|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/39 |
|
e-Penulis edisi 39 (16-1-2008)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis
Menulis untuk Melayani
Edisi 039/Januari/2008
MENGAPA MENJADI PENULIS?
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi : Alasan Anda Menjadi Seorang Penulis
* Mutiara Penulis
* Artikel 1 : Melayani Dia Melalui Pena
* Artikel 2 : Tujuan Menulis
* Pojok Bahasa : Luluhnya "P" Sehabis "Me-"
* Stop Press! : Kolom Baru E-Penulis
____________________________DARI REDAKSI______________________________
ALASAN ANDA MENJADI SEORANG PENULIS
Apa alasan Anda ketika memutuskan untuk menekuni dunia
tulis-menulis? Menyalurkan hobi, ingin terkenal, atau karena bisa
mendapatkan uang melalui tulisan-tulisan Anda? Apakah hanya sebatas
itu?
Sebagai penulis, atau paling tidak calon penulis Kristen, hendaknya
kita memunyai alasan yang lebih kekal dari alasan-alasan di atas.
Menyampaikan kebenaran dan kabar sukacita melalui setiap tulisan
kita, tentunya menjadi alasan dasar keputusan kita untuk menulis,
mengingat betapa dahsyatnya pengaruh sebuah tulisan terhadap
pembacanya. Menjadi penulis adalah pelayanan, seperti moto yang
diusung publikasi e-Penulis ini, "Menulis untuk Melayani". Pakailah
pena Anda untuk menjangkau setiap orang agar datang kepada-Nya.
Seperti halnya uraian dalam sajian artikel kali ini. Simak juga
tujuan menulis yang akan memperkuat alasan Anda untuk terus menulis.
Mengawali tahun baru ini, sekali lagi redaksi ingin mengajak pembaca
sekalian untuk bertanya pada diri sendiri, mengapa Anda menjadi
seorang penulis?
Selamat Tahun Baru 2008, selamat menyimak, dan mulailah mengisi
tahun ini dengan tulisan-tulisan Anda!
Pimpinan Redaksi e-Penulis,
Puji Arya Yanti
___________________________MUTIARA PENULIS____________________________
MENULIS ITU SEBUAH PANGGILAN HIDUP
_______________________________ARTIKEL 1______________________________
MELAYANI DIA MELALUI PENA
Oleh: Drs. Xavier Quentin Pranata
Di tengah-tengah seminar "Langkah Pemuda di Tengah Pergolakan
Dunia", seorang mahasiswi Sastra Inggris Universitas Nasional
Jakarta, yang juga menjadi salah seorang peserta seminar itu,
memberiku selembar kertas. Aku terkejut. Aku belum begitu akrab
dengan dia. Aku baru mengenalnya dua hari. Ya. Pada saat seminar itu
saja. Namanya Inge!
Ketika lembar kertas itu kubuka dari lipatannya, dahiku mengernyit.
Isinya, kalau ingin tahu, puisi. Lho, kok sempat-sempatnya dia
membuat puisi di tengah seminar yang cukup serius ini. Pantas dari
tadi dia kulihat asyik menulis sesuatu. Kebetulan saja dia duduk
persis di sebelahku. Kukira mencatat pokok-pokok pikiran pembicara.
Ternyata! Inilah puisinya yang kukutip lengkap!
Untuk: Xavier Quentin
AKU INGIN MENULIS
Selama napas masih, berdenyut
Aku ingin menulis ....
Selama masalah tak kunjung habis
Aku ingin menulis ....
Selama duka, sapi, bahagia masih mewarnai
Aku ingin menulis ....
Aku ingin menulis ....
Berbagi rasa sejuta
Mungkin tanggap ... sengap
Saat ... suara bergema
Membacakan sebait konsep
Tentang asa ... rasa ... `tuk cinta
Aku ingin menulis... .
Dari,
Inge.
N.B. Yakinlah suatu ketika engkau bisa tunjukkan pada dunia
identitas dirimu! Tetaplah mengucapkan syukur pada-Nya yang telah
memberikan rahmat untuk menulis .... TETAPLAH MENULIS!!!
Aku agak terkejut membaca puisi di atas. Lho, dari mana dia tahu
kalau aku senang menulis. Belakangan aku tahu bahwa ada seorang
temanku di Petra yang "mempromosikan" diriku di depannya. Menerima
puisi yang penuh dorongan itu, tentu saja aku senang. Dan setelah
puisi itu kurenungkan dalam-dalam, aku pun mengambil pena dan
menarikannya di atas memo yang kubawa.
Untuk: Inge
AKU TETAP MENULIS
Selama ilham datang menjelang
Aku tetap menulis
Selama tema mewarnai kanvas jiwa
Aku tetap menulis
Selama jantung masih berdetak
Aku tetap menulis
Akan kugali diksi
Akan kugarap sajak
Akan kutimba kata
Akan kutata alinea
Aku tetap menulis
Berbahan kata, beralat pena
Aku tetap menulis
Mengubah diksi menjadi puisi
Aku tetap menulis
Mengolah abjad menjadi diktat
Selama nadi masih berdenyut
Aku tetap menulis
Membagi rasa
Membagi karsa
Membagi cita
Membagi cinta
UNTUKMU!
Dari,
Xavier Quentin Pranata
Ketika menerima puisi tersebut, Inge tersenyum. Manis sekali. Dia
menjabat tanganku dengan erat. Dan kami makin akrab. Pada waktu aku
pulang kembali ke Surabaya, dia mengantarku dengan lambaian
tangannya. Sebelum berpisah, dia menantangku untuk berlomba
menghiasi media massa dengan tulisan. Dan aku menyanggupinya.
Sejak saat itu, aku makin "gila" menulis. Rasanya tiada hari tanpa
menulis. Tetapi, tulisanku masih tetap tulisan sekuler dan
kukirimkan ke majalah maupun koran "dunia" juga. Ini membuat "iri"
beberapa temanku, baik yang duduk di redaksi majalah kampus "Genta"
maupun temanku di Sastra Inggris. Salah satunya adalah Santi
Yunaita.
Dia begitu menggebu untuk ikut-ikutan menulis. Dia pun bergabung
dalam Himpunan Mahasiswa Pencinta Cerpen dan Puisi Cakrawala yang
kukoordinir. Dia pun mulai menggeluti buku-buku tulis-menulis. Dan
... jerih payahnya tidak sia-sia.
Cerpen-cerpennya mulai bermunculan di majalah-majalah remaja seperti
"Mitra" dan "Gadis". Bahkan ada satu karyanya yang kuanggap luar
biasa. Cerpen itu berjudul "Vas Bunga Berwarna Merah". Cerpen ini
bercerita tentang konflik, baik jiwa dan raga, antara protagonis
(tokoh utama) dengan adik kandungnya sendiri. Santi begitu manis
mengolah cerpen ini sehingga karakter tokoh-tokohnya begitu hidup.
Dia sudah bisa "masuk" ke dalam jiwa tokoh khayalannya.
Ternyata, apa yang kukatakan kepadanya dulu menjadi kenyataan. Dulu,
rasanya masih kemarin, dia pernah bertanya kepadaku:
"Xavier, bagaimana sih caranya agar aku bisa seproduktif kamu?"
Aku, kalau tidak salah ingat, hanya mengatakan satu kalimat:
"Berlatih keras!"
Dan hal itu kulakukan terus-menerus -- sampai detik ini!
Belajar mengarang seperti belajar bahasa. Makin sering kita berlatih
menggunakan bahasa yang kita pelajari, makin fasih juga kita
menggunakannya.
Poerwadarminta, dalam bukunya "ABC Karang Mengarang", mengatakan,
"Sesungguhnya kecakapan mengarang itu tak lain daripada kecakapan
menggunakan bahasa dengan tulisan. Sekarang karang-mengarang atau
tulis-menulis sudah jadi bagian umum, bukan merupakan kegiatan yang
luar biasa lagi."
Hal ini pun pernah diungkapkan oleh Dahlan Iskan. Pemimpin Umum dan
Pemimpin Redaksi koran Jawa Pos ini, dalam kata sambutannya pada
Saresehan Tahun Perdana Kelompok Diskusi dan Penulis Paradigma (3
Agustus 1986) di ruang Biru Jawa Pos, mengatakan:
"Belajar menulis, kata orang, mirip dengan belajar naik sepeda.
Masih ingatkah Anda ketika Anda belajar naik sepeda dulu? Apakah
Anda membaca buku teori naik sepeda lebih dulu? Atau tiba-tiba saja
Anda bisa naik sepeda? Ataukah Anda langsung saja memegang sepeda
itu, kemudian mulai mencoba-coba sendiri? Ataukah juga seseorang
membantu memegangi sepeda itu agar tidak jatuh?"
Mungkin Anda akan menyanggah, "Naik sepeda lain dengan belajar
menulis. Lagipula, aku tidak berbakat. Para penulis itu sudah dari
sananya pandai menulis."
Pendapat Anda itu ada benarnya. Memang ada orang yang dari sananya
diberi bakat menulis. Tetapi, banyak juga orang yang tidak memunyai
bakat menulis dan berhasil menjadi penulis yang baik. Bukankah
kepenulisan, seperti halnya ilmu yang lain, dapat dipelajari dan
dilatih? Lagipula, agar seseorang bisa menjadi penulis yang baik,
yang paling diperlukan adalah AKU, singkatan dari Ambisi, Kemampuan,
dan Usaha. "Writing is a matter of practice". Ya. Kepenulisan adalah
masalah latihan.
S. Mara GD., penulis novel misteri terkemuka Indonesia yang sering
disebut sebagai Agatha Christi Indonesia, mengungkapkan pendapatnya,
"Saya yakin, unsur bakat bukan yang terpenting dalam melakukan
sesuatu. Ketekunan, semangat, dan tidak mudah menyerah, itulah modal
utama" (Jakarta-Jakarta edisi 21 Agustus 1988 dalam rubrik "Reka
Mereka").
Gary Provost, dalam bukunya "One Hundred Ways to Improve Your
Writing" (100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda), berpendapat,
"Bakat (dalam kepenulisan) memang diperlukan, tapi cuma 10%, sedang
yang 90% adalah kemauan dan latihan."
Wuri Sujatmiko, wartawan dan penulis, memunyai pandangan yang tidak
jauh berbeda. Dalam salah satu saresehan pers dan kepenulisan, dia
bertanya:
"Mengapa tidak ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak
berbakat "bicara" dan kemudian memilih membungkam seumur hidup atau
berbicara kalau amat dan sangat perlu saja? Bukankah menulis dan
berbicara itu sama-sama merupakan alat komunikasi, dan sama-sama
merupakan suatu keterampilan yang memerlukan latihan?"
Nah, dari pendapat lima orang pakar di bidang kepenulisan itu, kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa kepenulisan memang merupakan proses
yang bisa dipelajari dan dilatih. Makin sering dan makin keras kita
berlatih, makin cepat kita menjadi penulis.
Ingin bukti lagi?
Pada waktu aku masih kuliah di Petra, ada seorang pelajar SMA dari
kota Malang yang mengirimiku surat dan menyatakan ingin belajar
menulis dariku. Membaca keinginannya yang menggebu untuk segera bisa
menulis, aku tidak tega untuk tidak segera membalas suratnya. Di
dalam surat itu kukatakan bahwa tidaklah tepat untuk belajar menulis
dariku karena terus-terang saja, aku pun masih dalam taraf belajar
-- sampai sekarang. Aku mengatakan kepadanya bahwa di antara aku dan
dia tidak ada bedanya. Kami masih sama-sama belajar. Kalau aku lebih
"bisa" menulis itu bukan karena kepandaianku, tetapi karena aku
"lebih dulu" belajar dan menerjuni dunia yang mengasyikkan itu.
Dia bisa mengerti. Dan hubungan surat-menyuratku dengan cewek Malang
itu berlangsung terus. Di dalam setiap suratnya, dia pasti
mengirimkan cerpen yang harus kuanalisa dan kuberi saran
perbaikannya. Suatu ketika, entah siapa dulu yang menghentikan
kebiasaan ini, surat kami terhenti sama sekali. Suatu hari, aku
membaca sebuah cerpen yang cukup menarik di salah satu majalah ibu
kota. Cerpen itu tidak akan menarik perhatianku kalau di akhir
cerpennya tidak dituliskan demikian:
"Buat guru menulisku: X.Q.P. di Surabaya."
Ternyata "muridku" itu sudah bisa menjadi salah seorang penulis muda
Indonesia yang cukup potensial. Mengapa kata "muridku" kuberi tanda
kutip? Karena yang menjadi "gurunya" sebenarnya bukan aku. Aku
hanya ikut memotivasi dia sedemikian rupa sehingga dia mau belajar
keras. Kemauan itulah gurunya yang sebenarnya. Seandainya dia tidak
mau belajar dan tidak bersedia berlatih keras dengan disiplin
tinggi, usahaku akan sia-sia, bukan?
Oleh karena itu dalam berbagai kesempatan, baik dalam acara jumpa
pengarang, seminar, ceramah, diskusi, maupun saresehan kepenulisan
dan kewartawanan, aku selalu menegaskan bahwa kemauan lebih penting
daripada kemampuan. Kemampuan akan berkembang dengan sendirinya
sesuai dengan kemauan kita untuk belajar.
Lagipula, dari mana kita tahu kalau kita bisa menulis jika kita
tidak pernah mencobanya? Karena itu, satu-satunya cara untuk
mengetahui apakah kita bisa menjadi seorang penulis atau tidak
adalah dengan cara mencobanya. Aku pun dulu menggunakan sistem
"trial and error" dalam perjalanan kepenulisanku. Salah, ganti.
Salah, ulang, ganti. Salah, perbaiki, ganti. Sampai berhasil!
Menurut hematku, siapa saja yang bisa mencatat pelajaran sekolah
atau kuliah, pasti bisa menjadi penulis. Bukankah sejak TK kita
sudah diajari menulis? Dan aku juga percaya bahwa banyak di antara
Anda yang bisa menulis surat atau buku harian maupun agenda. Itu
sudah merupakan pertanda yang baik bahwa Anda mampu menulis. Oleh
sebab itu, cobalah dulu sebelum menyerah.
Hayes B. Jacobs, seorang penulis Amerika yang amat terkenal, bukunya
yang menjadi "best seller" berjudul "How to Write and Sell
Non-Fiction", tidak sim salabim lalu menjadi penulis. Tidak. Dia
menulis sebanyak 277 kali baru dimuat. Anda bisa membayangkan
kegigihannya, bukan? Sekali lagi, cobalah dulu sebelum menyerah!
KEKUATAN MEDIA TULIS
Sering kali, orang menyamakan penginjilan dengan pelayanan firman
atau pelayanan mimbar. Ada juga yang mengidentikkannya dengan
kunjungan langsung kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus,
misalnya dengan mengirimkan misionaris. Namun, seberapa banyak orang
yang bisa sepenuh waktu melayani Dia dalam jalur ini? Dibandingkan
jumlah penduduk dunia yang milyaran ini, orang yang benar-benar bisa
dan terbeban untuk itu masih belum mencukupi. Di samping itu, ada
negara-negara atau daerah-daerah yang amat rawan bagi utusan Injil.
Hamba-hamba Tuhan yang dikirim, banyak yang pulang hanya tinggal
nama. Anda tentu sudah melihat film "The Mission", bukan?
Nah, di sinilah media tulis berperanan. Media tulis bisa
menjembatani atau mengisi kekosongan tersebut. Literatur Kristen
yang sering juga disebut sebagai "utusan Injil tercetak" memunyai
beberapa kekuatan dan kelebihan, antara lain:
1. Ia dapat pergi ke mana-mana tanpa dilihat sebagai orang asing, 2. Lewat pos, ia dapat masuk sampai ke tempat-tempat di mana seorang
penginjil tidak diizinkan masuk, 3. Ia menyampaikan beritanya dengan rajin tanpa mengenal pembatasan
waktu, istirahat, atau cuti, 4. Ia mempersembahkan beritanya sesuai dengar kecepatan berpikir
seseorang dan menurut kesenangan pembacanya, 5. Ia memungkinkan si pembaca mendalami berita yang sama
berulang-ulang, 6. Ia adalah "pengkhotbah estafet" yang menyampaikan beritanya dari
orang yang satu kepada orang yang lain, 7. Ia memungkinkan si pembaca mempelajari satu bagian khusus dari
berita yang menarik hatinya, 8. Dalam bentuk buku, ia dapat memberi makanan rohani kepada mereka
yang lapar berjam-jam, bahkan berhari-hari seperti khotbah
bersambung yang tak ada putusnya, 9. Pada umumnya tidak mahal, tetapi juga tidak kalah baik buahnya
dibandingkan cara penginjilan lainnya, 10. Dalam waktu sejam, ia dapat dibagikan kepada lebih banyak orang
daripada jumlah rata-rata pengunjung gereja setiap Minggu pagi.
Para tokoh besar dunia pun mengakui dampak tulisan yang luar biasa
ini. Apa kata mereka?
Napoleon Bonaparte: "Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan
yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan
lebih lama dibandingkan dengan senjata api."
Benyamin Franklin: "Bila saja Anda memberi saya 26 serdadu, maka
saya akan menaklukkan dunia!" Ketika ia ditanya apakah yang
dimaksudkan dengan 26 serdadu itu, Franklin menjawab, "Huruf A
sampai Z."
Martin Luther: "Selain keselamatan dari Tuhan Yesus, maka anugerah
terbesar dari Tuhan yang lain adalah mesin cetak."
Perkataan Martin Luther sudah terbukti. Setelah mesin cetak berhasil
dibuat, di Amerika terjadi panen jiwa yang luar biasa. Puluhan juta
jiwa dibaptis. Di antara mereka yang dibaptis, 85% mengatakan bahwa
mereka datang kepada Kristus karena bacaan-bacaan rohani dalam
bentuk traktat, buku, dan majalah.
Pendeta Oswald Smith, gembala sidang People Church di Toronto,
Kanada, mengatakan, "Saya sudah berkeliling dunia ke tujuh puluh
negara sambil mencari cara manakah yang paling efektif untuk
penginjilan sedunia. Dan sampai detik ini, yang bisa saya dapatkan
adalah melalui media cetak."
Itu pendapat dari orang-orang Kristen. Bagaimana dengan orang dunia?
Idem dito! Bahkan sebagian dari mereka lebih "hebat" dari orang
Kristen sendiri. Terutama dalam hal profesionalisme dan kegigihan
kerja.
Tokoh-tokoh komunis sudah menyadari dampak literatur ini. Sudah
sejak lama mereka menggunakan media cetak untuk indoktrinasi massa.
Mereka menyebarkan dan menyuntikkan ajarannya dengan media literatur
ini. Menurut sumber yang bisa dipercaya, saat ini 60% penduduk dunia
berada di bawah bayang-bayang komunis, sebab bacaan komunis konon
bisa diletakkan di telapak tangan manusia yang berderet sampai dua
kali keliling bola bumi ini.
Saksi Yehova pun menggunakan metode yang sama. Musuh dalam selimut
ini memunyai unit cetak terbesar di Amerika Serikat. Pada tahun
1966 saja, telah dicetak 4.000 ton bahan bacaan yang disebar ke
seluruh dunia. Akibat dari majalah-majalah Saksi Yehova yang
disebarkan itu, beberapa tahun yang lalu, ketika mereka mengadakan
KKR di Yankee Stadium dan Polo Ground, New York, selama 14 hari
nonstop, 7.136 orang langsung minta dibaptiskan. KKR itu sendiri
dihadiri oleh 180.291 jiwa. Padahal pada hari sebelumnya, Dr. Billy
Graham mengadakan KKR di tempat yang sama dan jumlah yang hadir jauh
lebih sedikit dari mereka.
Ketua Partai Komunis Tiongkok, Mao Zedong, pernah menulis buku kecil
bersampul merah dengan judul "Perkataan Mao". Hasilnya? Lebih dari
satu milyar jiwa di Tiongkok berpikir, berkata, dan berjalan berarak
sesuai dengan kata-kata Mao tersebut. Luar biasa, bukan?
Melihat fenomena di atas, kalau kita tidak memulai sejak saat ini,
kita akan ketinggalan kereta. Sekarang pun kita sudah ketinggalan
dengan media literatur sekuler. Lihat saja, berapa banyak buku dan
majalah umum yang beredar saat ini. Jika literatur Kristen
dibandingkan dengan literatur sekuler, jumlahnya amat
memprihatinkan. Terutama di Indonesia.
Aku banyak mengenal para pemimpin redaksi majalah-majalah rohani
yang ada di Indonesia. Kebanyakan dari mereka mengeluhkan satu hal:
kekurangan naskah. Nah, tidakkah hati Anda terbeban untuk ikut
membantu mereka? Bukankah beban yang berat jadi terasa ringan jika
dipikul bersama?
Oleh karena itu, mulailah menulis. Seperti aku katakan di atas,
jangan menunda-nunda pelayanan atau mengulur-ulur waktu karena
alasan klise: tidak berbakat dan tidak bisa menulis. Bakdi Soemanto,
dalam salah satu tulisannya mengatakan, "Jangan terlalu bertanya:
bagaimana menulis, bagaimana menulis, tetapi ambil mesin ketik, atau
"ball point" dan kertas dan mulai menulis."
WHAT`S NEXT? QUO VADIS TULISAN ANDA?
Nah, setelah Anda berhasil menjadi penulis, tidakkah Anda ingin
mengembalikan talenta yang Tuhan berikan itu untuk kemuliaan-Nya?
Tuhan memang memberikan talenta yang berbeda kepada kita. Mungkin
Dia memberikan "lines talents" menulis kepada kita. Mungkin dua
talenta. Bahkan mungkin hanya satu. Tetapi, berapa pun talenta yang
Tuhan berikan, kita harus mengembangkannya.
Ada pepatah Inggris terkenal yang berbunyi "Use or Lose". Ya.
Gunakan atau hilang sama sekali. Setelah Tuhan memberikan talenta
dan mina kepada Anda, jangan sampai Anda berkata seperti hamba yang
bodoh itu:
"Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di
tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi
menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah
kepunyaan tuan!" (Mat. 25:24), atau:
"Tuan, inilah mina tuan, aku telah menyimpannya dalam sapu tangan.
Sebab aku takut akan tuan, karena tuan adalah manusia yang keras;
tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa
yang tidak tuan tabur" (Luk. 19:20-21).
Apa jawaban Tuhan jika Anda berkata demikian?
"Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut
perkataanmu sendiri. Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang
keras, yang mengambil apa yang tidak pernah aku taruh dan menuai apa
yang tidak aku tabur. Jika demikian, mengapa uangku itu tidak
kauberikan kepada orang yang menjalankan uang? Maka sekembaliku aku
dapat mengambilnya serta dengan bunganya." Lalu katanya kepada
orang-orang yang berdiri di situ: "Ambillah mina yang satu itu
daripadanya dan berikanlah kepada orang yang memunyai sepuluh mina
itu" (Luk. 19:22-24; bandingkan dengan Mat. 25:26-28).
Ya. Mulailah menulis dan setia dalam perkara yang kecil, maka Tuhan
akan memercayakan bidang pelayanan yang lebih besar kepada Anda.
Dengan mengirimkan tulisan Anda ke berbagai media massa, terutama
media massa Kristen, Anda akan mendapatkan tiga berkat. Pertama,
kemampuan Anda meningkat. Bukankah pisau yang diasah makin lama
makin tajam? Kedua, Anda akan mendapatkan berkat rohani. Tulisan
Anda akan menjadi berkat, baik bagi Anda sendiri maupun orang lain
yang membacanya. Bagi yang belum mengenal Tuhan, mereka dapat Anda
bawa kepada Dia lewat tulisan. Bagi yang sudah mengenal Kristus,
Anda memperbarui iman mereka, bahkan menguatkan yang sedang lemah
atau suam-suam. Ketiga, Anda akan mendapatkan berkat jasmani.
Bukankah berkat jasmani menyusul setelah berkat rohani? Ada beberapa
majalah yang memberikan "berkat pelayanan" berupa uang yang lumayan.
Uang itu bisa Anda gunakan sendiri atau Anda kembalikan kepada
majalah itu, itu hak Anda. Yang utama dan terutama, Anda telah
mengembangkan talenta dan mina yang Tuhan berikan. Yuk, kita
berlomba melayani Dia melalui pena!
"Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah
kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah
kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang
kami tuliskan kepada kamu." (1 Yohanes 1:1)
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku : Visi Pelayanan Literatur
Judul artikel: Melayani Dia Melalui Pena
Penulis : Drs. Xavier Quentin Pranata
Penerbit : Yayasn ANDI, Yogyakarta 1989
Halaman : 87 -- 98
______________________________ARTIKEL 2_______________________________
TUJUAN MENULIS
Oleh: Lie Charlie
Semulia-mulianya orang menulis adalah demi tercapainya kehidupan
yang lebih baik bagi seisi dunia. Jurnal ilmiah, karangan populer,
fiksi, atau roman picisan sekali pun, ditulis dengan tujuan supaya
manusia, setidak-tidaknya segolongan kecil, terinspirasi dan
tergerakkan.
Orang boleh saja menulis tanpa tujuan, tetapi lazimnya orang menulis
guna mencapai tujuan tertentu, seperti:
- Memberi (Menjual) Informasi
Sebagian besar tulisan dihasilkan dengan tujuan memberi (baca:
menjual) informasi, teristimewa bila hasil karya tulis tersebut
diperjualbelikan. Pada sisi positif lain, tulisan juga bersifat
memperkenalkan atau mempromosikan sesuatu, termasuk suatu kejadian
(berita) atau tempat (pariwisata).
- Mencerahkan Jiwa
Bacaan sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia modern, sehingga
karya tulis selain sebagai komoditi juga layak dipandang sebagai
salah satu sarana pencerahan pikiran dan jiwa.
- Mengabadikan Sejarah
Sejarah harus dituliskan agar abadi sampai ke generasi
selanjutnya.
- Ekspresi Diri
Tulisan juga merupakan sarana mengekspresikan diri, baik bagi
perorangan maupun kelompok.
- Mengedepankan Idealisme
Idealisme umumnya dituangkan dalam bentuk tertulis supaya
memiliki daya sebar lebih cepat dan merata.
- Mengemukakan Opini dan Teori
Buah pikiran pun hampir selalu diabadikan dalam bentuk tulisan.
- "Menghibur"
Baik temanya humor maupun bukan, tulisan umumnya juga bersifat
"menghibur".
Diambil dari:
Judul buku: Jadi Penulis Ngetop itu Mudah
Penulis : Lie Charlie
Penerbit : Nexx Media Inc., Bandung 2006
Halaman : 111 -- 112
_____________________________POJOK BAHASA_____________________________
LULUHNYA "P" SEHABIS "Me-"
Oleh: Sally Pattinasarany
Akhir-akhir ini kita dibingungkan oleh kata mempunyai dan memunyai.
Media massa pun dibuatnya begitu. Lihat artikel di Pikiran Rakyat,
18 Oktober 2002 (Pimpinan Harus Selalu Harmonis) dan terbitan 1 Juli
2002 (Memberantas Pencucian Uang). Pada artikel pertama, terdapat
kalimat: "... meminta agar warga Bandung memunyai perhatian ...."
Sedangkan pada artikel kedua, ada kalimat: "... sebaliknya,
Singapura sendiri mempunyai semacam kebijakan ...."
Mana yang benar?
Selama ini, kita mempelajari bahwa jika sebuah kata yang diawali
dengan huruf p bergabung dengan awalan me-, huruf itu akan luluh.
Jadi, menurut kaidah bahasa Indonesia, seharusnya bentuk yang dapat
dianggap benar adalah memunyai. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) edisi 2001, tertera kata pu.nya dengan kata turunan
mem.punya.i. Apakah ada kata-kata berawalan p lainnya yang juga
tidak luluh ketika digabungkan dengan awalan me-? Mari kita merujuk
KBBI.
Ada empat pola kata berawalan huruf p yang terdapat dalam KBBI:
(1) KV (konsonan-vokal): huruf p akan luluh ketika bergabung dengan
me-. Misalnya, pa.gar menjadi me.ma.gar.
(2) KVK (konsonan-vokal-konsonan): huruf p akan luluh. Misalnya:
pim.pin menjadi me.mim.pin. Namun, jika sebuah kata hanya
terdiri atas satu suku kata, huruf p tidak luluh. Misalnya, pel
menjadi me.nge.pel.
(3) KKV (konsonan-konsonan-vokal): huruf p tidak luluh. Misalnya,
pro.duk.si menjadi mem.pro.duk.si.
(4) KKVK (konsonan-konsonan-vokal-konsonan): huruf p tidak luluh.
Misalnya, plom.bir menjadi mem.plom.bir.
Jadi, berdasarkan KBBI, ada empat jenis pola suku kata untuk kata
awalan huruf p, yaitu pola di mana huruf p luluh (KV dan KVK) dan
pola di mana huruf p tidak luluh (KKV dan KKVK).
Pertanyaannya, apakah suku kata awal sebuah kata dapat dijadikan
pegangan untuk menentukan luluh tidaknya huruf p? Ternyata tidak.
Dalam KBBI, juga ditemukan kata-kata yang diawali dengan huruf p,
tetapi perilakunya berbeda dengan kelompok pola suku kata di atas.
Ambil contoh kata pat.ro.li dan pat.ri yang berpola KVK. Harusnya,
huruf p luluh bergabung dengan awalan me- sehingga akan menghasilkan
kata turunan me.mat.ro.li dan me.ma.tri. Namun dalam kamus,
ditemukan kata turunan mem.pat.ro.li.
Yang lebih membingungkan, dalam KBBI edisi 1991 untuk kata
per.ko.sa, kita akan menemukan dua bentuk kata turunan, yakni
me.mer.ko.sa dan mem.per.ko.sa. Pada edisi 2001, hanya dijumpai satu
bentuk kata turunan: me.mer.ko.sa. Karena edisi 2001 merupakan edisi
lebih baru, saya beranggapan bahwa kata turunan yang benar untuk
kata perkosa adalah memerkosa.
Kembali ke pertanyaan semula, kapankah sebenarnya huruf p akan luluh
jika bergabung dengan me- dan kapan tidak. Mustakim dalam buku
"Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum" menyatakan, huruf
awal p pada kata-kata serapan dari bahasa asing tidak akan luluh
jika gabung dengan me- (1992:149).
Berdasarkan pendapat Mustakim itu, kita dapat berasumsi bahwa kata
patroli merupakan kata serapan, sedangkan kata patri merupakan kata
yang berasal dari bahasa Indonesia. Apakah setiap kali ingin
menggabungkan sebuah kata berawalan huruf p, kita selalu harus
memerhatikan apakah kata itu kata serapan atau bukan? Jadi dalam
hal ini, kita harus mengetahui sejarah sebuah kata secara
etimologis.
Oleh karena banyak yang tidak mengetahui etimologi sebuah kata,
tidak mengherankan jika kita menemukan dua bentuk kata turunan untuk
sebuah kata yang sama. Misalnya, mempunyai dan memunyai, memproses
memroses. Agar tidak membingungkan para pengguna bahasa Indonesia,
sebaiknya kita berpegang pada keempat pola di atas. Dengan demikian
berdasarkan pola itu, kata turunan untuk kata punya adalah memunyai.
Diambil dari:
Nama majalah: Intisari Desember 2003
Penulis : Sally Pattinasarany
Penerbit : PT Intisari Mediatama, Jakarta 2003
Halaman : 152 -- 153
_____________________________STOP PRESS!______________________________
KOLOM BARU E-PENULIS
Mulai tahun 2008 ini, publikasi e-Penulis menambah dua kolom baru,
yaitu Seputar Pelitaku dan Mutiara Penulis. Kolom Seputar Pelitaku
hampir sama dengan kolom Seputar CWC (kolom yang pernah ada di edisi
e-Penulis tahun 2004 dan 2005). Tujuan dari kolom ini untuk
menginformasikan segala aktivitas yang terjadi di Forum Pelitaku
maupun hal-hal lainnya yang terdapat di situs Pelitaku. Sedangkan
Mutiara Penulis berisi kata-kata mutiara dalam dunia tulis-menulis.
Selain penambahan kolom, terdapat juga perubahan nama kolom Asah
Pena menjadi Tokoh Penulis. Namun, isinya tetap sama, yaitu
mengisahkan riwayat penulis-penulis terkenal guna membangkitkan
motivasi pembaca untuk turut berkarya. Kiranya penambahan dan
perubahan nama kolom ini semakin membawa e-Penulis ke arah yang
lebih baik. Semoga.
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi : Puji Arya Yanti
Staf Redaksi : Davida Welni Dana
Berlangganan : Kirim e-mail ke
subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti : Kirim e-mail ke
unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Kirim bahan/tanya : Kirim e-mail ke
penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis : http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/
Forum Penulis : http://pelitaku.sabda.org/forum
______________________________________________________________________
Melayani sejak 3 November 2004
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2008
YLSA -- http://ylsa.sabda.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |