|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/73 |
|
e-Penulis edisi 73 (3-11-2010)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis (Menulis untuk Melayani)
Edisi: 073/November/2010
HUT e-Penulis
______________________________________________________________________
DAFTAR ISI
Editorial: Budaya Menulis
Artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup
Karya Sahabat: Tersesat dalam Kata-kata
Puisi Sahabat: Hidupmu di Ujung Penamu
Di dalam tulisan
Coretan yang Bermakna
Kata Sahabat
Humor Bahasa: Pelajaran Bahasa Inggris
______________________________________________________________________
EDITORIAL
BUDAYA MENULIS
Di tengah banjirnya informasi di seantero dunia, banyak cendekiawan,
mahasiswa, pelajar, bahkan redaktur Indonesia masih mengeluhkan
sulitnya menulis. Kebanyakan menganggap diri tidak berbakat sehingga
mundurlah niat menuangkan ide dan informasi ke dalam tulisan.
Padahal seorang penulis tidak lahir dengan sendirinya, penulis
adalah manusia biasa yang berjuang untuk menulis dari hari ke hari.
Lantas setelah menempuh proses belajar dan berlatih barulah dia
menjadi penulis yang tangguh dan berbakat.
Enam tahun yang lalu, edisi perdana e-Penulis terbit untuk menjadi
pegangan para Sahabat yang rindu belajar dan berlatih menulis.
Setiap bulannya hingga hari ini e-Penulis mengajak Sahabat Penulis
menyimak artikel-artikel seputar literatur Kristen dan keterampilan
tulis-menulis. Tidak hanya itu, e-Penulis juga hadir dengan tip-tip,
artikel kebahasaan, biografi tokoh penulis, dan ulasan situs
kepenulisan. Publikasi e-Penulis rindu mendorong Sahabat untuk
berbudaya menulis: berkarya untuk memberkati lewat tulisan.
Di edisi khusus Ulang Tahun ini, e-Penulis hadir menyajikan artikel
menarik mengenai "Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup". Kami
juga mengajak Sahabat Penulis membaca sajian spesial berupa
karya-karya Sahabat Penulis yang mengekspresikan kecintaannya
terhadap seni tulisan melalui puisi dan cerpen. Tidak ketinggalan
juga beberapa ucapan selamat ulang tahun dari pelanggan setia
e-Penulis.
Selamat membaca. Selamat menulis.
Pimpinan Redaksi e-Penulis,
Truly Almendo Pasaribu
< uly(at)in-christ.net >
http://pelitaku.sabda.org
http://fb.sabda.org/penulis
______________________________________________________________________
Alasan utama untuk menulis ialah adanya kepuasan menyatakan diri.
(Sloan Wilson)
______________________________________________________________________
ARTIKEL
Hidup untuk Menulis dan Menulis untuk Hidup
Dua kalimat di atas seolah hanya permainan kata. Selintas keduanya
bermakna sama dan mengarah pada satu kata yang oleh sebagian insan
akademik sangat ditakuti: menulis! Di negeri ini, menulis memang
masih menjadi momok. Beratus ribu, bahkan berjuta mahasiswa gagal
menjadi sarjana hanya karena tidak bisa menulis. Deretan doktor dan
profesor yang tidak terlalu signifikan antara jumlah dan perannya
dalam membangun negeri ini, juga karena tidak bisa menulis. Tapi
ironisnya, justru karena ketidakberdayaan orang-orang tersebut, biro
skripsi-tesis-disertasi mendapat makan karena "menulis" untuk
mereka.
Menulis yang sudah terlanjur ditakuti oleh masyarakat awam -- bahkan
sebagian insan akademik. Menulis dianggap hanya bersendikan bakat
dan menepikan latihan. Menulis menjadi bagian yang dianggap sebagian
orang saja yang mampu, karena merupakan bawaan, padahal menulis
hanyalah perkakas; ia bisa tajam dan bisa pula tumpul. "Mengasah"
memiliki makna lain "berlatih". Artinya, keterampilan menulis bisa
semakin memesona karena senantiasa dilatih dan digeluti dalam
proses. Sebaliknya, ia bisa menjadi buruk kualitasnya -- bahkan sama
sekali tak bermakna -- karena tidak pernah dicoba apalagi dilatih.
Hidup untuk Menulis
Apabila konsekuensi menulis adalah pelatihan, kalimat "hidup untuk
menulis" bermakna proses. Bagi seseorang yang memiliki motivasi
"hidup untuk menulis", kalimat ini dapat dimaknai bahwa segenap
potensi dan sarana-prasarana yang dimiliki diarahkan bagi
pengoptimalan keterampilan menulisnya. Bukan hanya pada saat
berpikir, bahkan ketika berjalan, duduk, dan tertidur pun pikirannya
diarahkan pada menulis. Ia mengolah hari, jam, menit, dan detik yang
dimiliki untuk kepentingannya itu. Ia menabung dan membelanjakan
keuangannya untuk sesuatu yang sangat penting bagi hidupnya:
menulis.
Singkatnya, kesadaran akan proses akan melahirkan kesadaran akan
pengelolaan; melahirkan pemahaman akan hukum prasyarat dan sebab
akibat. Sama seperti seorang atlet lompat jauh membutuhkan
ancang-ancang cukup jauh untuk melompat sesuai target. Sama seperti
petinju yang menginginkan menyelesaikan pertandingan dua batas ronde
membutuhkan latihan beratus, bahkan beribu ronde. Demikianlah halnya
dengan menulis, penulisnya akan ditolak berkali-kali sebelum
diterima di sebuah harian atau majalah ternama, justru karena itu
adalah proses latihan. Ia juga menghadapi kekeh tawa mengejek atau
senyum sinis, sebelum pada akhirnya semua terkesima dan memuja karya
adiluhungnya.
Kita pun mendengar dari penulis-penulis ternama bahwa seluruh
waktunya telah habis digunakan untuk membaca, sehingga tidak heran
kita sering terperangah mendengar atau membaca pikiran-pikirannya.
Itulah sebabnya, tidak jarang kita mendengar penulis-penulis besar
yang baru diterima karyanya setelah menulis yang keseratus kalinya.
Bahkan, ada pula penulis yang tulisannya baru dipuja justru setelah
ia meninggal dunia. Di bagian lain, kita juga mendapat cerita dari
penulis kondang betapa bangganya ia yang menimbun buku hingga
berkamar-kamar, bahkan bergedung-gedung, karena menyadari bahwa buku
menjadi penopangnya dalam menulis. Lalu, dikatakannya buku-buku itu
dibeli dari hasil menabung, atau hasil dari menyisihkan kebutuhan
yang lain. Buku-buku itu begitu dihargai karena telah memberinya
inspirasi dalam menulis.
Masalahnya sekarang, masyarakat terlanjur menempatkan menulis
menjadi sebatas mengarang. Hanya pengaranglah yang bisa menulis,
karena tidak semua orang berbakat di bidang itu. Akhirnya,
masyarakat cenderung menempatkan menulis sebatas beralaskan bakat
sehingga menyebabkan sebagian orang menghindari proses menulis.
Jarang ada keinginan untuk memulai bergelut dengan bacaan sebagai
kesadaran bahwa membaca adalah tahap awal dalam menulis. Membaca
berarti tahap awal menulis; membaca adalah tahap awal untuk meniru
teknik penulisan seseorang: sang pengarang. Membaca juga memberi
inspirasi gaya orisinal kepenulisan yang sedang dirintis.
Sayangnya, yang terjadi pada kebanyakan pembaca justru sebaliknya.
Seolah ada jarak kekaguman yang melenakan. Ada penyekat yang
mustahil dapat "diteladani" oleh penerus atau pengikutnya yang kini
baru bisa membaca yang lambat laun akan menjadi penuilis. Lalu,
pembaca akhirnya terlena oleh cerita orang per orang yang
melambungkan karya itu ke langit tinggi yang meninggalkan pembaca
yang hanya mampu menatap dari jauh dalam kekaguman.
Apabila di kalangan pecinta membaca saja ada sekat penghalang menuju
proses menulis, apalagi jarak sebagian masyarakat yang "alergi
membaca". Di hadapan mereka terpampang jurang yang menganga apabila
dihadapkan pada keharusan menulis. Mereka dipojokkan kondisi kalah
sebelum bertanding. Bagi mereka, menulis menjadi nun jauh di sana,
tempat dengan kondisi gelap dan berkabut.
Lalu bagaimana andai kelompok "alergi membaca" ini dihadapkan pada
keharusan menulis? Biasanya mereka menepikan titian latihan untuk
mendapatkan kemampuan menulis, sebab titian itu menakutkan,
mengkhawatirkan, dan membuat terengah-engah. Mereka lebih memilih
mendapatkan pertolongan dari langit, dari "orang-orang baik" yang
memberi pil instan. Orang-orang baik yang memberikan barang jadi dan
pemesannya tinggal menyematkan namanya sendiri pada karya itu.
Menggeser paradigma dari menulis sebatas bakat menjadi menulis
berdasarkan latihan mempersyaratkan pembiasaan, penghargaan, dan
kesadaran sistem. Kurikulum yang lebih mengedepankan kompetensi
memungkinkan langkah-langkah konkret tersebut. Hidup untuk menulis
adalah kesadaran mengelola waktu dan kesempatan untuk melatih
menggunakan potensi berpikir secara runtut dan sistematis, serta
kesadaran akan kesempatan bagi pengembangan potensi berpikir dan
berekspresi melalui menulis.
Menulis untuk Hidup
Tidak ada kata lain bagi insan yang berani berfalsafah "menulis
untuk hidup" selain penghargaan yang setinggi-tingginya. Komunitas
yang berada pada strata ini adalah sejumlah orang yang telah
melampaui "hidup untuk menulis". Orang yang berani memilih falsafah
hidup seperti ini telah menguasai perkakas yang mantap ditambah rasa
percaya diri yang tinggi. Dalam perjalanan, perkakas itu
harus ditambah pula dengan mental baja dan kesabaran yang tak
mengenal ujung. Singkatnya, para penulis dengan semboyan hidup
seperti ini adalah sejumlah orang yang bukan hanya cerdas secara
intelektual (pintar), tetapi juga cerdas secara emosional (sabar),
dan cerdas secara mental (ketahanmalangan).
Betapa tidak, di negeri yang rentan terhadap hukum ini banyak
terjadi aral melintang demi memberi penghargaan atas karya
intelektual. Peristiwa duplikasi tanpa seizin penulis dan demi
keuntungan sepihak merupakan peristiwa biasa dan jarang tertangani
hukum secara tuntas.
Bisa jadi ada sikap sinis bahwa falsafah menulis untuk hidup
cenderung menyeret penulis pada situasi melacurkan diri pada
karya-karya murahan atau karya-karya yang mengabdi pada selera
pasar. Andai hal itu ada benarnya, biarlah ia tumbuh dan terseleksi
secara alami. Masyarakat pada akhirnya akan tahu mana yang baik bagi
dirinya dan mana yang sebaliknya. Pada tahap awal memang sering
terjadi tumpah ruah dukungan atas sebuah karya yang mengarah pada
eksploitasi seks, sadisme, atau hal lain yang secara etika maupun
agama terasa berseberangan. Tetapi lambat laun dukungan masyarakat
itu menyusut dan meninggalkan karya ternyata telah membuatnya bosan.
Ungkapan "tak lekang oleh zaman" memang menjadi salah satu kriteria
sebuah karya yang patut mendapat penghormatan.
Menulis untuk hidup adalah sebuah idaman. Sulit diceritakan
kebahagiaan apa yang dirasakan seorang penulis ketika sejumlah besar
orang mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Orang
terinspirasi untuk berbuat baik, berbuat lebih baik, dan berbuat
yang terbaik.
Menulis untuk hidup bisa jadi sebuah ketidaksengajaan atau sesuatu
yang terencana. Seorang guru, dosen, atau penulis biasanya memulai
dari tahap hidup untuk menulis. Tetapi, kesungguh-sungguhan yang
bersanding dengan keberuntungan telah mengantarkan mereka pada
kondisi menulis untuk hidup. Mereka bisa menghidupi dan mendapatkan
yang diinginkan dengan menulis.
Jadi. siapa yang ingin membeli apa pun dengan hasil menulis,
hidupkan dulu "menulis" Anda.
Diambil dan disunting dari:
Judul artikel: Hidup Untuk Menulis Dan Menulis Untuk Hidup
Judul majalah: Matabaca Juni 2005
Penulis artikel: Ukim Komarudin
Halaman: 17 -- 19
______________________________________________________________________
KARYA SAHABAT
TERSESAT DALAM KATA-KATA
Tepat jam 5 sore dia menuntaskan ritualnya. Matanya memerah dan
sedikit berair saat keluar kamar. Bagiku itu wajar-wajar saja. Dia
memang selalu memasang berbagai macam wajah sebagai penutup
ritualnya itu. Terkadang dengan senyum yang mengambang lebar,
terkadang dengan air mata yang mengalir deras. Kali ini, cukup
dengan bibir yang melengkung mengikuti gaya gravitasi bumi.
"Kenapa wajahmu cemberut begitu, Sayang?"
"Masa aku harus membunuhnya, Mas?" tanyanya.
Aku membalasnya dengan sebuah tatapan. Dia menarik nafas
dalam-dalam, baru kembali membalasku. Tatapan yang sedari dulu
membuat jantungku berdegup penuh makna. Tapi, lain halnya jika
tatapan itu diiringi dengan perkara khayalnya lagi, perkara yang
hanya membuatku sedih berpadu kesal.
"Jangan paksakan dirimu, Sayang. Hentikan saja ritual menulismu itu.
Kita pergi liburan saja ya?"
"Ah, benar Mas! Kalau kita liburan, mungkin aku bisa dapat
pencerahan untuk tulisanku, juga nasib karakternya."
Dia tersenyum senang. Aku tersenyum kecut.
"Bukan itu maksudku! Hanya aku dan kamu di Bunaken sebulan penuh.
Tanpa alat tulis, tanpa laptop atau apa pun. Kenapa pula harus
menghabiskan waktu dengan barang-barang itu?"
Lelaki mana yang tahan jika istrinya ini gemar selingkuh dengan
dunianya sendiri? Laptop itu, maksudku, laptop jelek itu memunyai
daya sihir untuk mengajaknya kencan selama tiga jam, setiap hari!
Belum termasuk segala lamunan dan diskusi tentangnya. Apa mungkin
dia terkena penyakit para penulis, schizophrenia? Gawat, aku harus
segera menyelamatkannya. Dengan rayuan Bunaken ini, ada harapan
menang!
"Kata Rumi, `Malaikat hanya mampu bersinar jika ia disiplin.`
Benar kan, Mas?" tanyanya.
"Lho, kalau disiplin itu bagus. Tapi, tergantung bidangnya, Sayang.
Kalau untuk hobi menulis yang hanya membuang-buang waktu, lebih baik
jadi wirausahawan seperti aku. Tidur saja kaya." gurauku sinis.
"Eits, hasil menulisku cukup banyak Mas!"
Bagus, sedikit emosi, batinku.
Dia diam sejenak. Lalu melanjutkan, "Yang terpenting aku menulis
karena bagiku menulis adalah ekstasi. Ada dorongan kuat untuk
mengekspresikan segala imajinasiku Mas. Ayolah, waktu menulisku
hanya tiga jam. Sehabis itu, kita bisa bersenang-senang seharian
menyelam dan menyaksikan karya Allah yang indah di Bunaken."
"Tidak bisa. Tidak usah pergi saja kalau begitu!" emosi berhasil
mencengkeramku.
"Ya sudah, terserah kamulah. Aku lelah! Aku mau tidur di kamar dulu.
Nanti kita bicara lagi." cetusnya ketus.
"Ah, wanita memang membingungkan!"
Bagaimana tidak sesak dadaku? Dia selalu begitu saat aku mengajaknya
adu mulut. Aku ingin melampiaskan kekesalan ini dengan berdebat
hingga tuntas, tetapi dia selalu saja mendadak melankolis di
tengah-tengah percakapan seperti ini. Ah, jangan harap aku akan
ikut-ikutan diam kali ini! Kugeledah rak buku itu, kuincar
karya-karyanya. Yakinlah mereka bisa menjadi pelampiasanku.
"Kertas Waktu dan Ruang Sepanjang Masa"
Jadi ini judul konyol itu. Aku mulai membaca halaman pertama
antologi karya istriku itu. Tidak masuk akal! Terlalu aneh! Terlalu
bodoh, hinaku. Ada kenikmatan tersendiri menghakimi halaman demi
halaman buku ini sampai-sampai aku nyaris tidak menyadari ada orang
yang mengetuk pintu.
"Ya," sembari membuka pintu.
Aku tidak percaya pada mataku yang tertuju pada badut kerdil di
depanku! Dia meraih tanganku dan menarikku untuk segera bersembunyi
di balik sebuah batu besar. Dari mana datangnya batu itu? Sebelum
sempat memikirkan jawabannya, aku menyaksikan kegaduhan perang yang
langsung menggentarkan lututku di depan kami. Kata si Kerdil, selain
ambisi politik Gajah Mada, cinta Hayam Wuruk kepada Dyah Pitalokalah
yang menyebabkan Perang Bubat ini. Kemudian dia menarikku lagi,
"Lekas pergi!" tegasnya. Kurasa aku dibawa terbang jauh ke Roma dan
menjadi saksi hidup cinta Kaisar Justinianus terhadap Theodora. Aku
tercengang melihat sosok Theodora, seorang pelacur yang bangkit dari
wilayah paling suram kota Roma itu menunjukkan dirinya sebagai
wanita penakluk yang dahsyat. Dan ketika keadaan di kekaisaran Roma
menggenting akibat hubungan kontroversial mereka, aku sekejap dibawa
untuk menyangsikan sendiri cinta Rama kepada Shinta karena
semata-mata mementingkan keperawanannya. Saat sedang asyik
mendengarkan pertengkaran heboh antara dua kekasih itu, lagi-lagi
ada yang mengusikku.
"Mas Rama, sayang, SAAAYAAANG!" Kali terakhir, istriku muncul
tepat di depanku. Semua tokoh itu lenyap, hanya tinggal aku, buku
dan dia.
"Asyik sekali bacanya."
Aku tertangkap basah memegang bukunya! Dia tersenyum kecil. Aku
tersipu malu. Apa yang terjadi? Halaman demi halaman buku itu bukan
lagi sekadar kata-kata. Tulisan itu mengajakku terbang bebas
menjelajahi sudut-sudut waktu dan dunia, menembus batas-batas
ras-suku-bangsa-ideologi, melangkahi tembok-tembok tradisi dan tabu.
"Mas mau melanjutkan pembicaraan Bunaken tadi?" tanyanya.
"Ya, ya, ya. Tentu saja kita jadi pergi, Sayang."
Istriku melihatku heran.
Sebelum dia sempat berkata-kata, aku berucap, "Tapi kali ini kita
wajib bawa dua laptop, untukmu dan untukku."
Dia mengangkat alisnya, tersenyum lebar, "Pria memang
membingungkan."
"Apalagi jika dia ingin jadi penulis."
-- Tr.A.P --
______________________________________________________________________
HIDUPMU DI UJUNG PENAMU
Sekadar memberimu inspirasi
Aku sempat melukis bianglala sehabis hujan
dan menyentuh beberapa awan yang sebelumnya hanya aku bayangkan
Kau pernah menjadi tawanan? Aku pernah
Dibuang dan diasingkan, hidup dalam ruang yang terbatas...
sungguh menyakitkan
Menjadi subjek yang diacuhkan
Menjadi seorang pahlawan yang dielu-elukan...
aku pernah mengalaminya
Memang, aku orang biasa
Tapi tulisan, seringkali mengajakku berpetualang hingga di padang
belantara yang luas, keramaian metropolitan yang hingar bingar,
bahkan sudut ruangan yang penuh debu dan gelap....
Aku mengenali banyak orang...
Aku bisa menjadi sahabat baik mereka
Bisa juga menjadi orang berkuasa yang tak menganggap mereka ada
Oh, sangat menyenangkan berkawan dengan rentetan kata yang terus
memaksaku untuk berkata fakta atau imajinasi belaka
Sekadar memberimu inspirasi,
"Dunia tidaklah selebar daun kelor"
jika kau mulai menggerakkan penamu
dan pastikan,
bahwa jari-jemarimu tak akan pernah berhenti
sebelum kau menemukan dunia yang baru....
-- santi_tileSTian --
240910
______________________________________________________________________
Di dalam tulisan, tersimpan kenangan...
membawa kembali rasa yang telah sirna...
menuliskan segalanya, agar kenangan tetap terjaga dan terkenang
sepanjang masa...
merangkai kata saat tak dapat lagi berkata-kata,
dan menuliskan segalanya menjadi sebuah karya....
dan saat kata tak lagi cukup untuk mengungkapkan, maka,
menulislah....
-- Yanne Takaendengan --
______________________________________________________________________
CORETAN YANG BERMAKNA
Kugoreskan tinta hitamku di atas selembar kertas
Mencoba mengungkapkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku
Perih, pedih, suka, duka, semua yang berkecamuk di dalam dada
Kubiarkan penaku terus menari..
Tak kan kuhentikan langkahku
Tak peduli rintangan yang menghadang
Tak peduli mulut-mulut yang menggores luka
Tak peduli mata yang memandang hina..
Biarlah kurajut cerita
Membangun emosi jiwa yang telah lama tersiksa
Membebaskan pikiran yang terpenjara
Melahirkan sebuah karya yang bermakna..
-- Theresia Setyawati --
______________________________________________________________________
KATA SAHABAT
"Selamat ulang tahun e-Penulis, semoga bisa menginspirasi setiap
kita untuk menulis sesuatu yang memberkati banyak orang." (Novi)
"Selamat Ulang Tahun e-Penulis, kiranya tulisan-tulisan yang selalu
terbit dapat menjadi berkat bagi pelanggan dan pengunjung situs
pelitaku. Semoga e-Penulis dapat dipakai Tuhan lebih lagi menjadi
sarana pekabaran injil." (Tatik Wahyuningsih)
Tepatnya hari ini e-penulis telah genap menginjak usia yang ke-6,
artinya telah menginjak usia yang cukup matang. Tentunya dalam
menapaki perjalanan waktu yang panjang itu e-penulis telah banyak
menjadi berkat memperlengkapi dan mewarnai dunia dengan torehan
pesan-pesan kasih Kristus. Untuk itu saya secara pribadi
mengucapkan selamat ulang tahun buat e-penulis, tetaplah mewarnai
dunia sebagai prasarana untuk menjadi wadah bagi setiap penulis
untuk saling berbagi dalam hal seputar penulisan. Teruslah untuk
mewarnai dan menginspirasi dunia khususnya bagi generasi muda untuk
berkarya mewartakan kabar sukacita-Nya melalui setiap goresan pena
untuk memberkati banyak orang. (Ryan)
______________________________________________________________________
HUMOR BAHASA
PELAJARAN BAHASA INGGRIS
Dalam sebuah pelajaran bahasa Inggris, seorang guru menguji
kemampuan bahasa Inggris muridnya.
Guru : Billy, buatlah kalimat bahasa Inggris yang diawali dengan "I".
Billy: "I is..." (belum selesai kalimatnya sudah disela)
Guru : Bukan Billy. Kalau "I" itu tidak diikuti "is", tapi diikuti
"am". "I am" titik-titik.
Billy: Baik, Guru. "I am the ninth letter of the alphabet".
Guru : ...
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Matius 7:1)
Sumber: http://humor.sabda.ylsa/pelajaran_bahasa_inggris_2
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Truly A. Pasaribu
Staf Redaksi: Davida Welni Dana dan Sri Setyawati
Kontak redaksi/kirim bahan: penulis(at)sabda.org
Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org>
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis
Situs PELITAKU: http://pelitaku.sabda.org
Facebook: http://fb.sabda.org/penulis
Twitter: http://twitter.com/sabdapenulis
Forum Penulis: http://pelitaku.sabda.org/forum
Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org
______________________________________________________________________
Melayani sejak 3 November 2004
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright (c) 2010 e-Penulis / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |