|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/26 |
|
e-Penulis edisi 26 (21-12-2006)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis
(Menulis untuk Melayani)
Edisi 026/Desember/2006
PENULIS DAN KOMUNITAS
---------------------
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi
* Artikel : Seberapa Pentingkah Keberadaan Komunitas bagi
Penulis?
* Tips : Yang Perlu Dipikirkan dalam Membentuk Sebuah
Komunitas
* Renungan : Mempersiapkan Natal
* Stop Press: Selamat Natal dan Tahun Baru dari Redaksi
DARI REDAKSI
------------
Salam Kasih,
Beberapa surat yang diterima oleh Redaksi e-Penulis belakangan ini
menyampaikan hal yang sama. Ada kerinduan akan sebuah komunitas
penulis Kristen. YLSA memang telah menyediakan sebuah wadah
komunitas, Christian Writers` Club (CWC), sebuah situs forum
diskusi. Namun, harus diakui keberadaan komunitas penulis Kristen
yang dinamis, berkembang, dan produktif merupakan sesuatu yang cukup
sulit ditemukan.
Bukan kebetulan kalau edisi e-Penulis Desember ini mengangkat topik
Penulis dan Komunitas. Bukan pula menanggapi surat pembaca semata.
Lebih dari itu, suatu kerinduan bagi Redaksi e-Penulis untuk melihat
bertambahnya jumlah penulis Kristen yang berani maju dan menyatakan
kasih Kristus kepada masyarakat luas.
Selain topik di atas, edisi di bulan Natal kali ini juga akan
menyertakan sebuah renungan pilihan tentang Natal. Kiranya renungan
tersebut dapat memberikan inspirasi dan motivasi baru bagi para
pelanggan untuk semakin menyadari betapa besar kasih Allah pada
kita.
Selamat Natal.
Redaksi e-Penulis,
Ary
ARTIKEL
-------
Seberapa Pentingkah Keberadaan Komunitas bagi Penulis?
------------------------------------------------------
Jika menyimak proses kreatif para penulis besar seperti C.S. Lewis
atau J.R.R. Tolkien, maupun para penulis lokal semacam Kurnia
Effendi atau Eka Kurniawan, dll., Anda bisa melihat seberapa besar
peran komunitas yang pernah mereka ikuti. Tentu saja komunitas yang
mereka ikuti berbeda dengan model organisasi. Komunitas di sini
mengacu pada suatu wadah bagi mereka yang memiliki kesamaan minat
dan gagasan spesifik. Maksudnya tentu untuk mengembangkan minat atau
melakukan sesuatu yang lebih besar lagi, yang berkenaan dengan
gagasan dan minat tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara komunitas dan organisasi. Komunitas
biasanya lebih bergerak bebas dan tidak terlalu bersifat hierarkis.
Kalaupun ada, pembedaan tersebut biasanya lebih pada pembagian
tugas. Lagipula sebuah komunitas tidak perlu berbadan hukum.
Berbagai Jenis Komunitas Penulis
Dari sisi dinamika anggotanya, komunitas penulis (mencakup penulis
fiksi maupun nonfiksi; puisi maupun prosa) mungkin bisa dibagi dua.
Pertama, komunitas yang menekankan aspek mentoring. Dalam komunitas
seperti ini, akan ada beberapa orang yang dianggap lebih senior atau
berpengalaman dibandingkan anggota lainnya. Mereka yang mengikuti
komunitas tersebut berharap akan memperoleh ilmu dari pengalaman
penulis senior tersebut. Sebaliknya, anggota senior itu juga akan
memperoleh tempat untuk membagikan ilmu termasuk idealismenya. Jenis
komunitas yang kedua tidak menekankan pada mentoring seperti di
atas. Alasannya, proses belajar dan mengajar dianggap dapat terjadi
di antara anggotanya sendiri. Jadi, seorang penulis senior pun tidak
akan merasa terbebani dengan tugas sebagai mentor. Sebaliknya,
anggota lain juga bisa lebih bebas mengutarakan pandangan dan
pendapatnya. Ia tidak perlu merasa tak punya hak hanya karena ia
bukan penulis yang telah banyak makan asam garam dunia penulisan.
Perjalanan dari masing-masing komunitas itu sendiri bermacam-macam.
Umumnya, komunitas tersebut diawali seperti layaknya komunitas hobi.
Maksudnya, pembentukan komunitas itu diawali oleh rasa ingin bersatu
dengan rekan-rekan yang memiliki satu minat. Biasanya, orang-orang
di dalamnya memilih jalan seperti ini karena tidak memiliki
lingkungan yang mendukung minat mereka dalam dunia penulisan.
Komunitas seperti ini banyak tumbuh di kalangan anak-anak muda dan
mahasiswa. Ada juga yang tumbuh dari keinginan untuk membuat proyek
atau kegiatan khusus.
Kebanyakan komunitas, termasuk komunitas penulis, awalnya terbentuk
melalui hubungan antarpribadi seperti persahabatan. Namun, di sini
terdapat perbedaan antara komunitas (penulis) dengan persahabatan
beberapa penulis atau orang-orang yang gemar menulis. Perbedaan ini
dilihat dari keinginan untuk menghasilkan suatu karya bersama yang
masih berhubungan dengan dunia penulisan. Misalnya, membuat majalah,
buku antologi, atau mengadakan lokakarya penulisan untuk masyarakat
di daerahnya, dsb. Keinginan tersebut biasanya lebih diwujudkan oleh
komunitas.
Kenapa Komunitas?
Memang benar jika dikatakan bahwa banyak penulis sukses yang sanggup
menghasilkan karya-karya bagus tanpa dibesarkan dalam tradisi
komunitas. Padahal ketika menjadi mahasiswa pun ia tak mengikuti
komunitas sastra yang ada. Salah satu penulis seperti ini, misalnya
Dewi Lestari, Nukila Amal, dsb. Lalu, perlukah sebenarnya komunitas
itu? Jawaban atas pertanyaan ini adalah kembali pada diri Anda
masing-masing.
C.S. Lewis maupun J.R.R. Tolkien pernah berada dalam suatu komunitas
bernama Inklinks. Mereka mengatakan bahwa komunitas mereka tersebut
ibarat kawah candradimuka yang mematangkan mereka dalam berkarya.
Dalam komunitas yang diikutinya, karya yang diperkenalkan Lewis
(termasuk "The Chronicles of Narnia") justru beroleh kritik bahkan
dibantai oleh rekan-rekan komunitasnya. Sedikit mirip dengan itu,
semasa hidupnya, Jean Paul Sartre lebih sering menghabiskan waktunya
di kafe untuk berdiskusi. Dengan demikian, pikirannya pun terasah
sampai ia menuangkannya dalam berbagai tulisan.
Di negeri sendiri, tidak sedikit penulis yang telah meretas jalannya
sendiri di dunia penulisan tanah air. Mereka berangkat dari
komunitas-komunitas yang pernah dan masih ada. Komunitas-komunitas
tersebut di antaranya Bunga Matahari, Komunitas Bambu, Komunitas
Merapi, Akademi Kebudayaan Yogyakarta, Kesasar, atau yang berbasis
internet semisal Forum Lingkar Pena, Bumimanusia, dll. Memang, tak
sedikit pula anggota yang tenggelam di tengah kerumunan
komunitasnya.
Keberadaan komunitas juga akan membantu para penulis dalam
menghadapi sejumlah persoalan yang masih banyak menghampiri penulis
pemula. Misalnya saja masalah dana, karya yang masih belum
berkembang, komunikasi dengan penerbit, bahkan sampai yang berkenaan
dengan selera pembaca. Tak jarang melalui komunitas pulalah masalah
seperti ini teratasi secara bersama-sama.
Hambatan Masih Banyak
Jika mengamati perkembangannya, harus diakui dengan jujur, komunitas
yang biasanya mengadakan acara tatap muka cenderung berkembang lebih
cepat. Memang, komunitas penulis yang berbasis internet banyak
menghasilkan karya, baik berupa buku cetak maupun elektronik. Namun,
publikasi pers terhadap perkembangan aktivitas mereka tampaknya
cukup minim. Akibatnya, banyak aktivitas dan hasil karya mereka yang
tidak terekspos sehingga gaungnya tidak ditangkap masyarakat luas.
Hal ini memang masih menjadi kendala tersendiri di negara kita.
Terkadang, komunitas pun harus mengalah dan mengikuti aturan dalam
dunia penulisan kita. Tokoh terkenal, entah penulis/sastrawan
senior, sampai pejabat atau selebritis pun harus dirangkul dalam
suatu acara peluncuran buku antologi komunitas ataupun acara lain.
Hal ini terpaksa dilakukan agar pers atau masyarakat bersedia
melirik keberadaan mereka dan karya-karyanya.
Masalah yang berkenaan dengan bagaimana menjaga kelangsungan
komunitas tersebut juga sering muncul. Barangkali tak akan menjadi
masalah jika sebuah komunitas berhenti atau bubar karena para
anggotanya telah berhasil menapaki jalannya sendiri di dunia
penulisan. Jika itu yang terjadi, komunitas tersebut malah bisa
dibilang berhasil karena ia benar-benar mampu berfungsi sebagai
kepompong yang kemudian menghasilkan kupu-kupu yang indah. Namun,
yang juga sering terjadi adalah komunitas tersebut bubar atau tak
jelas nasibnya karena anggotanya kehilangan motivasi dan semangat
sebelum berhasil menjangkau mimpinya. Jika berbicara tentang
komunitas di dunia internet, kondisi seperti ini banyak sekali
terjadi. Milis-milis penulisan yang sepi atau forum penulisan yang
berubah menjadi sasaran spammer jelas merupakan pemandangan yang
menyedihkan. Budaya ingin hasil instan, semangat yang naik turun,
kurangnya rasa pengorbanan, serta pengelolaan tanpa didasari rencana
matang adalah beberapa hal yang mungkin menjadi alasan kurang
suksesnya sebuah komunitas. Hal-hal di atas sudah selayaknya menjadi
bahan pemikiran kita bersama.
Bacaan Pendukung:
Kurnia, Anton, Komunitas Sastra Kampus dan Mereka yang Melawan,
dalam http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0319/bud2.html
Pinang, TS, Menyoal Komunitas Sastra, dalam http://titiknol.com/prosa.php?itemid=417
Bahan diambil dan disunting dari:
Situs : Christian Writers` Club
Penulis : Marco
URL artikel: http://www.ylsa.org/cwc/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=244&mode=thread&order=0&thold=0
TIPS
----
Yang Perlu Dipikirkan dalam Membentuk Sebuah Komunitas
------------------------------------------------------
Oleh: Cahya Sutomo *)
Sebenarnya, kesulitan dalam membentuk sebuah komunitas tidak
terletak pada bagaimana membentuknya. Hal terpenting, sekaligus
tersulit, ialah bagaimana memelihara komunitas tersebut sehingga
tetap hidup dan juga berkembang. Namun, perencanaan yang matang
merupakan salah satu syarat agar komunitas yang ingin Anda bentuk
tetap langgeng, bahkan berkembang. Oleh karena itu, kita perlu
memikirkan dan melakukan beberapa hal di bawah ini terlebih
dahulu.
1. Mengumpulkan anggota yang antusias dan benar-benar bisa
diandalkan.
Dalam sebuah komunitas, peran anggota jelas menjadi faktor
terpenting. Meski demikian, beberapa orang sebagai anggota
sekaligus pendiri harus dimiliki terlebih dahulu. Selanjutnya,
barulah perekrutan anggota awal dilakukan. Anggota awal ini
merupakan anggota yang tidak terlibat dalam penyusunan konsep dan
perencanaan visi, misi, dan bagaimana komunitas itu bergerak.
Pertimbangan yang biasa dilakukan untuk merekrut anggota biasanya
didasarkan pada prinsip pertemanan. Biasanya, para pendiri komunitas
akan mengundang teman atau kenalan mereka untuk bergabung. Umumnya,
mereka yang diundang akan bersedia untuk bergabung. Sayangnya, hal
tersebut sering kali terjadi semata-mata karena rasa sungkan, bukan
karena ketertarikan pada visi dan misi komunitas. Jika kondisinya
seperti itu, setidaknya ada dua risiko yang mungkin bisa terjadi.
Pertama, setelah anggota-anggota yang lain muncul, para kenalan
tersebut cenderung menarik diri. Kemungkinan kedua, komunitas
tersebut menjadi ajang pertemuan yang mirip dengan arisan.
Akibatnya, topik yang dibahas pun sering melenceng atau tidak
berhubungan dengan tujuan komunitas. Dengan demikian, Anda harus
benar-benar yakin bahwa teman-teman atau nama-nama lain yang diajak
bergabung memiliki minat yang sama dengan bidang yang ditekuni
komunitas tersebut. Pastikan kalau ia juga dapat meluangkan waktu
dan tenaganya untuk komunitas.
2. Menentukan media yang sesuai dengan kondisi dan tujuan
Komunitas pada masa kini tentu tidak lagi terbatas pada komunitas
tatap muka saja. Keberadaan internet, dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya, telah memunculkan paradigma baru. Bahkan tak jarang
sebuah komunitas menggunakan kedua metode itu.
Metode tatap muka tentu mensyaratkan adanya tempat pertemuan.
Keterbatasan dari segi tempat tinggal para anggota memang mewajibkan
perencanaan yang lebih matang. Misalnya saja hari, waktu, dan tempat
pertemuan. Kegiatan yang dilakukan tentu tidak harus berkaitan
dengan kegiatan utama komunitas, misalnya saja ramah tamah. Meski
akan lebih merepotkan, namun kegiatan seperti ini akan lebih efektif
untuk berinteraksi sekaligus mempererat kedekatan antaranggota.
Dengan demikian, pengambilan keputusan dalam komunitas dapat
dilakukan dengan lebih cepat.
Sedangkan membuat komunitas dengan memanfaatkan internet seperti
membuat milis, forum diskusi, ruang rumpi (chat), situs, atau blog
pastinya lebih murah. Lingkup anggota pun bisa lebih luas. Selain
itu, diskusi biasanya lebih langsung ke sasaran. Tapi komunitas ini
pun memiliki beberapa kelemahan. Waktu yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan atau tindakan sering kali lebih lama. Hal ini
dikarenakan frekuensi mengakses internet bagi tiap orang berbeda-
beda. Bahkan pembicaraan juga bisa jadi terjebak menjadi wacana
belaka, serta kedekatan antaranggota bisa jadi kurang mengingat
pengenalan hanya terbatas pada identitas di dunia maya yang bisa
saja tidak sesuai dengan kenyataan, dsb. Oleh karena itu, kondisi
umum dari para anggota, seperti segi mobilitas, latar belakang
pendidikan, maupun usia perlu dilihat. Pertimbangkan juga apakah
tujuan komunitas tersebut memang ingin bersifat global ataupun
justru harus diawali secara lokal dulu.
3. Merencanakan program dan menyiapkan sumber dayanya
Jangan membuat sesuatu hanya berdasarkan semangat belaka. Jangan
berpikir bahwa ide-ide akan muncul seiring dengan perkembangan yang
ada. Jangan pula bergantung pada orang lain. Rencanakan dan
diskusikan terlebih dulu dengan rekan-rekan pendiri yang lain.
Perencanaan program perlu dilakukan agar anggota komunitas tidak
memanfaatkan komunitas tersebut sebagai wadah untuk melakukan apa
saja. Sebaiknya, program disusun secara rinci.
Biasakan pula untuk memiliki rencana cadangan. Anda harus yakin
telah memiliki cara untuk membuat program atau kegiatan yang akan
mendapat sambutan orang banyak. Siapkan juga sumber daya yang
dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan program tersebut. Hanya
saja, tetaplah fleksibel dan demokratis. Bila usulan anggota lebih
disambut baik, jangan paksakan program Anda. Simpan saja program
Anda untuk lain waktu.
Demikian beberapa poin yang harus dipikirkan sebelum membuat sebuah
komunitas. Dalam kenyataannya, bukan tidak mungkin akan ada
pengembangan dan kebutuhan lain yang perlu dipikirkan. Namun sekali
lagi, semuanya tergantung pada jenis komunitas apa yang ingin Anda
buat. Akhir kata, selamat berkomunitas!
Bahan diambil dan disunting dari:
Situs : Penulis Literatur Kristen dan Umum (Pelitaku)
URL artikel: http://pelitaku.sabda.org/node/241
*) Penulis adalah anggota dan pengamat beberapa milis penulisan,
forum penulisan dan sempat bergabung di sebuah komunitas sastra
mahasiswa.
RENUNGAN
--------
Mempersiapkan Natal
-------------------
"Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,
dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu
dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di atas palungun,
karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan" (Lukas
2:6-7).
Natal yang dikenang di seluruh dunia, di penghujung tahun ini, sudah
makin jauh dari Natal pertama yang syahdu dan sederhana seperti
gambaran dalam ayat di atas. Natal pertama diisi dengan
kesederhanaan di mana selain orang-orang Majus yang kaya, para
gembala yang sederhana juga menyambut kelahiran bayi Yesus. Sebuah
kelahiran yang tidak dirayakan di penginapan atau di istana, tetapi
di sebuah palungan di kota Betlehem. Inilah makna Natal sebenarnya,
di mana damai Allah menyertai semua manusia, damai di hati tanpa
dekorasi yang berarti.
Memasuki bulan Desember, tempat-tempat seperti restoran, mal dan
hotel, bahkan siaran TV, banyak mengumandangkan persiapan menyambut
hari Natal. Di balik hiruk-pikuk perayaan tersebut, masih adakah
yang tersisa dari Natal Bethlehem?
Pohon Natal adalah gambaran yang indah di Eropa di musim salju.
Ketika dedaunan berguguran dan salju memenuhi permukaan bumi, di
situ kita melihat pohon-pohon den yang tegap berdiri dengan
kehijauan daunnya yang tetap memberikan harapan segar. Di malam
hari, di balik pohon ini kita dapat melihat gemerlap lampu
rumah-rumah di sela-sela dedaunannya. Apalagi kesan indah dengan
diiringi lagu Malam Kudus menambah syahdu dan damai bagi mereka yang
melihat pohon dan mendengar lagu itu. Pohon yang kemudian dijadikan
lambang pohon terang itu sekarang sudah meluas menjadi hiasan di
toko-toko serba ada di seluruh dunia. Namun, apakah makna sebenarnya
Natal, yaitu kelahiran Juru Selamat manusia itu masih bisa dilihat
di balik kemeriahan belanja akhir tahun itu?
Sebenarnya, Franciscus dari Assisilah yang pertama kali
memperkenalkan replika kandang sebagai hiasan Natal, di gereja
maupun di rumah. Ia melengkapinya dengan ternak dan patung-patung
kecil Yusuf, Maria, dan bayi dalam palungan, para majus dan gembala.
Replika inilah yang menjadi hiasan sejak abad ke-13 sebelum pohon
Natal diperkenalkan, seiring lagu Christmas Carol yang dinyanyikan
sekelompok orang dari rumah ke rumah. Pohon den dengan kerlap-kerlip
kemudian dijadikan lambang kekekalan dan dijadikan pohon Natal
seperti yang kita kenal sekarang.
Pada abad ke-18, pohon Natal yang sederhana itu kemudian berkembang
dengan adanya penambahan dekorasi hiasan-hiasan Natal. Lama-kelamaan
dekorasi itu begitu lebatnya sehingga lambang pohon dan sinar yang
menjadi simbol kekekalan dan kesyahduan menjadi terkubur oleh hiruk
pikuk dan kemeriahan hiasannya. Suasana Natal untuk mengenang
kesederhanaan kelahiran Tuhan Yesus yang menyelamatkan manusia kini
banyak tertutup oleh pesta pora dengan segala hiasan yang mewah dan
tidak hanya dirayakan oleh umat Kristen saja, tetapi meluas oleh
umum. Perayaan Natal perlu kembali mengalami desekularisasi.
Berabad-abad yang lampau, hidup Nicholas, seorang uskup baik hati
yang suka membagi-bagikan hadiah. Peringatan untuk mengenangnya
diadakan pada tanggal 5 Desember. Lama-kelamaan, legenda Santo
Nicholas ini diadopsi di negeri Belanda dan dirayakan sebagai
Sinterklaas. Sedangkan di Amerika dirayakan sebagai Santa Claus.
Sosoknya kini disertakan dalam rangkaian perayaan Natal. Ia
digambarkan menaiki kereta salju yang ditarik rusa kutub yang dapat
terbang dan membagi-bagikan hadiah ke rumah-rumah penduduk.
Figur Santa Claus ini merupakan campuran figur Santo Nicholas dan
Odin, dewa yang disembah orang Norwegia. Gambaran mitologi Odin ini
diisi dengan berbagai pertunjukan gaib dengan peri-peri yang membawa
tongkat berujung bintang yang mendatangkan mujizat-mujizat. Berbagai
supermal pun turut menghadirkan "magic Christmas" dengan gambaran
peri bertongkat bintang gaib ini. Gambaran Natal yang gemerlap ini
semakin rusak karena sudah menjadi hiasan umum baik di lampu-lampu
merah di New York, London, dan Paris. Bahkan di Ginza, Tokyo, yang
mayoritas penduduknya bukan Kristen, suasana Natal juga dirayakan
dengan meriah. Akhirnya, Natal bukan lagi merupakan "moral-force"
yang menobatkan, melainkan sekadar perayaan.
Kemeriahan perayaan Natal masa kini benar-benar perlu
didemitologikan. Kita perlu benar-benar mengenal berita kesukaan
akan kelahiran Juru Selamat yang mendatangkan damai sejahtera bagi
semua manusia di dunia. Karena perayaan yang meriah di gedung gereja
yang tertutup, apalagi di ballroom hotel eksklusif sudah jauh
berbeda dengan kondisi palungan di malam Natal pertama yang dihadiri
para gembala yang sederhana.
Segenap umat Kristen tentu sedang bersiap untuk merayakan Natal di
akhir tahun ini. Tentunya sudah saatnya semua orang percaya
mengembalikan hakikat Natal kepada arti yang semula.
Di tengah kepedihan yang dialami ribuah keluarga yang menghadapi PHK
di PT-DI. Banyak juga keluarga yang digusur dari rumah kumuh mereka
atau tempat berjualan mereka di kaki lima dan tidak memperoleh
tempat membaringkan kepala, palungan pun tidak. Umat Kristiani
dipanggil untuk menghadirkan Natal terutama bagi mereka yang
tersingkir, yang terpinggirkan, dan yang dilupakan. Setidaknya
dengan menjalankan upacara dengan sederhana, apalagi kalau disertai
dengan kasih yang meluap keluar ke jalan-jalan yang dingin,
setidaknya umat manusia benar-benar lebih bisa merasakan bahwa Natal
itu memang mendatangkan damai sejahtera bagi manusia di bumi dan
bukan sebaliknya.
Selamat mempersiapkan Natal mendatang dan menyatakan kasih dan damai
sejahtera Allah bagi umat di sekeliling kita. Amin!
Bahan diambil dan disunting dari:
Penulis : Herlianto
Situs : e-Artikel
Alamat situs: http://artikel.sabda.org/?q=mempersiapkan_natal
STOP PRESS
-----------
Melalui edisi kali ini, redaksi Publikasi e-Penulis turut
mengucapkan:
SELAMAT MERAYAKAN NATAL 2006
DAN
SELAMAT MENYAMBUT TAHUN BARU 2007
Kiranya kasih dan damai Natal serta pengharapan di tahun yang baru
dapat semakin mengobarkan semangat kita untuk melayani lewat
tulisan!
______________________________________________________________________
Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan : Kirim email ke
subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti : Kirim email ke
unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Kirim bahan : Kirim email ke
staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2006
YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |