|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/25 |
|
e-Penulis edisi 25 (27-11-2006)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis
(Menulis untuk Melayani)
Edisi 025/November/2006
FENOMENA DUNIA PENULISAN MASA KINI
----------------------------------
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi
* Artikel 1 : Melihat Sekilas Fenomena Penulisan Indonesia
* Artikel 2 : Memperkenalkan: Novel Grafis
* Asah Pena : Nadine Gordimer
DARI REDAKSI
------------
Salam damai dalam kasih Yesus,
"Dunia berubah begitu cepat!" Mungkin kita sudah sering mendengar
kalimat ini, atau bahkan sering mengatakannya. Jika beberapa tahun
yang lalu internet terasa sangat berjarak dengan kehidupan kita,
sekarang kita justru akan merasa aneh kalau ada orang yang tidak
memiliki alamat surat elektronik.
Dunia penulisan pun terus berubah. Selain pengaruh dari berbagai
penemuan teknologi baru, faktor-faktor seperti gaya hidup
masyarakat, pengaruh media dan gejolak sosial di sekitar kita juga
sangat memengaruhi tren-tren dunia penulisan. Memang tidak semua
tren itu baik. Meski demikian, penulis Kristen tetap memiliki
kewajiban untuk cermat membaca tanda-tanda zaman (Matius 16:3).
Sajian kami kali ini menghadirkan artikel yang meringkas fenomena-
fenomena dalam dunia penulisan Indonesia. Selain itu, jangan sampai
Anda melewatkan satu paparan singkat mengenai genre baru, yaitu
novel grafis. Tak lupa, profil penulis perempuan, Nadine Gordimer,
kiranya membawa semangat baru bagi Anda dalam berkarya. Harapan
kami, sajian ini bisa menjadi sebuah gambaran bagaimana kita bisa
memanfaatkan perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam dunia
penulisan ini untuk memuliakan Dia!
Redaksi e-Penulis,
Ary
ARTIKEL
-------
Melihat Sekilas Fenomena Penulisan Indonesia
--------------------------------------------
Dunia penulis adalah dunia sosial. Ini membuat seorang penulis tidak
dapat hidup sendiri karena pada dasarnya seorang penulis bertugas
sebagai pengamat yang tekun dan kritis terhadap kondisi sekitarnya.
Karena itulah dunia penulisan juga selalu bergerak dalam dinamika
yang tidak bisa lepas dari pengaruh berbagai kejadian di dunia.
Penemuan berbagai teknologi baru, peristiwa dan pergolakan sejarah,
perubahan tren filsafat, paradigma atau cara baru dalam melihat
dunia dan kehidupan adalah hal-hal yang selalu mempengaruhi dunia
penulisan.
Dengan menyadari hal-hal itu, kita perlu untuk terus mengamati
perkembangan dan fenomena-fenomena terkini yang sedang terjadi di
dalam dunia penulisan. Jika kita mengikuti perkembangan saat ini,
dunia penulisan bisa dikatakan telah mengalami banyak perubahan.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai revolusi. Beberapa poin di bawah
adalah fenomena-fenomena menarik di dunia penulisan tanah air,
beberapa sudah berlangsung cukup lama, beberapa juga sangat khas
Indonesia. Yang jelas, semuanya membawa warna tersendiri dalam dunia
penulisan pada zaman yang disebut pascamodern ini:
1. Sastra cyber
Sastra cyber merupakan revolusi. Sebagaimana internet menjadi
revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan
ketiga setelah kehadiran televisi.
Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah
memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi
media. Almarhum Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa keberadaan
koran-koran yang punya kolom untuk memajang cerpen, puisi, dll hanya
bisa dijumpai di Indonesia saja. Semula, sastra koran ini
dimaksudkan sebagai media alternatif selain buku yang biaya
produksinya jelas lebih besar. Tapi ketika sastra koran kemudian
dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang.
Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan teknologi
seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga
blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang
boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya. Sastra
cyber menjanjikan bahwa hanya masyarakatlah yang akan menilai baik
buruknya karya seseorang, bukan lagi seorang editor kolom sastra di
surat kabar, kritikus sastra atau para sastrawan (tua) saja.
Memang tidaklah benar jika dikatakan bahwa internet hanya mewadahi
karya-karya para penulis pemula saja (istilah "pemula" di sini
dilihat dari sudut pandang dunia penulisan cetak). Meski demikian,
bakat-bakat yang belum diberi kesempatan oleh media cetak ini tentu
adalah yang paling terbantu dengan pemanfaatan media internet untuk
menulis atau bersastra. Dan selain mereka, ada juga para penulis dan
sastrawan yang karena berbagai alasan (misalnya, distigmakan sebagai
mantan tapol) sehingga karyanya tak bisa (dilarang) dipublikasikan
secara luas. Mereka ini juga menemukan wadah berinteraksi,
berkreasi, dan bersuara lewat sastra cyber.
Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra
sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah
dituding oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main
sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,
seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyber
pun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk
apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh kelompok mapan
tersebut.
2. Teenlit, Chicklit, Metropop, Sastrawangi
Berdasarkan kategori usia, urutan antara ketiganya adalah teenlit
(remaja usia SMP-SMU), chicklit (usia kuliah), dan metropop (usia
kerja dan pasangan muda). Biasanya semuanya mengambil seting dan
target pembaca masyarakat perkotaan, ekonomi menengah ke atas, dan
kebanyakan juga wanita.
Keberadaan novel chicklit di Indonesia diawali oleh diterbitkannya
terjemahan dari karya-karya penulis seperti Helen Fielding atau
Sophie Kinsella di sekitar tahun 2003. Tulisan yang begitu
sederhana, namun sangat mudah merebut hati pasar tersebut kemudian
mulai membawa angin baru, yaitu kemunculan penulis-penulis muda.
Pasar yang menyambut dengan tangan terbuka membuat chicklit --
kemudian diikuti oleh teenlit untuk pembaca yang lebih muda dan
kemudian berkembang lagi dengan metropop, menjadi sesuatu yang
fenomenal, baik bagi dunia bisnis maupun dunia penulisan nasional.
Karya-karya lokal ternyata cukup mampu mengimbangi karya terjemahan.
Beberapa bahkan sudah diangkat menjadi film atau sinetron. Meskipun
hal tersebut bisa dikatakan masih belum dibarengi dengan lokalitas.
Tapi demikianlah, teenlit, chicklit dan metropop memang murni hanya
untuk bacaan hiburan dan pelarian. Oleh karenanya bisa dibilang hal
tersebut lebih mirip sebagai sebuah fenomena budaya daripada
fenomena penulisan atau sastra. Fenomena yang merupakan perpaduan
antara budaya pop, kapitalisme, yang barangkali juga cerminan
kondisi masyarakat yang tanpa sadar sedang menginginkan semacam
`eskapisme` (pelarian) atas kondisi sosial yang makin sakit. Situasi
yang makin dibingungkan oleh para sastrawan dan intelektual yang
cuma berputar-putar dengan wacana untuk sebuah solusi yang ternyata
gagal. Apalagi fakta membuktikan bahwa hal yang mirip sudah pernah
terjadi sekitar dua dekade lalu dengan kepopuleran Lupus karya
Hilman Hariwijaya atau majalah Anita yang khusus memuat cerpen-
cerpen remaja. Perbedaan yang sesungguhnya lebih terletak pada dunia
bisnis dan media serta apa yang disebut dengan globalisasi itu.
Kritik yang sering dilontarkan untuk genre-genre di atas adalah
bahwa karya tersebut hanya bersifat hiburan (ringan), apatis
terhadap kondisi sosial masyarakat, sangat industrialis dengan
orientasi hanya pada pasar dan dari segi bahasa juga penuh carut-
marut. Meski demikian, beberapa kalangan melihat maraknya kemunculan
penulis novel-novel teenlit, chicklit dan metropop lokal ini sebagai
sesuatu yang memiliki nilai positif. Yang utama tentu adalah
munculnya banyak penulis-penulis muda, beberapa bahkan masih sangat
muda namun sudah berani berkarya. Tak ayal, kesuksesan yang tentu
saja diikuti oleh sukses dalam hal materi itu membuat pelatihan-
pelatihan menulis novel kini begitu diminati oleh para remaja.
Menjadi penulis pun makin menjadi cita-cita yang umum.
Poin ini adalah poin yang cukup penting. Jika di masa lalu
(sebagaimana para sastrawan masa itu sering menceritakannya)
penulis, penyair, atau sastrawan identik dengan kehidupan miskin,
bohemian, dsb. kini pandangan seperti itu telah berubah. Sebagaimana
diungkapkan oleh staf pengajar UI, Manneke Budiman, hal ini menjadi
fenomena di negeri ini sejak tahun 1998. Menulis, terutama sastra,
kini bukan hanya sekadar alat ekspresi gagasan melainkan sudah mulai
menjadi gengsi. Tak heran jika para selebritis (artis sinetron,
penyanyi, presenter, dsb) dan juga kalangan ekonomi mapan juga
melangkah masuk menyemarakkan dunia penulisan Indonesia. Dari
situlah muncul istilah sastrawangi.
Sebagaimana chicklit (plesetan dari chicklet, nama permen karet yang
hanya dikunyah lalu dibuang) istilah sastrawangi mungkin lebih
kepada sindiran. Sastra yang tidak berbau kecutnya keringat para
pekerja, namun beraromakan semerbak bau kamar apartemen serta parfum
mewah. `Genre` ini diusung oleh para penulis perempuan seperti Ayu
Utami dan Djenar Mahesa Ayu. Karya-karya mereka berusaha mendobrak
berbagai tabu dalam budaya patriarkis yang membelenggu kaum
perempuan. Diwarnai tema seks yang bahkan terasa vulgar, semangat
feminisme, dan seting yang biasanya berlatarkan kehidupan yang
mereka temui sehari-hari (tingkat ekonomi atas) diiringi dengan
individualisme yang tinggi. Maka, jika menyitir pandangan Eep
Saefullah, karya sastrawangi terasa memiliki lubang yakni mereka
kehilangan konteks sosialnya. Hilangnya konteks sosial itu karena
pada masa Orde Baru situasi politik serba mengekang dan sentralistik
sehingga penulis-penulis sastrawangi itu menganggap situasi itu
justru tidak ada.
3. Penerbit
Maraknya penerbit lokal yang muncul (meski konon tiap hari juga ada
yang gulung tikar) sebagai dampak gerakan reformasi di negeri ini
menimbulkan beberapa fenomena tersendiri bagi dunia penulisan. Entah
dilatar belakangi oleh kepentingan idealisme atau sekadar murni
industri, kemunculan berbagai penerbit itu pertama-tama membawa
pengaruh pada maraknya karya terjemahan.
Di satu sisi tentu saja ini hal yang bagus karena penerjemahan karya
(sastra) dunia adalah satu syarat agar sastra kita sendiri bisa
berkembang, di samping untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam
bidang lain, demikian ungkap penyair Sitor Situmorang. Meski begitu,
banyak juga karya terjemahan yang kualitasnya sangat mengecewakan.
Menerjemahkan, apalagi tanpa mengurus izin ke penerbit aslinya
(sehingga biaya lebih murah dan tanggung jawab mutu kepada penerbit
asal tidak diperlukan), memang prosesnya tentu lebih cepat dan
menjanjikan untung yang lebih cepat juga.
Masalah buruknya hasil terjemahan ini jelas sangat memprihatinkan.
Tak heran jika kita bisa menemukan dua versi terjemahan dari satu
karya penulis luar negeri diluncurkan pada saat bersamaan dengan
harga berbeda dan kualitas terjemahan yang juga beda. "Penerjemah
buku banyak yang tidak memiliki visi budaya," komentar Frans M.
Parera ketua Ikatan Penyunting Indonesia saat menanggapi hal ini.
Namun sesungguhnya, selain penerjemah, masih ada dua pihak lagi yang
pantas bertanggung jawab atas buruknya suatu karya terjemahan, yaitu
editor dan penerbit.
Banyaknya penerbit juga memberi kemudahan seseorang untuk
mempublikasikan karyanya. Selain banyaknya penulis teenlit atau
chicklit, kemunculan para penulis cilik, meski masih belum terlalu
banyak, juga sungguh menggembirakan. Mungkin para penulis belia ini
masih sangat kental dipengaruhi oleh karya-karya yang menjadi
referensinya. Tak heran jika kebanyakan karya mereka berbentuk novel
epik atau fantasi petualangan yang memang tengah marak itu. Tapi
seberapa banyak orang dewasa yang memiliki ketekunan, sehingga
dengan tulisan tangan mampu menghasilkan naskah setebal novel
"Misteri Pedang Skinheald" seperti yang dilakukan Ahmad Ataka
Awwalur Rizki yang masih duduk di bangku SMP? Berapa banyak pula
yang bisa menyamai Stanley Timotius Kurnia, remaja tujuh belas tahun
yang sudah menerbitkan novel berbahasa Inggris berjudul "The
Corruption" setebal 300-an halaman. Kesempatan yang didapatkan oleh
anak-anak itu untuk menerbitkan karya dan terus mengasah bakatnya
adalah satu hal yang patut disyukuri. Semoga saja dunia penulisan
dan perbukuan tanah air terus bergairah dan terus berbenah untuk
mencerdaskan generasi bangsa.
Bahan Bacaan dan Referensi:
--------------------------
1. Anggoro, Donny, Stop Press: Booming Sastra Terjemahan, dalam
http://cybersastra.net/edisi_mei2001/booming.htm
2. Arcana, Putu Fajar, Bacaan-bacaan yang Cewek Banget ..., dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/30/kehidupan/2173578.htm
3. Kuntowijoyo, Hampir Sebuah Subversi, 1999, Grasindo Jakarta
4. Nugroho, Heru C., Para Penulis Muda, dalam
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDE=&dokd=MjQ=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=MjIx
5. Pattisina, Edna C, Para Pembuat Novel yang Menghibur, Kompas,
Minggu, 30 Oktober 2005, dalam http://www.yayan.com/forward/berita/para_pembuat_novel_yang_menghibur.html
6. Situmorang, Saut (ed), Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk,
2004, Yayasan Multimedia Sastra dan Jendela Yogyakarta.
7. Sopyan, Yayan, Menerjemahkan = Memberikan Pemahaman, dalam
http://www.yayan.com/free_writing/tentang_menulis/menerjemahkan_=_memberikan_pemahaman.html
8. Wendyartaka, Anung, Penerbit dan Selebriti Saling Memanfaatkan,
dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053901.htm
9. `Sastrawangi` Muncul Sebagai Pemberontakan, dalam
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=54682
10. Situmorang, Sitor, Karena Sastrawan Bukan Malaikat, dalam
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDU=&dokd=Mjg=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=UEVS&uniq=MjY3
Penulis: Ary Cahya (Pemimpin Redaksi e-Penulis)
ARTIKEL 2
---------
Memperkenalkan: Novel Grafis
----------------------------
1. Apakah novel grafis itu?
Istilah novel grafis itu sendiri sebetulnya cukup membingungkan.
Istilah "novel" sebelumnya telah memiliki pemahaman sendiri.
Demikian pula halnya istilah dan pemahaman masyarakat tentang
grafis. Bermula dari tahun 1978 saat komikus Will Eisner ingin "...
membuat sebuah buku yang akan tampak sebagaimana lazimnya sebuah
buku, dan sekaligus ingin mengerjakan komik dengan tema yang
sebelumnya tidak pernah dibuat." "A Contract with God" pun dibuat
dan mulai ditawarkan kepada penerbit. Eisner yang khawatir hasil
kerjanya itu akan ditolak sebagai sebuah komik, mengatakan bahwa apa
yang ia kerjakan itu adalah sebuah "novel grafis".
2. Lalu apa yang membedakannya dengan komik?
Perbedaan antara novel grafis dan komik mulai terasa ketika alur
cerita yang tertuang dalam rupa bahasa kata dalam balon teks atau
dalam rupa bahasa visual lewat tarikan garis ekspresi wajah, bahasa
tubuh, maupun rangkaian gerak gambar yang berurutan itu mulai
dinikmati. Suasana ringan yang biasanya didapat ketika menikmati
komik-komik biasa akan sulit didapatkan pada karya novel grafis.
Sebaliknya, cara penyampaian yang tidak biasa, baik dalam
penyampaian teks maupun dalam penyampaian adegan-adegan visual yang
begitu kreatif yang memakai aneka teknik perspektif, dengan segera
akan membawa pembaca pada keunikan gaya bertutur sang pencerita yang
punya ciri khasnya masing-masing, sama halnya seperti ketika sedang
menikmati sebuah karya sastra. Hingga di sini perbedaan dengan komik
atau novel dalam pengertian konvensional langsung terasa. Novel
grafis tidak hanya bertumpu pada kekuatan gambar seperti pada komik
biasa, juga tidak pada kekuatan teks seperti layaknya karya novel.
Kedua aspek visual dan bahasa bersama-sama menjadi unsur yang
penting.
Tampaknya sebagai suatu kerja serius dari pembuatnya, wajar jika
karya-karya novel grafis ini praktis tidak bisa begitu saja menjadi
sekadar bacaan ringan bagi pembaca. Karena itu, ciri dan gaya yang
bersifat populer sengaja dijauhi oleh para pembuat novel grafis.
Salah satunya adalah dalam hal pewarnaan. Tidak seperti pada
komik-komik populer, terutama yang bergaya Amerika, pemakaian warna
yang penuh dalam novel grafis tampaknya tidak menjadi persoalan.
3. Jadi, apakah novel grafis bisa disebut sebagai sastra?
Tema yang ditujukan untuk pembaca dewasa memang juga menjadi salah
satu ciri novel grafis yang membedakannya dengan komik biasa. Selain
itu, biasanya novel grafis memiliki garis cerita yang panjang dan
kompleks, meski definisi-definisi ini bukanlah suatu batasan yang
kaku. Hikmat Darmawan, seorang pengamat komik di Indonesia, malah
ingin memberi ciri lebih pada novel grafis sebagai karya komik yang
memiliki "ambisi sastrawi". Menurut Hikmat, pengertian ini menjadi
tolok ukur yang akan mensyaratkan bobot kualitas sastra dari karya
yang disebut sebagai novel grafis dan membedakannya dengan
komik-komik biasa.
"Ambisi sastrawi" mau tidak mau memang mendobrak tradisi industri
komik yang terbiasa memasung komikusnya dengan jumlah halaman yang
dibatasi demi efisiensi biaya pencetakan. Bahkan kini penikmat novel
grafis di Amerika Serikat sudah terbiasa dengan karya-karya yang
melampaui jumlah lima ratus halaman. Meski demikian, Surjorimba
Suroto, pengelola milis Komik Alternatif, lebih melihat bobot sastra
bukanlah soal urgen bagi perkembangan novel grafis di Indonesia
maupun di dunia.
4. Bagaimana keberadaan novel grafis di Indonesia?
Ada yang berpendapat komikus Indonesia secara tak langsung sudah
menciptakan novel grafis sejak era komik Mahabharata karya R.A.
Kosasih pada 1950-an. Selanjutnya, disusul komik "Taguan Hardjo",
"Trilogi Sandhora" milik almarhum Teguh Santosa, sebagian karya Jan
Mintaraga, kisah "Misteri Kematian Si Dewi Racun" milik HAR, "Sukab"
karya Seno Gumira Ajidarma, hingga "Selamat Pagi Urbaz" ciptaan
komikus muda Beng Rahardian, dan "Rampokan Jawa" karya Peter Van
Dongen.
Demikian pula dengan novel grafis terjemahan seperti "Persepolis I"
dan "Persepolis II" karya penulis Iran, Marjane Satrapi cukup
dinantikan oleh penggemar novel grafis di Indonesia. Meski begitu,
tebalnya novel grafis dibandingkan komik biasa ternyata tidaklah
menyiratkan tebalnya dompet di saku para pembuatnya dari penghasilan
yang mereka peroleh. Beng Rahardian, yang melahirkan novel grafis
"Selamat Pagi Urbaz", mengaku, proyek novel grafisnya ini adalah
kerja yang sekadar impas. Untung tidak, rugi tidak. Bagi Beng,
mendapatkan nama dan lebih dikenal karena hasil karyanya itu, untuk
saat ini lebih penting.
5. Akhirnya, bagaimana prospek novel grafis dalam dunia penulisan
dan perbukuan itu sendiri?
Di Indonesia, tampaknya format novel grafis masih merupakan suatu
genre baru yang harus lebih memperkenalkan diri pada publik.
Sebagaimana komik, novel grafis di Indonesia tidak memiliki
industri. "Tak cukup mendapat topangan dari dunia penerbitan. Jika
sudah diterbitkan dan kelihatan laku, cetak ulangnya pun tersendat-
sendat," ujar Surjorimba Suroto. "Jadi, Indonesia bukannya tak punya
karya-karya novel grafis, tapi lebih karena tak terekspos media dan
tak mendapat dukungan memadai dari dunia penerbitan," sahutnya.
Sedangkan Pandu Ganesa menanggapi secara optimistis. Pimpinan
Pustaka Primatama yang menerbitkan "Rampokan Jawa" ini berpendapat,
format novel grafis ini bisa menjadi terobosan sehingga lebih banyak
orang muda yang mengenali kembali karya sastra. Menurutnya, karya-
karya sastra yang dianggap momok oleh orang muda ini perlu
diterbitkan kembali dalam bentuk novel-novel grafis. Inilah peluang
bagi genre yang sesungguhnya tidak lagi baru di antero khazanah buku
dunia. Menurut Pandu, yang perlu digugah tidak hanya pembuat dan
penerbitnya, namun toko buku dan konsumennya juga perlu dibina.
Bahan dirangkum oleh Ary dari:
1. Satrio, BE, Novel Grafis: Komik atau Sastra?, dalam
http://www.kompas.com/kompascetak/0510/15/pustaka/2126542.htm
2. Rizal, Yos, Novel Grafis Tanpa Laporan,
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDI=&dokd=MjY=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=Q1JT&uniq=MjQx
3. Mereka Menyebut Novel Grafis, Pustaka Loka Koran Kompas, dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/15/pustaka/2127465.htm
ASAH PENA
---------
Nadine Gordimer
---------------
Nadine Gordimer (lahir tahun 1923) adalah novelis dan cerpenis asal
Afrika Selatan yang menerima penghargaan Nobel Sastra pada tahun
1991. Kebanyakan karya Nadine berhubungan dengan tema-tema moral dan
psikologis negaranya yang terpecah oleh rasisme. Ia juga pendiri
organisasi Congress of South African Writers. Bahkan saat rezim
apartheid sedang dalam masa puncak, ia tak pernah meninggalkan
negerinya.
Nadine Gordimer dilahirkan di sebuah keluarga kaya di daerah
Springs, Transvaal, sebuah kota pertambangan di wilayah East Rand di
luar kota Johannesburg. Daerah itu jugalah yang menjadi latar novel
pertamanya "The Lying Days" (1953). Ayahnya adalah seorang Yahudi,
pedagang perhiasan yang berasal dari Latvia, sedangkan ibunya
berdarah Inggris. Sejak kecil, Gordimer menyaksikan bagaimana
minoritas kulit putih terus mengurangi hak-hak kaum mayoritas kulit
hitam. Gordimer dididik di sebuah sekolah yang ketat. Ia hanya
menghabiskan setahun di Universitas Witwaterstrand, Johannesburg
tanpa meraih gelar.
Sering dikurung di dalam rumah oleh ibunya yang selalu membayangkan
bahwa ia memiliki kelainan jantung, Gordimer mulai menulis ketika
berusia sembilan tahun. Cerpen pertamanya, "Come Again Tomorrow"
sudah dimuat di halaman anak-anak majalah Forum ketika ia berusia
empat belas tahun. Umur dua puluh, karya-karya Gordimer sudah banyak
dipublikasikan di banyak majalah setempat. Tahun 1951, The New
Yorker menerima salah satunya dan sejak itu menjadi penerbit
karya-karyanya.
Dalam kumpulan cerpen pertamanya "Face to Face" (1949), yang sering
tidak tercantum dalam biografi-biografi tentangnya, Gordimer
mengungkapkan akibat psikologis dari politik diskriminasi yang
terjadi di negaranya.
Novel "The Lying Days" (1953) kebanyakan ditulis berdasarkan
pengalaman hidupnya sendiri. Di situ, ditampilkan tokoh seorang
gadis kulit putih bernama Helen yang dari waktu ke waktu semakin
mengalami ketidakpuasan terhadap kehidupan masyarakat sebuah kota
kecil yang berpikiran sempit. Karya lain di tahun 1950 dan 1960-an
meliputi "A World of Strangers" (1958), "Occasion for Loving"
(1963), dan "The Late Bourgeois World" (1966). Melalui novel-
novelnya tersebut, Gordimer mempelajari hubungan majikan-pembantu,
ketakutan (paranoia) kejiwaan dan seksual terhadap kolonialisme, dan
kebebasan palsu yang dimiliki kaum kulit putih seperti dirinya.
"Occasion for Loving" memberi tekanan pada "barisan kata dalam
sebuah buku peraturan", yakni hukum rasis negara Afrika Selatan yang
kejam. Ceritanya adalah mengenai cinta terlarang antara seorang pria
kulit hitam dan wanita kulit putih yang berakhir dengan pahit.
Tokoh-tokohnya meliputi Ann Davis yang menikahi seorang pria Yahudi
bernama Boaz Davis, seorang peneliti yang penuh dedikasi, yang
bepergian ke seluruh negeri dalam rangka meneliti musik Afrika.
Gideon Shibalo, seorang pelukis berbakat, seorang kulit hitam, yang
sudah menikah meski juga memiliki beberapa hubungan rahasia. Ada
juga Nyonya Jessie Stilwell, seorang wanita bebas namun peragu,
wanita penghibur yang menyediakan diri untuk cinta mereka yang suka
melanggar aturan.
Gordimer mendapatkan pengakuan dari dunia internasional berkat
cerpen dan novel-novelnya. "The Conversationist" (1974)
membandingkan dunia kaum industrialis kulit putih yang kaya raya
dengan tradisi dan mitologi bangsa Zulu. "Burger’s Daughter" (1979)
ditulis selama masa kebangkitan Soweto (South Western Townships).
Berkisah tentang seorang anak perempuan yang menganalisa hubungan
antara dirinya dengan ayahnya, seorang martir dalam pergerakan anti
apartheid. "July’s People" (1981) adalah sebuah novel futuristis
tentang sebuah keluarga kulit putih dari Johannesburg yang turut
menjadi korban akibat pecahnya perang di negeri tersebut, di mana
mereka pergi bersama pelayan Afrikanya untuk mencari tempat
mengungsi di dusunnya.
Kumpulan cerpen Gordimer di masa-masa awal di antaranya termasuk
"Six Feet of the Country" (1956), "Not for Publication" (1965), dan
"Livingstone’s Companions" (1971). Fakta sejarah tentang rakyat yang
dipisahkan akibat rasisme juga adalah dasar penting dalam cerpen-
cerpennya. Dalam cerpen Oral History di buku "A Soldiers Embrace"
(1980), tokoh kepala desa memperoleh jabatannya berdasar hasil
pilihan kubu penindas. Setelah desanya dimusnahkan, ia pun bunuh
diri. Gordimer dengan tenang mengkaji tindakan tokoh protagonisnya,
menghubungkan kejadian tragis tersebut dengan tradisi panjang dari
peraturan kolonial. Dengan mengambil latar belakang perang
kemerdekaan di Zimbabwe (1966-1980), Gordimer menggunakan pohon
Mopane sebagai simbol kehidupan dan kematian –- kepala desa tersebut
gantung diri di pohon Mopane, mayatnya dikubur di bawah pohon Mopane
dan akhirnya pohon tersebut menjadi simbol dari konsolidasi.
Sejak 1948, Gordimer tinggal di Johannesburg. Ia juga mengajar di
beberapa universitas di Amerika Serikat sepanjang tahun 1960-1970-
an. Gordimer telah menulis buku nonfiksi tentang Afrika Selatan dan
membuat film dokumenter televisi, yang paling terkenal adalah saat
ia bekerja sama dengan putranya, Hugo Cassirer, dalam film "Choosing
Justice: Allan Boesak". Dalam buku "The House Gun" (1998) Gordimer
mengeksplorasi rumitnya kekerasan yang terjadi di masyarakat pasca-
apartheid lewat sebuah kisah tentang usaha pembunuhan. Dua orang
kulit putih yang memilki hak bebas, Harald dan Claudia Lindgard
menghadapi kenyataan bahwa putra mereka yang seorang arsitek, Duncan
telah membunuh temannya, Carl Jesperson.
"Karya fiksi terakhirnya menunjukkan sebuah kesiapan menyambut dan
menghadapi jalan dan cara pandang dunia yang baru," tulis sastrawan
J.M. Coetzee saat mengomentarinya di The New York Review of Books
(Oktober 2003). Dalam "The Pick Up" (2001), seting utamanya
mengingatkan beberapa hal di film terkenal "Les Parapluies de
Cherbourg" (1962) yang dibintangi Catherine Deneuve dan Nino
Castelnuovo. Julie adalah putri seorang bankir kaya. Satu kali
mobilnya rusak dan di bengkel ia bertemu Ibrahim, seorang imigran
gelap yang berasal dari sebuah negara Arab. Dua anak muda dari
budaya berbeda itu mulai terlibat hubungan asmara. Meski latar
belakang mereka memisahkan keduanya, seks berhasil menerobos semua
hambatan budaya, namun tidak bisa menghentikan keinginan Ibrahim
akan uang dan kesuksesan, hal-hal yang ditawarkan budaya Barat.
"Amatlah sulit untuk menuliskan tentang kekuatan seks dengan cara
yang indah," kata Andrew Sullivan di New York Times (16 Desember
2001), "karena diperlukan kemampuan untuk mampu mengangkat manusia
dari dunia yang mengotak-kotakkan mereka, diperlukan kualitas luar
biasa yang jarang ada." Namun, Gordimer menulis hal tersebut dengan
mudahnya hingga kita pun bisa melihat pencapaiannya tersebut dengan
jelas. Tema lain dalam buku itu adalah kedewasaan Julie. Saat
Ibrahim harus dideportasi dari Afrika Selatan, ia memaksa untuk
meninggalkan negaranya bersama dia. Julie menikahi Ibrahim dan
menetap di tanah air suaminya. (t/Ary)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Judul asli : Nadine Gordimer (1923-)
Tahun terbit : 2003
Situs : http://www.kirjasto.sci.fi/gordimer.htm
______________________________________________________________________
Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan : Kirim email ke
subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti : Kirim email ke
unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan : Kirim email ke
staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2006
YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |