|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-penulis/20 |
|
e-Penulis edisi 20 (22-6-2006)
|
|
______________________________________________________________________
e-Penulis
(Menulis untuk Melayani)
Edisi 020/Juni/2006
TULISAN TERJEMAHAN
------------------
= DAFTAR ISI =
* Dari Redaksi
* Artikel #1 : Tidak Sekadar Alih Bahasa
* Artikel #2 : Tentang Penerjemah
* Asah Pena : Fyodor Dostoyevsky
* Surat Pembaca: Forum Penulis Kristen
DARI REDAKSI
Salam kasih,
Dunia penerjemahan dan kekristenan merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan bahkan saling memengaruhi. Melalui upaya penerjemah,
literatur Kristen dapat disebarkan dalam berbagai bahasa.
Sebaliknya, lewat semangat menginjili kepada berbagai suku bangsa
dan bahasa, kegiatan penerjemahan semakin berkembang hingga saat
ini. Berangkat dari fakta di atas, e-Penulis kali ini mencoba
mengetengahkan topik seputar dunia penulisan terjemahan. Simaklah
dua artikel yang berisi pendapat dari para praktisi penerjemahan di
Indonesia mengenai hal ini.
Selamat membaca!
Redaksi e-Penulis,
Ary
ARTIKEL #1
Tidak Sekadar Alih Bahasa
-------------------------
Menerjemahkan buku atau karya tulis baik itu fiksi maupun nonfiksi
dari bahasa satu ke bahasa yang lain adalah suatu pekerjaan yang
tidak hanya sekadar mengalihbahasakan suatu karya saja. Namun, lebih
dari itu, penerjemah juga dituntut untuk menyalurkan gagasan penulis
ke pembaca dalam bahasa sasaran.
Oleh karena itu, seorang penerjemah yang baik selain harus menguasai
bahasa sumber dan sasaran juga wajib memahami situasi dan konteks
dari karya yang akan diterjemahkan. "Penerjemahan itu bukan
pengalihan kata, karena itu saya tidak setuju dengan istilah
mengalihbahasakan. Menerjemahkan itu menyampaikan kembali dalam
bahasa lain. Hal itu luas aspeknya, tidak hanya (menerjemahkan)
kata-kata saja, tetapi juga suasana dan nuansanya. Jadi, ini
merupakan pekerjaan yang membutuhkan rasa seni juga," papar Koesalah
S Toer, penerjemah novel terjemahan "Musashi" yang awalnya
diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di harian Kompas awal
tahun 1980-an.
Hal yang hampir senada juga diungkap oleh Sapardi Djoko Damono,
penyair yang juga seorang penerjemah. Menurut Sapardi, menerjemahkan
adalah proses mengalihkan satu kebudayaan ke kebudayaan lain atau
suatu pengertian dari kebudayaan yang satu ke pengertian kebudayaan
yang lain. Jadi, hal yang utama dalam karya terjemahan menurut
Sapardi adalah keterbacaan dan kepemahaman.
Artinya, kemampuan atau potensi untuk bisa dipahami dalam bahasa
sasaran. Oleh karena itu, terjemahan yang baik menurut dia adalah
terjemahan yang bisa dibaca oleh pembaca sasaran.
Sementara itu, Manneke Budiman, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI), menambahkan bahwa pekerjaan
menerjemahkan buku, terutama karya sastra, selain memindahkan
gagasan atau makna juga memindahkan bentuk. Contohnya, prosa menjadi
prosa atau puisi tetap menjadi puisi. Dengan demikian, kemudian
timbul pendapat bahwa yang bisa menerjemahkan karya sastra itu
hanyalah sastrawan.
Lalu, apa yang diperlukan agar karya terjemahan bisa dibaca dan
dipahami oleh pembaca? Pertama, seorang penerjemah selain harus
menguasai bahasa asal atau sumber juga harus memahami konteks dan
latar belakang budayanya.
"Kadang-kadang ada penerjemah yang menguasai bahasa asalnya, tapi
konteks zaman atau peristiwa sejarahnya kurang dikuasai. Akibatnya,
kendati bahasanya (asal) dikuasai betul, dalam proses menerjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia bisa menjadi tidak tepat. Ini karena
mereka tidak menguasai konteks zaman, historis, maupun kondisi
sosialnya," ujar Manneke.
Faktor yang kedua adalah penguasaan bahasa sasaran. "Penguasaan
bahasa sasaran atau dalam hal ini bahasa Indonesia, menurut saya,
justru lebih penting daripada penguasaan bahasa asal atau sumber,"
kata Sapardi. Menurut dia, baik-buruknya kualitas penerjemah di sini
bukan terutama lantaran gaji kecil atau tidak, tetapi lebih karena
kemampuan bahasa sasaran yang kurang.
"Mungkin mereka menguasai benar bahasa Inggrisnya, tapi bahasa
Indonesianya justru tidak. Nah, ini justru berbahaya sekali," tutur
Sapardi. Lebih pentingnya penguasaan bahasa sasaran ketimbang bahasa
asal juga dibenarkan oleh Hendarto Setiadi, penerjemah yang banyak
menerjemahkan buku-buku fiksi.
"Bahasa sasaran itu lebih penting daripada bahasa asal. Kalau bahasa
asal kita enggak tahu, kita bisa buka kamus, tanya teman, atau cari
di internet. Tapi kalau kosakata kita terbatas, pengetahuan tentang
susunan kalimat atau gramatik kita juga terbatas, dengan sendirinya
hasilnya juga enggak baik, kurang variatif, bahkan enggak bunyi,"
jelas Hendarto yang menerjemahkan buku "Dan Damai di Bumi" karangan
Karl May.
Pendapat senada dilontarkan oleh Manneke Budiman. "Bagaimanapun,
penguasaan bahasa sasaran memang harus lebih dikuasai oleh seorang
penerjemah. Memang ada `lost and gain-nya` kalau bahasa sasaran
dikuasai dengan baik, tetapi jika bahasa sumbernya tidak dikuasai
dengan baik, tetap menjadi masalah. Akan tetapi, persoalan ini bisa
diatasi asalkan penerjemahnya rajin. Artinya, dia bisa tanya orang
atau cari di kamus. Kalau bahasa sasaran yang tidak dikuasai, hal
ini bisa menjadi persoalan besar karena ada kecenderungan kalau kita
sudah merasa pintar berbahasa Indonesia. Sehingga tidak ada lagi
dorongan untuk rajin atau bertanya, bahkan membuka yang namanya KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Gejala seperti ini sangat terlihat
jelas akhir-akhir ini, terutama dengan buku-buku terbitan Jogja.
Kovernya bagus-bagus, kelihatannya menarik. Orang menjadi terpukau
untuk beli. Akan tetapi, begitu melihat terjemahannya, waduh ....
Orang-orang yang mengaku kenal Gramsci, mengenal Foucault, tapi
ternyata ketika sampai ke dalam bahasa Indonesia menjadi sama sekali
tidak bisa dikenali," papar Manneke.
Menerjemahkan buku nonfiksi memang agak berbeda dengan karya fiksi.
Menurut Sapardi, menerjemahkan buku nonfiksi lebih ketat
dibandingkan dengan karya fiksi atau karya sastra.
"Buku nonfiksi seperti karya ilmiah, misalnya, terjemahannya enggak
boleh melenceng sama sekali dengan aslinya. Kalau bisa, setiap kata
ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Nah, kalau hasilnya menjadi
tidak terbaca, itu masalah lain lagi. Tapi, bagaimanapun terjemahan
yang baik itu tetap yang bisa dibaca," jelas Sapardi yang juga
tercatat sebagai Guru Besar FIPB UI dan dosen Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Berbeda dengan Sapardi, Manneke berpendapat bahwa menerjemahkan
karya nonfiksi justru lebih leluasa atau lebih bebas ketimbang
menerjemahkan karya fiksi. Menurut Manneke, di dalam menerjemahkan
karya fiksi sering kali orang berbenturan dengan keharusan untuk
mempertahankan bentuk, seperti dalam menerjemahkan puisi yang tidak
betul-betul bebas karena ada aturan-aturan tertentu.
"Dalam menerjemahkan karya nonfiksi seperti pengetahuan umum,
misalnya, saya tidak melihat sejauh mana dia (penerjemah) mampu
mempertahankan bentuk yang asli, tetapi yang lebih penting adalah
sejauh mana dia bisa menyampaikan maknanya kepada pembaca Indonesia.
Selama makna terseberangkan, hilangnya beberapa detail, bahkan kalau
perlu dengan merombak struktur kalimat yang kompleks menjadi simpel,
enggak apa-apa karena penerjemahan nonfiksi itu biasanya bersifat
memberi tahu orang tentang sesuatu, atau bagaimana cara melakukan
sesuatu. Nah, dengan demikian yang lebih penting adalah kemampuan
untuk menyeberangkan gagasan utamanya. Makna tersampaikan dengan
baik dan tidak ada kesalahpahaman," papar Manneke.
Persoalan keleluasaan atau kebebasan dalam penerjemahan, terutama
karya fiksi atau sastra, ternyata hingga kini masih menjadi salah
satu persoalan klasik di dunia sastra. Paling tidak ada dua aliran
penerjemah yang berbeda dalam memandang bagaimana seharusnya
menerjemahkan sebuah karya sastra.
Kelompok pertama adalah mereka yang punya kecenderungan
menerjemahkan karya sastra secara lebih ketat. Sementara kelompok
yang kedua cenderung menerjemahkan karya sastra secara lebih bebas.
Menurut Aprinus Salam, pengamat sastra dari kota Yogyakarta, mereka
yang menerjemahkan sastra secara lebih ketat biasanya mencoba
melakukan penerjemahan sesuai dengan teks aslinya dan secara
bertanggung jawab melakukan proses imajinasi sesuai dengan aslinya.
Sementara kelompok yang kedua cenderung melakukan praktik-praktik
penerjemahan yang lebih bebas. Penerjemah yang masuk dalam kelompok
ini biasanya mencoba menulis ulang sesuai dengan bahasa dan
imajinasi si penerjemah. Oleh karena itu, mereka sering mendapat
sebutan sebagai pengkhianat kreatif.
"Mereka disebut sebagai pengkhianat kreatif karena dalam
menerjemahkan karya sastra mereka melakukan kreativitasisasi, tapi
mengkhianati teksasinya," tutur Aprinus Salam yang juga aktif
mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menurut
Aprinus, penerjemah kreatif seharusnya menerjemahkan seperti
mendalami laut, jadi ada semacam kontekstualisasi.
"Dalam beberapa hal saya lebih berpihak kepada penerjemah yang
melakukan usaha-usaha kontekstualisasi. Karena dengan
kontekstualisasi, teks tersebut bisa bermakna bagi pembacanya. Oleh
karena itu, ketika karya-karya Ernest Hemingway diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, saya berkeyakinan bahwa sampai saat ini
karya itu belum bisa diterima oleh banyak orang," kata Aprinus.
Sapardi Djoko Damono merupakan salah seorang penerjemah yang masuk
dalam kategori penerjemah yang lebih bebas. Berbagai macam karya
terjemahan mulai dari puisi, cerita pendek, naskah drama, hingga
novel sudah ia buat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah
umum.
Latar belakang dia sebagai penyair cukup berpengaruh terhadap karya-
karya terjemahannya yang cenderung lebih bebas. "Terjemahan itu
bebas, paling tidak kalau saya yang menerjemahkan. Menerjemahkan itu
mengkhianati sesuatu karya sastra dari bangsa lain atau budaya lain
kepada bangsa kita supaya bisa dipahami. Seperti orang Italia
bilang: terjemahan itu ibarat perempuan. Kalau setia tidak cantik,
kalau tidak setia justru cantik. Nah, kalau dilihat dari sejarah
kesusastraan kita, sebenarnya apa yang dianggap sebagai karya sastra
kita hampir semua karya terjemahan belaka. Contohnya, Sri Rama,
Mahabarata, atau Aji Parwa, itu semua karya terjemahan. Apakah itu
sesuai dengan aslinya di India sana, tentu saja tidak. Yang jelas,
buku-buku itu bisa dibaca dan dijadikan sebagai karya sastra agung
sejak nenek moyang kita dulu. Hal ini juga terjadi di Eropa. Banyak
karya sastra romantik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman yang kemudian menjadikan gerakan romantik di Jerman itu
menjadi penting. Nah, untuk sastra modern di Indonesia gampang
sekali. Chairil Anwar menerjemahkan sajak John Cornford yang
judulnya "Poem" menjadi "Huesca". Itu kan rusak sama sekali. Tapi,
sebagai sajak Indonesia, terjemahan itu luar biasa bagusnya. Dia
mungkin berusaha setia, tapi dia tahu potensi yang ada pada bahasa
Inggris berbeda dengan yang ada di Indonesia sehingga dia harus
mengubah. Jadi, toleransi ketidaksetiaan dalam terjemahan fiksi itu
bisa sangat besar, baik untuk puisi maupun prosa," kata Sapardi.
Penerjemahan karya sastra yang cenderung bebas seperti yang
dilakukan oleh Sapardi maupun Chairil Anwar ini ternyata mendapat
kritikan dari Manneke Budiman. Menurut Manneke, menerjemahkan karya
sastra tetap harus setia terhadap makna dan bentuk.
Jadi, yang dikhianati itu pilihan kata, sementara makna dan suasana
yang dibangun maupun bentuknya harus tetap dipertahankan. Tapi,
bagaimana kemudian makna itu dinyatakan dalam suatu bentuk tertentu
bisa sangat fleksibel dalam penerjemahan sastra.
Oleh karena itu, karya terjemahan yang kreativitasnya sudah terlalu
jauh sehingga sangat kental menampilkan warna pribadi penerjemahnya,
lebih baik bila karya itu disebut sebagai karya pengarang yang
menerjemahkan, bukan lagi dibilang sebagai karya pengarang aslinya.
"Sapardi Djoko Damono pernah menerjemahkan puisi-puisi klasik Tiongkok.
Hasilnya bagus. Tetapi, bentuk asli sama sekali ditinggalkan
sehingga bisa saja orang tidak tahu kalau itu puisi klasik Tiongkok.
Orang akan sangat mudah mengasumsikan itu sebagai puisinya Sapardi,"
ujar Manneke. Jadi, menurut dia, lebih baik karya itu diakui sebagai
karya Sapardi ketimbang disebut sebagai karya terjemahan.
Kendati masih banyak terjadi pro-kontra dan pandangan-pandangan yang
berbeda dalam menilai sebuah karya terjemahan, di sisi lain
membanjirnya buku-buku terjemahan ini mendapat sambutan positif.
"Dampak dari kehadiran karya-karya terjemahan akhir-akhir ini luar
biasa bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Karena ada semacam
asumsi ketika di suatu bangsa kesusastraan bangsa itu sedang
stagnan, tidak ada fenomena besar yang muncul, maka yang membuat
kesusastraan bangsa itu tetap hidup adalah karya-karya terjemahan
sebagaimana pun kualitasnya. Nah, kalau kemudian muncul misalnya Ayu
Utami, Dewi Lestari, dan sebagainya, terus orang Indonesia sendiri
tercambuk untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda sebagai akibat
banyaknya novel terjemahan, memang harus dilihat lagi. Akan tetapi,
kesan stagnasi kira-kira sepuluh tahun lalu, sekarang sudah mulai
berubah. Orangnya tidak itu-itu terus, Putu Wijaya, Putu Wijaya
terus. Sekarang ada yang sedikit berubah ketika muncul Ayu
Utami," jelas Manneke.(wen/bip/nca/nur/umi)
Bahan diedit dari:
Sumber: Pustakaloka Kompas, Sabtu 24 Mei 2003
Situs : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/24/pustaka/326701.htm
ARTIKEL #2
Tentang Penerjemah
------------------
Apa yang sedang terjadi di bidang penerjemahan di negeri kita? Di
kalangan kita masih terjadi ketidakpahaman akan kemampuan dan peran
penerjemah, yakni mengalihkan pesan teks suatu bahasa ke bahasa yang
lain dan berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dua pihak.
Posisinya sangat strategis. Kesalahan penerjemahan memberikan dampak
yang buruk pada pemahaman pembaca.
Fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya mampu menerjemahkan.
Penguasaan bahasa sasaran sangatlah penting. Kemampuan menerjemahkan
bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan
pengetahuan atau inteligensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan
keterampilan menggunakan bahasa (retoris).
Seorang penerjemah tidak dapat menerjemahkan naskah untuk segala
bidang. Penerjemah harus menguasai pengetahuan umum, seperti tentang
kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu
pengetahuan. Penerjemah yang berspesialisasi, misalnya hukum,
teknik, atau kedokteran, harus menguasai substansi yang
diterjemahkannya.
Sering terjadi seorang penerjemah "dipaksa" menerjemahkan teks
dengan substansi apa saja. Penerjemah adalah profesi. Mempekerjakan
penerjemah harus berdasarkan kriteria profesional dan tidak sekadar
karena kenal atau karena kata orang saja. Bila kita belum mengenal
kemampuannya, ia harus diminta menerjemahkan satu halaman untuk kita
lihat nilai kualitasnya.
Masih banyak editor penerbit yang tidak memerhatikan kualitas
terjemahan, tetapi semata-mata bahasa Indonesianya agar layak terbit
dan laku jual. Dalam penerbitan terjemahan diperlukan pemeriksa
kualitas terjemahan (disebut reviser), yang menguasai bahasa sumber
dan bahasa sasaran, untuk mengurangi risiko kesalahan. Penerjemahan
film juga masih memprihatinkan karena penerjemahnya diambil tanpa
menggunakan kriteria profesional. Intinya, kualitas terjemahan harus
diutamakan.
Penerjemah adalah profesi praktis dan nonakademis yang bertumpu pada
kemampuan berpikir, rasa bahasa, dan kemampuan retoris. Peneliti dan
kritikus terjemahan adalah profesi yang sifatnya akademis atau
semiakademis. Mereka pengkaji dan bukan praktisi penerjemahan.
Pendidikan sarjana, magister, atau pun doktor di bidang penerjemahan
memberikan kemampuan akademis dan bukan praktis di bidang
penerjemahan, kecuali jika kurikulumnya memang dirancang untuk
menghasilkan penerjemah.
Kualitas penerjemah berdampak pada kualitas terjemahan. Penerjemah
berkualitas buruk akan menghasilkan terjemahan yang buruk.
Pertanyaannya bagaimana menanggulangi masalah ini?
Pertama, etik. Salah satu butir kode etik Himpunan Penerjemah
Indonesia menyebutkan penerjemah tidak dibenarkan menerima pekerjaan
penerjemahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Ini untuk
menjaga kualitas.
Kedua, peningkatan diri. Penerjemah harus selalu meningkatkan dan
memperluas serta menyegarkan pengetahuannya.
Ketiga, perguruan tinggi harus berperan sebagai tempat mengembangkan
program pelatihan di samping program pendidikan formal di jenjang
pascasarjana (spesialis atau magister).
Keempat, HPI sedang membina para penerjemah dengan pendidikan
nonformal untuk meningkatkan kualitas.
Kelima, peneliti dan kritisi terjemahan harus berperan sebagai
pendorong peningkatan kualitas.
Keenam, pengembangan karir penerjemah harus mendapat dorongan dari
masyarakat pengguna. Penerjemah dalam birokrasi harus diberi jabatan
fungsional agar karirnya terjamin (upaya ini sedang ditangani oleh
Sekretariat Negara dan Kementerian PAN).
Ketujuh, perlu ada standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi
(sejak tahun 1968 sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia).
Itulah sketsa profesi penerjemah di Indonesia. Semoga penerjemahan
yang ngawur seperti yang masih banyak dikeluhkan bisa berkurang
jumlahnya. Namun, kelihatannya kita masih harus bersabar.
Bahan diedit dari:
Situs : http://wartahpi.org/content/view/43//
Penulis : Benny H Hoed
ASAH PENA
---------
FYODOR DOSTOYEVSKY
(1821-1881)
"Jika ada yang dapat membuktikan padaku bahwa Kristus berada di luar
kebenaran dan bahwa pada kenyataannya kebenaran berada di luar
Kristus, aku akan tetap memilih Kristus ketimbang kebenaran."
Demikian kalimat menjelang kematian itu ia katakan, Fyodor
Dostoyevsky, 29 tahun ketika itu sedang bersama tahanan lainnya,
berada di tengah arena, siap untuk ditembak.
Tiba-tiba seorang pembawa pesan menyeruak muncul, mengatakan bahwa
Tsar telah memutuskan untuk membiarkan mereka hidup (saat hal ini
terjadi, siksaan-siksaan awal telah menjadi bagian dari hukumannya).
Saat pengampunan ini diumumkan, dua dari tahanan ini telah menjadi
gila, sementara seorang lagi akan menuliskan novel "Crime and
Punishment" dan "The Brothers Karamozov", dua dari beberapa novel
terbesar di sejarah sastra Eropa.
Pengalaman di atas mungkin adalah yang paling dramatis walau bukan
satu-satunya krisis yang pernah terjadi dalam warna-warni hidup
Dostoyevsky. Meski seorang Kristen yang taat, dia tak pernah menjadi
orang Kristen yang baik; walau seorang penulis yang jenius, karya-
karyanya secara teknis masih terasa belum terpoles dengan baik.
Selain itu, pemahamannya mengenai hati manusia mungkin disebabkan
oleh hatinya sendiri yang begitu bermasalah, yang sangat nyata
terlihat dalam karya sastranya.
Kejamnya Peluang
----------------
Ayah Dostoyevsky, seorang pria yang kejam dan mata keranjang (dia
akhirnya dibunuh oleh pembantunya), mengarahkan anaknya untuk
berkarir sebagai ahli mesin untuk militer. Namun, Dostoyevsky
memilih bekerja dengan pena, dan setelah menjadi sarjana pada tahun
1843, ia keluar dari pekerjaannya untuk menekuni karier kepenulisan.
Novel pertamanya, "Poor Folk", banyak dipuji oleh para kritikus di
Rusia, yang kemudian menobatkannya sebagai bakat besar dalam
kesusastraan Rusia. Setelah eksekusi mati yang batal tadi
Dostoyevsky dikirim ke kamp kerja paksa di Siberia selama empat
tahun karena keterlibatannya dalam "kegiatan revolusioner". Setelah
dibebaskan, ia menuliskan "The House of Dead" berdasarkan
pengalamannya dalam kamp yang kejam itu. Novel itu menandai
munculnya tradisi sastra penjara di Rusia.
Di penjara itu juga, Dostoyevsky sempat mengalami serangan epilepsi
pertamanya, sebuah kondisi yang selanjutnya akan selalu ia bawa di
sepanjang hidupnya, yang juga ia terangkan dalam tulisannya. Pada
tahun 1860-an, Dostoyevsky (bersama saudara lelakinya Mikhail)
mengedit dua jurnal penting. Dalam jurnal tersebut, selain dalam
catatannya yang ditulis pada tahun 1864 berjudul "Notes from the
Underground", dia menyatakan keberjarakannya pada para kaum utopis
radikal (sosialis dan komunis) yang ingin mengakhiri perbudakan dan
korupsi dalam pemerintahan Tsar - atau pada dasarnya dalam seluruh
tatanan masyarakat - untuk mendirikan masyarakat yang lebih baik.
Di luar kesuksesannya dalam bidang sastra, Dostoyevsky malah
memorak-porandakan hidupnya sendiri. Ia pun menjadi seorang pencandu
judi dan kehilangan semua uangnya serta semua teman-teman yang
memberinya utang. Ia sangat percaya pada keyakinannya untuk menang:
"Dalam sebuah permainan peluang," tulisnya suatu kali, "jika
seseorang mempunyai kendali yang sempurna atas keinginannya - orang
tak akan gagal untuk mengatasi betapa kejam sebuah peluang itu."
Peluang memang kejam pada Dostoyevsky. Untuk melunasi utang pada
krediturnya, ia menandatangani sebuah kontrak tak adil dengan sebuah
penerbit yang curang yang ingin memanfaatkan situasi dan sikapnya
yang tidak disiplin. Dostoyevsky harus menyelesaikan sebuah novel
dalam tenggat waktu tertentu. Jika ia gagal, penerbit itu berhak
untuk mendapatkan semua hak atas karya Dostoyevsky yang telah
diterbitkan.
Dapat ditebak bahwa Dostoyevsky banyak menunda sampai akhirnya
tinggal sedikit waktu yang ia miliki. Tinggal kurang dari sebulan
saja waktu yang ia miliki sebelum akhirnya ia mempekerjakan seorang
juru tulis berusia 18 tahun, Anna Smitkina. Setelah siang malam
selama tiga minggu ia mendiktekan novelnya, ia pun sanggup
memberikan karyanya yang berjudul "The Gambler" itu kepada penerbit
dan selamat dari konsekuensi. Kedisiplinan dan dorongan dari Annalah
yang membuat perbedaan itu, Dostoyevsky pun menyadarinya. Perkawinan
pertamanya (yang berakhir dengan kematian istrinya) adalah sebuah
pengalaman yang sangat menguras emosinya. "Kami tidak bahagia
bersama - namun kami juga tak bisa untuk tidak mencintai satu sama
lain," tulisnya. "Semakin besar ketidakbahagiaan kami, semakin dekat
pula hubungan kami." Kelanjutan perkawinannya dengan Anna terbukti
sebagai sebuah kekuatan penyelaras bagi hidupnya, dan hanya setelah
pernikahannya, ia dapat menghasilkan karya-karya besar.
Orang Kristen bermasalah
------------------------
Dalam novel-novel selanjutnya, tema-tema kekristenan muncul dengan
lebih jelas, meski tidak menjadi satu-satunya tema. "Crime and
Punishment" yang dikerjakan hampir bersamaan dengan novel "The
Gambler" adalah mengenai perintah "jangan membunuh". Dengan unsur
psikologis yang kaya, Dostoyevsky menceritakan kisah Raskolnikov,
yang membunuh seorang nyonya tua yang serakah dan akhirnya jadi
gila. Dalam "The Idiot" (1868-1869) Dostoyevsky menampilkan seorang
pria yang memiliki kemiripan dengan Yesus dalam dunia yang penuh
dengan realita yang membingungkan. Dalam "The Possessed" (1872) dia
mengkritik skeptisme kaum liberal, mengolok-olok nilai-nilai
tradisional dan pengabaian keluarga.
"The Brothers Karamozov" (1879-1880) adalah novel hebatnya yang
terakhir dan yang paling banyak dibicarakan. Tema-tema teologis dan
filosofis muncul saat dia menggambarkan kehidupan empat pria
bersaudara. Dua yang paling menonjol adalah Alyosha, karakter yang
menggambarkan Kristus yang sangat ingin menerapkan prinsip kasih
Kristen serta Ivan, yang dengan emosional selalu membela
agnostikisme. Dalam bab "Rebellion", Ivan menyalahkan Bapa Surgawi
yang menciptakan dunia di mana banyak anak menderita. Dalam bab "The
Grand Inquisitor", Ivan menceritakan kisah Kristus yang datang
kembali ke bumi selama periode penjelajahan bangsa Spanyol. Para
penjelajah itu menangkap Kristus atas tuduhan "bidat paling buruk"
karena, jelas para penjelajah, gereja sendiri telah menolak Kristus,
menjual kebebasan mereka dalam Kristus demi `mujizat, misteri dan
kekuasaan`.
Dostoyevsky, penganut Kristen ortodoks Rusia, mengemukakan banyak
kritik paling keras terhadap kekristenan. Namun, di waktu yang sama
ia menampilkan karakter Alyosha yang percaya sepenuh hati dalam
kasih murni Kristus. Ketika menjawab "Apakah neraka itu?", salah
satu karakter menjawab, "Itu adalah penderitaan karena tidak mampu
mengasihi."
Peperangan batin antara si percaya dan si skeptik ini terus memenuhi
jiwa Dostoyevsky seumur hidupnya, baik secara teologis maupun secara
moral. Salah seorang teman Tolstoy mengatakan, "Saya tak bisa bilang
apakah Dostoyevsky seorang pria yang baik atau bahagia. Ia orang
yang keras, dengki, kasar dan menjalani hidupnya dalam emosi dan
kemarahan. Di Swiss, di hadapan saya ia memperlakukan pelayannya
begitu kasar hingga membuat pelayannya itu berteriak, `Saya juga
manusia!`" Penulis Turgeniev pernah menjulukinya "orang Kristen
terjahat yang pernah saya temui".
Pandangan politik dan sosial Dostoyevsky juga seringkali ekstrim. Ia
percaya bahwa bangsa Eropa akan segera hancur, bahwa Rusia dan
gereja ortodoks Rusia ("Tuhan hidup sendirian dalam gereja
ortodoks," katanya suatu kali) akan menciptakan kerajaan Tuhan di
dunia.
Walau begitu, iman yang ia miliki terlihat sangat dalam. Ini
terlihat dalam ucapannya, "Jika ada yang dapat membuktikan padaku
bahwa Kristus berada di luar kebenaran dan bahwa pada kenyataannya
kebenaran berada di luar Kristus, aku akan tetap memilih Kristus
ketimbang kebenaran."
Di luar paradoks hidupnya, kejeniusan nampak pada karyanya, dan
tidak ada novelis lain yang dapat menampilkan karakter dengan begitu
dalam dan gagasan yang sedemikian penting. (t/ary)
Bahan diterjemahkan dari:
Judul artikel: Fyodor Dostoyevsky: Russian Novelist of Spiritual
Depth
Situs: http://www.christianitytoday.com/history/special/131christians/dostoyevsky.html
= SURAT PEMBACA =
Dari: Tony Tio (ttio.ami(at)..)
>Salam damai,
>
>Setiap bulan saya menerima materi e-penulis yang isinya sangat luar
>biasa. Saya juga ikut beberapa forum menulis yang anggotanya sangat
>aktif dengan berbagai kegiatan, terus terang saya merasa iri sama
>mereka.
>
>Timbul pertanyaan dalam benak saya, adakah atau bisakah kita juga
>membentuk forum demikian? saya percaya banyak penulis kristiani
>yang mau membantu dan aktif dalam komunitas ini.
>
>Kita lihat forum lingkar pena yang tersebar disetiap daerah yang
>secara tidak langsung mereka aktif berdakwa disetiap pelatihan
>penulis yang mereka buat.
>
>Saya berharap ini menjadi masukan pengurus sabda dengan harapan
>kelak komunitas penulis kristiani ini akan melahirkan penulis-
>penulis handal dan berbakat yang memiliki imam kristiani.
>
>Salam dalam Tuhan
>
>Toni Tio
Redaksi:
Terima kasih atas tanggapan Anda terhadap pelayanan kami. Kerinduan
dari Bapak Toni sesungguhnya adalah kerinduan kami juga. Saat ini
selain milis publikasi e-Penulis, kami juga telah meluncurkan dua
buah situs.
Situs komunitas penulis kami bernama Christian Writers` Club (CWC)
di alamat:
==> http://www.ylsa.org/cwc
Situs bahan (tentang penulisan) yang baru kami luncurkan adalah
situs Pelitaku (Penulis Literatur Kristen dan Umum)
==> http://www.sabda.org/pelitaku
Khusus untuk komunitas CWC, terus terang pergumulan yang sedang kami
hadapi adalah kurang optimalnya pemanfaatan forum diskusi atau
komunitas yang ada di sana. Oleh karena itu dalam kesempatan kali
ini, mungkin akan sangat tepat jika dengan ini kami juga mengundang
Bapak Toni untuk bergabung dan menyemarakkan forum komunitas CWC.
_____________________________________________________________________
Staf Redaksi : Ary, Puji, dan Raka
Berlangganan : Kirim email ke
subscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Berhenti : Kirim email ke
unsubscribe-i-kan-penulis(at)xc.org
Kirim bahan : Kirim email ke
staf-penulis(at)sabda.org
Arsip e-Penulis: http://www.sabda.org/publikasi/e-penulis/
Situs CWC : http://www.ylsa.org/cwc/
Situs Pelitaku : http://www.sabda.org/pelitaku/
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA.
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN.
Copyright(c) e-Penulis 2006
YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |