Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/121 |
|
e-Penulis edisi 121 (8-11-2012)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 121/November/2012 Tema: Menerbitkan Hasil Tulisan (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: PENERBIT INDIE, PENERBIT ALTERNATIF UNTUK SEMUA ARTIKEL: GAMPANGNYA MENERBITKAN BUKU INDIE POJOK BAHASA: KEKECUALIAN LINGUISTIK DARI REDAKSI: PENERBIT INDIE, PENERBIT ALTERNATIF UNTUK SEMUA Shalom! Jika ada seseorang bertanya, "Apa motivasi dasar seorang penulis?", mungkin ada beragam jawaban yang muncul ke permukaan. Sebagian ingin membagikan buah pikirannya kepada masyarakat, yang lain ingin tenar, dan yang sisanya mungkin termotivasi oleh royalti seandainya buku mereka menjadi best-seller. Tapi apa pun motivasi itu, seorang penulis harus menerbitkan karyanya terlebih dahulu, entah melalui dunia maya seperti blog dan situs pribadi, penerbit "mainstream", maupun menerbitkan sendiri alias "self-publishing". Sementara penerbit "mainstream" seakan menjadi momok, dan blog sepertinya tidak dapat memberi kepuasan tersendiri bagi penulis pemula yang ingin memegang buku hasil karya mereka secara fisik, penerbitan "indie" atau "self- publishing" menjadi alternatif yang menjawab kebutuhan ini. Dalam edisi ini, kami menyajikan sebuah artikel yang ditulis oleh Irwan Bajang, pendiri sebuah penerbit "indie" bernama "Indie Book Corner", yang menjelaskan kemudahan-kemudahan yang akan membantu para penulis (pemula maupun veteran) untuk menerbitkan karya mereka. Akhir kata, selamat menikmati sajian kami di edisi ini. Selamat membaca dan berkembang. Tuhan Yesus memberkati Sahabat sekalian! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yosua Setyo Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: GAMPANGNYA MENERBITKAN BUKU INDIE Apakah Anda seorang penulis yang idealis? Penulis yang senang menulis tulisan-tulisan aneh yang jarang ditulis orang lain? Atau Anda adalah penulis keras kepala yang susah kompromi dengan orang lain? Mungkin Anda bukanlah orang yang dicari banyak penerbit karena menerbitkan buku butuh banyak kompromi tema, bentuk, dan genre yang laku. Tapi, bukan berarti Anda tidak berpeluang menjadi penulis, banyak alternatif lain, bisa dengan menjadi blogger, menulis di milis, atau menerbitkan buku Anda secara "indie". Berani? Berani menerbitkan hasil karya sendiri berarti sudah berani mengambil sebuah keputusan. Dengan demikian, Anda telah memosisikan diri sebagai seorang penulis sekaligus pengusaha, sehingga secara garis besar, Anda punya dua keuntungan. Pertama adalah kepuasan materi. Anda akan mendapat laba penjualan buku yang jauh lebih besar dibandingkan dengan menerbitkan buku di penerbit (sekadar informasi, royalti di penerbitan rata-rata 10 persen dari hasil penjualan buku). Dan keuntungan nonmaterinya adalah Anda akan merasa bangga, sebab telah berhasil memublikasikan karya Anda sendiri menjadi sebuah buku dan dapat dinikmati banyak orang. Eksistensi Anda sebagai penulis akan segera diakui. Ada banyak keuntungan lain sebagai penulis yang bisa menerbitkan buku secara indie. Anda bisa membentuk dan memublikasikan karya Anda sesuai selera. Anda bisa memilih sampul sesuka hati tanpa ada intervensi dari penerbit, Anda juga bisa memilih bentuk buku sesuai keinginan Anda, ukurannya, tebal-tipisnya, semua terserah pada Anda. Tata letaknya pun demikian, Anda bisa saja memilih bentuk buku seperti yang Anda suka, berwarna, berhias gambar, berbentuk lingkaran, dan lain sebagainya. Selain itu, Anda juga tidak harus repot dan lelah menunggu berbulan- bulan untuk sekadar mendengar kabar naskah Anda diterima atau tidak. Anda bisa mengatur waktunya sesuai dengan keinginan. Hal ini jauh berbeda apabila Anda mengirim naskah ke sebuah penerbit. Anda harus menunggu seleksi, kemudian menunggu proses penyuntingan, pracetak sampai proses cetak yang semuanya bisa memakan waktu dari 6 bulan hingga 1 tahunan. Dalam penerbitan indie, Andalah yang memegang semua kendali atas proses penerbitan hasil karya Anda. Sejak awal proses penulisan sampai dengan pendistribusian ke pembaca. Anda akan memotong jalur penerbitan yang ribet dan sangat lama itu. Pakailah jurus dan jalur Anda sendiri. Secara pribadi, saya akan merasa senang sekali mengirimi teman-teman saya buku yang saya bikin sendiri. Sebab, bagi saya menulis adalah untuk menggali kepuasan eksistensial. Bahwa dengan meninggalkan jejak tertulis sebelum saya meninggal dunia, setidaknya saya meninggalkan sesuatu yang hidup dan tak bisa mati dari diri saya, meskipun saya mati. Sesuatu itu adalah pikiran dan pandangan saya mengenai hidup, dan banyak hal di seputarnya. Saya menulis maka saya ada, begitu kira- kira sederhananya. Proses penerbitan buku pada dasarnya sangat sederhana. Setidaknya ada 5 tahap dalam proses tersebut. Pertama adalah menyediakan naskah. Pada tahap ini, penulis tentu saja harus menulis atau mengumpulkan tulisannya yang terserak di mana-mana. Atau bisa saja menulis secara keroyokan, antologi puisi misalnya, atau antologi cerpen, dan lain sebagainya. Tahap kedua adalah tahap penyuntingan naskah. Tahap ini meliputi pemeriksaan, kurasi, atau beberapa unsur lain untuk mempercantik naskah yang telah jadi. Dalam tahap ini, berlangsung pemeriksaan kesalahan tanda baca oleh seorang "proofreader" (asisten penyunting atau penyunting kedua). Para penulis indie biasa meminta bantuan atau membayar jasa seorang penyunting untuk melakukan hal tersebut. Tahap ketiga adalah perencanaan tata letak dan sampul. Di tahap ini, naskah yang sudah siap disusun sedemikian rupa dalam bentuk buku, lalu diberi sampul yang menarik agar calon pembaca tertarik melihat dan membelinya. Tahap keempat adalah mencetak. Tahap ini sederhana saja, tinggal mencari percetakan dan segera mewujudkan naskah itu menjadi buku. Nah, sekarang buku sudah siap, maka pekerjaan berikutnya adalah mendistribusikannya. Kalau secara konvensional, tentu Anda tak harus keliling toko-toko buku untuk menawarkannya. Cukup dengan menggunakan jasa distributor yang akan menyebar seluruh buku tersebut ke toko buku se-Indonesia Raya. Lantas, bagaimana kalau buku kita indie dan hanya cetak sedikit? Indie atau tidaknya buku tidak berpengaruh pada distributor. Yang penting buku Anda memunyai "International Standard Book Number" (ISBN). Jika sudah demikian, maka distributor akan mau membantu menyebarkan buku Anda. Distributor biasanya meminta potongan harga 40 persen hingga 60 persen dari harga jual buku tersebut. Namun, bagi penulis yang mencetak buku secara indie atau jumlah yang terbatas, jangan khawatir, zaman telah berubah begitu cepat. Telah ada blog, milis, jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Myspace, Friendster, dan lain sebagainya. Anda bisa memanfaatkan layanan ini untuk menjualnya di sana. Atau Anda bisa titipkan di komunitas yang Anda ikuti, di distro, kafe, kantin, dan tempat alternatif lainnya. Semakin Anda kreatif, maka makin cepat juga buku Anda laris manis di pasaran. Sederhana bukan? Lalu, apalagi yang Anda tunggu. Segera kumpulkan tulisan Anda, selesaikan yang belum jadi, dan terbitkanlah agar bisa dibaca orang, sehingga pemikiran Anda dapat didengarkan. Carilah teman yang bisa menyunting karya Anda, membuat tata letak, dan membuat sampulnya. Atau jika Anda tergabung dalam komunitas-komunitas sastra maupun komunitas-komunitas blogger, segeralah memelopori dan menggawangi penerbitan karya anggota yang layak dibukukan. Adanya jaringan komunitas, sahabat, dan lain sebagainya akan menjadikan kekuatan pemasaran semakin besar dan luas. Akan sayang sekali jika tulisan Anda yang inspiratif, keren, dan mencerahkan itu hanya terpampang di monitor dan tidak terarsip dengan baik. Kalau Anda masih menganggap buku sebagai cara penyebaran gagasan yang efektif, bukukanlah tulisan-tulisan Anda itu. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Indonesiabuku.com Alamat URL: http://indonesiabuku.com/?p=7916 Penulis: Irwan Bajang Tanggal akses: 13 September 2012 POJOK BAHASA: KEKECUALIAN LINGUISTIK Keteraturan matematis dan paradigmatis dalam bahasa adalah sesuatu yang mustahil dan karena itu, belajar bahasa harus bersiap menghadapi beragam kekecualian. Para pengguna bahasa tak menyadari bahwa sejumlah kekecualian itu sebenarnya sebuah anomali, melawan logika kebahasaan. Pengguna bahasa tak mempertanyakan lagi hukum janggal dalam beberapa aspek kebahasaan itu. Mari simak aturan dalam pembentukan frasa berlandaskan dalil "diterangkan menerangkan" (DM), yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Dalil itu menghasilkan frasa "anak cerdas", "pacar pertama", "kereta terakhir". Dalam deretan contoh ini, nomina "anak", "pacar", dan "kereta" adalah elemen yang "diterangkan", sedangkan unsur yang "menerangkan" adalah adjektiva "cerdas", "pertama", dan "terakhir". Apakah dalil itu berlaku mutlak? Tentu tidak. Anda pasti acap mendengar atau membaca frasa populer ini: "perdana menteri". Jelas ini bukan rumusan berdasar dalil DM, tapi MD yang sepantar dengan aturan dalam bahasa Inggris, "prime minister". Di masa Orde Lama, ketika Indonesia mengikuti demokrasi parlementer, istilah "perdana menteri" itu sudah merakyat. Di saat itu pula, publik tentu memiliki seorang pejabat yang bergelar "waperdam" atau wakil perdana menteri. Meski Orde Baru berambisi mengikis habis semua yang berbau Orde Lama, istilah "perdana menteri", yang tersohor dengan singkatan PM, tak terkena imbas ambisi itu. Indonesia memang tak lagi memunyai PM, tapi media massa, cetak, maupun elektronik, di rubrik politik internasional mengabadikan "perdana menteri" saat menerjemahkan berita luar negeri ketika merujuk "prime minister". Kamus resmi tak menyediakan nomina "perlatihan". Untuk merujuk ke nomina yang diturunkan "berlatih", pengguna bahasa dipersilakan memakai "latihan". Begitulah kekecualian. Tapi kekecualian ini bisa dilawan dengan sikap memberontak dari para penulis dan jurnalis. Mereka bisa menggunakan nomina "perlatihan" karena bentuk ini sangat potensial. Ini untuk membedakan dari nomina "pelatihan" yang diturunkan oleh "melatih". Kekecualian, linguistik juga berlangsung pada mandala relasi bentuk dan makna bahasa. Pada segi relasi bentuk dan makna inilah, para penutur bahasa asing yang hendak belajar bahasa Indonesia, juga dituntut kehati-hatian ekstra keras. Masalah utamanya terletak pada belum tersediannya kamus eka bahasa Indonesia, yang secara komprehensif memberikan kategorisasi kelas kata di setiap entri dan penjelasannya. "me-kan" pada kata dasar yang melahirkan verba, untuk beberapa kasus justru melahirkan adjektiva dan adverbial. Apakah kekecualian kebahasaan itu bisa dijelaskan secara ilmiah? Kalangan linguis pasti menjawab "Bisa". Penjelasan itu bisa berlandaskan perspektif historis, bisa juga berdasarkan teori linguistik yang penjelasannya penuh dengan jargon ilmiah, yang bagi orang kebanyakan hanya bikin pening kepala. Mau contoh? Inilah kasus menarik: sampai saat ini, para pengguna bahasa Indonesia yang tidak belajar tentang ilmu bahasa acap menyamakan makna "permukiman" dan "pemukiman". Rupanya mereka tidak salah karena Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang disusun Hasan Alwi dan kawan-kawan edisi 1998 menyatakan dua kata itu bermakna sama, meskipun yang pertama diturunkan dari "bermukim" dan yang kedua dari "memukimkan". Bagaimana bentuk yang berbeda tapi dimaknai sama itu dijelaskan oleh ahli bahasa? Inilah uraian singkat Abdul Chaer, dosen bahasa di Universitas Negeri Jakarta tentang pertanyaan di atas: Konfiks "pe-an" sebagai sebuah morfem tidak ada. Yang ada konfiks "peng-an" dan "per- an". Bentuk "pe-an" hanyalah sebuah alomorf, anggota morfem yang sudah ditentukan posisinya. Penjelasan njlimet atau rumit itu bisa dijelaskan secara sederhana: imbuhan "pe-an" sebenarnya tak ada. Meskipun tak ada, bolehlah diada- adakan, dan posisinya sudah ditentukan, yakni di morfem imbuhan "peng- an" maupun "per-an". Jadi, ajaib juga fenomena ilmu bahasa ini. Artinya, sesuatu yang tidak ada, masih bisa diadakan, dan keberadaannya bisa di dua tempat yang berbeda. Begitulah sekilas tentang kekecualian linguistik dalam bahasa Indonesia. Mereka yang bergumul dalam linguistik memastikan bahwa semua bahasa di dunia ini, yang konon jumlahnya tak lebih dari lima ribu, memiliki unsur kekecualian itu. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: oase.kompas.com Alamat URL: http://oase.kompas.com/read/2012/08/29/00443917/Kekecualian.Linguistik Penulis: Mulyo Sunyoto Tanggal akses: 29 September 2012 Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Yosua Setyo Yudo dan Novita Yuniarti Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |