Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/73 |
|
e-Penulis edisi 73 (3-11-2010)
|
|
______________________________________________________________________ e-Penulis (Menulis untuk Melayani) Edisi: 073/November/2010 HUT e-Penulis ______________________________________________________________________ DAFTAR ISI Editorial: Budaya Menulis Artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup Karya Sahabat: Tersesat dalam Kata-kata Puisi Sahabat: Hidupmu di Ujung Penamu Di dalam tulisan Coretan yang Bermakna Kata Sahabat Humor Bahasa: Pelajaran Bahasa Inggris ______________________________________________________________________ EDITORIAL BUDAYA MENULIS Di tengah banjirnya informasi di seantero dunia, banyak cendekiawan, mahasiswa, pelajar, bahkan redaktur Indonesia masih mengeluhkan sulitnya menulis. Kebanyakan menganggap diri tidak berbakat sehingga mundurlah niat menuangkan ide dan informasi ke dalam tulisan. Padahal seorang penulis tidak lahir dengan sendirinya, penulis adalah manusia biasa yang berjuang untuk menulis dari hari ke hari. Lantas setelah menempuh proses belajar dan berlatih barulah dia menjadi penulis yang tangguh dan berbakat. Enam tahun yang lalu, edisi perdana e-Penulis terbit untuk menjadi pegangan para Sahabat yang rindu belajar dan berlatih menulis. Setiap bulannya hingga hari ini e-Penulis mengajak Sahabat Penulis menyimak artikel-artikel seputar literatur Kristen dan keterampilan tulis-menulis. Tidak hanya itu, e-Penulis juga hadir dengan tip-tip, artikel kebahasaan, biografi tokoh penulis, dan ulasan situs kepenulisan. Publikasi e-Penulis rindu mendorong Sahabat untuk berbudaya menulis: berkarya untuk memberkati lewat tulisan. Di edisi khusus Ulang Tahun ini, e-Penulis hadir menyajikan artikel menarik mengenai "Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup". Kami juga mengajak Sahabat Penulis membaca sajian spesial berupa karya-karya Sahabat Penulis yang mengekspresikan kecintaannya terhadap seni tulisan melalui puisi dan cerpen. Tidak ketinggalan juga beberapa ucapan selamat ulang tahun dari pelanggan setia e-Penulis. Selamat membaca. Selamat menulis. Pimpinan Redaksi e-Penulis, Truly Almendo Pasaribu < uly(at)in-christ.net > http://pelitaku.sabda.org http://fb.sabda.org/penulis ______________________________________________________________________ Alasan utama untuk menulis ialah adanya kepuasan menyatakan diri. (Sloan Wilson) ______________________________________________________________________ ARTIKEL Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup Dua kalimat di atas seolah hanya permainan kata. Selintas keduanya bermakna sama dan mengarah pada satu kata yang oleh sebagian insan akademik sangat ditakuti: menulis! Di negeri ini, menulis memang masih menjadi momok. Beratus ribu, bahkan berjuta mahasiswa gagal menjadi sarjana hanya karena tidak bisa menulis. Deretan doktor dan profesor yang tidak terlalu signifikan antara jumlah dan perannya dalam membangun negeri ini, juga karena tidak bisa menulis. Tapi ironisnya, justru karena ketidakberdayaan orang-orang tersebut, biro skripsi-tesis-disertasi mendapat makan karena "menulis" untuk mereka. Menulis yang sudah terlanjur ditakuti oleh masyarakat awam -- bahkan sebagian insan akademik. Menulis dianggap hanya bersendikan bakat dan menepikan latihan. Menulis menjadi bagian yang dianggap sebagian orang saja yang mampu, karena merupakan bawaan, padahal menulis hanyalah perkakas; ia bisa tajam dan bisa pula tumpul. "Mengasah" memiliki makna lain "berlatih". Artinya, keterampilan menulis bisa semakin memesona karena senantiasa dilatih dan digeluti dalam proses. Sebaliknya, ia bisa menjadi buruk kualitasnya -- bahkan sama sekali tak bermakna -- karena tidak pernah dicoba apalagi dilatih. Hidup untuk Menulis Apabila konsekuensi menulis adalah pelatihan, kalimat "hidup untuk menulis" bermakna proses. Bagi seseorang yang memiliki motivasi "hidup untuk menulis", kalimat ini dapat dimaknai bahwa segenap potensi dan sarana-prasarana yang dimiliki diarahkan bagi pengoptimalan keterampilan menulisnya. Bukan hanya pada saat berpikir, bahkan ketika berjalan, duduk, dan tertidur pun pikirannya diarahkan pada menulis. Ia mengolah hari, jam, menit, dan detik yang dimiliki untuk kepentingannya itu. Ia menabung dan membelanjakan keuangannya untuk sesuatu yang sangat penting bagi hidupnya: menulis. Singkatnya, kesadaran akan proses akan melahirkan kesadaran akan pengelolaan; melahirkan pemahaman akan hukum prasyarat dan sebab akibat. Sama seperti seorang atlet lompat jauh membutuhkan ancang-ancang cukup jauh untuk melompat sesuai target. Sama seperti petinju yang menginginkan menyelesaikan pertandingan dua batas ronde membutuhkan latihan beratus, bahkan beribu ronde. Demikianlah halnya dengan menulis, penulisnya akan ditolak berkali-kali sebelum diterima di sebuah harian atau majalah ternama, justru karena itu adalah proses latihan. Ia juga menghadapi kekeh tawa mengejek atau senyum sinis, sebelum pada akhirnya semua terkesima dan memuja karya adiluhungnya. Kita pun mendengar dari penulis-penulis ternama bahwa seluruh waktunya telah habis digunakan untuk membaca, sehingga tidak heran kita sering terperangah mendengar atau membaca pikiran-pikirannya. Itulah sebabnya, tidak jarang kita mendengar penulis-penulis besar yang baru diterima karyanya setelah menulis yang keseratus kalinya. Bahkan, ada pula penulis yang tulisannya baru dipuja justru setelah ia meninggal dunia. Di bagian lain, kita juga mendapat cerita dari penulis kondang betapa bangganya ia yang menimbun buku hingga berkamar-kamar, bahkan bergedung-gedung, karena menyadari bahwa buku menjadi penopangnya dalam menulis. Lalu, dikatakannya buku-buku itu dibeli dari hasil menabung, atau hasil dari menyisihkan kebutuhan yang lain. Buku-buku itu begitu dihargai karena telah memberinya inspirasi dalam menulis. Masalahnya sekarang, masyarakat terlanjur menempatkan menulis menjadi sebatas mengarang. Hanya pengaranglah yang bisa menulis, karena tidak semua orang berbakat di bidang itu. Akhirnya, masyarakat cenderung menempatkan menulis sebatas beralaskan bakat sehingga menyebabkan sebagian orang menghindari proses menulis. Jarang ada keinginan untuk memulai bergelut dengan bacaan sebagai kesadaran bahwa membaca adalah tahap awal dalam menulis. Membaca berarti tahap awal menulis; membaca adalah tahap awal untuk meniru teknik penulisan seseorang: sang pengarang. Membaca juga memberi inspirasi gaya orisinal kepenulisan yang sedang dirintis. Sayangnya, yang terjadi pada kebanyakan pembaca justru sebaliknya. Seolah ada jarak kekaguman yang melenakan. Ada penyekat yang mustahil dapat "diteladani" oleh penerus atau pengikutnya yang kini baru bisa membaca yang lambat laun akan menjadi penuilis. Lalu, pembaca akhirnya terlena oleh cerita orang per orang yang melambungkan karya itu ke langit tinggi yang meninggalkan pembaca yang hanya mampu menatap dari jauh dalam kekaguman. Apabila di kalangan pecinta membaca saja ada sekat penghalang menuju proses menulis, apalagi jarak sebagian masyarakat yang "alergi membaca". Di hadapan mereka terpampang jurang yang menganga apabila dihadapkan pada keharusan menulis. Mereka dipojokkan kondisi kalah sebelum bertanding. Bagi mereka, menulis menjadi nun jauh di sana, tempat dengan kondisi gelap dan berkabut. Lalu bagaimana andai kelompok "alergi membaca" ini dihadapkan pada keharusan menulis? Biasanya mereka menepikan titian latihan untuk mendapatkan kemampuan menulis, sebab titian itu menakutkan, mengkhawatirkan, dan membuat terengah-engah. Mereka lebih memilih mendapatkan pertolongan dari langit, dari "orang-orang baik" yang memberi pil instan. Orang-orang baik yang memberikan barang jadi dan pemesannya tinggal menyematkan namanya sendiri pada karya itu. Menggeser paradigma dari menulis sebatas bakat menjadi menulis berdasarkan latihan mempersyaratkan pembiasaan, penghargaan, dan kesadaran sistem. Kurikulum yang lebih mengedepankan kompetensi memungkinkan langkah-langkah konkret tersebut. Hidup untuk menulis adalah kesadaran mengelola waktu dan kesempatan untuk melatih menggunakan potensi berpikir secara runtut dan sistematis, serta kesadaran akan kesempatan bagi pengembangan potensi berpikir dan berekspresi melalui menulis. Menulis untuk Hidup Tidak ada kata lain bagi insan yang berani berfalsafah "menulis untuk hidup" selain penghargaan yang setinggi-tingginya. Komunitas yang berada pada strata ini adalah sejumlah orang yang telah melampaui "hidup untuk menulis". Orang yang berani memilih falsafah hidup seperti ini telah menguasai perkakas yang mantap ditambah rasa percaya diri yang tinggi. Dalam perjalanan, perkakas itu harus ditambah pula dengan mental baja dan kesabaran yang tak mengenal ujung. Singkatnya, para penulis dengan semboyan hidup seperti ini adalah sejumlah orang yang bukan hanya cerdas secara intelektual (pintar), tetapi juga cerdas secara emosional (sabar), dan cerdas secara mental (ketahanmalangan). Betapa tidak, di negeri yang rentan terhadap hukum ini banyak terjadi aral melintang demi memberi penghargaan atas karya intelektual. Peristiwa duplikasi tanpa seizin penulis dan demi keuntungan sepihak merupakan peristiwa biasa dan jarang tertangani hukum secara tuntas. Bisa jadi ada sikap sinis bahwa falsafah menulis untuk hidup cenderung menyeret penulis pada situasi melacurkan diri pada karya-karya murahan atau karya-karya yang mengabdi pada selera pasar. Andai hal itu ada benarnya, biarlah ia tumbuh dan terseleksi secara alami. Masyarakat pada akhirnya akan tahu mana yang baik bagi dirinya dan mana yang sebaliknya. Pada tahap awal memang sering terjadi tumpah ruah dukungan atas sebuah karya yang mengarah pada eksploitasi seks, sadisme, atau hal lain yang secara etika maupun agama terasa berseberangan. Tetapi lambat laun dukungan masyarakat itu menyusut dan meninggalkan karya ternyata telah membuatnya bosan. Ungkapan "tak lekang oleh zaman" memang menjadi salah satu kriteria sebuah karya yang patut mendapat penghormatan. Menulis untuk hidup adalah sebuah idaman. Sulit diceritakan kebahagiaan apa yang dirasakan seorang penulis ketika sejumlah besar orang mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Orang terinspirasi untuk berbuat baik, berbuat lebih baik, dan berbuat yang terbaik. Menulis untuk hidup bisa jadi sebuah ketidaksengajaan atau sesuatu yang terencana. Seorang guru, dosen, atau penulis biasanya memulai dari tahap hidup untuk menulis. Tetapi, kesungguh-sungguhan yang bersanding dengan keberuntungan telah mengantarkan mereka pada kondisi menulis untuk hidup. Mereka bisa menghidupi dan mendapatkan yang diinginkan dengan menulis. Jadi. siapa yang ingin membeli apa pun dengan hasil menulis, hidupkan dulu "menulis" Anda. Diambil dan disunting dari: Judul artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup Judul majalah: Matabaca Juni 2005 Penulis artikel: Ukim Komarudin Halaman: 17 -- 19 ______________________________________________________________________ KARYA SAHABAT TERSESAT DALAM KATA-KATA Tepat jam 5 sore dia menuntaskan ritualnya. Matanya memerah dan sedikit berair saat keluar kamar. Bagiku itu wajar-wajar saja. Dia memang selalu memasang berbagai macam wajah sebagai penutup ritualnya itu. Terkadang dengan senyum yang mengambang lebar, terkadang dengan air mata yang mengalir deras. Kali ini, cukup dengan bibir yang melengkung mengikuti gaya gravitasi bumi. "Kenapa wajahmu cemberut begitu, Sayang?" "Masa aku harus membunuhnya, Mas?" tanyanya. Aku membalasnya dengan sebuah tatapan. Dia menarik nafas dalam-dalam, baru kembali membalasku. Tatapan yang sedari dulu membuat jantungku berdegup penuh makna. Tapi, lain halnya jika tatapan itu diiringi dengan perkara khayalnya lagi, perkara yang hanya membuatku sedih berpadu kesal. "Jangan paksakan dirimu, Sayang. Hentikan saja ritual menulismu itu. Kita pergi liburan saja ya?" "Ah, benar Mas! Kalau kita liburan, mungkin aku bisa dapat pencerahan untuk tulisanku, juga nasib karakternya." Dia tersenyum senang. Aku tersenyum kecut. "Bukan itu maksudku! Hanya aku dan kamu di Bunaken sebulan penuh. Tanpa alat tulis, tanpa laptop atau apa pun. Kenapa pula harus menghabiskan waktu dengan barang-barang itu?" Lelaki mana yang tahan jika istrinya ini gemar selingkuh dengan dunianya sendiri? Laptop itu, maksudku, laptop jelek itu memunyai daya sihir untuk mengajaknya kencan selama tiga jam, setiap hari! Belum termasuk segala lamunan dan diskusi tentangnya. Apa mungkin dia terkena penyakit para penulis, schizophrenia? Gawat, aku harus segera menyelamatkannya. Dengan rayuan Bunaken ini, ada harapan menang! "Kata Rumi, `Malaikat hanya mampu bersinar jika ia disiplin.` Benar kan, Mas?" tanyanya. "Lho, kalau disiplin itu bagus. Tapi, tergantung bidangnya, Sayang. Kalau untuk hobi menulis yang hanya membuang-buang waktu, lebih baik jadi wirausahawan seperti aku. Tidur saja kaya." gurauku sinis. "Eits, hasil menulisku cukup banyak Mas!" Bagus, sedikit emosi, batinku. Dia diam sejenak. Lalu melanjutkan, "Yang terpenting aku menulis karena bagiku menulis adalah ekstasi. Ada dorongan kuat untuk mengekspresikan segala imajinasiku Mas. Ayolah, waktu menulisku hanya tiga jam. Sehabis itu, kita bisa bersenang-senang seharian menyelam dan menyaksikan karya Allah yang indah di Bunaken." "Tidak bisa. Tidak usah pergi saja kalau begitu!" emosi berhasil mencengkeramku. "Ya sudah, terserah kamulah. Aku lelah! Aku mau tidur di kamar dulu. Nanti kita bicara lagi." cetusnya ketus. "Ah, wanita memang membingungkan!" Bagaimana tidak sesak dadaku? Dia selalu begitu saat aku mengajaknya adu mulut. Aku ingin melampiaskan kekesalan ini dengan berdebat hingga tuntas, tetapi dia selalu saja mendadak melankolis di tengah-tengah percakapan seperti ini. Ah, jangan harap aku akan ikut-ikutan diam kali ini! Kugeledah rak buku itu, kuincar karya-karyanya. Yakinlah mereka bisa menjadi pelampiasanku. "Kertas Waktu dan Ruang Sepanjang Masa" Jadi ini judul konyol itu. Aku mulai membaca halaman pertama antologi karya istriku itu. Tidak masuk akal! Terlalu aneh! Terlalu bodoh, hinaku. Ada kenikmatan tersendiri menghakimi halaman demi halaman buku ini sampai-sampai aku nyaris tidak menyadari ada orang yang mengetuk pintu. "Ya," sembari membuka pintu. Aku tidak percaya pada mataku yang tertuju pada badut kerdil di depanku! Dia meraih tanganku dan menarikku untuk segera bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dari mana datangnya batu itu? Sebelum sempat memikirkan jawabannya, aku menyaksikan kegaduhan perang yang langsung menggentarkan lututku di depan kami. Kata si Kerdil, selain ambisi politik Gajah Mada, cinta Hayam Wuruk kepada Dyah Pitalokalah yang menyebabkan Perang Bubat ini. Kemudian dia menarikku lagi, "Lekas pergi!" tegasnya. Kurasa aku dibawa terbang jauh ke Roma dan menjadi saksi hidup cinta Kaisar Justinianus terhadap Theodora. Aku tercengang melihat sosok Theodora, seorang pelacur yang bangkit dari wilayah paling suram kota Roma itu menunjukkan dirinya sebagai wanita penakluk yang dahsyat. Dan ketika keadaan di kekaisaran Roma menggenting akibat hubungan kontroversial mereka, aku sekejap dibawa untuk menyangsikan sendiri cinta Rama kepada Shinta karena semata-mata mementingkan keperawanannya. Saat sedang asyik mendengarkan pertengkaran heboh antara dua kekasih itu, lagi-lagi ada yang mengusikku. "Mas Rama, sayang, SAAAYAAANG!" Kali terakhir, istriku muncul tepat di depanku. Semua tokoh itu lenyap, hanya tinggal aku, buku dan dia. "Asyik sekali bacanya." Aku tertangkap basah memegang bukunya! Dia tersenyum kecil. Aku tersipu malu. Apa yang terjadi? Halaman demi halaman buku itu bukan lagi sekadar kata-kata. Tulisan itu mengajakku terbang bebas menjelajahi sudut-sudut waktu dan dunia, menembus batas-batas ras-suku-bangsa-ideologi, melangkahi tembok-tembok tradisi dan tabu. "Mas mau melanjutkan pembicaraan Bunaken tadi?" tanyanya. "Ya, ya, ya. Tentu saja kita jadi pergi, Sayang." Istriku melihatku heran. Sebelum dia sempat berkata-kata, aku berucap, "Tapi kali ini kita wajib bawa dua laptop, untukmu dan untukku." Dia mengangkat alisnya, tersenyum lebar, "Pria memang membingungkan." "Apalagi jika dia ingin jadi penulis." -- Tr.A.P -- ______________________________________________________________________ HIDUPMU DI UJUNG PENAMU Sekadar memberimu inspirasi Aku sempat melukis bianglala sehabis hujan dan menyentuh beberapa awan yang sebelumnya hanya aku bayangkan Kau pernah menjadi tawanan? Aku pernah Dibuang dan diasingkan, hidup dalam ruang yang terbatas... sungguh menyakitkan Menjadi subjek yang diacuhkan Menjadi seorang pahlawan yang dielu-elukan... aku pernah mengalaminya Memang, aku orang biasa Tapi tulisan, seringkali mengajakku berpetualang hingga di padang belantara yang luas, keramaian metropolitan yang hingar bingar, bahkan sudut ruangan yang penuh debu dan gelap.... Aku mengenali banyak orang... Aku bisa menjadi sahabat baik mereka Bisa juga menjadi orang berkuasa yang tak menganggap mereka ada Oh, sangat menyenangkan berkawan dengan rentetan kata yang terus memaksaku untuk berkata fakta atau imajinasi belaka Sekadar memberimu inspirasi, "Dunia tidaklah selebar daun kelor" jika kau mulai menggerakkan penamu dan pastikan, bahwa jari-jemarimu tak akan pernah berhenti sebelum kau menemukan dunia yang baru.... -- santi_tileSTian -- 240910 ______________________________________________________________________ Di dalam tulisan, tersimpan kenangan... membawa kembali rasa yang telah sirna... menuliskan segalanya, agar kenangan tetap terjaga dan terkenang sepanjang masa... merangkai kata saat tak dapat lagi berkata-kata, dan menuliskan segalanya menjadi sebuah karya.... dan saat kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan, maka, menulislah.... -- Yanne Takaendengan -- ______________________________________________________________________ CORETAN YANG BERMAKNA Kugoreskan tinta hitamku di atas selembar kertas Mencoba mengungkapkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku Perih, pedih, suka, duka, semua yang berkecamuk di dalam dada Kubiarkan penaku terus menari.. Tak kan kuhentikan langkahku Tak peduli rintangan yang menghadang Tak peduli mulut-mulut yang menggores luka Tak peduli mata yang memandang hina.. Biarlah kurajut cerita Membangun emosi jiwa yang telah lama tersiksa Membebaskan pikiran yang terpenjara Melahirkan sebuah karya yang bermakna.. -- Theresia Setyawati -- ______________________________________________________________________ KATA SAHABAT "Selamat ulang tahun e-Penulis, semoga bisa menginspirasi setiap kita untuk menulis sesuatu yang memberkati banyak orang." (Novi) "Selamat Ulang Tahun e-Penulis, kiranya tulisan-tulisan yang selalu terbit dapat menjadi berkat bagi pelanggan dan pengunjung situs pelitaku. Semoga e-Penulis dapat dipakai Tuhan lebih lagi menjadi sarana pekabaran injil." (Tatik Wahyuningsih) Tepatnya hari ini e-penulis telah genap menginjak usia yang ke-6, artinya telah menginjak usia yang cukup matang. Tentunya dalam menapaki perjalanan waktu yang panjang itu e-penulis telah banyak menjadi berkat memperlengkapi dan mewarnai dunia dengan torehan pesan-pesan kasih Kristus. Untuk itu saya secara pribadi mengucapkan selamat ulang tahun buat e-penulis, tetaplah mewarnai dunia sebagai prasarana untuk menjadi wadah bagi setiap penulis untuk saling berbagi dalam hal seputar penulisan. Teruslah untuk mewarnai dan menginspirasi dunia khususnya bagi generasi muda untuk berkarya mewartakan kabar sukacita-Nya melalui setiap goresan pena untuk memberkati banyak orang. (Ryan) ______________________________________________________________________ HUMOR BAHASA PELAJARAN BAHASA INGGRIS Dalam sebuah pelajaran bahasa Inggris, seorang guru menguji kemampuan bahasa Inggris muridnya. Guru : Billy, buatlah kalimat bahasa Inggris yang diawali dengan "I". Billy: "I is..." (belum selesai kalimatnya sudah disela) Guru : Bukan Billy. Kalau "I" itu tidak diikuti "is", tapi diikuti "am". "I am" titik-titik. Billy: Baik, Guru. "I am the ninth letter of the alphabet". Guru : ... "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Matius 7:1) Sumber: http://humor.sabda.ylsa/pelajaran_bahasa_inggris_2 ______________________________________________________________________ Pimpinan Redaksi: Truly A. Pasaribu Staf Redaksi: Davida Welni Dana dan Sri Setyawati Kontak redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org> Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis Situs PELITAKU: http://pelitaku.sabda.org Facebook: http://fb.sabda.org/penulis Twitter: http://twitter.com/sabdapenulis Forum Penulis: http://pelitaku.sabda.org/forum Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org ______________________________________________________________________ Melayani sejak 3 November 2004 Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA. Didistribusikan melalui sistem network I-KAN. Copyright (c) 2010 e-Penulis / YLSA -- http://www.ylsa.org Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |