Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/161

e-Leadership edisi 161 (18-3-2014)

Etos Kerja Pemimpin Kristen (I)

==========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI MARET 2014============
                  Etos Kerja Pemimpin Kristen (I)

e-Leadership -- Etos Kerja Pemimpin Kristen (I)
Edisi 161, 20 Maret 2014

Shalom,

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bekerja. Ia memiliki etos 
kerja yang dapat memberikan contoh langsung kepada orang-orang yang 
dipimpinnya. Secara sederhana, etos kerja adalah semua kebiasaan baik 
yang berkaitan dengan tanggung jawab, ketekunan, semangat, dan 
sebagainya. Pada edisi ini, e-Leadership mengangkat tema "Etos Kerja 
Pemimpin Kristen". Bagaimanakah etos kerja pemimpin Kristen? Dan, 
mengapa seorang pemimpin bekerja dengan sebaik-baiknya? Anda dapat 
menemukan jawabannya dalam artikel yang merupakan ringkasan khotbah 
Pdt. Sutjipto Subeno. Dalam artikel ini, kita akan bersama-sama 
belajar mengenai etos kerja dalam perwujudan Kerajaan Allah di dunia 
ini. Selain itu, kami juga menyajikan inspirasi tentang tiga hal yang 
dapat menjadi tolok ukur etos kerja yang baik. Selamat membaca.

Staf Redaksi e-Leadership,
Yegar
< http://lead.sabda.org >


Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah 
itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan 
dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi. 
(Pengkhotbah 9:10) < http://alkitab.mobi/tb/Pkh/9/10/ >


                   ARTIKEL: ETOS KERJA KRISTEN

Bacaan: Efesus 4:28
2 Tesalonika 3:1-15

Alkitab menjelaskan secara jelas bahwa manusia diciptakan dengan jiwa 
dan natur yang bekerja. Manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk 
mengusahakan dan memelihara taman secara seimbang. Hal ini sesuai 
dengan prinsip dasar ekonomi (oikos-nomos), yaitu kita diberi akal 
budi dan kemampuan, dipanggil Tuhan menjadi pengelola sehingga 
menyejahterakan semua bagian. Manusia diberi kuasa untuk mengelola dan 
bertanggung jawab kepada Sang Pemberi otoritas. Dengan demikian, 
ketika bekerja, manusia harus bertanggung jawab terhadap Tuhan.

Salah satu masalah yang paling serius dibicarakan dalam bagian ini 
adalah 2 Tesalonika 3, yang seolah-olah menjelaskan bahwa kekristenan 
menjadi agama yang penuh cinta kasih sehingga harus berbelas kasihan, 
memberikan segala sesuatu, dan memperhatikan kemiskinan dengan luar 
biasa. Kekristenan memang merupakan agama yang penuh cinta kasih, 
tetapi itu tidak dilakukan begitu saja karena kita harus mengerti 
bagaimana memberi secara tepat. Paulus mengingatkan, "Kami katakan ini 
karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan 
tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna." 
(2 Tesalonika 3:11) Ia juga berkata, "... jika seorang tidak mau bekerja, 
janganlah ia makan." Menurut saya, prinsip ini harus tegas sehingga 
kita mengerti bagaimana kita harus berdaya guna. Ketika mempersiapkan 
bagian ini, saya tertarik dengan satu buku yang ditulis oleh dua orang 
Belanda, profesor bidang sosiologi dan sosial dari World Council of 
Churches (Dewan Gereja-gereja Sedunia). Buku "Di Balik Kemiskinan dan 
Kemakmuran" (Beyond Poverty and Affluence) oleh Bob Goudzwaard dan 
Harry De Lange, diterbitkan oleh Kanisius, tahun 1998. Buku tersebut 
membicarakan aspek kekayaan dan kemiskinan, penulis mengemukakan enam 
paradoks permasalahan yang kita hadapi. Mereka membuka fakta enam 
paradoks di tengah abad modern yang berkembang, yang kelihatannya 
sangat bertentangan tetapi sebenarnya sangat terkait satu sama lain.

1. Paradoks Kelangkaan. Kekayaan manusia seharusnya dapat dipakai 
untuk mengelola kesejahteraan. Akan tetapi, justru terjadi kelangkaan 
yang bukan disebabkan oleh tidak adanya kekuatan mendayagunakan karena 
begitu banyak produksi yang diperlakukan secara tidak beres. Berjuta 
liter susu dibuang di sungai padahal banyak anak dalam kondisi 
kekurangan gizi dan membutuhkan susu. Demikian juga halnya dengan 
jeruk yang seharusnya dapat menjadi vitamin tanpa harus minum minuman 
yang mengandung bahan kimia, tetapi itu semua dihancurkan demi harga 
produksi menjadi tidak murah. Ketika daya begitu besar, pada saat yang 
sama terjadi perusakan dan penghancuran sumber yang seharusnya dapat 
dipakai oleh manusia.

2. Paradoks Kemiskinan. Meski negara-negara adikuasa semakin kaya, 
persentase peningkatan kemiskinan lebih besar daripada peningkatan 
pendapatannya karena hanya sekelompok orang yang bertambah kaya. 
Seperti yang pernah saya katakan, jika tidak hati-hati, di Indonesia 
akan tercipta generasi pengemis dan orang-orang yang menciptakan citra 
kemiskinan masa depan. Karena sistem, pola dari cara kerja, atau 
kebijaksanaan pemerintah telah kehilangan harga diri sehingga membuat 
kita mudah menjadi pengemis. Sungguh ini merupakan paradoks karena di 
satu pihak, kita melihat dunia semakin hari semakin sejahtera dan 
makmur, namun kenyataannya tidak meniadakan jumlah pengemis yang 
semakin meningkat jumlahnya.

3. Paradoks Sensitivitas Kepedulian. Di satu pihak, seharusnya setiap 
kita semakin maju dan makmur, semakin memikirkan kesejahteraan orang 
lain. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kita berpikir 
bagaimana dapat menggunakannya untuk memanipulasi orang lain. Etos dan 
format kerja yang sudah diciptakan seharusnya memberi pengaruh positif 
pada seluruh cara hidup kita.

4. Paradoks Ketenagakerjaan. Di satu pihak, banyak yang membutuhkan 
tenaga kerja, tetapi di lain pihak, tidak ada tenaga kerja yang 
memadai dan tidak ada kesempatan kerja karena tidak adanya kemampuan 
untuk pekerjaan yang dibutuhkan, sehingga pengangguran semakin 
meningkat. Di sini, persoalannya adalah bagaimana mendidik dan 
menuntut kualitas orang bekerja untuk masuk dalam garis manusia. Fakta 
yang harus kita lihat adalah jutaan tenaga kerja yang bekerja dalam 
kondisi nonmanusia karena sering kali, mereka sengaja tidak diberikan 
kesempatan untuk meningkatkan kualitas mereka dengan tujuan supaya 
mereka dapat diatur dan dimanipulasi. Itu merupakan pemikiran yang 
sangat pragmatis dan mengakibatkan kerugian besar karena berarti 
mereka tidak mampu memikirkan kesejahteraan secara totalitas.

5. Paradoks Waktu. Kita makin mempunyai kemampuan teknologi yang 
mengefisienkan waktu, namun kita bukan semakin kelebihan waktu tetapi 
justru kekurangan waktu dan semakin kekurangan kemampuan untuk menata 
waktu. Alkitab menuntut keseimbangan bekerja secara tepat. Pertama, 
kekristenan menuntut kita memberikan waktu untuk melayani dan 
mencurahkan pikiran bagi Tuhan (Efesus 4:1-16). Kedua, Tuhan memanggil 
kita untuk dikirim kembali ke dunia, bekerja, menghasilkan buah, dan 
menjadi teladan. Ketiga, bagaimana kita menjadi orang yang hidup 
sepadan di tengah keluarga sehingga mampu melayani Tuhan, bekerja 
serta memberikan kesaksian yang baik di tengah keluarga (Efesus 5). 
Ini kembali pada pengertian kita tentang apa itu bekerja, bagaimana 
bekerja yang tepat dan diseimbangkan dengan pelayanan, keluarga serta 
semua aspek yang lain.

6. Paradoks Kesehatan. Ketika negara makin maju, ternyata penyakit 
juga semakin banyak. Kemajuan teknologi, perkembangan sosial 
masyarakat tidak menjadikan manusia bertambah sehat. Goudzwaard dan De 
Lange menyatakan 3 problem utama yang menyebabkan terjadinya keenam 
hal di atas, yaitu: 1) Kemiskinan, 2) Ketenagakerjaan, 3) Lingkungan 
(Environment). Namun, saya sangat tidak setuju dengan solusi yang 
sangat humanis yang mereka kemukakan, yaitu "Mari kita kembali pada 
inti Ekonomi, `Manusia dan kebutuhannya`" (Man and his needs). Sebab, 
firman Tuhan mengajarkan bagaimana saya bertanggung jawab di hadapan 
Allah mengelola alam semesta demi kesejahteraan manusia. Kalau manusia 
hanya memikirkan kebutuhannya, yang menjadi pusat adalah manusia, dan 
itu akan merusak seluruh sistem karena yang terjadi adalah saling 
berbenturan kebutuhan, yang akhirnya menjadi titik terciptanya 
destruksi dan tidak adanya penyelesaian apa pun.

Selanjutnya, bagaimana kita menurunkan format Kristen yang seharusnya 
dalam bekerja? Kejadian 2:15 dan Efesus 4:28 menyatakan bahwa kita 
harus bekerja keras dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang telah 
dipersiapkan Allah dengan tangan kita sendiri agar menjadi berkat bagi 
orang lain. Dengan demikian, citra kerja Kristen:

1. Kerja yang berorientasi pada Allah ("God centre work") dan bukan 
pada diri, uang, kenikmatan, serta sekularisme atau keduniawian. Mari 
kita mulai berpikir mengubah paradigma total, yang berarti mengubah 
dari format dasarnya menjadi "Segala sesuatu adalah dari Allah, kepada 
Allah, dan untuk Allah, bagi Allah kemuliaan untuk selama-lamanya". 
Dengan demikian, ketika kita bekerja dan mulai studi hingga mulai 
menyelesaikan dan sampai masuk ke dunia kerja, memikirkan pekerjaan 
apa yang Tuhan bebankan kepada kita itulah yang akan kita genapkan. 
Sekalipun beban begitu besar, tetapi kita mempunyai kekuatan untuk 
menerobos dan tidak mudah patah karena itu dikerjakan bukan demi 
kepentingan kita sendiri.

2. Orientasi kerja berada pada tanggung jawab dan bukan pada hasil. 
Sering kali, ketika kita bekerja dan bersekolah, orientasinya selalu 
pada hasil. Akibatnya, kita tidak mungkin mencapai ketenangan. Dalam 
Alkitab dikatakan bahwa berikanlah kepada kami makanan kami yang 
secukupnya hari ini. Di sini, kita belajar bagaimana dapat bersandar; 
tahu mana bagian Tuhan dan bagian kita.

3. Perjuangan mencapai kualitas tertinggi yang mungkin kita capai. 
Orang Kristen tidak pernah diajar untuk membandingkan diri dengan 
orang lain. Semangat kerja mengejar mutu yang tertinggi yang mampu 
kita perjuangkan, tidak pernah takut susah, dan mau berkembang 
mencapai titik maksimal, itu yang harus kita miliki. Kalau kita 
berhenti (kecuali merupakan titik maksimal) itu berarti kita tidak 
bertanggung jawab terhadap setiap talenta yang Tuhan berikan.

4. Etika yang sejati (Truth Ethics). Etika yang sejati adalah 
panggilan kerja Kristen. Orang Kristen bukan hanya sekadar memiliki 
semangat kerja yang keras. Dalam Efesus 4 dikatakan, bahwa orang 
percaya harus "melakukan pekerjaan baik" dalam mencapai kualitas etik 
yang mencakup ketiga hal, yaitu tujuan, motivasi, dan cara yang baik. 
Ini merupakan satu prinsip penting dalam cara bekerja! Sebab, jika 
orang Kristen bekerja, namun tidak dapat menjadi garam di dunia kerja, 
ia seperti yang dikatakan dalam Alkitab, kalau garam telah hilang 
asinnya, itu akan dibuang dan diinjak orang.

5. Pertimbangan altruistis/memikirkan berkat bagi orang lain 
(Altruistic Consideration). Berpikir bahwa apa yang Tuhan percayakan 
kepada kita juga harus disalurkan kepada orang lain karena baik otak, 
kemampuan, kesempatan, harta, maupun segala sesuatu adalah dari Tuhan. 
Ketika kita mendapatkan hasil dari apa yang kita kerjakan, kita harus 
belajar untuk berbagi dengan mereka yang kekurangan.

6. Menjadi berkat buat seluruh alam semesta. Kita harus dapat bekerja 
mendayagunakan dan mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi alam 
untuk kesejahteraan seluruh alam. Dengan demikian, kerja Kristen 
merupakan kerja yang memikirkan enam aspek yang membuat seluruh cara 
kerja Kristen diberkati. Jadi, kerja Kristen bukan saja sebagai suatu 
keharusan, tetapi juga sebagai tanda atau bentuk keunikan dalam 
bekerja. Mungkin, tidak mudah mendobrak konsep yang sudah bertahun-
tahun kita pegang, tetapi saya minta setiap kita mempunyai jiwa 
mengubah konsep tersebut, berproses maju selangkah demi selangkah, 
mengubah cara kerja, hidup pelayanan, dan seluruh inti utama dari 
kerja dan studi kita supaya boleh kembali untuk kemuliaan Tuhan. Amin.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: GRIIS
Alamat URL: http://griis.tripod.com/ringkasan_kotbah/19991212.htm
Penulis: Tidak dicantumkan
Tanggal akses: 13 Desember 2014


                                 KUTIPAN

Jangan berharap segala sesuatunya menjadi lebih baik, berharaplah diri 
Anda menjadi lebih baik. (Jim Rohn)


            INSPIRASI: ETOS KERJA KRISTEN (Filipi 2:12-18)

Salah satu alat ukur penting untuk menilai pekerjaan seseorang adalah 
etos kerjanya. Sebagai orang Kristen, kita melakukan yang terbaik 
karena Kristus telah memberikan yang terbaik, yaitu anugerah 
keselamatan. Itulah etos kerja Kristen dan itulah makna "mengerjakan 
keselamatan" (ayat 12).

Etos kerja yang baik mengandung nilai-nilai sebagai berikut: Pertama, 
bekerja bukan karena dilihat orang. Paulus menasihati jemaat untuk 
mengerjakan pelayanan mereka dengan baik sekalipun Paulus tidak hadir 
di tengah-tengah mereka karena pelayanan itu ditujukan kepada Allah 
(ayat 12-13). Bukankah kita sering menemukan orang-orang yang bekerja 
keras di depan bos, tetapi bersikap santai ketika bos pergi?

Kedua, bekerja yang baik dengan sungguh-sungguh, tanpa bersungut-
sungut dan berbantah-bantahan. Sebagai orang-orang yang telah 
diselamatkan, pekerjaan atau pelayanan merupakan ungkapan rasa syukur 
kita kepada Tuhan (ayat 14-15). Banyak orang terlihat bekerja keras, 
tetapi di balik itu, mereka sering mengeluh dengan alasan seperti 
"gaji kecil", "bos galak", "lingkungan kerja buruk", dan lain-lain.

Ketiga, bekerja dengan berdedikasi dan kerelaan untuk berkorban. 
Semangat materialistis mengajarkan supaya kita bekerja sesuai dengan 
bayaran yang disediakan. Sedangkan etos kerja Kristen mengajarkan 
untuk rela berkorban dan membayar harga (ayat 17).

Tiga nilai di atas menggambarkan etos kerja dan pelayanan Kristen. 
Dengan mengamalkan nilai-nilai tersebut, kita akan menjadi seperti 
bintang-bintang di dunia (ayat 15). Bintang di langit itu biasa, 
tetapi bintang di dunia itu langka dan luar biasa! Namun, kita harus 
ingat senantiasa bahwa keberhasilan kita untuk mengerjakan itu semua 
berasal dari Allah. Dialah yang "mengerjakan di dalam kamu baik 
kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya" (ayat 13). Tanpa 
menyadari hal tersebut, kita akan menjadi sombong dan menganggap 
keberhasilan oleh etos kerja itu adalah semata-mata kerja keras dan 
kehebatan kita sendiri.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: SABDA
Alamat URL: http://www.sabda.org/publikasi/e-sh/2012/09/03
Penulis: Tidak dicantumkan
Tanggal akses: 7 Januari 2013


Kontak: leadership(at)sabda.org
Redaksi: Ryan, Berlin B., dan Yegar
Berlangganan: subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-leadership/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org