121 -- 127
Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Teddy Wirawan, Yulia Oeniyati, dan Ryan
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
______________________________e-Reformed______________________________
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________ |
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |