Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/84 |
|
e-Penulis edisi 84 (5-5-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 084/Mei/2011 Tema: Kreatif Menulis Drama (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: PESONA DRAMA ARTIKEL: MENULIS PENULISAN LAKON POJOK BAHASA: RAGAM TUTUR DAN KESANTUNAN STOP PRESS: I-HUMOR MOBILE DARI REDAKSI: PESONA DRAMA Drama merupakan salah satu seni yang dapat menjembatani pemikiran manusia ke dalam hati manusia lainnya. Dia dapat menggelitik, menegur, bahkan menggugah orang-orang yang menyaksikannya. Seperti karya seni lainnya, drama adalah cerminan sosial, agar masyarakat dapat menangkap nilai morilnya dan meningkatkan keharmonisan sosial. Umat Kristen juga bisa memanfaatkan media seni ini, untuk membagikan nilai-nilai Kristen yang baik. Di sekolah minggu, ada drama-drama segar yang bisa menarik perhatian para siswa. Di persekutuan dan acara-acara gereja, tidak jarang seni drama digunakan untuk menyentuh hati jemaat. Bagaimana proses kreatif menciptakan pesona drama ini? Simak artikel "Menulis Naskah Lakon" oleh penulis drama tersohor, Putu Wijaya, pada edisi kali ini. Jangan juga lewatkan Pojok Bahasa yang mengupas ragam tutur masyarakat. Selamat membaca! Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "Penulis mengembangkan kesadaran sosial yang lebih tajam dari pada masyarakat umumnya, dengan membiarkan pikirannya menjelajahi banyak saluran." -- Larston D. Farrar ARTIKEL: MENULIS NASKAH LAKON Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon adalah hasil perenungan dan pemikiran. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut "inspirasi". Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya, banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal, semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan, mungkin hasil diskusi dan rembukan-rembukan -- dengan diri sendiri, orang lain, atau pemahaman kebenaran yang lain. Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan dan mendeklarasikannya agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon. Jadi, gagasan walaupun merupakan cikal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu, diperlukan keterampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan. Tema adalah wilayah yang menunjuk sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi "flatform" dari naskah itu, kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita. Cerita tidak selamanya berjalan lurus dan runtun, melainkan dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur, membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur adalah pemikiran, sikap, dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru. Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik, dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis harus memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan, rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah pernyataan-pernyataan tajam yang menggugah, yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit. Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, ideologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral. Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi -- bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu. Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak, sehingga durasinya bisa sampai beberapa jam. Atau cukup satu babak -- sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya. Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu, ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat. Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon diperlukan "gagasan-gagasan". Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan "gigitan". Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, dan jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekadar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan, pesan yang klise dan sangat sederhana tentang pengorbanan misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan. Naskah yang menggigit, baik isi maupun kemasannya disebut "berdarah" atau "memiliki daya tendang". Artinya lakon itu tidak hanya sekadar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu, atau baru. Pengemasan yang pas, tajam, atau unik membuat naskah itu memiliki nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa menjadi luar biasa. Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre misalnya, bukan hanya masalah percintaan, tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan. Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi, dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur, untuk beringas dan aktif kembali menegakkan keadilan. Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekadar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau menciprat. Sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain -- dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada "Waiting For Godot" -- karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakikatnya semua manusia adalah menunggu. Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu, sebelum menulis lakon seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya, pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan, karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama "kloset". Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empati. Empati akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik, dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial. Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya. Sebuah naskah lakon yang kay,a memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain, serta penata artistik mengembangkan lakon itu, sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton, sehingga menciptakan pengalaman spiritual. Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi interpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru. Artikel selengkapnya dapat dibaca di: < http://aamovi.wordpress.com/2009/03/31/ kiat-menulis-naskah-drama-putu-wijaya/ > Diambil dari: Nama situs: Wordpress Alamat URL: http://aamovi.wordpress.com/2009/03/31/ kiat-menulis-naskah-drama-putu-wijaya/ Judul asli artikel: Kiat Penulisan Lakon Penulis: Putu Wijaya Tanggal akses: 15 Desember 2010 POJOK BAHASA: RAGAM TUTUR DAN KESANTUNAN Seorang mahasiswa di Semarang yang tidak mau disebut namanya, menanyakan bedanya rasa hormat dan rasa santun. Tingkat tutur atau "speech level" dalam masyarakat tutur Jawa, digunakan untuk menyampaikan rasa hormat ataukah rasa santun? Hadirnya bahasa ragam tutur yang sepertinya sekarang lebih banyak berkembang dan lebih banyak diminati daripada bahasa baku, harus dipahami sebagai fenomena bahasa yang bagaimana? Bagaimana gambaran perkembangan bahasa di masa mendatang, jika dikaitkan dengan fenomena bahasa itu? Mohon penjelasan! Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa salah satu makna dari kata "hormat" adalah takzim, sopan. Demikian pula kata "sopan", salah satu maknanya adalah hormat, takzim. Kata santun, memiliki makna sopan dan halus budi bahasa atau tingkah lakunya. Sementara kata "takzim", memiliki makna amat hormat dan sopan. Dengan mencermati makna-makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam sumber tersebut, tidak terlalu dibedakan pengertian hormat dan santun. Dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, memang tidak terlalu dipersoalkan perbedaan antara rasa hormat dan rasa santun. Orang akan dikatakan sopan atau santun, jika berperilaku hormat dan berbudi bahasa baik pada orang lain. Demikian pula orang akan dikatakan hormat pada orang lain, apabila orang itu santun dalam berbudi bahasa dan berperilaku. Contohnya, orang akan menggunakan bentuk-bentuk sapaan hormat (honorifics) Bapak, Ibu, Mas, Kangmas, Mbakyu, Eyang untuk menyebut pribadi seseorang dengan hormat dan santun. Menyebut pribadi seseorang dengan namanya langsung, terlebih-lebih kepada orang yang belum terlalu dekat hubungan personalnya, atau kepada orang yang harus dihormati karena superioritas dan senioritasnya, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Di dalam khasanah linguistik, terdapat beberapa pakar yang tidak setuju dengan penyamaan rasa hormat dan santun itu. Mereka menyebut sopan santun dalam contoh tadi sebagai kesantunan sosiolinguistik (sociolinguistic politeness). Sementara itu, masih ada jenis sopan santun dalam kerangka pragmatik (pragmatic politeness) yang penentuannya didasarkan pada maksim-maksim kesantunan. Dengan begitu, rasa hormat itu tidak serta-merta bisa disamakan dengan rasa santun. Lalu, tingkat tutur atau "speech level" itu digunakan untuk menyampaikan rasa hormat ataukah rasa santun? Jawabnya, tentu saja tergantung dari kerangka teori dan sudut pandangnya. Kalau digunakan dua macam kerangka yang disebutkan pertama, tingkat tutur digunakan untuk menyampaikan rasa hormat. Tetapi, hal itu sekaligus digunakan untuk menyampaikan rasa santun. Lain halnya jika digunakan kerangka teori yang disebutkan terakhir, tingkat tutur digunakan untuk menyampaikan rasa hormat, bukan rasa santun. Tingkat "ngoko" dipakai oleh orang yang merasa bahwa mitra tuturnya adalah orang yang tidak perlu dihormati. Tingkatan ini digunakan oleh orang yang memiliki superioritas atau senioritas kepada orang yang lebih rendah. Misalnya, kepada pembantu rumah tangga, anak sendiri, adik, kawan akrab. Tingkat "krama" digunakan oleh seseorang yang menghormati mitra tuturnya. Penghormatan ini dilakukan karena mitra tutur memiliki superioritas dan senioritas yang lebih tinggi dari dirinya. Misal kepada orang tua, mertua, pimpinan, orang yang masih belum jelas hubungan persahabatannya. Jadi jelas bahwa tingkatan-tingkatan dalam bertutur itu digunakan untuk menghormati orang lain secara lebih proporsional. Pengamatan Saudara barangkali memang benar. Pemakaian ragam tutur saat ini cenderung menggeser pemakaian bahasa formal atau baku. Ragam tutur yang bercorak informal menjadi kian luas pemakaiannya karena rendah kadar keketatannya. Ragam tutur memiliki banyak model yang lebih santai dari bahasa ragam baku. Banyak kata yang dilafalkan tidak penuh, tetapi hanya sebagian saja, susunan kalimatnya tidak ketat dan terpancang pada kaidah yang berlaku, dll. Kendatipun begitu, kelonggaran pemakaian ragam tutur tersebut menuntut kepekaan yang lebih tinggi dari penuturnya. Maksudnya, kepekaan terhadap konteks situasi pemakaiannya. Semakin penutur merasa peka terhadap kesadaran konteks situasinya, semakin tinggi kesadaran terhadap aturan-aturan kesantunan berbahasanya. Orang secara intuitif dipaksa peka menggunakan ragam tuturnya sesuai perhitungan situasi tuturnya. Dengan perkataan lain, kesantunan berbahasa tersebut sesungguhnya justru ditopang oleh pemakaian ragam tutur yang cermat dan bijaksana. Berkaitan dengan itu, kita tidak perlu terlalu risau dengan masa depan bahasa Indonesia, kendatipun ragam tutur digunakan dengan semakin longgar di dalam masyarakat bahasa kita. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: Bulir-Bulir Masalah Judul asli artikel: Ihwal Ragam Tutur dan Kesantunan Penulis: Dr. R.Kunjana Rahardi, M.Hum Penerbit: Penerbit Dioma, Malang, 2007 Halaman: 111 -- 114 STOP PRESS: I-HUMOR MOBILE Kabar gembira! Saat ini Anda dapat mengakses humor-humor bersih, membangun, yang dilengkapi dengan ayat Alkitab melalui HP Anda. Yayasan Lembaga SABDA telah meluncurkan situs khusus yang memudahkan para pengguna HP untuk mengakses situs i-Humor. Anda dapat mengakses setiap humor yang ada dalam situs i-Humor dengan lebih cepat dan mudah melalui HP Anda. Tidak hanya humor, ada pula artikel-artikel seputar humor yang dapat menambah wawasan dan memberkati Anda. Tunggu apa lagi! Segera buka situs i-Humor Mobile di HP Anda, dan dapatkan berkat setiap hari melalui humor-humor yang tersedia. ==> < http://m.humor.sabda.org/ > Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |