Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/129 |
|
e-Penulis edisi 129 (7-3-2013)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 129/Maret/2013 Tema: Kritik Sastra (I) e-Penulis -- Kritik Sastra (I) Edisi 129/Maret/2013 DAFTAR ISI DARI REDAKSI: MENYELAMI SASTRA DENGAN KRITIK SASTRA ARTIKEL: KRITIK SASTRA POJOK BAHASA: MAMPUKAH BAHASA INDONESIA MENJADI MEDIA PEMBEBASAN? DARI REDAKSI: MENYELAMI SASTRA DENGAN KRITIK SASTRA Shalom! Ketika berbicara mengenai karya sastra, kita tidak hanya berbicara mengenai rangkaian kata atau keindahan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis. Lebih jauh lagi, membahas sebuah karya sastra juga berarti berusaha untuk menyelam lebih dalam dan menemukan makna, tujuan, dan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra tersebut. Namun, ada berapa cara untuk menilai atau mengkritisi sebuah karya sastra? Apa parameternya? Apa pula fungsi dan manfaat dari sebuah kritik sastra? Pada edisi ini, e-Penulis telah menyiapkan artikel menarik mengenai Kritik Sastra, yang bisa membekali Sahabat e-Penulis melakukan penelitian lebih lanjut terhadap sebuah karya sastra. Selain itu, sajian Pojok Bahasa e-Penulis kali ini akan mengajak Sahabat e-Penulis melihat kembali esensi dari fungsi Bahasa Indonesia. Apakah Bahasa Indonesia masih berfungsi sebagai alat komunikasi dalam ranah sosial atau telah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu? Simaklah sajian e-Penulis sampai selesai dan dapatkan wawasan baru di dalamnya. Tuhan memberkati. Staf Redaksi e-Penulis, Santi T. < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: KRITIK SASTRA A. PENGERTIAN KRITIK SASTRA Istilah "kritik" (sastra) berasal dari Bahasa Yunani yaitu "krites" yang berarti "hakim". "Krites" sendiri berasal dari "krinein" yang berarti "menghakimi"; "kriterion" yang berarti "dasar penghakiman" dan "kritikos" berarti "hakim kesusastraan". Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Menurut Graham Hough (1966: 3), kritik sastra tidak hanya terbatas pada penyuntingan, penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai. Menurutnya, kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu sendiri, apa tujuannya, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain. Abrams dalam "Pengkajian Sastra" (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra. B. FUNGSI KRITIK SASTRA Menurut Pradopo, fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: 1. Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek, "Karya sastra tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip- prinsip kritik sastra.", 2. Untuk perkembangan kesusastraan. Maksudnya, kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra, mengenai baik buruknya, dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. 3. Sebagai penerangan masyarakat, umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93). Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi kritik sastra dapat digolongkan menjadi dua: 1. Fungsi kritik sastra untuk pembaca: a. Membantu memahami karya sastra. b. Menunjukkan keindahan yang terdapat dalam karya sastra. c. Menunjukkan parameter atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra. d. Menunjukkan nilai-nilai yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra. 2. Fungsi kritik sastra untuk penulis: a. Mengetahui kekurangan atau kelemahan karyanya. b. Mengetahui kelebihan karyanya. c. Mengetahui masalah-masalah yang mungkin dijadikan tema tulisannya. C. MANFAAT KRITIK SASTRA Manfaat dari kritik sastra dapat diuraikan menjadi 3, yaitu: 1. Manfaat kritik sastra bagi penulis: a. Memperluas wawasan penulis, baik yang berkaitan dengan bahasa, objek atau tema-tema tulisan, maupun teknik bersastra. b. Menumbuhsuburkan motivasi untuk menulis. c. Meningkatkan kualitas tulisan. 2. Manfaat kritik sastra bagi pembaca: a. Menjembatani kesenjangan antara pembaca dan karya sastra. b. Menumbuhkan kecintaan pembaca terhadap karya sastra. c. Meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. d. Membuka mata hati dan pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra. 3. Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra: a. Mendorong laju perkembangan sastra, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. b. Memperluas cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra. D. JENIS-JENIS PENDEKATAN KRITIK SASTRA Abrams (1981: 36-37) membagi pendekatan terhadap suatu karya sastra ke dalam empat tipe yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif. 1. Kritik Mimetik Menurut Abrams, kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Karya sastra dianggap sebagai cerminan atau penggambaran dunia nyata, sehingga ukuran yang digunakan adalah sejauh mana karya sastra itu mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita yang ada, semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato, yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan. Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angkatan 45. 2. Kritik Pragmatik Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang diharapkan). Tujuan karya sastra pada umumnya bersifat edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan. Ada yang berpendapat bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul "Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan". 3. Kritik Ekspresif Kritik ekspresif menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu. Kritik ekspresif meyakini bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi- persepsi, dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Dengan menggunakan kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin penulis atau keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang, secara sadar atau tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya, sastrawan romantik zaman Balai Pustaka atau Pujangga Baru menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain: a. "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" karya Arif Budiman. b. "Di Balik Sejumlah Nama" karya Linus Suryadi. c. "Sosok Pribadi dalam Sajak" karya Subagio Sastro Wardoyo. d. "WS Rendra dan Imajinasinya" karya Anton J. Lake. e. "Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan" karya Korrie Layun Rampan. 4. Kritik Objektif Kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan menghendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya). Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb.; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb.. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori: a. New Critics di AS b. Formalisme di Eropa c. Strukturalisme di Perancis Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok kritikus aliran Rawamangun: a. "Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati. b. "Novel Baru Iwan Simatupang" karya Dami N. Toda. c. "Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi. d. "Perkembangan Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus. e. "Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus. f. "Tergantung pada Kata" karya A. Teeuw. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Citra Indonesiaku Alamat URL: http://citraindonesiaku.blogspot.com/2012/04/kritik-sastra.html Penulis: Citra Indonesiaku Tanggal akses: 6 Maret 2013 POJOK BAHASA: MAMPUKAH BAHASA INDONESIA MENJADI MEDIA PEMBEBASAN? Diringkas oleh: Berlin B. Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia (BI) sudah berusia 81 tahun. Rentang usia yang seharusnya menunjukkan kematangan dan kearifan hidup setelah merasakan pahit getirnya dinamikanya. Namun, secara jujur mesti diakui, semakin bertambah usia, BI justru seperti anak-anak yang kehilangan orang tuanya. BI sering dibangga-banggakan sebagai bagian jati diri bangsa, tetapi sekaligus juga sering dinistakan dalam berbagai ranah komunikasi. Yang lebih menyedihkan, bahasa dinilai sudah menjadi bagian dari entitas kekuasaan, yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan, propaganda, atau tipu muslihat demi melanggengkan kekuasaan. Penggunaan ragam bahasa eufemisme, misalnya, jelas-jelas merupakan bentuk penghalusan terselubung untuk menutupi tindakan- tindakan kasar, vulgar, dan menindas. Mereka yang tertindas dan dikorbankan, tak jarang dihibur dengan bahasa yang manis dan eufemistis, hingga mereka tidak merasakan penindasan dan pengorbanan itu. Dalam konteks ini, bahasa bukan hanya digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah sosial, melainkan telah dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan media pencitraan untuk menggapai ambisi dan kepentingan tertentu. Kekuatan bahasa eufemistis memungkinkan fakta yang busuk dan sarat bopeng tampak menjadi lebih segar, santun, dan manis. Kebijakan penguasa yang abai terhadap perbaikan nasib rakyat, mungkin saja menjadi penyebab berlarut-larutnya masalah yang multikompleks dan multidimensi di negeri ini. Melalui penggunaan bahasa manipulatif, rakyat sekadar dihibur lewat jargon dan slogan-slogan eufemistik, sehingga mereka kehilangan kontrol terhadap laju kekuasaan yang amburadul dan "semau gue". Dari sisi ini, pemakai bahasa kekuasaan agaknya telah kehilangan moralitasnya. Bahasa bukan lagi menjadi media untuk menyampaikan masalah secara jelas dan nyata, melainkan justru sengaja dikaburkan dan disamarkan hingga menimbulkan banyak tafsir. Semakin banyak tafsir, berarti semakin banyak celah untuk menghindar dari kebijakan yang diluncurkannya. Kebijakan Visioner Bahasa memang bersifat arbitrer (manasuka) dan memiliki kekuatan personal yang tak mudah diganggu gugat oleh pihak lain. Namun, sesuai dengan hakikatnya sebagai media komunikasi publik, penggunaan bahasa tutur akan membawa dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Itulah sebabnya, kita sangat mengapresiasi kebijakan visioner para pendahulu negeri yang telah menetapkan Bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional. Kebijakan ini jelas memiliki kekuatan yang mampu mengikat emosi para penuturnya, sehingga waktu itu, Bahasa Indonesia bisa dimanfaatkan secara optimal di ranah publik berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati. Dalam perkembangan selanjutnya, Bahasa Indonesia juga telah ditetapkan sebagai bahasa negara (resmi), bahkan telah ditinggikan derajatnya melalui momentum "Bulan Bahasa" yang jatuh setiap bulan Oktober. Melalui kebijakan politik bahasa semacam ini, setidaknya segenap memori anak bangsa tergugah dan teringatkan bahwa ternyata kita memiliki warisan kultural, yang telah menyejarah dan benar-benar telah teruji keberadaannya sebagai media pengokoh kebhinekaan. Dengan kata lain, Bahasa Indonesia telah menjadi pengikat nilai persaudaraan sesama anak bangsa secara emosional dan afektif. Namun, kebijakan visioner tak selamanya berjalan mulus. Bahasa Indonesia yang seharusnya mampu dioptimalkan sebagai media pembebasan, justru telah terperangkap dalam kubangan hegemoni yang dengan amat leluasa dimodifikasi sebagai alat kekuasaan oleh para elitenya. Penyadaran Kolektif Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi media pembebasan untuk mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Hal ini bisa terwujud apabila kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan penting dan krusial; bukan menggunakan bahasa kaum elite yang berbelit-belit dan cenderung menyesatkan publik. Kita sungguh prihatin menyaksikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus didera berbagai masalah besar. Tak hanya deraan konflik internal dan eksternal, tetapi juga tikaman bencana yang terus berdatangan secara bergelombang. Dalam situasi krusial seperti ini, sungguh disayangkan, Bahasa Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembebasan. Bahasa rakyat dan bahasa kaum elite tak pernah berada dalam satu titik temu, hingga persoalan-persoalan besar itu gagal tertuntaskan. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya membangun gerakan penyadaran kolektif untuk memanfaatkan Bahasa Indonesia sebagai media komunikasi publik yang mencerahkan dan membebaskan, sehingga akhirnya persoalan multikompleks dan multidimensi di negeri ini bisa tertangani. Dirgahayu Bahasa Negeriku! Diringkas dari: Nama situs: sawali.info Alamat URL: http://sawali.info/2009/10/08/mampukah-bahasa-indonesia-menjadi-media-pembebasan/ Judul artikel: Mampukah Bahasa Indonesia menjadi Media Pembebasan? Penulis: tidak dicantumkan Tanggal akses: 1 maret 2013 Kontak: penulis(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Santi T., dan Berlin B. Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |