Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/352

e-Konsel edisi 352 (12-11-2013)

Konflik dengan Diri Sendiri

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

e-Konsel -- Konflik dengan Diri Sendiri
Edisi 352/November 2013

Shalom,

Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bukan hanya konflik dengan 
orang lain, konflik dengan diri sendiri pun kerap kita alami. Apakah Anda pernah 
mendampingi konseli yang sedang bergumul dengan konflik terhadap diri sendiri? 
Jika belum, kami berharap sajian e-Konsel edisi ini dapat membantu Anda dalam 
menolong konseli yang sedang bergumul dengan kasus semacam ini. Selamat menyimak 
dan selamat mendampingi konseli Anda.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


CAKRAWALA: PENYEMBUHAN KONFLIK ANTARA PRIBADI IMPIAN DAN PRIBADI YANG SEBENARNYA

Sebagian besar anak memiliki fantasi tentang siapa mereka atau ingin menjadi apa 
mereka ketika besar nanti -- pilot, pemadam kebakaran, pengusaha, ibu, ayah, 
pendeta, dll.. Pribadi mereka yang sebenarnya harus bertumbuh melebihi pribadi 
impian mereka. Ini merupakan sesuatu yang sedikit menimbulkan konflik bagi 
mereka karena mereka tidak dapat menjadi pribadi impian untuk saat ini.

Namun, orang-orang yang belum mencapai pribadi impian yang mereka anggap dapat 
atau seharusnya sudah mereka raih pada usia mereka sekarang, dianggap lebih 
bermasalah. Barangkali, mereka berpikir bahwa mereka bisa menjadi lebih pintar, 
memperoleh uang lebih banyak, lebih baik hati, lebih mapan, lebih tinggi dalam 
jenjang keberhasilan, bebas dari dosa, sudah menikah, lajang, lebih berpikir 
rohani, memiliki lebih banyak teman, dst.. Semakin besar perbedaan antara 
pribadi impian dan pribadi yang sebenarnya, semakin besar frustrasi, kekecewaan, 
ketidakamanan, kesalahan, ketakutan, dan/atau penilaian diri dan gambar diri 
yang rendah. Hal ini berlaku khususnya jika seorang anak telah diberi tahu bahwa 
dia dapat menjadi apa pun atau melakukan apa pun. Pernyataan yang sepertinya 
menguatkan ini, kenyataannya tidak benar bagi 99 persen orang karena kita semua 
memiliki keterbatasan dalam energi, kecerdasan, talenta, dan karunia rohani, 
serta keterlibatan kita, juga keterbatasan dalam masalah-masalah pribadi dan 
waktu kita di dunia ini.

Para perfeksionis bahkan mempunyai reaksi negatif yang lebih parah terhadap 
tidak tercapainya pribadi impian. Mereka, pada khususnya, sering kali terjebak 
dalam pernyataan negatif terhadap diri sendiri yang meyakinkan akan 
ketidakberhasilan mereka. Alhasil, banyak orang mencoba lebih keras, sementara 
beberapa orang lainnya menyerah dalam keputusasaan. Apa yang akan Allah katakan 
kepada kita tentang mengelola konflik antara pribadi impian dan pribadi yang 
sebenarnya? Setidaknya, ada dua hal!

Pertama, "Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; 
mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri?" (Pengkhotbah 7:16) Saya rasa, 
kita dapat mengganti dengan tepat kata "saleh" dan "berhikmat" dengan kata lain 
yang dapat menjelaskan pribadi impian kita -- kaya, bahagia, penuh kasih, dll.. 
Pesan-Nya mendorong kita untuk menghindari atau mengupayakan pengendalian diri 
terhadap pribadi impian yang tidak realistis, berlebihan, dan merusak kesehatan 
kita, apalagi jika itu terkait dengan pencarian hal-hal baik.

Kedua, Allah ingin mengatakan bahwa kita seharusnya tidak menjalani gaya hidup 
yang "cuek", yaitu orang yang menolak untuk campur tangan dalam proses yang 
alami dan hanya membiarkan apa yang ada sebagaimana adanya. Ini merupakan sikap 
pasif dan malas, yang ditakuti oleh para perfeksionis kalau-kalau mereka akan 
hidup seperti itu jika mereka bermalas-malasan dan menyerah untuk berjuang demi 
menggapai pribadi impian.

Selebihnya adalah separuh pendekatan untuk mengelola perbedaan antara pribadi 
impian dan yang sebenarnya. Kehidupan yang ala kadarnya ini pertama-tama 
menuntut seseorang untuk benar-benar menerima dirinya yang sebenarnya. Lagi 
pula, dari situlah Allah memulai, dalam kenyataan dan kebenaran tentang siapa 
seseorang itu, bukan idealnya seperti apa orang itu. Perjalanan yang lambat ini 
kemudian berlanjut menuju tujuan yang tidak pernah tercapai dari pribadi yang 
sempurna atau pribadi yang ideal. Tidak masalah, bila perjalanannya lambat dan 
tujuannya tidak dapat dicapai. Selama kita berada di jalur Allah untuk menjadi 
orang yang lebih daripada kita sekarang, itu sudah cukup. Cukup karena kita 
tidak dapat mencapai garis akhir, betapa pun kerasnya kita berusaha. Cukup 
karena Allah tidak mengharapkan kita untuk mencapainya dan telah membuat 
persediaan bagi ketidaksempurnaan kita. Persediaan itu berupa kasih karunia, 
kemurahan, pengampunan, belas kasihan, dan Kristus, yang Dia berikan tanpa 
syarat kepada setiap orang yang mengarahkan hidupnya kepada-Nya. Lagu lama, 
"Just As I Am" (sama seperti-Ku) merupakan sebuah penghormatan bagi kenyataan 
ini. Kita dikasihi dan diterima secara bebas dengan segala perbuatan dan 
keberadaan kita. Dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan ini, kita sudah dan 
benar-benar dibebaskan dari pribadi impian kita yang menuntut kita mengukur 
semua kewajiban hidup kita, harus dan wajib. Namun, ini terjadi jika kita 
memercayainya dan membiarkan diri kita melepaskan ikatannya. Allah sudah 
melakukannya! (t/S. Setyawati)

Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: The Center for Christian Counseling and Relationship Development
Alamat URL: http://cccrd.blogspot.com/2010/12/christian-counseling-helping-heal.html
Judul asli artikel: Christian Counseling - Helping Heal The Conflict Between The Ideal & Real Self
Penulis: Frankmancusophd
Tanggal akses: 16 Oktober 2013


STUDI KASUS: AKU MARAH KEPADA DIRIKU SENDIRI
Diringkas oleh: S. Setyawati

Kasus 1: Radio mengumumkan bahwa temperatur mencapai 65 derajat Fahrenheit pada 
pukul delapan pagi, dan Seth memutuskan untuk memperbaiki anak tangga yang 
menuju geladak di belakang rumahnya. Dalam waktu 15 menit, Seth sudah ada di 
luar rumah, dengan memegang palu. Satu menit kemudian, Seth memukul ibu jarinya 
dengan palu. Gelombang rasa sakit fisik yang intens dengan cepat diikuti oleh 
gelombang amarah intens kepada dirinya sendiri. "Bodohnya! Mengapa jariku tetap 
menempel di paku itu? Aku seharusnya membayar seorang tukang kayu untuk 
melakukan hal ini. Aku tahu aku tidak cakap melakukan hal-hal ini."

Apa yang dialami Seth pada saat itu? Ia merasakan amarah yang ditujukan kepada 
dirinya sendiri. Ia percaya rasa sakit pada ibu jarinya, yang kini terasa sampai 
ke lengannya dan membuatnya pusing, adalah karena perilakunya sendiri yang 
ceroboh. Amarahnya bertambah saat ia menyimpulkan bahwa ia membuat suatu 
keputusan yang salah saat memilih untuk memperbaiki anak-anak tangga itu 
sendiri. "Aku ceroboh. Aku bodoh. Aku salah."

Kasus 2: Seorang suami beragama Kristen yang tidak setia secara seksual kepada 
istrinya, mencoba menyalahkan istrinya untuk kesembronoannya. Namun kemudian, ia 
mengalami amarah pribadi yang intens karena membiarkan dirinya jatuh ke dalam 
perbuatan tak bermoral.

Sebagian besar orang mengalami konflik dengan dirinya sendiri, termasuk marah 
terhadap diri sendiri. Ada yang marah terhadap diri sendiri karena menganggap 
dirinya telah melakukan kesalahan, bertindak ceroboh, bodoh, tidak baik, atau 
tidak bertanggung jawab sehingga pikirannya menyalahkan diri sendiri (seperti 
kasus Seth). Selain itu, ada juga orang-orang yang menjadi marah terhadap diri 
sendiri karena merasa tidak memenuhi apa yang sebenarnya dapat mereka lakukan. 
Orang-orang semacam itu berpikir bahwa ketika mereka tidak melakukan yang 
terbaik, berarti mereka tidak bisa diampuni. Karena itu, mereka marah terhadap 
diri sendiri karena prestasi mereka yang buruk. Bahkan, bagi beberapa orang, 
area yang membuat mereka paling marah terhadap diri sendiri adalah saat mereka 
melanggar nilai-nilai yang dipegangnya kuat-kuat. Amarah terhadap diri sendiri 
atas kegagalan moral atau etis diri sendiri sering kali disertai rasa bersalah.

Kesimpulan

Amarah adalah suatu respons emosi dan fisik akan rasa tidak senang yang intens 
saat kita menjumpai sesuatu yang kita anggap salah, tidak benar, atau tidak 
adil. Amarah dan rasa bersalah seharusnya membawa pertobatan dan pengampunan 
yang menyegarkan. Namun, terkadang kita berkubang dalam rasa bersalah dan 
mengarahkan amarah kita ke dalam.

Apa pun sumber amarah yang kita rasakan terhadap diri sendiri, kita harus 
belajar memprosesnya secara membangun. Eksplosi dan implosi [respons kemarahan 
yang dipendam dan tidak dilampiaskan secara eksternal - Red.] adalah kekuatan-
kekuatan negatif yang bisa kita tujukan kepada diri sendiri. Kita bisa meledak 
dan mencaci maki diri sendiri secara pribadi atau bersama orang lain. Semburan 
kata-kata itu bisa berlanjut menjadi tindakan kekerasan fisik: menarik-narik 
rambut, mencakari diri sendiri, membentur-benturkan kepala ke dinding/lantai, 
menyayat tubuh dengan benda tajam, bahkan mencoba bunuh diri.

Di sisi lain, ada juga yang melakukan implosi setiap kali menyerang diri sendiri 
secara mental dan diam-diam. Di luar terlihat tenang, tetapi di dalam hati 
seseorang murka terhadap diri sendiri. Terkadang, pikiran-pikiran yang muncul 
pun sangat mengutuk. Padahal, cercaan internal ini biasanya menimbulkan efek 
yang menghancurkan terhadap tubuh dan membawa masalah-masalah fisik yang 
biasanya diasosiasikan dengan sistem pencernaan dan syaraf dalam tubuh. Karena 
itu, eksplosi atau implosi bukanlah respons yang sehat terhadap amarah yang 
difokuskan kepada diri sendiri. Jadi, bagaimana kita bisa menangani konflik 
internal -- amarah terhadap diri sendiri -- ini secara membangun?

1. Akui kemarahan kita. Akuilah kemarahan, pikiran, dan perasaan kita terhadap 
   Allah, diri sendiri, teman yang dipercaya, anggota keluarga, konselor, dan 
   pendeta. Ekspresikan sejelas mungkin apa yang kita pikirkan dan rasakan.

2. Uji amarah kita. Amarah terhadap diri sendiri mungkin bisa merupakan amarah 
   yang definitif atau terdistorsi. Amarah definitif artinya amarah kita keluar 
   dari kesalahan yang benar-benar kita lakukan, sedangkan amarah terdistorsi 
   artinya amarah yang muncul dari sesuatu yang dianggap salah, ketimbang kesalahan 
   yang sesungguhnya. Keduanya perlu diproses untuk mengetahui jenis amarah yang 
   kita hadapi. Kasus Seth berbeda dengan kasus seorang suami yang berselingkuh. 
   Kasus yang kedua itu adalah tindakan amoral, dan amarahnya definitif. Sedangkan 
   yang Seth lakukan bukan sesuatu yang amoral, tetapi kecerobohan. Untuk menolong 
   Seth, kita bisa sarankan agar dia mengakui kecerobohannya dan memohon ampun 
   kepada Tuhan, dan tidak mengulanginya lagi. Dengan berdoa, Seth telah menangani 
   amarahnya dengan cara yang positif walaupun ibu jarinya masih berdenyut-denyut. 
   Sementara suami yang berselingkuh memiliki masalah yang jauh lebih besar untuk 
   ditangani. Ia merasa marah terhadap dirinya sendiri dan amarahnya definitif, 
   muncul dari kesalahan moral. Bersama amarahnya, ia mungkin juga merasa bersalah, 
   rendah, dan malu. Ini merupakan perasaan normal dan bisa diperkirakan saat 
   seseorang melanggar prinsip-prinsip moral. Ia merasa bersalah karena ia 
   bersalah, ia merasa rendah karena ia melakukan sesuatu yang memalukan, ia malu 
   karena orang lain mengetahui tindakannya yang penuh dosa. Amarahnya terhadap 
   dirinya sendiri nyata dan harus diproses. Ia pun harus mengakui kesalahannya di 
   depan Tuhan dan istri, dan berusaha memulihkan kepercayaan istrinya kepadanya.

3. Akui perbuatan yang salah kepada Allah dan terimalah pengampunan-Nya (1 
   Yohanes 1:9). Allah mengasihi kita dan ingin memiliki persekutuan dengan kita. 
   Namun, karena Dia kudus, dosa kita memecahkan persekutuan itu. Dia harus 
   memperlakukan kita sebagai anak-anak yang tidak taat. Ini artinya Dia akan 
   menegur dan mendisiplin kita (Ibrani 12:5-11). Ketika kita mengakui dosa-dosa 
   kita, Ia mau mengampuni dosa-dosa kita sepenuhnya. Itulah inti dari salib 
   Kristus. Dia mengambil hukuman atas dosa-dosa kita sehingga Allah bisa 
   mengampuni kita dan masih tetap adil. Bagian kita adalah mengakui kesalahan, 
   menerima pengampunan-Nya, dan menerima pemurnian-Nya sehingga kita bisa 
   menikmati persekutuan kembali dengan-Nya (Kisah Para Rasul 24:16). Kita 
   mengosongkan hati nurani kita dari rasa bersalah kepada Allah dengan mengaku 
   kepada Allah, dan kita mengosongkan hati nurani kita terhadap manusia dengan 
   mengaku salah kepada orang yang kepadanya kita bersalah. Pertobatan terhadap 
   dosa yang sejati selalu disertai dengan keinginan untuk mengakui kesalahan kita 
   dan melakukan pemulihan dengan mereka yang kepadanya kita bersalah. Pengakuan 
   merupakan langkah pertama dalam melakukan pemulihan (Lukas 19:8-9).

4. Ampunilah diri kita sendiri. Mengampuni orang lain berarti tidak lagi 
   menyimpan dosanya. Kita menerimanya kembali seolah-olah dia tidak pernah 
   berdosa, dan Anda berusaha terus membangun relasi dengannya. Pengampunan 
   memungkinkan kita berkomunikasi lagi, saling mendengarkan dengan suatu pandangan 
   untuk memahami. Pengampunan tidak selalu menghilangkan rasa terluka, sakit, atau 
   kenangan akan perbuatan salah. Pengampunan tidak mengizinkan hal-hal ini 
   menghalangi relasinya. Dengan berjalannya waktu, ini akan sembuh. Pengampunan 
   juga tidak menghilangkan semua akibat dosa, tidak secara otomatis memulihkan 
   rasa percaya. Rasa percaya itu harus dibangun kembali oleh orang bertobat. 
   Dengan mengampuni, pemulihan terjadi. Kita dapat mengampuni diri sendiri lewat 
   doa dan membiarkan Allah menyaksikan pengampunan diri kita sendiri.

5. Fokus pada tindakan-tindakan yang positif. Dari setiap peristiwa yang kita 
   lalui, kita belajar dari kegagalan-kegagalan. Tuhan turut bekerja untuk 
   mendatangkan kebaikan bagi kita (Roma 8:28), bagian kita adalah bekerja sama 
   dengan-Nya. Kita harus mengubah hal-hal yang membuat kita jatuh dalam dosa dan 
   lingkungan yang dapat menarik kita kembali kepada perbuatan dosa dengan membaca 
   buku, menghadiri seminar-seminar, berbicara dengan teman, atau berkonseling 
   dengan pendeta.

Dalam tindakan positif, kasih adalah dasar terbesar. "Kasih Allah telah 
dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus." (Roma 5:5) Mengasihi merupakan 
gaya hidup Allah, sentral dalam keinginan Allah bagi kita (Yohanes 13:34-35). 
Saat kasih kita benar-benar tidak bersyarat dan diekspresikan dalam tindakan, 
kita melakukan hal yang paling besar kuasanya. Kini, kita telah diampuni Allah, 
orang lain, diri sendiri, dan siap menghadapi masa depan dengan penuh harapan.

Diringkas dari:
Judul asli buku: Anger
Judul buku terjemahan: Anger -- Mengatasi Amarah dengan Cara yang Sehat
Penulis: Gary Chapman
Penerjemah: Lily Endang Joeliani
Penerbit: PT. Visi Anugerah Indonesia, Bandung 2010
Halaman: 207 -- 221


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Adiana
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org