Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/117 |
|
e-Penulis edisi 117 (6-9-2012)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 117/September/2012 Tema: Pesan Moral dalam Tulisan (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: MENGAJAR DENGAN PESAN MORAL ARTIKEL: PESAN MORAL DALAM CERPEN POJOK BAHASA: RAGAM BAHASA BAKU DARI REDAKSI: MENGAJAR DENGAN PESAN MORAL Shalom, Pesan moral, ketika kita masih kanak-kanak, ia menunggu kita di akhir setiap cerita dongeng yang kita baca atau dengarkan. Saat kita beranjak dewasa, ia lebih suka menyembunyikan diri di antara jalinan dialog dan berkelebat di sela-sela tokoh-tokoh cerita, lalu diam-diam mengajar kita tentang keagungan sifat-sifat manusia sekaligus menunjukkan kebobrokannya. Tak bisa dimungkiri, pesan moral adalah "roh" dalam karya fiksi semacam novel, novela, dan cerpen maupun dalam karya nonfiksi naratif semacam biografi atau catatan harian seorang tokoh. Sang penulis sedang mengajar kita ketika kita menikmati karyanya. Tetapi tunggu dulu, apakah pesan moral harus disiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebelum menciptakan karyanya? Apakah pesan moral itu harus dinyatakan secara verbal dalam sebuah karya? Ataukah kesimpulan mengenai pesan yang terkandung dalam sebuah karya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca? Simaklah artikel yang kami sajikan dalam edisi ini untuk mengetahui jawabannya. Di kolom Pojok Bahasa, kami menyajikan artikel yang mengupas tentang ragam bahasa baku, yang ternyata tidak hanya terdiri atas satu jenis saja. Kiranya sajian kami dalam edisi ini menjadi berkat bagi Sahabat sekalian. Tuhan Yesus memberkati. Pemimpin Redaksi e-Penulis Yosua Setyo Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > "Cerita yang berkualitas pasti disukai banyak orang. Inilah yang selalu terjadi dan akan terus terjadi." (Robert McKee) ARTIKEL: PESAN MORAL DALAM CERPEN Karya sastra, pada umumnya senantiasa membawa dampak psikologis bagi pembacanya. Selain rasa "puas" dan terhibur, terbawa juga pesan moral secara implisit. Pesan moral ini jarang disadari oleh penulis, tapi begitu cerpen selesai ditulis dan dimuat oleh suatu media, baru disadari oleh penulisnya bahwa ada pesan moral tertumpang di dalamnya. Pesan moral itu berkaitan dengan pandangan atau ideologi yang dianut oleh penulis. Seorang penulis yang dibesarkan dalam lingkungan sosial tertentu, tanpa disadari, latar sosial penulis itu akan terefleksi ke dalam karangannya. Bukankah karya sastra itu merupakan refleksi dari kondisi sosial suatu masyarakat pada suatu waktu? Pada masa pemerintahan Orde Baru yang mencapai kurun waktu lebih kurang 32 tahun, situasi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya berada dalam cengkeraman ketakutan dan rasa protes yang tak pernah dapat diwujudkan karena ancaman aparat keamanan. Rasa tertekan dan protes yang laten dari masyarakat itu rupanya juga terefleksi ke dalam karya-karya sastra, meskipun tidak secara eksplisit. Ingat sajak "Tanah Airmata" yang ditulis Sutardji Calzoum Bakhri? Sajak itu salah satu bentuk protes dan sekaligus mengandung pesan moral di dalamnya. Sedangkan cerpen-cerpen yang terbit pada masa itu, sering kali terselubung pesan moral yang berbau protes terhadap keadaan. Ambillah contoh, cerpen "Kades Mungkaruddin", yang termuat dalam kumpulan cerpen "Si Padang" (Penerbit buku Kompas, 2003), yang sebelumnya pernah dimuat Kompas pada masa dekat-dekat jatuhnya Soeharto. Cerpen itu mengisahkan betapa seorang ustad bertitel doktor, gagal memberi ceramah di masjid desanya sendiri lantaran dilarang kades (Kepala Desa) dengan alasan "ketertiban dan keamanan" dalam masa minggu tenang menjelang Pemilu. Pesan moral apakah yang dapat kita petik dari cerpen seperti itu? Sekurang-kurangnya pembaca merasa solider (merasa terlibat) dengan penulis cerpen itu, dan mengutuk perilaku penguasa yang telah menghalangi kegiatan ibadah, lantaran takut pada atasan penguasa itu yang nyata-nyata hanyalah manusia biasa dan bukan Tuhan. Para pakar sastra pernah bilang bahwa karya sastra yang baik biasanya menimbulkan makna yang mengembang ("snow ball") bagi pembaca dan memiliki nilai-nilai yang langgeng. Artinya, ketika sebuah cerpen yang bagus dibaca oleh banyak orang, justru masing-masing pembaca membuat tafsiran sendiri-sendiri yang belum tentu sama dengan pembaca lainnya. Bagi seorang pembaca yang fanatik beribadat, mungkin akan dendam terhadap tokoh "Kades Mungkaruddin" tersebut. Tapi bagi pembaca yang berlatar ilmu dan wawasan yang cukup luas, akan menafsirkan cerpen itu sebagai cerminan kebobrokan pemerintahan yang berbau fasis dan seterusnya. Persoalannya sekarang, apakah setiap memulai menulis sebuah cerpen harus siap dengan pesan moral yang akan diemban? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab, menulis cerpen bukanlah menulis naskah dakwah. Menulis cerpen adalah menulis prosa fiksi, sedangkan menulis naskah dakwah atau artikel lainnya adalah menulis esai. Kedua bentuk tulisan itu sangat jauh berbeda tujuannya. Cerpen merupakan karya seni yang memerlukan sentuhan artistik melalui bahasa berdasarkan imajinasi. Tanpa berpretensi untuk menumpangkan pesan moral, nilai-nilai moral itu sudah pasti terselip secara implisit di dalamnya. Justru "berbahaya" jika seorang cerpenis sengaja memasukkan pesan moral itu secara eksplisit ke dalam karyanya. Cerpen adalah karangan narasi atau bercerita. Kalau saja ada kalimat-kalimat semacam ini: "Sebaiknya Elsa menyadari, betapa besar dosa yang telah dilakukannya kalau saja ia berpacaran dengan Andi sampai melampaui batas-batas norma agama." Kalimat ini mestinya tidak ditulis dalam cerpen, sebaiknya "menceritakan" saja peristiwa yang terjadi, bukan "menjelaskan" atau mendeskripsikan seperti contoh kalimat di atas. Pesan moral dalam karya sastra tidak ditulis (dieksplisitkan), melainkan terselip dalam cerita (konflik dan peristiwa). Dengan demikian, karya sastra, termasuk cerpen, menjadi "bermakna" bagi pembacanya. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: Penulisan Kreatif Alamat URL: http://groups.yahoo.com/group/penulisankreatif/message/225 Penulis: Harris Effendi Thahar Tanggal akses: 24 Juli 2012 POJOK BAHASA: RAGAM BAHASA BAKU Bahasa standar selamanya adalah bahasa tulisan. Sutan Takdir Alisjahbana Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya. Semula, saya berpikir bahwa ragam bahasa baku itu hanya ada satu. Namun, berdasarkan pengamatan (harus saya akui, ini masih berupa sekilas, belum mendalam) sejauh ini, ragam bahasa baku itu tidak melulu dikaitkan dengan kebakuan kosakata, sebagaimana bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan yang ditetapkan dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kalau kita berpegangan pada KBBI dan pedoman EYD, kita tidak akan memandang judul-judul berita pada surat kabar sebagai judul yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Atau ketika kita melihat bahasa pada dunia periklanan. Dijamin kita akan langsung mengecap bahasa yang digunakan tidak baku. Tapi itu kalau kita memakai sudut pandang preskriptif. Sebaliknya, ketika kita melihat secara deskriptif, kita akan menyadari bahwa sejumlah ragam bahasa yang kita lihat berbeda dari apa yang standar, sebenarnya tidak melulu menjadi ragam bahasa tak resmi. Kamus Linguistik (2001:184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai "ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (misalnya surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan umum." Berangkat dari definisi tersebut, coba kita cermati apa yang terjadi pada surat kabar dan dunia periklanan. 1. Apakah surat kabar dan iklan hanya akan ditujukan dan dilihat oleh orang-orang yang biasa-biasa saja, dalam arti tidak ditujukan kepada orang yang jelas lebih dihormati? 2. Apakah surat kabar dan iklan tidak disodorkan kepada umum? Jawaban dari kedua kasus di atas sudah jelas tidak. Ya, surat kabar tentu saja dinikmati oleh siapa pun yang memang berniat membacanya. Apalagi yang kedua. Siapa saja pasti tergoda untuk membaca iklan yang dipampangkan di pinggir-pinggir jalan, apalagi bila disajikan dengan sangat menarik. Faktanya, ragam bahasa yang digunakan hampir kebanyakan tidak menggunakan ragam baku, sehingga definisi ragam baku yang disebutkan terakhir, yaitu "bila pembicaraan dilakukan di depan umum" kini boleh dibilang sudah bergeser. Meski demikian, timbul pula pemikiran baru dalam benak saya. Bahwa ragam bahasa baku itu tampaknya berlaku bagi kalangan tertentu yang menjadi bahasa sasaran kelompok terkait. Dengan demikian, bagi kalangan A, berlakulah ragam bahasa A. Bagi dunia periklanan, misalnya, ragam bahasa yang dianggap baku ialah bahasa yang lebih bersifat menjual; selama bersifat menjual, bakulah bahasa mereka meskipun kalau ditilik secara preskriptif pastilah tidak tepat. Atau bagi kalangan penerbitan, gaya selingkung mereka merupakan standar kebakuan yang tidak boleh tidak diikuti oleh para editornya karena dengan demikian mereka menjaga konsistensinya, terlepas dari perkembangan kebakuan yang dirumuskan oleh pihak Pusat Bahasa. Demikian pula, bagi kalangan anak muda, bahasa gaul menjadi ragam bahasa baku mereka sendiri. Akhirnya, definisi ragam bahasa baku itu, menurut hemat saya, hanya relevan sampai kepada "ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (misalnya surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis)". Diambil dari: Nama situs: Corat-Coret Bahasa Alamat URL: http://indonesiasaram.wordpress.com/2008/03/18/ ragam-bahasa-baku/ Penulis: Indonesia-saram Tanggal akses: 1 Agustus 2012 Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Yosua Setyo Yudo dan Novita Yuniarti Tim editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |