Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/107 |
|
e-Penulis edisi 107 (5-4-2012)
|
|
__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________ Edisi 107/April/2012 Tema: Teknik Menulis Bebas (I) DAFTAR ISI DARI REDAKSI: LEBIH JAUH LAGI TENTANG TEKNIK MENULIS BEBAS ARTIKEL: KIAT MENULIS BEBAS: KIAT PALING JITU AGAR KITA SELALU LANCAR MENULIS! POJOK BAHASA: MEMAKSIMALKAN KAIDAH BAHASA STOP PRESS: GLOBAL DAY OF PRAYER AND FASTING FOR NORTH KOREA DARI REDAKSI: LEBIH JAUH LAGI TENTANG TEKNIK MENULIS BEBAS Shalom! Apakah Sahabat masih ingat tentang cara kreatif menulis yang dibahas pada edisi 105 yang lalu? Pada edisi tersebut, salah satu cara yang dapat mendorong Sahabat untuk menulis adalah dengan menulis jurnal pribadi. Pada artikel tersebut dijelaskan beberapa elemen menulis jurnal yang diambil dari teknik menulis bebas, dan teknik inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam edisi ini. Harapan kami, setelah membaca tentang teknik ini, Sahabat akan semakin terdorong untuk berkarya. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati! Pemimpin Redaksi e-Penulis, Yosua Setyo Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://pelitaku.sabda.org > ARTIKEL: KIAT MENULIS BEBAS: KIAT PALING JITU AGAR KITA SELALU LANCAR MENULIS! Sejak sekitar 3 tahun lalu, saya mengenal istilah "Kiat Menulis Bebas" dari Pak Hernowo, penulis yang terkenal dengan konsep "Mengikat Makna". Penemu konsep menulis bebas ini sebenarnya adalah Peter Elbow lewat bukunya "Writing Without Teacher" (sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul sama dan diterbitkan oleh Indonesia Publishing atau iPublishing tahun 2007). "Tapi, saya menerapkan kita menulis bebas ini tidak dari Peter Elbow, melainkan dari Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog yang menulis buku `Opening Up`," ujar Pak Hernowo ketika suatu hari saya mengonfirmasikan konsep "Kiat Menulis Bebas" tersebut padanya. Terlepas dari apa pun, saya merasa bersyukur karena menemukan sebuah fakta yang sangat menarik, sebagaimana yang tertulis pada judul artikel ini. Bahkan, saya kemudian menyebut kiat ini sebagai "rahasia terbesar di dunia penulisan". Saya pun memberi nama khusus untuknya, dengan tujuan agar mudah diingat: "Otak Kanan Dulu Baru Otak Kiri". Kiat Menulis Bebas = Kembali ke Fitrah Manusia Saya yakin Anda semua sudah paham, bahwa otak manusia memiliki dua belahan, yakni otak kanan dan otak kiri. Otak kanan = menyukai spontanitas, penuh kebebasan, tanpa aturan. Otak kiri = sistematis, runut, penuh pertimbangan. Secara naluriah, sebenarnya setiap manusia sudah "diprogram" oleh Tuhan untuk menggunakan otak kanan dulu baru otak kiri, dalam hal apa pun. Sebagai contoh: 1. Seorang perempuan jalan-jalan di sebuah mal. Dia melihat sebuah baju bagus yang dijual dengan diskon 50 persen. Maka pikiran spontan si perempuan ini akan berkata, "Wah, harus beli nih!", 2. Seorang pemuda secara tak sengaja melihat perempuan cantik lewat di depan matanya. Maka secara spontan dia akan berkata di dalam hati, "Wah, cantiknya! Andai dia jadi milikku.", 3. Seseorang yang disenggol oleh orang asing secara tak sengaja, maka secara spontan emosinya akan naik dan timbul niat spontan untuk marah atau membalas tindakan tersebut. Hal-hal seperti contoh di atas adalah reaksi spontan manusia ketika menghadapi situasi tertentu. Dan reaksi spontan ini adalah hasil pekerjaan otak kanan. Setelah reaksi spontan itu muncul, biasanya kita tidak langsung bertindak. Misalnya pada contoh nomor 1. Setelah si perempuan secara spontan berkata "Harus beli", maka dia kemudian berpikir. "Jadi beli tidak, ya?" Pikirannya pun penuh oleh berbagai macam pertimbangan. Hingga akhirnya dia mungkin tidak jadi membeli. Aktivitas "penuh pertimbangan, banyak berpikir", dan seterusnya ini, merupakan hasil kerja dari otak kiri. Secara hukum alam, kita -- manusia terbiasa mengerjakan apa pun dengan otak kanan dulu baru otak kiri. Reaksi spontan dulu baru berpikir. Ini adalah hukum alam, sangat sesuai dengan fitrah manusia. Masalahnya, dalam menulis kita justru melawan hukum alam. Kita melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia! Kita mulai menulis dengan berbagai macam pikiran dan pertimbangan: Tulisan ini nanti jadinya bagus tidak ya? Bagaimana kalau hasilnya jelek? Bagaimana kalau nanti tulisan ini diejek oleh orang lain? Bagaimana kalau tulisan ini tidak sesuai dengan tata bahasa dan ejaan yang berlaku? Kalau tulisan ini saya kirim ke Kompas, dimuat enggak ya? Saya ingin membuat tulisan sebagus tulisan Andrea Hirata. Tapi bagaimana kalau tulisan saya nantinya tidak bagus, jauh dari kualitas Andrea Hirata? Dan seterusnya! Dengan kata lain, belum apa-apa kita sudah pakai otak kiri! Padahal, hukum alam justru mengajarkan kita untuk menggunakan otak kanan dulu baru otak kiri. Ini berlaku dalam hal apa pun, termasuk dalam menulis. Maka, ketika saya belakangan ini rajin memasyarakatkan "kiat menulis bebas" kepada teman-teman penulis, itu didorong oleh keinginan saya agar para penulis kita kembali ke fitrahnya, kembali ke hukum alam dalam hal menulis. Memang, kecenderungan kita untuk "melawan hukum alam" ketika menulis sedikit banyaknya dipengaruhi oleh sistem pendidikan kita di sekolah. Sejak kecil, kita diajarkan oleh Guru Bahasa Indonesia bahwa menulis harus pakai kerangka karangan, harus mematuhi EYD, harus taat pada tata bahasa, dan seterusnya. Ajaran seperti ini membuat kita berpikir bahwa menulis itu rumit, membingungkan, dan sulit untuk dipraktikkan. Padahal sebenarnya, menulis itu sangat gampang! (seperti kata Arswendo Atmowiloto pada bukunya "Mengarang Itu Gampang!"). Bagaimana caranya agar gampang? Ya, tentu saja dengan "kembali ke hukum alam". Kikislah habis "aliran sesat" yang diajarkan oleh guru kita di sekolah dulu. Mulai sekarang, menulislah dengan otak kanan dulu baru otak kiri. Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: www.jonru.net Alamat URL: http://www.jonru.net/kiat-menulis-bebas-kiat-paling- jitu-agar-kita-selalu-lancar-menulis Penulis: Jonru Ginting Tanggal akses: 21 Desember 2011 POJOK BAHASA: MEMAKSIMALKAN KAIDAH BAHASA Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu patuh dengan prinsip "gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar". Benar dan baik di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu, di mana mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran masyarakat umum untuk berbahasa, sehingga orang yang berbeda, seperti almarhum Yus Badudu -- pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan pekerjaannya, karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosakata para pejabat yang bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik. Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang betul-betul menjadi ranah publik, di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat, baik para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada digunakan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel, namun efisien dan efektif. Contoh yang sederhana adalah awalan "pe". Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Pencuri artinya orang yang mencuri, penulis artinya orang yang menulis, dan seterusnya. Namun, awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis, pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya, kita menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun, gejala ini merupakan cerminan dari daya kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana namun efektif. Bila pola ini diteruskan, kita akan mendapatkan banyak kata untuk mendapatkan istilah-istilah yang lebih fungsional. Coba, untuk menerjemahkan kata Inggris "timer", paling tidak kita butuh dua atau kadang tiga kata: "penghitung waktu" atau "alat penghitung waktu". Kedua istilah ini jelas terlalu panjang. Mengapa kita tidak memfungsikan awalan "pe", sehingga kita mendapatkan kata "pewaktu" -- artinya yang menentukan waktu -- yang lebih pendek. Bila awalan ini kita kombinasikan dengan akhiran "an", kita akan mendapatkan kata "pewaktuan" sebagai ganti "penentuan waktu" atau "pemilihan waktu". Terdengar aneh? Memang, namun lama kelamaan akan terbiasa. Ketika pertama kali sebuah kata ditemukan, maknanya sebenarnya dipaksakan secara sistematis bagi para pendengarnya. Bila mereka menyukainya, maka ia akan diterima dan menjadi milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang begitu saja. Ada negosiasi antara si pembuat atau penemu kata dengan para pendengarnya. Kasus awalan "pe" ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa kita, yang cenderung monoton dan tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia, namun juga menyiratkan bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah sistem pengetahuan yang canggih, yang dapat mengatasi berbagai persoalan kebahasaan. Dulu kita hanya tahu bahwa "untuk" adalah kata depan. Namun dengan kombinasi awalan "per" dan akhiran "an", ditemukan kata "peruntukan", seperti dalam kalimat, Pembangunan di Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata "untuk" menjadi konsep yang canggih. Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah tulisannya tentang masyarakat madani, Dawam Rahardjo "menemukan" kata kesalingan (hormat menghormati, harga menghargai, sayang menyayangi, cinta mencintai, dst.) untuk menyebut prinsip yang mendasari terbentuknya masyarakat ini. Kata itu ia gunakan untuk menerjemahkan kata Inggris "mutuality". Mungkin kata ini sudah digunakan sebelumnya oleh orang lain. Namun yang penting adalah munculnya kesadaran untuk memfungsikan kata-kata Indonesia, yang ternyata mampu untuk tampil ringkas dan padat. Di samping memfungsikan kaidah-kaidah bahasa yang tidur, kalangan fungsionalis juga mengusahakan kosakata bahasa Indonesia, yang dapat dipergunakan secara luas untuk menerjemahkan kata-kata asing. Tentu kita sadar betapa banyak kata asing berseliweran di tengah-tengah kita dan kita tidak melakukan apa-apa. Di bidang media ada headline news, host, presenter, breaking news; di bidang ekonomi:profit taking, rebound, capital flight, hot money; di bidang cyber media: down load, browsing, searching, connecting, blogging, dan banyak lagi. Pendek kata, serbuan kata-kata asing terjadi di semua bidang kehidupan. Mungkin ada ratus bahkan ribuan istilah asing yang ditelan "bulat-bulat" oleh masyarakat kita. Bila ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin lima sampai sepuluh tahun ke depan, bahasa Indonesia tidak akan banyak berbeda dengan bahasa Inggris. Apalagi masyarakat kita -- terutama para artis dan penyanyi yang terlanjur merasa menjadi "public figure", padahal sebenarnya adalah figur yang dikenal publik -- merasa lebih hebat bila dalam percakapan mereka diselingi kata-kata Inggris, untuk memberi kesan bahwa mereka sering wara-wiri ke luar negeri. Kalangan fungsionalis menggunakan kata-kata yang ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia untuk menerjemahkan istilah-istilah asing. Beberapa tahun yang lalu, kita tentu masih ingat penggunaan istilah "illegal logging" untuk menyebut praktik pencurian dan penebangan kayu secara liar. Sekarang kita memunyai istilah "pembalakan liar". Sekarang istilah ini digunakan secara luas. Munculnya istilah ini menyadarkan kita bahwa ternyata bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal lagi. Bicara tentang fungsionalisasi bahasa, mungkin ada baiknya kita perhatikan sejenak bagaimana kaum pinggiran, anggota masyarakat biasa yang terdiri dari para sopir, kenek, pengojek, pembecak, dan semacamnya membuat istilah. Untuk pengecatan seluruh permukaan mobil, mereka punya istilah menyiram; memotong per agar mobil lebih rendah: menceperkan; mengutak-atik mesin agar mobil berlari kencang: mengilik; mobil yang dipercayakan pada seorang supir: batangan. Mereka juga yang menemukan istilah dangdutan, menikmati pertunjukan musik dangdut; cabutan, pemain dari kampung lain yang disewa dalam sebuah pertandingan; tarikan, barang yang ditarik dari pemiliknya karena tidak bisa membayar cicilan; tujuhbelasan, memperingati tujuh belas agustus; tahunbaruan, memeringati malam tahun baru. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih kreatif? Diambil dari: Nama situs: bahasakita.com Alamat URL: http://bahasakita.com/2010/07/03/memaksimalkan-kaidah-bahasa/ Penulis: Jajang Jahroni Tanggal akses: 29 Maret 2012 STOP PRESS: GLOBAL DAY OF PRAYER AND FASTING FOR NORTH KOREA Open Doors International akan mengadakan gerakan doa "Global Day of Prayer and Fasting for North Korea" pada tanggal 15 April 2012. Open Doors Indonesia mengajak Anda -- umat Kristen di seluruh Indonesia, untuk ikut terlibat berdoa bagi Korea Utara. Untuk mendapatkan pokok-pokok doa dan informasi tentang umat Kristen Korea Utara, silakan kunjungi website Open Doors Indonesia di <www.opendoorsindonesia.org>. Selain itu, kami juga menyediakan pokok- pokok doa dan video kesaksian dalam bentuk CD. Bagi Anda yang berminat mendapatkan CD ini, Anda dapat menghubungi Open Doors Indonesia melalui email di <indonesia@od.org> (cantumkan data diri dan alamat lengkap Anda). Kami juga mengajak Anda bergabung dalam komunitas Facebook Open Doors Indonesia di < http://www.facebook.com/pages/Open-Doors-Indonesia/132588393444956 > dan Twitter di <@ODIndonesia>. Khusus tanggal 15 April 2012, Anda bisa memosting doa-doa Anda di Facebook kami –- kutiplah ayat-ayat dari kitab Mazmur sesuai dengan permintaan tubuh Kristus di Korea Utara. Kontak: < penulis(at)sabda.org > Redaksi: Yosua Setyo Yudo (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org/ > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/penulis > Berlangganan: < subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |