|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/22 |
|
e-Penulis edisi 22 (22-8-2006)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis
(Menulis untuk Melayani)
Edisi 022/Agustus/2006
KEBIASAAN BURUK DALAM MENULIS
-----------------------------
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi
* Artikel : Tulisanmu bukan Untukmu:
Beberapa Kebiasaan Buruk dalam Menulis
* Tips : Tujuh Jangan untuk Para Penulis
* Pojok Kata : Di Manakah `Di`?
* Stop Press : 1. Baru! Situs Blog: SABDAspace
2. Tampilan Baru SABDA.org
DARI REDAKSI
------------
Salam kasih,
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam hidup manusia adalah
faktor kebiasaan. Kebiasaan yang baik akan membentuk suatu sikap,
kualitas, dan etos hidup yang baik. Demikian pula dalam menulis,
setiap penulis mungkin memiliki kebiasaan atau "ritual" tersendiri.
Kebiasaan-kebiasaan itu bisa berdampak positif, namun ada pula yang
berdampak negatif. Nah, seperti apakah kebiasaan-kebiasaan yang
membawa dampak negatif untuk seorang penulis? Ada beberapa yang akan
dipaparkan di edisi e-Penulis kali ini. Selengkapnya, simak sajian
Artikel dan Tips di bawah ini. Jangan lewatkan pula Kolom Pojok Kata
yang akan membahas kebiasaan yang salah dalam pemakaian ejaan dan
partikel bahasa Indonesia.
Selamat membaca!
Redaksi e-Penulis,
Ary
ARTIKEL
Tulisanmu bukan Untukmu:
Beberapa Kebiasaan Buruk dalam Menulis
--------------------------------------
Setiap orang bisa menulis, itu benar. Namun, tentunya tidak semua
orang menulis dalam level yang sama dengan yang lainnya. Kualitas
sebuah tulisan, atau paling tidak apakah tulisan itu enak dibaca,
juga tidak dapat dilihat hanya dari usia, gender, latar belakang
pendidikan, status sosial, bahkan pemahaman seorang penulis terhadap
topik yang ia tulis. Jam terbang tentunya cukup menentukan. Namun
lebih daripada itu, ada satu hal lain yang tak kalah penting, yaitu
bagaimana sikap penulis terhadap pembaca.
Seorang penulis tidak bisa hidup tanpa pembaca. Bahkan dikatakan
ketika sebuah tulisan diterbitkan (apa pun medianya), maka tulisan
itu bukan lagi menjadi milik penulis, melainkan milik pembaca.
Itulah yang disampaikan Roland Barthes dalam karyanya "Dead of the
Author". Lebih dalam lagi, sastrawan almarhum Pramoedya Ananta Toer
dalam berbagai kesempatan malah menyebut menulis sebagai sebuah
tugas sosial. Saat menulis, seseorang harus menyadari bahwa ia
menulis untuk melayani masyarakat (pembaca), jadi pembaca adalah
yang utama. Paradigma ini sangat perlu ditanamkan di benak mereka
yang ingin menjadi penulis yang baik. Anda bisa menyajikan tulisan
yang baik jika tulisan Anda:
(1) menghormati pembaca;
(2) berbicara dengan pembaca;
(3) tidak berbelit-belit.
Meski demikian, nyatanya banyak orang yang masih sering gagal
membuat tulisan yang menarik minat pembaca. "Saya memiliki banyak
pemikiran untuk dibagikan yang sering saya tulis dan saya sebar di
milis-milis. Namun, jarang ada yang merespon, malah ada di antara
mereka yang salah mengerti atas apa yang ingin saya sampaikan,"
keluh seorang rekan.
Rekan saya tersebut memang suka menuliskan ide-idenya. Namun,
ternyata dari tulisannya sering terlihat beberapa hal tak perlu yang
selalu ia lakukan dan selalu ia ulang. Hal-hal tersebut mungkin
sepertinya kecil, tapi jika dilakukan berulang-ulang dan bahkan
menjadi kebiasaan, yang kecil itupun menjadi sesuatu yang besar.
Kebiasaan-kebiasaan itu adalah sebagai berikut.
1. Tidak peduli pada pembaca
----------------------------
Penulis sering lupa kalau ia bukan menulis untuk dirinya sendiri.
Untuk itu, langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan
memakai kata "Anda", "kau", dsb. dalam porsi tepat untuk menciptakan
kedekatan/interaksi antara penulis dan pembaca. Selain itu,
bicaralah pada pembaca seakan Anda mengobrol dengan mereka. Ini
tidak berarti berbicara dengan gaya bahasa santai seperti orang
mengobrol, namun memakai pernyataan langsung dan kata kerja aktif
yang memperjelas siapa sedang berbicara dengan siapa.
Bicara dengan pembaca juga berarti menggunakan kalimat-kalimat yang
sederhana. Jika Anda berpikir bahwa memakai kata-kata yang rumit dan
"berbusa-busa" akan membuat pembaca tertarik, Anda salah. Dalam
menulis, tujuan Anda adalah untuk menjelaskan, bukan untuk
membuktikan bahwa Anda lebih pintar dari pembaca. Manusia memang
memiliki dua macam bahasa. Bahasa lisan yang biasanya lebih
sederhana dan bahasa tulisan yang biasanya lebih panjang. Pakailah
bahasa yang sederhana untuk membuat pembaca lebih cepat menangkap
makna yang ingin disampaikan. Sebaliknya, saat memakai kalimat-
kalimat panjang, Anda akan memaksa pembaca untuk menerjemahkan
kalimat panjang dan rumit itu ke bentuk yang sederhana. Ini juga
yang dilakukan copywriter dalam dunia periklanan. Mereka akan
memakai kata-kata yang paling memiliki daya persuasif (menggoda/
membujuk/memikat) untuk menarik perhatian pembaca. Kata-kata itu
sering kali sederhana seperti "ya", "gratis", "dijamin", "baru",
dll.
Di beberapa tempat, dalam penulisan yang melibatkan opini,
penggunaan kata "saya" dilarang. Namun sebenarnya, kata "saya" malah
bisa dipakai untuk lebih memberi kesan lugas. Sementara kata "kita"
dalam sebuah penulisan opini akan memiliki kesan mendominasi,
mengklaim, dan memaksa pembaca menuruti pendapat penulis. Pada
akhirnya, yang tak kalah penting adalah bersikaplah jujur, jangan
berlebihan. Sekali pembaca menangkap kalimat Anda yang berlebihan,
kalimat-kalimat Anda berikutnya akan dicurigai.
2. Pamer
--------
Sama halnya dalam pergaulan, penulis yang suka pamer tidak akan
memiliki banyak pembaca. Kebiasaan pamer ini biasa berwujud
penggunaan kata-kata sulit yang tak perlu untuk satu makna yang
sebenarnya mudah. Penggunaan kata-kata sulit (namun tak tepat),
misalnya terdapat ketika menyebut seorang sebagai pemimpin
"karismatis" hanya karena pemimpin itu memiliki penampilan fisik
yang menarik dan murah senyum. Hal serupa juga terjadi pada
kebiasaan pemakaian kata-kata bahasa asing atau istilah teknis yang
sebenarnya tak harus dipakai. Memang kata-kata teknis, bahasa asing,
atau kata-kata sulit tidak dilarang untuk dipakai. Dan jika memang
harus dipakai, untuk menghindari kesan pamer itu perlu dibuat sebuah
standar untuk tulisan. Jika Anda tergabung dalam sebuah institusi
(misalnya di sebuah kantor jasa), standar itu berguna untuk
menetapkan apakah Anda akan memakai kata klien, konsumen, pelanggan,
dll. untuk menyebut mereka yang memakai jasa institusi Anda. Standar
ini pun bisa ditetapkan jika Anda menulis mewakili pribadi, namun
sekali lagi dengan mengingat bahwa Anda menulis untuk pembaca.
3. Terjebak dalam klise/jargon
------------------------------
Kata-kata klise atau jargon dapat membuat pembaca bosan dan muak. Di
zaman Orde Baru ada kata-kata atau istilah seperti "pembangunan",
"nusa dan bangsa", "era tinggal landas", dsb. yang sangat sering
diucapkan bahkan dalam konteks yang tidak selalu tepat. Hal ini juga
bisa ditemui dalam bidang-bidang khusus lainnya.
Kebiasaan ini bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama, penulis
merasa nyaman dengan hal itu sehingga tak menyadarinya lagi. Kedua,
kata-kata klise sering tidak disadari. Dalam beberapa hal, kata yang
trendi atau yang sedang dibicarakan banyak orang (untuk saat ini
misalnya: reformasi, indie, dll.) bisa berpotensi menjadi klise.
Jadi, setiap periode waktu tertentu memiliki kata klisenya sendiri.
Bahkan pemberian tanda petik dalam kata yang klise juga tidak banyak
membantu. Malah dengan melakukannya, Anda seakan sedang
menggarisbawahi kekurangan Anda sendiri.
Untuk jargon, (misalnya, istilah "gereja yang injili" yang sering
dipakai dalam artikel tentang penginjilan) sering kali dipakai tanpa
memberikan kejelasan makna. Jika memang ingin memakainya, sebaiknya
jelaskan artinya, kalau tidak, lupakan. Penulis yang baik adalah
penulis yang rajin menggali dan memperkaya perbendaharaan
kosakatanya.
4. Selip kata
-------------
Salah ketik, salah pelafalan, kurang tanda baca (tanda koma, tanda
titik, tanda tanya, dsb.) atau pemakaian tanda baca yang tidak
tepat, subjek dan predikat yang tidak cocok, penempatan kata yang
salah, dan penggunaan kalimat menyangatkan (superlatives) yang
ditandai oleh kata-kata beratribut ter-, paling, dsb. tanpa didukung
alasan yang kuat adalah kebiasaan yang dapat membuat pembaca merasa
terganggu.
5. Kurang jelas dan kurang lengkap
----------------------------------
"Aku tidak memberitahu, aku tidak menjelaskan, aku menunjukkan,"
itulah nasihat Tolstoy. Untuk menghindari kebiasaan membuat tulisan
yang kurang jelas dan lengkap ini, diperlukan keterampilan dalam
membuat deskripsi. Ketimbang menyebut sesuatu baik/buruk sehingga
membuat tulisan terkesan tendensius, lebih baik tunjukkan kebaikan
atau keburukan itu dengan penggambaran yang mendukung. Biarkan
pembaca mengintepretasikannya sendiri. Saat Anda ingin menulis
sebuah cerita dengan seorang tokoh yang punya karakter pemarah,
jangan beri tahu pembaca bahwa "dia" pemarah, tapi tunjukkan sifat
tersebut. Perhatikan contoh berikut.
"Lelaki itu datang ke perkebunan sambil membawa sekop, lalu
menggaruk-garuk tanah hingga tanaman yang tumbuh di atasnya
berantakan. Sang pemilik datang dengan mengacungkan parangnya
kemudian berusaha mengusir lelaki itu sembari mengancam akan
melaporkannya ke polisi. Bukannya takut, lelaki itu malah
menghampiri sang pemilik kebun. Matanya menyipit karena marah,
lalu meludah sebelum mengatakan kalau dia tidak takut pada polisi.
"Kamu pikir polisi berani padaku?" tanyanya sambil mendengus
kesal. "Aku tak sabar menunggunya." Lelaki itu tersenyum
meremehkan, ia menendang pot bunga yang ada di dekatnya dan
kembali mengacungkan sekopnya ke arah pemilik kebun. "Katakan pada
mereka, kalau aku menunggunya di sini," teriaknya. *)
Dari penggambaran di atas, terlihat kalau sang lelaki itu bukan saja
pemarah, tapi juga seorang pengacau. Tidak perlu dikatakan kalau dia
pengacau, tapi pembaca akan tahu secara lebih jelas kalau lelaki itu
pengacau melalui penggambaran yang ditulis.
Lengkap dan jelas juga tidak berarti panjang. Pascal pernah menulis
surat, "Maaf karena merepotkan Anda dengan tulisan yang panjang
mengingat saya tidak punya waktu untuk menulis yang pendek." Menulis
secara singkat dan lengkap memerlukan waktu. Hindari juga terlalu
banyak menulis singkatan dan akronim, kecuali Anda yakin bahwa
pembaca akrab dengan singkatan atau akronim tersebut.
6. Tidak menghargai
-------------------
Tindakan yang tidak menghargai pembaca maupun orang lain, misalnya
terlihat dari kalimat-kalimat yang mengandung stereotipe, pukul
rata, dan mengandung bias. Untuk menghindari hal itu, jika
memungkinkan, mintalah penilaian dari pembaca pertama (keluarga atau
teman) sebelum memublikasikan tulisan. Akan lebih baik lagi jika
mereka itu termasuk dalam golongan target pembaca Anda. Jangan marah
atau tersinggung jika pendapat mereka tidak sesuai dengan harapan
Anda.
Disarikan oleh Ary dari sumber-sumber:
- Scott, Dewitt. H,. Secrets of Succesful Writing, Reference
Software International, USA, 1989.
- Wibowo, Wahyu., 6 Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan
Enak Dibaca, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
*) contoh diambil dari posting di milis penulislepas
<penulislepas(at)yahoogroups.com> oleh Diena Ulfaty
<d33_n4(at)xxx>
TIPS
Tujuh Jangan untuk Para Penulis
-------------------------------
Hanya tujuh? Tentu tidak. Tapi sebagai langkah awal untuk menjadi
penulis yang berhasil, tujuh hal inilah yang wajib dihindari seorang
penulis. Untuk selanjutnya, biarlah pengalaman yang mengajari Anda.
1. Menulis buku tanpa melengkapi bagian-bagian buku, seperti
prakata, daftar pustaka, indeks, glosarium.
Kata pengantar/prakata penting untuk membantu pembaca meraba apa
yang bisa ia dapatkan dari buku Anda. Daftar pustaka, indeks, dan
glosarium juga sangat membantu pembaca agar bisa lebih cepat menuju
apa yang ia cari. Tak jarang sebelum memutuskan untuk membeli,
seorang pembaca akan memeriksa daftar pustaka, indeks, maupun
glosarium sebelum memutuskan apakah buku tersebut sesuai dengan yang
ia inginkan. Daftar nama, istilah, peristiwa, tanggal penting dalam
sebuah indeks atau daftar definisi dalam sebuah glosarium sangat
disukai, terutama oleh mereka yang sedang mencari bahan referensi.
2. Mengirim naskah tanpa pengantar atau proposal.
Pengantar atau proposal bukanlah untuk berbasa-basi. Pengantar atau
proposal yang Anda sertakan ketika mengirim naskah ke penerbit/media
akan membantu editor mendapat gambaran tentang apa yang Anda
tawarkan. Pengantar yang baik dan menarik juga akan membawa kesan
pertama yang baik untuk editor.
3. Mengutip tanpa mencantumkan sumber kutipan.
Ingat, ini adalah zaman di mana hak cipta menjadi satu tema pokok
yang lumayan sensitif. Anda boleh saja tidak setuju dengan masalah
hak cipta (dan masalah ini memang masih jadi bahan perdebatan).
Namun, terlepas dari masalah hukum tadi, penulis yang baik adalah
penulis yang menghormati sejawatnya. Jika Anda lupa dari mana Anda
mendapatkan kutipan tersebut, lebih baik urungkan niat Anda
mencantumkan kutipan itu. Jika ternyata hanya mampu mengingat
sebagian informasi (nama atau judul buku) dari sumber kutipan yang
sangat penting, dengan terpaksa pakailah kalimat tak langsung atau
akui saja dalam tulisan bahwa Anda memang lupa. Penulis yang baik
bukanlah yang menulis dengan tujuan untuk mencari nama, popularitas,
pujian, maupun kekayaan belaka; memberi sumbangan pikiran dan
membagi wawasan yang dimiliki kepada khalayak adalah tujuan yang
jauh lebih mulia. Sebab itu, tak ada salahnya terlihat "bodoh",
namun jujur daripada terlihat "pintar" tapi ternyata hanya klaim
palsu. Demikian juga tak ada ruginya mempromosikan tulisan orang
lain dalam tulisan Anda. Bahkan referensi/sumber kutipan yang
lengkap malah membuktikan bahwa Anda menulis dengan landasan yang
kuat.
4. Menulis tanpa berempati terhadap pembaca.
Jika dalam dunia dagang dikenal "pembeli adalah raja", hal yang sama
juga terjadi dalam dunia penulisan. Pembaca bahkan adalah dewa
karena hidup mati seorang penulis mutlak bergantung pada mereka.
Lebih dari sebuah hubungan jual beli, dalam dunia penulisan pembaca
juga bisa menghasilkan produk yang sama (yaitu tulisan) dalam bentuk
resensi, komentar, atau kritik terhadap sebuah tulisan. Karena itu,
jangan sekali-kali mengabaikan pembaca. Mereka bisa sewaktu-waktu
berubah menjadi sama atau bertukar posisi dengan Anda.
5. Menulis tanpa referensi yang memadai.
Tak hanya buku non-fiksi, buku fiksi pun memerlukan referensi.
Kecuali Anda seorang yang memiliki imajinasi begitu luar biasa
sehingga mampu menciptakan sebuah seting, karakter, dan sebuah
realitas yang benar-benar murni dan belum pernah terpikirkan
sebelumnya, barulah Anda boleh menulis tanpa banyak referensi selain
dari imajinasi Anda sendiri. Semakin lengkap referensi yang
dimiliki, tulisan akan semakin meyakinkan dan berkualitas. Ide yang
sangat bagus, namun dengan referensi yang kurang (kurang lengkap
atau malah kurang tepat) akan berpotensi untuk cepat disanggah dan
kemudian segera dilupakan.
6. Asal menulis.
Jangan asal menulis. Saat ada ide Anda memang harus segera
menuliskannya, namun lebih baik pakailah tulisan awal itu untuk
brainstorming dahulu. Setelah itu, tentukan teknik menulis terbaik
yang akan Anda pakai. Tak jarang teknik atau cara menulis/bercerita
lebih utama daripada isi cerita itu sendiri. Rencanakan segala
sesuatunya dengan matang. Inilah perlunya outline/kerangka karangan.
Tak ketinggalan, terutama dalam menulis fiksi, karakter juga
memiliki peran penting. Ada pembaca yang tertarik mengikuti sebuah
cerita karena penasaran atau jatuh cinta dengan karakternya.
Rencanakan semuanya secara matang dan setelah itu, jangan lupa juga
untuk segera menuangkannya dalam tulisan.
7. Menolak naskahnya disunting editor.
Apakah Anda menganggap editor hanyalah seorang yang suka mengacak-
acak tulisan orang lain dan menggantinya sekehendak hatinya? Ya,
editor (dan kritikus) kadang memang menjengkelkan, bertindak seakan
dirinya tuhan. Tapi hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menjalin
hubungan yang baik serta sering berkomunikasi untuk mencapai titik
temu terbaik. Namun, jangan sampai Anda menganggap peran editor
tidak diperlukan. Tanpa editor, tulisan Anda bisa terjebak dalam
subjektivitas. Pada akhirnya, kerendahan hati adalah karakter kunci
untuk berkembang.
Artikel di atas dikutip dan diedit dari:
Judul artikel: 7 Jangan untuk Para Penulis
Penulis : Mahardica
Sumber : http://pelitaku.sabda.org/node/221
POJOK KATA
Di Manakah `Di`?
---------------
Coba kita memasuki Jalan Diponegoro. Di depan Taman Surapati akan
tampak sepetak tanah yang rapat dikelilingi pagar, dengan sekalimat
pemberitahuan:
DI SINI AKAN DI BANGUN.
Si penulis pemberitahuan itu pasti tak tahu ada dua macam "di" dalam
kalimatnya yang seharusnya berbeda. "Di" yang pertama menunjukkan
tempat -- yang harus dituliskan terpisah dari kata yang menunjukkan
tempat itu. "Di" yang kedua merupakan sebuah awalan untuk sebuah
kata kerja pasif -- yang harus merapat pada kata yang diawalinya.
Bedanya? Kita tahu, "di langgar" (artinya: di surau) tidak sama
dengan "dilanggar" (artinya: ditabrak).
Tapi benarkah kita tahu? Ketika ejaan diperbaharui di awal tahun
1970-an, umumnya orang ingat ada perubahan menulis secara tertentu;
misalnya huruf "tj" ("tjowok") diganti dengan "c" (jadi "cowok").
Tapi umumnya orang lupa, sejak saat itu sebenarnya ada ketentuan
agar kita menuliskan secara berbeda kedua macam "di" itu.
Tapi apa lacur: sampai pada awal abad ke-21, kekacauan masih banyak
terjadi. Kalimat di depan Taman Surapati itu adalah contohnya.
Dengan kata lain, ada yang gagal dari niat pembaharuan ejaan tiga
puluh tahun yang lalu.
Mungkin karena Pusat Bahasa yang jadi pendorong ikhtiar nasional
itu hanya sibuk dengan perkara cara menulis yang berubah. Atau
mungkin para pegawainya hanya repot dengan ide perubahan bersama
antara Melayu-Indonesia dan Melayu-Malaysia dalam hal ejaan. Mungkin
karena para pakar Pusat Bahasa sendiri tak sadar bahwa mementingkan
ejaan sesungguhnya menegaskan perubahan sebuah kebudayaan.
Ejaan adalah perkara huruf. Kini, mau tak mau, kita hidup dalam
kebudayaan beraksara. Agaknya Walter Ong, dengan bukunya yang
termasyhur itu, "Orality and Literacy", yang pertama kali dengan
bagus menunjukkan apa implikasi "beraksara" itu. Terutama jika
dibandingkan dengan kebudayaan yang hampir sepenuhnya mengandalkan
komunikasi dan ekspresi lisan.
"Teknologi tulisan," kata Ong, "mengubah kesadaran manusia." Berbeda
dengan kebudayaan lisan, aksara memberi bentuk linear kepada pikiran
kita. Dengan itu, terbuka dan terdoronglah kita untuk bersikap
analitis. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah adalah ketika
orang Yunani mulai menghayati alfabet. Dunia pemikirannya pun
berubah, tak lagi berdasar kisah lisan Homeros, melainkan bersama
Plato, yang mampu mengurai persoalan hidup dan jalan pikiran secara
tajam.
Mengurai juga berarti menyadari dalam menggunakan kata, bukan
mengigau. Karena tanpa sikap analitis yang memadai, kita pun mudah
mencampuradukkan "kontra" dengan "kontrak", sehingga kita memasang
pengumuman di depan pintu: "RUMAH INI DIKONTRAKAN" (dengan satu
"k").
Atau kita alpa bahwa akar kata "berubah" bukanlah "rubah" (nama
sejenis hewan yang dalam bahasa Inggris disebut "fox"), melainkan
"ubah", sehingga "merubah" sebenarnya berarti "menjelma jadi rubah".
Memang ada yang hilang dalam kebudayaan aksara, tapi bisakah kita
mengabaikan, betapa pentingnya kini sikap analitis dalam berbahasa
dan berpikir? Tak hanya untuk melahirkan seorang Plato. Tapi juga
buat soal yang lebih sehari-hari, misalnya ketika kita harus
menggugat sebuah perlakuan yang kita anggap secara seenaknya
menafsirkan hukum. Kita hanya bisa menggugat secara efektif, jika
bisa bertanding tafsir atas kata-kata dalam peraturan itu dan adu
tafsir pada dasarnya adu analisis.
Syahdan, ada sebuah teori, berdasarkan pengalaman, bahwa di
masyarakat yang terbiasa dengan aksara, orang ramai tak mudah
dihasut. Orang akan lebih mampu menyimak kembali dan menguraikan
informasi yang didapat.
Kalau tak percaya, coba bayangkan di sebuah pertemuan seseorang
berseru: "Tadi siang Quran kita dibiarkan di langgar!" Orang ramai
yang mendengar mungkin akan marah besar; mereka menyangka bahwa yang
dimaksudkan adalah "Tadi siang Quran kita dibiarkan dilanggar!"
Artikel di atas dikutip dan diedit dari:
Judul artikel : Di Manakah `Di`?
Penulis : Goenawan Mohamad
Alamat milis : sastra-pembebasan(at)yahoogroups.com
= STOP PRESS =
1. Baru! Situs Blog: SABDA Space
-------------------------------
Kabar gembira bagi para penulis blog Kristen (Christian bloggers)!
Bulan Juli yang lalu, Yayasan Lembaga SABDA telah meluncurkan Situs
SABDAspace sebagai wadah untuk orang-orang Kristen menuangkan
pemikiran, ide, dan aspirasi yang dapat menggugah kebangunan di
Indonesia; baik itu kebangunan dalam hal moral, etika, estetika,
pengetahuan dan terutama kerohanian di Indonesia. Melalui situs ini
selain bisa membuat blog pribadi, Anda juga bisa menulis/
mengomentari artikel sesuai dengan topik-topik yang tersedia, yaitu
Bahasa/Sastra, Kaum Muda, Kesaksian, Pengajaran/Guru, Penginjilan,
Pribadi, dan Puisi. Mulailah menulis dan kirimkan karya Anda ke
situs penyedia blog gratis, SABDA Space!
==> http://www.sabdaspace.org/
2. Tampilan Baru SABDA.Org
--------------------------
Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) menginformasikan bahwa situs SABDA.org
telah memiliki wajah (tampilan) dan format baru yang lebih menarik
dan lengkap. Dengan wajah baru SABDA.org ini Anda dapat melihat
lebih jelas kekayaan informasi yang terdapat didalamnya. Lima tab
menu utama di halaman tengah akan mengantar Anda menuju ke sumber-
sumber (resources) yang dimiliki SABDA.org. Ditambah mesin pencari
yang canggih akan membuat Anda serasa dimanjakan karena sekarang
dengan mudah Anda bisa mencari bahan yang dibutuhkan. Pelayanan
Yayasan Lembaga SABDA, yang menaungi situs SABDA.org ini juga dapat
lebih Anda kenal melalui halaman-halaman yang disajikan. Selamat
berkunjung.
==> http://www.sabda.org/
______________________________________________________________________
Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan : Kirim email ke
subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti : Kirim email ke
unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan : Kirim email ke
staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://pelitaku.sabda.org/
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2006
YLSA -- http://ylsa.sabda.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |