Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/131

e-Leadership edisi 131 (26-11-2012)

Godaan Kepemimpinan (II)

==========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI NOVEMBER 2012============

                        GODAAN KEPEMIMPINAN (II)

                    e-Leadership 131 -- 26/11/2012


DAFTAR ISI
ARTIKEL: GODAAN KEPEMIMPINAN (II)
JELAJAH BUKU: BUKAN SEMBARANG PEMIMPIN
STOP PRESS: IKUTILAH! KELAS DISKUSI DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK) PERIODE JANUARI/FEBRUARI 2013

Shalom,

Hari-hari ini, tampaknya banyak orang mudah tersinggung, emosional,
dan marah. Setiap kita, termasuk para pemimpin Kristen pasti pernah
marah, itu hal yang wajar. Lalu, bagaimana agar setiap pemimpin
Kristen bisa mengatasi atau mengendalikan diri mereka ketika sedang
marah, sehingga tidak timbul hal-hal negatif dari kemarahan mereka?
Kami mengajak Pembaca terkasih untuk menyimak sajian dalam edisi ini.
Kiranya menjadi berkat bagi Anda semua. Tuhan Yesus memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Leadership,
Desi Rianto
< ryan(at)in-christ.net >
< http://lead.sabda.org >


"Terang orang benar bercahaya gemilang, sedangkan pelita orang fasik padam." 
(Amsal 13:9) < http://alkitab.mobi/tb/Ams/13/9/ >


                ARTIKEL: GODAAN KEPEMIMPINAN (II)

[Bagian pertama e-Leadership 130 telah dibahas mengenai 2 hal dominan
yang kerap muncul dalam kepemimpinan yaitu kekuasaan dan ego.]

Kemarahan

Seseorang yang saya kenal dekat, suatu kali menyatakan sesuatu yang
cukup menantang. Ia berkata, "Jika saya memanggil anak saya dengan
cara berteriak, kalian mengatakan saya marah. Padahal bila kalian
melakukan hal itu, kalian membenarkan diri dengan mengatakan bahwa
tindakan seperti itu merupakan kemarahan yang benar. Lalu di mana
letak perbedaannya?"

Pertanyaan senada pernah saya dengar, namun dalam kaitannya dengan 
tindakan Tuhan Yesus di dalam Bait Allah. Waktu itu, Yesus marah lalu 
menghamburkan uang para penukar uang, serta membalikkan meja-meja 
mereka. Kemarahan seperti yang dilakukan Yesus, kita kenal sebagai 
kemarahan yang benar. Yang jadi persoalan adalah bagaimana membedakan 
antara kemarahan yang benar dan yang tidak benar.

Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kita perlu memerhatikan 
kembali secara saksama peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut dicatat 
dalam Injil Yohanes 2:13-16. Walaupun Yohanes tidak menjelaskan 
bagaimana perasaan Yesus waktu itu, namun dengan jelas kita dapat 
melihat bahwa Yesus marah.

Di dalam Bait Allah, hari itu Yesus melakukan empat hal: membuat 
cambuk, mengusir pedagang-pedagang binatang dan penukar uang, 
menghamburkan uang para penukar uang, dan membalikkan meja-meja 
penukar uang. Sejak saat itu, kita tidak lagi menemukan Yesus marah 
seperti itu.

Bila kita ingin mengetahui masalah yang menjadi penyebab sehingga 
Yesus bertindak seperti itu, kita harus kembali meneliti permulaan 
adanya kegiatan niaga dalam Bait Allah. Hal itu sebenarnya bermula 
dari perayaan Paskah. Paskah merupakan hari besar di kalangan 
masyarakat Yahudi.

Hukum menetapkan bahwa setiap laki-laki Yahudi yang tinggal dalam 
radius 20 mil dari Yerusalem harus mengikuti perayaan Paskah. Pada 
abad pertama, orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia 
biasanya kembali ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Para ahli 
memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya dua juta orang setiap tahun 
berkumpul di Yerusalem merayakan Paskah.

Selain itu, hukum juga menetapkan bahwa setiap laki-laki berusia 19 
tahun ke atas diwajibkan membayar pajak, agar para imam dapat 
mempersembahkan korban bakaran dan upacara yang lain di dalam Bait 
Allah. Uang pembayaran yang digunakan tidak bisa sembarang mata uang. 
Hanya mata uang Galilea dan mata uang yang telah disucikan dapat 
digunakan membayar pajak, sebab semua mata uang yang lain dianggap 
tidak suci. Walaupun banyak mata uang negara lain diterima dalam 
perdagangan di Yerusalem, namun tidak dapat digunakan sebagai 
persembahan kepada Tuhan. Karena itu, orang-orang Yahudi yang datang 
dari seluruh dunia harus menukarkan uang yang akan mereka persembahkan 
ke dalam mata uang Galilea.

Bila kegiatan tukar-menukar uang tersebut dilakukan dengan jujur, 
pekerjaan para penukar uang tersebut patut dihargai. Akan tetapi, para 
penukar uang justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Para 
ahli memperkirakan sekitar 200.000 dolar dibawa orang masuk ke dalam 
Bait Allah setiap tahun.

Hukum telah menetapkan bahwa binatang yang akan dipersembahkan tidak 
boleh cacat, sedangkan ada kalanya binatang yang dibawa tidak dapat 
diterima. Itu berarti harus ada gantinya. Mereka yang datang dari 
tempat jauh tidak mungkin membawa binatang persembahan. Kedua hal itu 
rupanya telah mendorong orang untuk mengadakan jual beli binatang dan 
penukaran uang. Dalam situasi seperti itu, orang tidak lagi berpikir 
banyak mengenai harga. Yang penting barang yang diperlukan bisa 
diperoleh.

Sebenarnya, bila ditinjau dari segi ekonomi hal itu wajar, sebab di 
mana permintaan naik maka harga akan turut naik. Namun tidak 
seharusnya hal itu terjadi di Bait Allah. Bagaimana jika ada orang 
yang hanya membawa uang terbatas sementara binatang yang dibawa tidak 
bisa diterima? Apakah hanya karena tidak sanggup membayar harga 
binatang yang memenuhi syarat, ia lalu harus membatalkan niatnya untuk 
mempersembahkan sesuatu bagi Tuhan.

Melihat keadaan seperti itu Yesus marah. Para pedagang tersebut 
dianggap telah mencemarkan Bait Allah. Mereka telah mencari keuntungan 
dengan cara tidak jujur. Sebenarnya, dalam dunia niaga mencari 
keuntungan bukanlah sesuatu yang salah, selama masih dalam batas yang 
wajar. Mungkin karena mereka terlalu banyak mengambil untung dari 
kesulitan orang lain, maka hal itu dianggap keterlaluan.

Melalui tindakan-Nya, mungkin Yesus juga hendak menunjukkan bahwa 
binatang-binatang yang dipersembahkan tersebut tidak lagi menyenangkan 
Tuhan. Kita dapat membaca bagaimana Tuhan memandang hal tersebut dalam 
Kitab Yesaya 1:11,13. Hal yang sama juga dicatat dalam Yeremia 7:21-
22.

Pada hari itu Yesus marah. Akan tetapi kemarahan yang benar, bukan 
pelampiasan perasaan. Ada kejadian lain dalam kehidupan Yesus di mana 
dengan jelas kita dapat melihat kemarahan-Nya. Waktu itu hari Sabat. 
Yesus masuk ke dalam rumah ibadat dan di sana Ia menjumpai seseorang 
yang mati sebelah tangannya. Melihat Yesus datang, orang-orang Farisi 
mengamati apakah Yesus akan menyembuhkan orang sakit itu. Bila Yesus 
menyembuhkan orang sakit itu, berarti Ia melanggar hukum Taurat dan 
mereka memunyai alasan untuk mempersalahkan-Nya (Markus 3:4-5).

Sekarang bagaimana dengan penilaian atau pendapat kita tentang 
kemarahan Yesus? Berkenankah hal tersebut kepada Bapa-Nya? Adakah 
dicatat dalam Alkitab bahwa Tuhan menghukum seseorang semata-mata 
karena kemarahan? Kalaupun Dia menghukum, hal itu bukan karena 
kemarahan, melainkan menghukum tindakan yang dilakukan karena 
kemarahan.

Memang tidak mudah untuk melihat perbedaan nyata antara kemarahan dan 
tindakan kemarahan. Ketika seseorang marah, biasanya ekspresi wajah 
atau perkataannya menjadi kaku dan keras, namun kalau bisa menahan 
diri, tidak akan keluar ucapan yang kasar dan tajam. Demikian juga 
dengan tindakan kemarahan. Ketika seseorang marah, kadang-kadang 
diperlukan pelampiasan dan biasanya yang jadi sasaran adalah objek 
yang membuatnya marah.

Untuk mengatasi hal itu diperlukan penguasaan diri. Jadi, bisa saja 
kita marah, tetapi tidak berbuat dosa. Dan, kemarahan seperti itu baru 
bisa terjadi kalau sejak awal motivasi kita memang benar, dan bukan 
hanya untuk melampiaskan kejengkelan. Oleh sebab itu, tidak usah kaget 
bila kita menjumpai firman Tuhan yang mengungkapkan perihal kemarahan 
Tuhan. Hal itu serba mungkin terjadi dan biasanya kitalah yang jadi 
pangkal kemarahan-Nya.

Dalam Perjanjian Lama, beberapa kali dicatat kemarahan Tuhan. Di 
antaranya terdapat dalam Ulangan 1:37, 4:21, 9:8, 20:1; Raja-raja 
9:46; Mazmur 2:12, 79:5, 85:5; Yesaya 21:1. Dalam suratnya kepada 
jemaat di Efesus, Paulus mencoba memisahkan antara kemarahan dan dosa. 
Di sana dikatakan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat 
dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." (Efesus 
4:26)

Di mana pun dalam Alkitab, kita tidak melihat Tuhan menentang 
kemarahan selama kemarahan tersebut benar. Namun, itu bukan berarti 
kita dapat membenarkan diri bila selama ini kita sering kali marah. 
Kalau kita bisa menahan diri dan tidak menjadi marah ketika melihat 
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, jelas lebih baik. 
Bagaimanapun kita harus menjaga kesaksian hidup kita terhadap tetangga 
di sekitar kita.

Karena itu, dalam suratnya kepada Titus, Paulus menasihatkan agar 
dalam memilih penatua sebaiknya bukan seorang pemarah (Titus 1:7).

Kemarahan hendaknya hanya dilakukan sebagai jalan terakhir dalam 
mengatasi suatu masalah. Kalau masih bisa mengatasi suatu masalah 
tanpa harus marah-marah, untuk apa kita marah. Namun kalaupun harus 
marah, marahlah secara benar. Seorang teman saya pernah berkata, 
"Hanya dua kelompok manusia yang tidak pernah marah, yaitu mereka yang 
mati secara jasmani dan mati secara kejiwaan."

Kemarahan yang Sehat

Kemarahan yang sehat biasanya bukan ditujukan hanya untuk melampiaskan 
perasaan, melainkan sebagai ungkapan tidak setuju terhadap 
ketidakadilan, perbuatan yang keliru, atau tindakan yang mengarah 
kepada kejahatan.

Banyak pembaruan dimulai karena kemarahan yang membangun. Tidak jarang 
kita menjumpai kekeliruan yang sudah terlanjur dianggap benar. Untuk 
memperbaiki keadaan seperti itu, kadang-kadang tidak cukup hanya 
dinasihati. Untuk memperbaiki keadaan seperti itu, kadang-kadang 
diperlukan tindakan keras, yaitu melalui kemarahan yang membangun.

Kemarahan yang Tidak Sehat

Sebenarnya, banyak di antara kita yang tidak suka marah, sebab 
kemarahan biasanya dianggap sebagai tanda tidak senang. Mungkin saja 
kita marah dengan maksud baik, namun ungkapan kita melalui kemarahan 
biasanya sulit diterima apalagi dimengerti. Beberapa hal yang dapat 
menyebabkan seseorang marah:

1. Frustrasi

Bila seseorang menghadapi situasi sulit dan tak mampu diatasi, 
biasanya muncul perasaan frustrasi. Bila frustrasi tersebut 
berkepanjangan, maka akan timbul dorongan untuk marah.

2. Cemas

Karena sering kali mengalami kegagalan, timbul perasaan benci kepada 
diri sendiri. Sebagai kompensasi, kita kemudian berusaha tampil 
seperti orang lain. Kalau hal ini masih tetap gagal, maka akan muncul 
perasaan cemas dan depresi. Bila depresi ini berkepanjangan, dapat 
timbul dorongan untuk marah.

3. Khawatir

Karena melihat tantangan yang berat sedangkan kemampuan pas-pasan, 
muncul perasaan khawatir. Hal ini dapat menjadi penyebab kemarahan.

4. Perlakuan Tidak Adil

Tidak seorang pun yang mau diperlakukan secara tidak adil. Bila 
seseorang harus menanggung akibat lebih besar dari kesalahan yang 
dilakukannya, tentu sulit bagi orang tersebut menerimanya. Yang lebih 
repot kalau orang dipersalahkan untuk hal yang tidak dilakukannya. 
Tentu orang itu akan menolak dengan keras tuduhan tersebut.

Banyak di antara kita yang masih bergumul mengatasi kemarahan. Namun, 
kemampuan setiap orang tidaklah sama. Karena itu, ada orang yang 
relatif cepat menguasai diri dan lambat marah, tetapi ada juga yang 
sulit sekali membendung kemarahan.

Dalam beberapa hal, kemarahan sebenarnya dapat disamakan dengan api. 
Kalau masih kecil, mudah diatasi. Akan tetapi bila sudah besar, sulit 
bagi kita menguasainya. Oleh sebab itu, bagaimanapun sulitnya, kita 
harus belajar mengatasi kemarahan, sebab hal itu menyangkut kesaksian 
hidup kita. Apalagi kalau kita memiliki jabatan pemimpin. Jagalah agar 
kemarahan kita membangun orang lain dan bukan menimbulkan akar pahit.

Kalau timbul dorongan untuk marah, cobalah sedikit ditahan, lalu 
berpikir sejenak menimbang untung ruginya. Bila dalam waktu singkat 
itu, kita masih dapat berpikir jernih dan yakin bahwa kemarahan itu 
merupakan satu-satunya jalan, maka kemarahan dapat dilakukan. Meskipun 
begitu, kita harus tetap memerhatikan cara kita marah, sebab 
bagaimanapun baiknya motivasi bila caranya salah, maka hasil akhirnya 
jauh dari yang kita harapkan.

Mengatasi Kemarahan

Langkah pertama yang perlu diambil untuk mengatasi kemarahan adalah 
mengerti bahwa di dalam diri kita ada kecenderungan untuk marah. 
Janganlah kita menganggap sepele sikap seperti ini, sebab kesadaran 
akan keberadaan diri sendiri, memampukan kita memahami reaksi yang 
akan timbul pada saat menghadapi situasi tertentu. Dengan memahami 
kecenderungan yang ada, kita akan mampu mengendalikan kemarahan yang 
timbul.

Langkah kedua adalah mengerti akibat dari kemarahan. Bila kita marah 
di dalam tubuh kita terjadi sesuatu. Tekanan darah akan naik, denyut 
jantung lebih cepat, dan biasanya sulit bagi kita untuk mengontrol 
diri.

Langkah ketiga adalah memikirkan kembali kisah penyucian Bait Allah 
yang dilakukan oleh Yesus. Yesus memang marah, namun Ia dapat 
mengontrol diri, sebab kemarahannya bukan tanpa tujuan. Kemarahan 
seperti itulah kemarahan yang benar.

Hal lain yang juga menjadi ciri kemarahan yang benar adalah tidak 
adanya unsur benci. Ketika Yesus membersihkan Bait Allah, tindakan 
yang dilakukan-Nya memang cukup keras, namun kita tidak melihat adanya 
kebencian di sana.

Dan yang terakhir, kemarahan yang benar bertujuan membangun, bukan 
menghancurkan. Mungkin kita pernah mendengar pernyataan, "Bencilah 
dosa, tetapi jangan membenci orangnya". Seperti itulah kira-kira 
kemarahan yang benar. Kemarahan yang benar tidak menyerang pribadi, 
tetapi tindakan yang dilakukannya.

Sebagai kesimpulan, hendaklah kita berusaha mengatasi setiap masalah 
dengan pemikiran yang tenang. Mintalah pertolongan Tuhan untuk 
mengendalikan kemarahan. Dengan demikian, kita dapat mengontrol reaksi 
yang timbul. Dengan adanya kemampuan tersebut, kesaksian hidup kita 
menjadi lebih baik dan efektif.

Sumber: Disadur dari "Leadership Style Of Yesus", Oleh Michael Youssef

Diambil dan disunting dari:
Judul majalah: Sahabat Gembala, Oktober 1994
Penulis: BS
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1994
Halaman: 16 -- 21


                             KUTIPAN

Begitu organisasi mengalami perubahan dalam siklus kehidupannya, maka 
diperlukan gaya kepemimpinan yang berbeda. (Ichak Adizes)


               JELAJAH BUKU: BUKAN SEMBARANG PEMIMPIN

Judul buku: Bukan Sembarang Pemimpin
Penulis: Budi Abdipatra
Penyunting: Tesalonika Krisnamurti
Penerbit: Gloria Graffa, Yogyakarta 2006
Ukuran buku: 11,5 X 17,5 cm
Tebal: 121 halaman

Apakah Anda seorang pemimpin muda Kristen? Pemimpin muda harus belajar 
lebih banyak untuk dapat semakin maksimal dalam mengemban tugas 
kepemimpinan yang sarat dengan rintangan, tantangan, serta godaan.

Kepemimpinan merupakan sesuatu yang dibutuhkan saat ini. Buku yang 
berjudul "Bukan Sembarang Pemimpin", yang ditulis oleh Budi Abdipatra 
ini bertujuan mendorong dan menginspirasi setiap pemimpin muda, untuk 
menjadi pemimpin yang berkualitas. Buku ini tidak hanya menjabarkan 
motivasi dan inspirasi, melainkan memberikan prinsip-prinsip firman 
Tuhan sebagai dasar kepemimpinan yang berbobot. Selain itu, buku ini 
juga memaparkan tanggung jawab, prinsip hidup Kristen, pemuridan dsb.. 
Bagi Anda yang rindu menggali potensi dan belajar lebih banyak 
mengenai nilai-nilai kepemimpinan Kristen, buku ini dapat menjadi 
pendamping yang baik dalam tugas kepemimpinan Anda. Kiranya buku ini 
menginspirasi pemimpin muda kristiani untuk hidup dalam rencana-Nya, 
kerinduan-Nya, dan panggilan-Nya menjadi pemimpin yang diberkati untuk 
memberkati.

Diulas oleh: Desi Rianto


 STOP PRESS: IKUTILAH! KELAS DISKUSI DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK)
                  PERIODE JANUARI/FEBRUARI 2013

Ikutilah! Kelas Diskusi Dasar-dasar Iman Kristen (DIK) periode
Januari/Februari 2013

Apakah Anda rindu mempelajari pokok-pokok penting seputar iman Kristen
bersama rekan-rekan seiman dari berbagai penjuru melalui dunia maya?

Yayasan Lembaga SABDA (YLSA) < http://ylsa.org > mengundang Anda untuk
bergabung di kelas diskusi Dasar-Dasar Iman Kristen Januari/Februari
2013 yang diselenggarakan oleh Pendidikan Elektronik Studi Teologia
Awam (PESTA) < http://pesta.org >. Dalam kelas ini setiap 
peserta akan
belajar bersama secara khusus tentang penciptaan manusia, kejatuhan
manusia dalam dosa, rencana keselamatan Allah melalui Yesus Kristus,
dan hidup baru dalam Kristus. Pelajaran-pelajaran ini sangat berguna,
baik orang Kristen lama maupun baru, untuk memiliki dasar-dasar iman
kepercayaan yang teguh sesuai dengan kebenaran Alkitab.

Diskusi akan dilakukan melalui milis diskusi (email) dan berlangsung
mulai 14 Januari - 21 Februari 2013. Pendaftaran dibuka mulai hari ini
dan segera hubungi Admin PESTA di <kusuma(at)in-christ.net>.
Secepatnya, kami akan mengirimkan bahan DIK untuk dikerjakan setiap
peserta sebagai tugas tertulis.

Peserta kelas hanya dibatasi untuk 20 orang saja. Karena itu,
daftarkanlah diri Anda sekarang juga!

Kontak: < leadership(at)sabda.org >
Redaksi: Desi Rianto dan Yonathan Sigit
Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik
Lestari
(c) 2012 Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org >
< http://fb.sabda.org/lead >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org