Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/76 |
|
e-Penulis edisi 76 (6-1-2011)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi: 076/Januari/2010 Tema: Seni Membuat Teras (Lead) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: TAHUN BARU, KARYA BARU? ARTIKEL: BERKARYA DENGAN TERAS POJOK BAHASA: VARIASI TINGGI-RENDAH BAHASA DARI REDAKSI: TAHUN BARU, KARYA BARU? Tahun Baru disambut sangat meriah oleh berbagai kalangan masyarakat di dunia. Ada yang merayakannya dengan pesta kembang api, acara tukar kado, dan Resolusi Tahun Baru. Resolusi Tahun Baru, salah satu tradisi yang sekarang mendunia, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Orang Kristen mula-mula menggunakan hari pertama pada tahun baru untuk merenung dan mengoreksi diri agar bisa menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai Penulis, kita juga bisa membuat Resolusi Tahun Baru untuk memicu diri berkarya. Apa resolusi Sahabat Penulis tahun 2011 ini? Berkarya lebih banyak? Atau membuat karya yang lebih menarik? Jika Anda berniat untuk memoles karya-karya Anda, jangan lewatkan artikel "Berkarya dengan Teras (Lead)". Simak juga kolom Pojok Bahasa "Tinggi-Rendah Bahasa" dan ulasan situs "Catatan Arie Saptaji". Puji Tuhan, publikasi e-Penulis tahun ini bisa hadir dua kali sebulan dengan tampilan baru yang lebih padat dan segar. Selamat membaca! Semoga antusiasme berkarya Sahabat selalu menyala! Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "Dalam membuka dan menutup tulisan, sebisa mungkin kita lakukan dengan cara dan teknik yang bervariasi, agar tidak terasa monoton dan menjenuhkan." M. Arief Hakim ARTIKEL: BERKARYA DENGAN TERAS (LEAD) Dirangkum oleh: Truly Almendo Pasaribu Sama seperti nelayan membutuhkan umpan yang baik untuk memancing ikan, demikian pula penulis memerlukan "umpan" yang ampuh untuk memikat pembaca. Salah satu cara untuk "memancing" mereka adalah dengan membuat teras (lead) yang bisa memicu rasa penasaran mereka. Dalam dunia jurnalistik, teras hampir selalu berada di bagian awal sebuah artikel. Teras diperlukan dalam sebuah artikel karena biasanya dari teraslah pembaca mempertimbangkan untuk membaca seluruh artikel atau mengakhirinya. Teras memunyai banyak fungsi. Beberapa penulis membuat teras yang memaparkan inti tulisan mereka secara ringkas. Ada juga penulis yang memakai teras untuk menyentak pembaca, menggelitik rasa ingin tahu pembaca, atau mengaduk imajinasi pembaca. Teras seperti apa yang Anda inginkan untuk memoles tulisan Anda? 1. Teras Narasi Model teras ini bertujuan menarik orang seolah-olah masuk ke dalam cerita. Caranya dengan bertutur bak seorang narator yang menciptakan satu suasana dan melibatkan pembaca di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Teras ini ampuh untuk menggugah emosi pembaca seperti dalam film yang baik. Teras semacam ini sangat efektif untuk cerita petualangan. Misalkan seorang wartawan yang melaporkan suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina yang lagi dilanda perang saudara. Contoh: Kami makan anggur kematian, dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik seorang muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Serbia. Inilah senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur itu. (TEMPO, 27 Maret 1993, "Potret Berdarah dari Dalam"). 2. Teras Pertanyaan Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah keinginan untuk mengetahui segala sesuatu dengan bertanya. Inilah yang membuat teras pertanyaan ini menarik. Teras pertanyaan biasanya bernada skeptis, mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang telah diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Teras ini merangsang keingintahuan pembaca dengan menyodorkan pertanyaan kreatif, menggelitik, merangsang rasa ingin tahu pembaca. Contoh: Benarkah krisis betul-betul mendera segala lapisan masyarakat? Indonesia disebut mengalami krisis namun mobil-mobil keluaran terbaru selalu laris manis. 3. Teras Deskriptif Teras deskriptif biasanya menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat kejadian. Model ini menggambarkan sebuah kejadian sedemikian rupa dan detail, sehingga pembaca merasa berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Teras narasi meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan teras deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya. Contoh: Wajah Syaiful Rozi bin Kahar sama sekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, "Perompak yang Halus dan Ramah"). 4. Teras Perbandingan Model ini berbentuk perbandingan. Penulis membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Obyek perbandingan penulis bisa manusia, tempat, suasana hati, karakteristik dan seterusnya. Contoh: Sepuluh tahun lalu kota yang dikelilingi bukit-bukit dan seakan dipangku oleh sebuah gunung itu terasa sejuk. Udaranya segar sekali. Pohon-pohon besar, dan hutan lindung yang mengelilinginya membuat hujan sangat sering datang menyambangi. Kini, tatkala pabrik-pabrik merambah, tatkala alat-alat transportasi penduduk berseliweran memadati jalan-jalan kota yang dulu cukup lengang, cuaca di kota itu pun berubah total: panas menyengat, membuat gerah warganya. 5. Teras Ringkasan (5W + 1H) Teras ini serupa dengan berita yang biasanya memuat unsur 5W + 1H (who, what, when, where, why, how). Model teras ini termasuk model teras yang paling sering dipakai penulis artikel koran. Contoh: Tahapan ketiga Speedy Tour d`Indonesia 2010 (What) berlangsung kacau (How) setelah rombongan besar pembalap dan sejumlah ofisial, termasuk chief commissaire, tersesat (Why) di Jalan Utara Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah (Where), Selasa (26/10) (When). Akibatnya, balapan pun terpaksa harus di-restart (start ulang, Red). (Kompas, 27 Oktober 2010, "Balapan Kacau, Pembalap Salah Jalur") 6. Teras Kutipan Kutipan yang bermakna dan pendek bisa membuat teras menarik, terutama kutipan orang yang terkenal atau kata-kata bijak. Kutipan yang dipakai biasanya berupa pernyataan yang tidak lazim, memotivasi, kontroversial, atau mengundang tanya. Contoh: "Beri aku 10 pemuda, karena dengan mereka aku akan mengguncangkan dunia." Demikian penggalan pidato yang pernah dilontarkan oleh Soekarno untuk menggugah semangat pemuda-pemudi negeri ini sekaligus menunjukkan bagaimana pentingnya peran pemuda dalam mengubah peradaban dunia. 7. Teras Menuding Dalam model ini, penulis berkomunikasi langsung dengan pembaca. Ciri-ciri teras ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain. Keuntungannya jelas. Pembaca menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda dalam cerita itu. Contoh: Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".) 8. Teras Penggoda Teras penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita. Kalimat atau kata-kata dalam teras ini biasanya berupa teka-teki agar pembaca penasaran untuk terus membaca. Contoh: Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50. (TEMPO, 4 Januari 1992, "Angka Misterius Santa Cruz".) 9. Teras Stakato Teras yang baik bisa menciptakan "mood". Suasana dibuat seakan licin, halus sehingga enak untuk memasuki alinea berikut. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan menempatkan ungkapan ekspresi atau frasa pembuka yang terkesan menggantung, terputus atau belum selesai. Contoh: Minggu. Saat untuk membuat segalanya berhenti. 10. Teras Nyentrik Merasa tidak puas dengan teras yang "begitu-begitu" saja, ada penulis feature yang mencoba membuat teras yang, bukan saja tidak lazim, tetapi sungguh aneh. Tujuannya, apalagi kalau bukan memikat pembaca? Contoh: Hijau sayuran Putihlah susu Naik harga makanan Ke langit biru Reporter yang imajinatif -- meskipun tidak puitis -- bisa mencoba teras seperti ini pada saat menulis cerita tentang kenaikan harga. Teras ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku. Teras ini paling ekstrem dalam bertingkah. Akan tetapi, nada teras ini perlu dijaga sepanjang keseluruhan cerita. Model teras ini ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia kata-kata. Teras nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga bombastis. Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu. Teras nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Suara hewan, mesin, motor, angin, serta benda-benda bergerak lainnya yang bisa digarap menjadi pembuka artikel. Penulis bisa menggunakan suara-suara yang sudah lazim di telinga pembaca, atau sebaliknya justru yang sama sekali asing atau aneh. Contoh: "Tak dududuktak. Duk." (TEMPO, 5 Januari 1985, "Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.") 11. Teras Gabungan Di surat kabar sering ditemukan teras yang merupakan gabungan dari dua atau tiga teras, dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing teras. Teras ini dibuat untuk memperoleh efek ganda yang lebih dramatis. Teras kutipan sering digabungkan dengan teras deskriptif. Contoh: "Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang," kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei 1994, "Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun"). Dari sebelas model teras ini, apa yang paling cocok dengan gaya tulisan dan jenis tulisan Anda? Atau barangkali, Anda ingin bereksperimen membuat model teras sendiri. Kita memang memiliki cukup banyak pilihan teras, tetapi pilihan-pilihan ini tidak membatasi kita untuk berkreasi dan membuat model teras yang beda! Anda bisa mengerahkan kreativitas Anda untuk menciptakan jenis teras yang unik dan cocok untuk Anda. Dirangkum dari: 1. Tartono, St. S.. 2005. "Menulis di Media Massa Gampang!". Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 2. Fitriansyah, Febric. "Macam-macam Teras". Dalam http://jurnalisme- suratkabar.blogspot.com/2008/01/macam-macam-teras.html 3. Saefullah, Asep. "Beberapa Jenis teras/Teras Berita". Dalam http://asep.wordpress.com/2008/11/08/tips-menulis-beberapa-jenis- leadteras-berita/ POJOK BAHASA: VARIASI TINGGI-RENDAH BAHASA Sdr. Mantoro Putro, menanyakan parameter yang menentukan bahasa variasi rendah dan variasi tinggi. Pertama, perlu dijelaskan bahwa pertanyaan ini bertalian sangat erat dengan pemakaian bahasa dalam situasi diglosik. Masyarakat diglosik adalah masyarakat yang di dalamnya terdapat perbedaan fungsi dan peran bahasa sesuai konteks sosialnya. Lazimnya, dalam masyarakat diglosik terdapat pembedaan peran dan fungsi bahasa variasi tinggi dan rendah dari satu bahasa yang sama. Misalnya, dalam bahasa Jawa ada bahasa Jawa Krama dan Ngoko. Dalam bahasa kita, ada bahasa Indonesia baku dan tidak baku. Perbedaan fungsi dan peran bahasa seperti inilah yang merupakan ukuran terpenting di dalam masyarakat diglosik. Bahasa variasi tinggi hanya digunakan dalam situasi formal, sedangkan bahasa variasi rendah digunakan dalam situasi santai. Variasi bahasa tinggi-rendah hanya tepat digunakan apabila sesuai dengan peran dan fungsinya. Pemakaian yang tidak sesuai justru menyebabkan penutur dianggap orang yang tidak fasih berbahasa. Tidak jarang bahkan orang itu barangkali dianggap orang yang tidak mengerti tata cara berbahasa. Orang Jawa mengatakannya "ora bisa basa", artinya tidak dapat memakai bahasa sesuai konteks situasinya. Selain parameter peran dan fungsi, variasi bahasa itu juga ditentukan oleh cara pemerolehannya. Bahasa variasi tinggi hanya diperoleh lewat pembelajaran formal. Sementara bahasa variasi rendah cukup diperoleh dari lingkungan dan percakapan keseharian. Orang yang fasih menjadi pembawa acara lazimnya adalah orang yang benar-benar terpelajar. Artinya, proses pembelajaran bahasa secara formal, baik lewat bangku kuliah maupun lewat buku-buku referensi standar telah dia lakukan. Parameter prestise juga menjadi salah satu penentu hadirnya kedua variasi bahasa itu. Lazimnya, bahasa dalam variasi tinggi lebih berprestise daripada bahasa dalam variasi rendah. Di dalam masyarakat, mereka yang dapat berbahasa dalam variasi tinggi cenderung lebih dihormati, dipercaya, dan diberi kesempatan yang lebih utama. Misalnya dalam upacara pernikahan, mereka biasanya diminta menjadi pembawa acara, pemberi sambutan, pemberi nasihat, dll. Bahasa variasi tinggi lazimnya dibakukan. Standardisasi tersebut menentukan perkembangan lebih lanjut dari bahasa itu. Dengan standardisasi, pembelajaran cenderung mudah dilakukan. Kejelasan kaidah dan ketentuan pelafalan, struktur, leksikon, dll., akan mendukung kemudahan mempelajari bahasa. Bahasa dalam variasi rendah tidak dibakukan. Bahasa dalam variasi itu hanya dimungkinkan berkembang dalam lingkungannya, dan dipakai pada situasi pemakaian yang tertentu sifatnya. Sejumlah parameter penentu yang lain kiranya masih dapat ditemukan. Beberapa hal yang disebutkan di atas hanyalah parameter yang sifatnya sangat menonjol dan mendasar. Diringkas dari: Judul buku: Bulir-bulir Masalah Kebahasaindonesiaan Mutakhir Penulis: R. Kujana Rahardi Penerbit: Dioma, 2007 Halaman: 151 -- 154 Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Truly Almendo Pasaribu, Sri Setyawati (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |