Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/88 |
|
e-Penulis edisi 88 (6-7-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 088/Juli/2011 Tema: Bukan Penerjemah Biasa (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: KOMPOSISI PENERJEMAH ARTIKEL: DUA BAHASA SAJA TIDAK CUKUP POJOK BAHASA: TENTANG PENERJEMAH STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS PESTA GURU SEKOLAH MINGGU (GSM) PERIODE SEPTEMBER/OKTOBER 2011 DARI REDAKSI: KOMPOSISI PENERJEMAH Penerjemah bukanlah seseorang penulis yang gesit menuangkan ide kreatif, ataupun seperti seorang editor yang berperan penting dalam memperbaiki suatu naskah. Akan tetapi, seperti penulis dan editor, seorang penerjemah adalah seseorang yang memiliki kecintaan terhadap bahasa. Seorang penerjemah yang baik, harus bisa menghasilkan terjemahan yang bisa dipahami -- tanpa mengurangi makna yang terkandung dalam sumber/bahasa asli, dengan baik oleh pembacanya. Penerjemah yang baik juga dituntut memiliki kejelian dalam memilih kata yang tepat dan memangkas kata-kata yang berlebihan. Apa saja yang diperlukan seorang penerjemah, sehingga mereka bisa menerjemahkan dengan tepat? Untuk menjawabnya, jangan lewatkan artikel kali ini yang berjudul "Dua Bahasa Saja Tidak Cukup" dan juga pojok bahasa yang memuat kolom berjudul "Tentang Penerjemah". Semoga dengan edisi ini, para Sahabat penulis dapat mengembangkan kemampuan menerjemahkannya, dan semakin tekun melayani di bidang literatur penerjemahan Kristen. Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "Persiapkan perangkat kerjamu, Tuhan akan menunjukkan pekerjaannya." -- Robert Browning ARTIKEL: DUA BAHASA SAJA TIDAK CUKUP Banyak orang mengira menguasai dua bahasa adalah cukup untuk menjadi penerjemah. Padahal kenyataannya tidak demikian. Untuk menjadi penerjemah, ada beberapa modal yang perlu dimiliki -- penguasaan dua bahasa hanyalah beberapa di antaranya. Penguasaan bahasa asing menjadi syarat utama menjadi penerjemah. Penguasaan ini bukan hanya berupa kemampuan untuk menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari saja. Seorang penerjemah juga harus menguasai aturan tata bahasa dan konvensi yang ada. Ini penting karena untuk memahami arti sebuah teks, tidak cukup hanya dengan mengetahui arti kata dalam teks tersebut. Penerjemah yang tidak menguasai tata bahasa dan konvensi bahasa asing yang menjadi bahasa sumber, biasanya menghasilkan terjemahan yang keliru, karena tanpa sengaja menghilangkan makna tertentu pada teks sumber atau menambah makna baru pada teks terjemahannya. Penguasaan bahasa sasaran, dalam hal ini biasanya bahasa Indonesia, merupakan hal yang penting. Penguasaan bahasa asing membuat penerjemah dapat memahami dan mengerti isi teks yang akan diterjemahkan. Namun, jika penerjemah tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, hasil terjemahannya akan sulit dibaca. Penggunaan kata yang salah eja atau penggunaan kata yang tidak baku, membuat pembaca tidak mampu menangkap makna pada teks terjemahan kita. Dengan hanya menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran seperti di atas, kita tidak serta-merta dapat menerjemahkan dengan baik. Penerjemahan tidak hanya sekadar menggantikan teks bahasa sumber menjadi teks bahasa sasaran. Proses penerjemahan seperti ini dapat kita lihat hasilnya pada penerjemahan mesin (machine translation) yang berbasis tata bahasa. Hasil penerjemahan mesin biasanya memiliki tingkat keterbacaan yang rendah dan sulit dipahami, karena hanya menukar kata dan kalimat dalam bahasa sumber dengan bahasa sasaran, tanpa memerhatikan konteks dan hanya mengandalkan makna kamus. Untuk menghasilkan terjemahan yang baik, seorang penerjemah setidaknya perlu memiliki dua modal lainnya, yaitu keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Modal pertama -- keterampilan membaca. Keterampilan membaca mencakup keterampilan untuk memahami teks secara keseluruhan, mengenali konteks, menangkap dengan baik makna yang tersurat maupun tersirat, mengenali gaya tulisan yang digunakan, dan sebagainya. Penerjemah yang tidak memiliki keterampilan membaca, meskipun sangat menguasai bahasa sumber, akan menghasilkan terjemahan yang maknanya secara kontekstual tidak tepat. Penerjemah seperti ini, biasanya terpaku pada setiap kata dan kalimat teks yang diterjemahkannya, sehingga tidak mampu memahami teks secara keseluruhan. Hasil terjemahan akan menjadi terbata-bata, sulit dipahami secara utuh. Modal kedua -- keterampilan menulis. Terjemahan karena bentuknya yang berupa tulisan, menuntut penerjemahnya untuk menguasai keterampilan menulis. Orang yang menguasai dua bahasa dan memiliki keterampilan membaca tapi tidak memiliki keterampilan menulis, akan menghasilkan terjemahan yang kaku dan literal. Hasil terjemahan biasanya mudah dikenali sebagai teks terjemahan. Meskipun secara tata bahasa tidak ada yang salah, namun terjemahan yang dihasilkan biasanya memiliki unsur-unsur bahasa asing yang kental. Sebaliknya, penerjemah yang memiliki keterampilan menulis, biasanya mampu menghasilkan terjemahan yang luwes dan mudah dibaca. Keluwesan ini sebenarnya tercipta dari kemampuan penerjemah memanfaatkan berbagai teknik penulisan di dalam terjemahannya. Kedua keterampilan di atas, ditambah dengan penguasaan dua bahasa, dapat menjadi modal seorang penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang baik -- penguasaan dua bahasa saja tidaklah cukup. Untuk menghasilkan terjemahan yang baik, seorang penerjemah hendaknya tidak hanya mempelajari bahasa sumber dan bahasa sasaran yang menjadi bahasa kerjanya, tapi juga mempelajari keterampilan membaca dan menulis. Pelatihan dan lokakarya kedua keterampilan tersebut, dapat menjadi upaya penerjemah untuk meningkatkan keterampilannya dalam menerjemahkan. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Bahtera Alamat URL: http://blog.bahtera.org/2010/02/dua-bahasa-saja-tak-cukup/ Penulis: Ade Indarta Tanggal akses: 25 April 2011 POJOK BAHASA: TENTANG PENERJEMAH Alfons Taryadi, dalam sebuah rubrik (Jumat, 16 Desember 2005) mengeluh tentang terjemahan yang ngawur. Ia memberikan contoh terjemahan yang dapat dikategorikan sebagai terjemahan yang salah, yang tidak mengalihkan pesan dengan betul. Apa yang sedang terjadi di bidang penerjemahan di negeri kita? Di kalangan kita, masih terjadi ketidakpahaman akan kemampuan dan peran penerjemah, yakni mengalihkan pesan teks suatu bahasa ke bahasa yang lain, dan berperan sebagai jembatan menghubungkan dua pihak. Posisinya sangat strategis. Kesalahan penerjemahan memberikan dampak yang buruk pada pemahaman pembaca. Fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu menerjemahkan. Penguasaan bahasa sasaran sangat penting. Kemampuan menerjemahkan bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan pengetahuan atau inteligensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retoris). Seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum, teknik, atau kedokteran, harus menguasai substansi yang diterjemahkannya. Sering terjadi, seorang penerjemah "dipaksa" menerjemahkan teks dengan substansi apa saja. Penerjemah adalah profesi. Mempekerjakan penerjemah harus berdasarkan kriteria profesional dan tidak sekadar karena kenal atau karena kata orang saja. Bila kita belum mengenal kemampuannya, ia harus diminta menerjemahkan satu halaman untuk kita nilai kualitasnya. Editor penerbit masih banyak yang tidak memerhatikan kualitas terjemahan, tetapi semata-mata memeriksa bahasa Indonesianya agar layak terbit dan laku jual. Dalam penerbitan terjemahan, diperlukan pemeriksa kualitas terjemahan (disebut reviser) yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran, untuk mengurangi risiko kesalahan. Penerjemahan film juga masih memprihatinkan, karena penerjemahnya diambil tanpa menggunakan kriteria profesional. Intinya, kualitas terjemahan harus diutamakan. Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris. Peneliti dan kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan. Pendidikan sarjana, magister, ataupun doktor di bidang penerjemahan, memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk menghasilkan penerjemah. Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk. Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini? 1. Etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk menjaga kualitas. 2. Peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan memperluas, serta menyegarkan pengetahuannya. 3. Perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan program pelatihan, di samping program pendidikan formal di jenjang pascasarjana (spesialis atau magister). 4. HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan nonformal untuk meningkatkan kualitas. 5. Peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai pendorong peningkatan kualitas. 6. Pengembangan karier penerjemah harus mendapat dorongan dari masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan fungsional agar kariernya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh Sekretariat Negara dan Kementerian PAN). 7. Perlu ada standarisasi kualitas melalui ujian kualifikasi (sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia). Itulah sketsa profesi penerjemah di Indonesia. Semoga penerjemahan yang "ngawur" seperti dikeluhkan Alfons Taryadi, bisa berkurang jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: 111 Kolom Bahasa Kompas Penulis: Benny H. Hoed Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006 Halaman: 271 -- 273 STOP PRESS: PEMBUKAAN KELAS PESTA GURU SEKOLAH MINGGU (GSM) PERIODE SEPTEMBER/OKTOBER 2011 Anda guru sekolah minggu? Anda terbeban dalam pelayanan anak? Anda ingin terus diperlengkapi dalam melayani di sekolah minggu? Anda rindu mengembangkan talenta Anda dalam bidang pelayanan anak untuk kemuliaan nama Tuhan? Yayasan Lembaga SABDA kembali membuka kelas Guru Sekolah Minggu (GSM) periode September/Oktober 2011 melalui program Pendidikan Studi Teologi Awam (PESTA) bagi Anda yang terlibat dan terbeban dalam pelayanan anak. Diskusi akan dilakukan melalui milis diskusi (email) dan akan berlangsung mulai tanggal 1 September -- 3 Oktober 2011. Daftarkanlah diri Anda sekarang juga ke Admin PESTA di < kusuma(at)in-christ.net >. Pendaftaran ditutup pada tanggal 30 Juli 2011. Jangan lewatkan kesempatan ini karena kelas terbatas hanya untuk 20 orang peserta saja. Tidak dipungut biaya! Untuk melihat materi yang akan dipelajari dalam kelas PESTA GSM ini, silakan mengakses URL berikut ini. ==> http://pesta.sabda.org/gsm_sil Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |