Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/138 |
|
e-Penulis edisi 138 (19-7-2013)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 138/Juli/2013 Tema: Sastra dan Nasionalisme (II) e-Penulis -- Sastra dan Nasionalisme (II) Edisi 138/Juli/2013 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: KEMERDEKAAN ITU PERJUANGAN TIP MENULIS: KEBANGGAAN SEORANG INDONESIA SEJATI TOKOH PENULIS: ANAK AGUNG PANDJI TISNA PENA MAYA: ANDREASHARSONO.NET STOP PRESS: APLIKASI ANDROID E-RENUNGAN PSM (PAGI, SIANG, MALAM) DARI REDAKSI: KEMERDEKAAN ITU PERJUANGAN Shalom! Kemerdekaan kita bukanlah kemerdekaan yang dijatuhkan begitu saja oleh langit ke pangkuan kita. Kemerdekaan kita diraih dengan susah payah dan penuh pengorbanan, bukan oleh satu kelompok saja, melainkan oleh banyak orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda. Kami rindu agar Sahabat e-Penulis memiliki hati yang sama membaranya dengan para pahlawan kita dalam membangun Indonesia. Karena itu, kami menyiapkan artikel- artikel yang semoga dapat memberi inspirasi bagi Pembaca sekalian, untuk mempersiapkan perayaan Hari Kemerdekaan kita. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati kita! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > TIP MENULIS: KEBANGGAAN SEORANG INDONESIA SEJATI Ditulis oleh: Yudo Kita tahu, bahwa Indonesia tidak berdiri di atas pengorbanan kelompok tertentu saja. Negeri ini adalah negeri yang diperjuangkan oleh orang-orang dari kelompok agama, suku, dan ras yang beragam atas kesatuan rasa tak ingin dijajah lagi dan keinginan untuk diperlakukan dengan terhormat sebagaimana manusia lainnya. Kita berbeda-beda, tetapi disatukan oleh rasa cinta yang sama. Sebagai para penulis muda Indonesia, bagaimana kita melanjutkan perjuangan ini? Berikut ini adalah pendapat saya mengenai hal-hal yang harus kita miliki untuk dapat memberi sumbangsih kepada bangsa dan negara sebagai seorang penulis muda Indonesia: 1. Menyadari identitas sebagai seorang warga negara Indonesia: Ini yang terpenting. Dengan menyadari hal itu, kita akan menyadari hak dan kewajiban kita sebagai warga negara. Salah satu tes sederhana atas kesadaran ini adalah bertanya kepada diri sendiri, apakah kita hafal teks Pancasila dan lagu Indonesia Raya? Apakah Merah Putih hanya sekadar warna bagi Anda? Jika Anda "lulus" tes itu, tanggung jawab Anda adalah untuk membuat orang lain merasakan hal yang sama. 2. Kemauan mempelajari sejarah bangsa: Bagi saya, sejarah bangsa kita memang tidak mudah ditelusuri, tetapi itu seharusnya tidak menjadi halangan yang menghentikan kita. Ada banyak pahlawan sejati yang kisahnya bisa kita angkat dan jadikan teladan bagi negeri ini. Tak sedikit pula aksi heroik murni yang layak mendapat penghormatan dan diceritakan kembali, untuk mengingatkan bahwa kita memang adalah bangsa bermartabat, yang berdiri di atas perjuangan dan kerja keras. Kita hanya bisa menemukan dan mengangkat semua permata itu jika kita mau menggali sejarah. 3. Kesadaran bahwa kita memang "bhinneka" sekaligus "tunggal": Seorang pelukis dapat mengungkapkan keindahan dalam kesatuan lukisan itu jika ia memiliki banyak pilihan warna. Begitu pula Indonesia, negara kita adalah sebuah mozaik yang terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan ras. Perbedaan bukanlah "tembok pemisah", melainkan sebuah kekayaan sudut pandang untuk melangkah maju jika kita mau menghargainya. "Bhinneka Tunggal Ika" tidak asal disematkan pada lambang negara kita. Ia ada di sana untuk mengingatkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Lalu, mengapa kita tidak mengangkat "Bhinneka Tunggal Ika" dalam tulisan kita? Saya percaya bahwa kita adalah putra-putri yang diperjuangkan oleh para penulis besar bangsa ini, dan sudah seharusnya kita mewarisi semangat nasionalisme mereka. Kiranya ide-ide ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk dapat mempersembahkan yang terbaik kepada bangsa ini. Semoga kita dapat memandang Sang Merah Putih dengan bangga, sebagai seorang Indonesia sejati. Sumber bacaan: 1. Pragiwaksono, Pandji. 2011. "Makna Nasionalisme". Dalam http://pandji.com/ 2. Darmayana, Hiski. 2012. "Nasionalisme ala Soekarno". Dalam http://www.berdikarionline.com/opini/ 3. Setiawan, Aris. 2012. "Mewujudkan Indonesia Lahir Kembali". Dalam http://gerakanindonesiamenulis.blogspot.com/ 4. Samego, Indria. "Menumbuhkan (Kembali) Nasionalisme Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal". Dalam http://www.setneg.go.id/ TOKOH PENULIS: ANAK AGUNG PANDJI TISNA Dirangkum oleh: Yudo Anak Agung Pandji Tisna, mungkin sedikit dari kita yang pernah mendengar nama tokoh penulis Bali ini. Beliau adalah keturunan bangsawan Bali, ayahnya adalah Raja Buleleng bernama Anak Agung Putu Djelantik dan ibunya bernama Jero Mekele Rengga. Kehidupan beliau termasuk menarik karena lahir dalam keluarga bangsawan yang amat kental dengan budaya dan adat istiadat Hindu Bali, dibesarkan dalam pendidikan Barat, dan ikut merasakan perjuangan Bangsa Indonesia selama penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi. Karya-karya beliau amat kental dengan nuansa budaya Bali, bahkan beberapa di antaranya, seperti "Sukreni Gadis Bali", ditulis dalam Bahasa Bali. Di bawah ini adalah autobiografi yang beliau tulis dalam buku karyanya, "I Made Widiadi" (Kembali kepada Tuhan): "[Saya] Lahir di Singaraja pada tanggal 11 Februari 1908. Bersekolah Hollandsch- Inlandsche School (H.I.S.)[1] di Singaraja dan melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)[2] Batavia, sekarang Jakarta. Belajar Bahasa Inggris dari seorang guru Inggris di Surabaya selama dua tahun lebih. Tahun 1925 ibu meninggal dunia. Saya berdagang hasil bumi. Tahun 1930 menjadi sekretaris ayah dan dipindahkan ke Cakranegara (Lombok) di mana datuk saya pernah menjabat pepatih di pulau itu waktu zaman Belanda. Tahun 1935 membuka Sekolah Rendah Belanda di Puri Kanginan (puri Timur) sebab saya ada berpuri di sebelah Barat Pasar Singaraja, diajar oleh tiga pemuda yang belum mendapat angkatan Pemerintah bernama I Made Mendra, I Swara, dan I Ketut Djingga. Tahun itu juga saya mengajar Bahasa Inggris di sekolah "Partiwi Putra School", dibuka oleh seorang dari Madura bernama Sdr. Kontjosungkono yang menjadi sarjana muda Rechts Hoogeschool. Kalau saya tidak keliru, sekolah tinggi itu sekarang menjadi Universitas Indonesia. Waktu itu, saya amat populer karena saya sangat suka akan komidi Stambul [3] dengan bermain musiknya. Insaf akan diri kalau terus hidup secara ini akan menjadi rusak, lalu saya berpindah 10 kilometer ke Barat, di kebun kelapa milik ayah di tepi pantai, yang kini kami beri nama Lovina. Waktu itulah surat kabar banyak menulis tentang saya keluar dari puri (istana) untuk hidup di antara rakyat biasa. Orang-orang Belanda tidak suka akan diri saya, meskipun ayah menjadi Zelf-bestuurder [4] daerah itu, sebab saya tidak suka bekerja pada Pemerintah Belanda. Sesungguhnya, satu hari pun saya belum pernah bekerja di bawah Gubernemen Belanda [5] dan sama sekali belum pernah menerima gaji dari mereka. Seorang Belanda yang berpangkat pernah berkata bahwa saya mau meracun orang tua dengan maksud segera saya menerima warisan dan mendapat pangkat. Terbitlah amarah saya dan sesudah saya menerangkan bahwa kehendak itu sama sekali tidak masuk di pikiran saya, maka saya terpaksa menulis sebuah roman berjudul: "Ni Rawit, Ceti dan Penjual orang". Sesungguhnya, raja-raja waktu itu belum menyadari keadaan mereka yang benar, karena pelajaran Dr. Soetomo yang beliau berikan kepada saya, waktu beliau berkunjung ke Singaraja. Bagi merangsang pemuda-pemudi memperdalam pengetahuan mereka tentang sejarah Bali Kuna dan Indonesia umumnya, saya harus mengembara empat bulan lamanya di Batur, gunung api dan danaunya, mempelajari kehidupan mereka sehari-harinya lalu menulis sebuah buku yang bernama: "I Swasta, Setahun di Bedahulu". Pada waktu itu, saya menulis cerita-cerita pendek di majalah Terang Bulan, asuhan sdr. Imam Supardi di Surabaya. Ke Wina (Austria) untuk melanjutkan Bahasa Sansekerta yang telah di ajarkan oleh Dr. R. Goris. Di Singapura, mata saya berasa sakit, dan saya harus kembali, ke Indonesia berobat. Di dalam keadaan demikian, saya memaksakan diri untuk menulis sebuah roman berjudul "Ni Sukreni, Gadis Bali", dengan menyatakan bahwa di Bali orang-orang Kristen tidak berperangai raksasa sebagai pendapat orang-orang Belanda yang anti-Kristen Bali. Waktu itu, Pemerintah Belanda khawatir kalau ada pergolakan di antaranya. Saya juga mengarang poesy [6] yang diterbitkan oleh Sdr. Takdir Alisjahbana di dalam majalahnya Poedjangga Baru di Jakarta. Sejak itu, orang mengatakan bahwa saya memasuki gelanggang itu, di antaranya Sa`ir [7]"Ni Poetri". Dalam pada itu, mata kanan saya menjadi buta sama sekali! Tahun 1937, orang-orang Bali mendirikan sebuah perkumpulan bernama Bali Dharma Laksana (boleh di salin: Bali`s Obligation in Action) dan mendirikan majalah Djatayu serta mengangkat saya menjadi hoofdredacteurnya. [8] Tahun 1939 Sumatera meminta karangan, saya berikan tulisan saya berjudul:, "Dewi Karuna", diterbitkan oleh Boekhandel Tjerdas di Medan. Tahun 1940, saya membeli tanah kurus 12 H.A. dan ditanami pohon jeruk untuk memberikan contoh penduduk desa suka menirunya, sebab isi desa sangat miskin-miskinnya, dengan niat supaya hidup mereka lebih baik. Tahun 1942, Jepang menduduki Pulau Bali. Saya pindah ke kebun jeruk dengan membawa beberapa buku, di antaranya "The Impact of the Western world" yang amat perlu, dan yang lain-lain tentang ekonomi, budaya, sosial, dan pemerintahan. Beberapa lama kemudian, datanglah militer Jepang menangkap saya, dan lanjut membawa saya ke markas mereka, sebab tanda bukti sah tidak mereka adakan, maka saya dilepaskan, tetapi terus dimatai-matai karena dianggap anti-Jepang. Pada pendapat saya, Belanda dan Jepang sama saja. Tahun 1944, ayah yang tua meninggal dunia. Sebagai anak tertua, saya harus menggantikannya menjadi raja di Buleleng, Bali Utara. Mula-mula, saya tidak mau sebab adik yang bersekolah di Leiden (Holland) mesti mengambil tempat itu. Oleh desakan rakyat Buleleng, dan permintaan sahabat kenalan, lebih-lebih karena desakan Pemerintahan Pendudukan Jepang yang keras itu, saya terpaksa mengubah sikap, mau mengganti ayah menjadi raja (Sjucho). Apa lagi mereka menganggap saya antimereka. Beberapa kali Bung Karno membuat pidato di muka umum di Singaraja dan berceramah kepada kami. Tahun 1945, Indonesia Merdeka! Saya mengusahakan supaya bisa terlepas dari pekerjaan sekarang, tetapi tidak dapat. Tahun 1946, saya dipakai pramukha raja-raja oleh semua raja-raja di Bali, yang memberatkan pekerjaan saya: Tahun itu juga saya dibaptis (di doop) oleh Pdt. A.F. Ambesa, Pdt. J. Kantohe, dan sdr. Trimurti di desa Seraya di mana kebun jeruk kami terletak, dan mulai hari itu saya menjadi Kristen. Tahun 1947, saya minta berhenti menjadi Raja Buleleng karena saya menjadi Kristen dan tidak mencocoki merajai orang Bali. Sebagai raja, maka saya otomatis menjadi anggota parlemen Negara Timur. Tahun 1948, saya berhenti menjadi anggota Parlemen NIT, kembali ke kebun jeruk, dan membeli dari Pedanda Kemenuh secutak tanah, di atas tanah itu saya membuka SMP dan Nengah Melaya sebagai gurunya. Tahun itu juga, saya sendiri dengan modal sendiri membuka bioskop Maya (Bayangan) di sebelahnya. Tanggal 15 Februari 1950, saya terpilih menjadi anggota DPR RIS di Jakarta. Tahun itu juga, saya menjadi anggota DPR Republik Indonesia (Kesatuan). Di situ, saya bertemu dengan Yth. Bapak Dr. Ir. Soekarno -- ibunya seorang wanita Bali dari Singaraja -- yang menjadi kepala Negara. Di Jakarta, saya bertemu dengan sahabat lama, sebagai Yth. Ki Hajar Dewantoro, Soedjono SH., Pamuncak, Siregar, dan yang lain-lain, dan sudah tentu Dr. Sjahrir dan sebagainya. Tahun 1952, saya serahkan Sekolah Menengah Pertama kepada Bapak Wayan Roema sebagai kepala Yayasan Perguruan Bhakti Yasa, di Singaraja. Tahun 1953, saya menulis banyak di majalah Bhakti dan Harian Marhaen di Denpasar. Tahun 1955, saya menulis roman yang berjudul "I Made Widiadi", [artinya] "Kembali Kepada Tuhan", sebab keadaan rasanya -- menurut pendapat saya, tidak menurut sebagaimana patutnya. Untuk mengarang buku itu, Bapak Gubernur (Sunda Kecil) memberikan saya prioritas mesin terbang untuk pergi ke Kupang, dan menjelajah Pulau Timor sampai dekat-dekat Dilly, jajahan Portugis. Di situ, saya maklum bahwa kepala-kepala mereka yang gemar politik tidak sedikit yang menyeleweng ke kiri, yang saya paparkan dengan agak romantis di dalam buku. Sejak 1946 sampai dengan tahun 1955 sudah tiga kali mengunjungi Eropah, dua kali ke Mesir, sekali ke Irak, sekali ke Pakistan, tiga ke India -– empat bulan di Martandam mempelajari kerajinan tangan diberi bilik oleh Pemerintah India -- ke Thailand, Malaysia, dan Singapura. Saya menulis buku-buku itu kalau ada alasan. Kalau tidak ada sebab, susah saya akan mengarang. Saya bukan pengarang. Buku- buku saya belum ada yang disalin ke dalam bahasa asing. Itu sedang direncanakan. Belum pernah saya ikut serta dalam seminar karang-mengarang. Dalam perlombaan atau sayembara mengarang pun saya tidak pernah ikut, kecuali sebelum perang di Balai Pustaka yang berjudul "I Putra dan I Gede Arka", yang tidak diterima sebab kepanjangan dan/atau isinya yang tidak sesuai. Tahun 1974, seorang anak yang mendirikan hotel Tasik Madu, setelah hotel pertama yang bernama Lovina (youth hostel) ambruk. Di situ, saya suka dengan gembira menerima sahabat kenalan yang rela mengunjungi saya. Tahun 1975, karangan saya yang bernama "Ni Rawit, Ceti dan Penjual Orang" diterbitkan ulang oleh Lembaga Seniman Indonesia Bali [untuk] kedua kalinya, akan diterbitkan ulang oleh Bapak Yth. Ajip Rosidi di Jakarta, sebagai karangan saya "I Made Widiadi" oleh Penerbit Satya Wacana di bawah asuhan Sdr. Drs. Percaya di Semarang waktu ini. Anak-anak saya ada di Bali, di Jawa beberapa orang, seorang di Universitas Missouri (USA) dan seorang dokter internist di Berlin Barat." Anak Agung Pandji Tisna meninggal pada 2 Juni 1978 dalam usia 70 tahun dan dimakamkan di dekat sebuah gereja yang dulu dibangunnya di Desa Seraya -- Kaliasem. Meski dalam otobiografinya beliau mengaku bahwa ia bukan seorang penulis, tetapi beberapa bukunya kini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Sinhala dan Bahasa Inggris. Daftar istilah: 1. Hollandsch Inlandsche School/ HIS: Sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda, setara dengan tingkat pendidikan dasar saat ini. 2. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/ MULO: sekarang SMA Kristen 1 PENABUR, Jakarta. 3. Komidi stambul: semacam sandiwara keliling, biasanya dimainkan untuk menghibur para bangsawan. 4. Zelf-bestuurder: pejabat administratur negara. 5. Gubernemen Belanda: Pemerintah Belanda. 6. Poesy: puisi. 7. Sa`ir: syair. 8. Hoofdredacteur: Pemimpin redaksi. 9. Pramukha: Paruman Agung, pemimpin Dewan Raja-Raja se-Bali. Dirangkum dari: 1. ______. "Jati Diri". Dalam http://www.buleleng.com/ 2. Sujaya, I Made. "Jalan Lain AA Pandji Tisna". Dalam http://www.balisaja.com 3. Frischa Aswarini, Ni Made. "Pandji Tisna, Si Romantik Yang Visioner: Sebuah Refleksi Sejarah". Dalam http://www.inibumi.com/ PENA MAYA: ANDREASHARSONO.NET Andreas Harsono adalah seorang jurnalis sekaligus peneliti hak asasi manusia yang menulis bagi berbagai surat kabar terkemuka seperti Jakarta Post, Huffington Post, NY Times, dan masih banyak lagi. Dalam situsnya ini, pengunjung dapat menemukan artikel dan esainya yang diarsipkan sejak tahun 1994. Berkunjunglah ke situs ini dan temukan kekayaan ide dan ulasan tajam khas jurnalismenya. (Yudo) ==> http://www.andreasharsono.net/ STOP PRESS: APLIKASI ANDROID E-RENUNGAN PSM (PAGI, SIANG, MALAM) Telah hadir! Aplikasi "e-Renungan PSM (Harian)" dari Yayasan Lembaga SABDA bagi para pengguna "handphone" Android. Aplikasi "e-Renungan PSM (Harian)" menyediakan tiga bacaan renungan Kristen setiap hari (untuk renungan pagi, siang, dan malam) sehingga setiap waktu Anda dapat selalu diisi dengan kebenaran firman Tuhan. "e-Renungan PSM (Harian)" dilengkapi juga dengan fitur notifikasi yang dapat diatur sendiri, yang akan mengingatkan Anda untuk menikmati firman Tuhan melalui renungan pagi, siang, dan malam! Segera "download" apslikasi ini melalui "Play Store" secara gratis! Selamat bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus melalui "e-Renungan PSM (Harian)"! --> https://play.google.com/store/apps/details?id=org.sabda.renunganpsm Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B. Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |