Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/82

e-Penulis edisi 82 (7-4-2011)

Menulis Humor (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                        Edisi 082/April/2011
                       Tema: Menulis Humor (I)

DAFTAR ISI:
DARI REDAKSI: DI BALIK HUMOR
ARTIKEL: MENULIS KISAH HUMOR
POJOK BAHASA: PAKE `KES` APA `KAD`?

                      DARI REDAKSI: DI BALIK HUMOR

Siapa yang tidak menyukai humor? Hampir semua orang menggemari humor,
karena humor cukup menyenangkan dan menggelitik hati -- renyah dan
ringan, para pendengar atau pembacanya. Selain sebagai hiburan, humor
juga di gunakan di bidang medis, sosiologis, komunikasi, pelayanan,
dan sebagainya. Banyak penelitian percaya, humor dapat menangkal
depresi, memelihara kebudayaan antar generasi, bahkan mempererat
hubungan antar manusia.

Apakah Sahabat Penulis ingin meramu humor yang bisa memberkati orang
lain? Jika ya, jangan sampai Sahabat Penulis lewatkan artikel yang
telah kami persiapkan, yang mengupas cara menulis humor yang
mengandung nilai moral dan kesantunan. Simak juga "Pojok Bahasa" yang
membahas lucunya bahasa "gado-gado" dalam artikel, "Pake `Kes` Apa
`Kad`?" Semoga dengan menulis, Sahabat bisa terus menjadi berkat!
Amin.

Pimpinan Redaksi e-Penulis,
Truly Almendo Pasaribu
< uly(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >

"We don`t stop laughing because we grow old. We grow old because we
stop laughing." -- Bernie Allen

                    ARTIKEL: MENULIS KISAH HUMOR

Salah satu seni panggung yang akhir-akhir ini mendapat sambutan luar
biasa dari penonton adalah lawak. Seni mengocok perut yang dulu
umumnya hanya berkelas RT, seni pinggiran, dan dijadikan sebagai
pelengkap atau tambahan manakala acara utama dianggap kurang, sekarang
justru menjadi "primadona" seni pertunjukan. Sekarang, lawak tidak
lagi berstatus sebagai seni panggung kelas dua, melainkan sudah
diperhitungkan sebagai seni panggung yang mandiri-utuh -- bukan
sekadar sebagai pelengkap atau imbuhan. Bahkan, lawak sudah menjadi
seni pertunjukan yang bergengsi, yang setara dengan seni pertunjukan
lain dan mampu menambah deretan orang sukses.

Fenomena ini tak ayal mengundang sederet pertanyaan besar: mengapa dan
bagaimana seni yang tidak berbasis akademik itu bisa mendapat
apresiasi tinggi? Jawabnya barangkali berakar pada kodrat manusia
sebagai Homo Luden (makhluk bermain). Pada dasarnya, setiap orang
tidak ingin hidupnya terbebani oleh persoalan-persoalan hidup yang
berat dan nyaris tak tertanggungkan. Setiap orang ingin hidup ringan,
riang, gembira, dan bahagia. Itulah sebabnya manakala terjadi hal-hal
yang menyesakkan, mengecewakan, merisaukan, menakutkan, dan
sebagainya, orang berusaha mencari obat penawar. Salah satu obat yang
konon sangat mujarab untuk mengobati "penyakit" ini adalah canda --
tawa -- lelucon -- humor. Akan hal ini agaknya Sang Khalik sungguh
bijaksana.

Fakta ini juga disadari oleh para pengelola media cetak. Itulah
sebabnya mengapa dalam setiap edisi yang diterbitkan oleh media cetak,
seperti koran, majalah, atau tabloid, tidak lupa menyediakan rubrik
pengocok perut atau pengundang senyum ini. Tujuannya sama dengan aksi
panggung para pelawak yaitu agar pembaca memunyai kesempatan untuk
melepas ketegangan, serta memperoleh rasa bahagia. Akibatnya, orang
merasa mendapatkan kesegaran hidup. Akibat lebih lanjut, orang pun
bersedia menjadi pembaca setia alias pelanggan.

Kalau Anda merasa memiliki bakat atau talenta berhumor-ria lewat
tulisan, apalagi ada minat di kemudian hari untuk terjun ke media
elektronik menjadi penulis skenario spot humor atau menulis skenario
sinetron komedi, misalnya, mengapa tidak memulai menulis kisah humor
di media cetak? Mulailah dan jangan ditunda lagi. Sebab, tidak menutup
kemungkinan langkah "kecil tidak berarti" ini, bisa mengantar Anda ke
status profesional dan jenjang hidup yang lebih tinggi.

Habitat Kisah Humor

Seperti halnya seorang penulis artikel akan mempertimbangkan lebih
dahulu ke mana artikelnya akan dikirim, demikian pula hendaknya
penulis humor. Penulis humor hendaknya mempertimbangkan sasaran
pembacanya. Sasaran ini akan sangat menentukan latar (setting) humor
yang akan ditulisnya. Misalnya, humor yang menampilkan adegan atau
pembicaraan di ranjang yang berbau seks, tentu tidak cocok dimuat di
majalah remaja seperti majalah Hai atau Kawanku. Humor semacam ini
lebih sesuai untuk tabloid Nova atau Citra. Sementara itu, untuk
majalah Tempo yang sebagian besar pembacanya kaum intelektual, humor
dengan latar (setting) dunia politik yang mengetengahkan tokoh-tokoh
profesional jelas lebih mengena. Sedangkan surat kabar harian, yang
memiliki pembaca sangat beragam, humor yang dimuat latarnya (setting)
bisa lebih luas dan bebas.

Beberapa Catatan yang Patut Diperhatikan

Sejauh yang penulis ketahui, tidak ada atau belum pernah ada teori
khusus bagaimana cara menulis humor. Kalau berita dan feature, ada
sekian banyak teori yang lahir dari pakar dan praktisi jurnalistik,
tetapi tidak demikian halnya dengan humor. Tulisan humor seakan tak
tersentuh oleh kaidah-kaidah ilmiah-akademik. Kisah humor lahir secara
alami. Tiap penulis humor, memunyai kebebasan yang seluas-luasnya
untuk menentukan atau menggunakan model atau gaya tulisan seperti apa
yang akan digunakan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan penulis humor
menciptakan model atau gaya tulisannya sendiri.

Karena tidak tersedia teori yang bisa digunakan sebagai acuan bagi
penulis humor, terlebih penulis pemula, catatan-catatan atau
saran-saran berikut ini bermanfaat untuk disimak:

1. Bacalah Sebanyak Mungkin.

Bacalah sebanyak mungkin cerita, dongeng, atau kisah-kisah rakyat baik
komedi maupun tragedi, terlebih yang menampilkan tokoh-tokoh lucu
seperti: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, Cangik, Limbuk,
Joko Bodho, Abunawas, Putri Duyung, Pinokio, dan sebagainya. Penulis
humor bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi banyak sisi dari
tokoh-tokoh ini. Misalnya, dari sisi anatomi tubuh: cebol, pendek,
jangkung, gendut, tambun, gembrot, dan lain-lain. Dari sisi cara
berbicara atau omongannya: ceplas-ceplos, asal kena, tidak sopan,
menghina, mengejek, dan lain-lain. Atau dari sisi sikap: jujur, polos,
naif, sederhana, tidak dibuat-buat, apa adanya, dan lain-lain.
Sisi-sisi ini bila dieksplorasi dengan baik, benar, dan tepat, akan
menjadi sumber yang sangat kaya sebagai bahan kritikan yang menyengat,
namun tetap enak dibaca.

2. Mengamati Situasi Hidup.

Amati situasi hidup keseharian para tukang becak, buruh pasar, bakul,
pedagang asongan, anggota legislatif, seniman sungguhan dan seniman
jalanan, dan sebagainya. Nongkronglah di warung pinggir jalan,
duduklah santai di stasiun kereta api, berbaurlah dengan orang yang
berlalu-lalang di terminal, dan sempatkan bersantai-ria di mal atau
toserba. Baca situasinya: dengarkan ocehan, obrolan, atau gerutuan
mereka, kemudian serap dan endapkan dalam nurani-humor. Kalau kita
jeli, semua ini akan menjadi bahan yang amat kaya untuk dieksplorasi
menjadi lelucon, banyolan, atau canda-ria yang segar dan orisinal.
Untuk mengasah nurani-humor, jangan lupa untuk senantiasa menyempatkan
diri menonton pentas lawak atau dagelan. Pentas Butet Kertarejasa
sangat sayang kalau dilewatkan, sebab lawakan-lawakan yang ditampilkan
umumnya bukan saja baru, tetapi juga cerdas dan biasanya berupa
kritik-kritik sosial yang ditujukan kepada para pejabat pemerintahan.

3. Ada Nilai Moral.

Orang Jawa memunyai keyakinan bahwa pertunjukan wayang yang dimainkan
oleh ki dalang, bukan sekadar tontonan melainkan juga tuntunan.
Maksudnya di dalam tontonan itu, baik dari lakon (tema cerita) maupun
dalam antawacana (ucapan-ucapan ki dalang melalui tokoh-tokoh wayang
yang dimainkan), terlebih dalam Goro-goro (adegan humor para
punakawan), terkandung ajaran yang bernilai moral tinggi, mengandung
tuntunan yang layak dianut orang. Sambil bercanda lewat mulut-mulut
para punakawan, ki dalang dengan lincah menyampaikan nasihat, usul,
atau kritik kepada berbagai pihak, biasanya kepada pemimpin, pemuka
masyarakat, atau tokoh-tokoh. Demikian pula hendaknya humor. Idealnya,
humor tidak sekadar membuat orang tersenyum atau tertawa, melainkan
orang (pembaca) bisa mendapatkan nilai-nilai yang oleh penulis humor
disampaikan secara bercanda, dengan guyon.

4. Menulis Kisah Humor yang Santun.

Selama ini sebagian besar kisah humor mengeksplorasi dan
mengeksploitasi unsur seks. Humor yang berbau seks memiliki cita rasa
humor yang rendah. Akibatnya humor yang dihasilkan menjadi sangat
kasar dan vulgar. Humor demikian tidak memicu kelenjar yang
menghasilkan enzim endorphin bekerja, melainkan justru memicu libido.
Kalau hal ini yang terjadi, jelas itu bukan humor melainkan kisah
porno (meskipun pembaca bisa tertawa atau tersenyum). Maka, penulis
humor pemula, kalau tidak ada jaminan dia memiliki cita rasa seks yang
tinggi-halus, seyogianya menghindarkan diri dari hasrat untuk menulis
humor jenis ini. Mulai dan biasakan menulis humor yang santun. Banyak
humor yang bisa Anda buat dengan mengeksplorasi hubungan keluarga,
hubungan dalam sekolah atau kampus, hubungan polisi dengan pengguna
jalan, sopir-kernet, kondektur-penumpang, tukang becak, kusir delman,
pedagang kaki lima, dan sebagainya. Unsur-unsur ini bisa dieksplorasi
untuk menghasilkan produk tawa yang bermutu tinggi.

Efek humor yang pendek jangan diremehkan, karena efeknya cukup besar
dan signifikan, yakni membuat orang bisa tersenyum atau tertawa. Untuk
zaman yang semakin mahal senyum, bukankah hal ini merupakan sumbangan
besar dan mulia? Karenanya kepada para penulis kisah humor disarankan
jangan lupa mencantumkan nama pada karyanya, sebab apa yang mereka
perbuat tidak kalah mulianya dengan tulisan atau perbuatan besar-mulia
yang lain. Tidak perlu merasa malu. Siapa tahu tulisan-tulisan kecil
itu, bila dihimpun dan diedit oleh orang yang memiliki rasa humor
tingkat tinggi, sehingga bisa menjadi buku yang siap melambungkan nama
penulisnya?

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Menulis di Media Massa, GAMPANG!!
Penulis: St. S. Tartono
Penerbit: Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta 2005
Halaman: 119 -- 126

                 POJOK BAHASA: PAKE `KES` APA `KAD`?

"Bayarnya pake `kes` apa `kad`?" tanya pelayan hotel di Yogyakarta.
Saya kebingungan. "Kad, Visa-kad?" Masih kebingungan. Istri saya yang
arif menengahi, "Pakai kartu, Mbak." Akhirnya saya menangkap
maksudnya: Bayarnya pakai tunai (cash) atau kartu (card)?

Tidak lama setelah kejadian memalukan itu, kami diberi "voucher" untuk
menikmati "welcome drink" di dekat "pool". Dan, tambah pelayan tadi
itu, "Kamar kita ada `river view`nya, lo." Ia pun menjelaskan
cara-cara "check-out" nanti dan sekalian minta melihat "identity
card" saya.

Lain hari lain cerita. Istri saya mau mencuci muka di salon
kecantikan. Eh, salah: istri mau "facial" di "beauty" salon. Di
sampingnya ada yang sedang "treatment", entah itu apa. Saya sendiri
tidak ikut karena sibuk dengan buku "Islam Liberal", Zoly Qodir:
"Gerakan `civil society` seakan-akan melakukan `take over` karena
memang negara benar-benar tidak bisa lagi menjadi `public service`",
tulisnya (hlm 16). Aduh, pusing lagi. Meski begitu, saya tidak putus
asa dan lantas diberi tahu bahwa "Islam [...] harus lebih mengutamakan
`reason`, ketimbang `feeling` dan `fear`" (hlm 33). Wah.

Minggu esoknya kami "rental VCD" dan belanja di "shopping centre".
Adapun undangan pergi ke Jawa Timur dalam rangka "refreshing". Di
Blora ada "grand opening" di swalayan baru.

Saya benar-benar tidak berminat dan berniat menulis artikel ini
sebelum pergi ke Indonesia beberapa bulan yang lalu. Saya sudah pernah
menyinggung penggunaan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari di
Indonesia dalam artikel-artikel lain, dan sudah tidak tertarik
membahas masalah ini lagi. Hanya saja, saya cukup terkejut melihat
bagaimana beberapa kosakata Inggris, dibiarkan merambat dengan liarnya
di tengah-tengah kosakata Indonesia, dan menyadari bahwa penggunaan
bahasa Inggris selektif ini sudah meluas secara bermakna dalam waktu
singkat satu tahun terakhir.

Sekarang ada-ada saja pembaca, termasuk para "pakar" yang kebakaran
jenggot: "Emangnya kenapa kalo kita-kita make `English`? Kan sudah
mengindonesia, `right`?" Pertanyaan serupa seolah-olah dijawab oleh
dirinya sendiri.

Ada beberapa hal tidak mengenakkan yang disebabkan penggunaan kosakata
Inggris dalam bahasa Indonesia tersebut. Pertama, bisa terjadi
kesalahpahaman yang dikarenakan logat yang kurang jelas. Hasilnya
dapat dilihat di atas (kes apa kad). Kedua, terjadi penggunaan yang
secara tata bahasa tidak betul, sebab tata bahasa Indonesia dan tata
bahasa Inggris tidak bisa dicampur begitu saja. Perhatikan misalnya
kalimat "Dia mau `rental VCD`" yang dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda. Apakah maksudnya "Dia mau menyewa VCD"? Atau "Dia mau
membuka tempat penyewaan VCD"? Atau, mungkin "Dia mau menyewakan
VCD-nya"? Tidak ada yang tahu sebab kata rental sudah terlepas dari
arti bentuk aslinya.

Ketiga, kita tidak bisa yakin semua orang dari semua lapisan
masyarakat dapat mengerti kosakata Inggris yang kita sendiri sudah
hafal. Dengan demikian, kita tidak bisa yakin pelayan-pelayan di
warung Padang yang biasa kita singgahi mengerti kalau kita mau "order"
untuk "take away". Keempat, dengan pemakaian beberapa kosakata Inggris
terpilih, bisa dikatakan bahasa Indonesia telah dicemari dan dijajah
oleh bahasa lain. Sejujurnya, ini sama sekali tidak perlu, sebab
bahasa Indonesia sendiri mengenal kosakata lain yang bisa dipakai.
Mengapa tidak bisa pakai yang berikut ini: tunai, kartu, minuman
selamat datang, pemandangan sungai, pelunasan penginapan, kartu
identitas, masyarakat madani, pengambilalihan, pelayanan rakyat, akal,
perasaan, ketakutan, pusat perbelanjaan, dan seterusnya?

Mengapa beberapa kosakata Inggris begitu digemari di Nusantara ini?
Saya tidak tahu dengan pasti. Tapi sepertinya ada hubungannya dengan
citra diri sebagian masyarakat, yang ingin menampilkan diri sebagai
insan terdidik serta serba "modern". Ironisnya, justru pendidikanlah
yang diharapkan bisa mengubah perkembangan muram ini.

Diambil dari:
Judul buku: 111 Kolom Bahasa Kompas
Judul artikel: Pake Kes apa Kad?
Penulis: Andre Moller
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006
Halaman: 166-168

Kontak: < penulis(at)sabda.org >
Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/penulis >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org