Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/325

e-Konsel edisi 325 (4-1-2013)

Peran Konselor

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

e-Konsel -- Peran Konselor
Edisi 325/Januari 2013

Salam kasih dalam Tuhan,

Tahun baru telah tiba! Bagaimana kabar Anda hari ini? Kami berharap 
Anda semua dalam keadaan baik. Ada kabar gembira dari kami. Tahun ini, 
Anda dapat mengakses publikasi e-Konsel dengan lebih mudah dari HP 
Anda karena publikasi kami telah disusun dengan ukuran yang ramah 
untuk gadget Anda. Adapun topik yang akan kita bahas kali ini adalah 
tentang peran konselor.

Seorang konselor sebenarnya memiliki peran yang cukup besar dalam 
memengaruhi kehidupan seseorang. Dengan saran dan masukan yang tepat 
dari seorang konselor, seorang konseli dapat mengambil keputusan yang 
tepat. Bahkan, tidak sedikit konseli yang akhirnya bisa menjadi 
konselor yang berhasil setelah mendapat bimbingan dari konselor yang 
memahami perannya dengan baik. Oleh sebab itu, seorang konselor harus 
mengerti peran dan tanggung jawabnya secara menyeluruh dan 
menerapkannya dengan baik. Dalam melakukan perannya, seorang konselor 
seharusnya tidak mendominasi atau menempatkan diri sebagai atasan 
terhadap konseli, tetapi sebagai teman atau pembimbing. Seperti apakah 
hal-hal penting yang perlu dipahami seorang konselor sesuai dengan 
perannya? Anda dapat menemukan jawabannya dalam edisi ini. Selamat 
menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >


                  CAKRAWALA: PERAN KONSELOR

Konseling, khususnya konseling pastoral, terkadang menjadi tidak 
efektif karena konselor tidak memiliki gambaran yang jelas tentang 
peran dan tanggung jawabnya. Berdasarkan saran dari pendeta dan 
sekaligus psikolog, Maurice Wagner, kita dapat mengidentifikasi 
beberapa area yang berpotensi menimbulkan kebingungan peran.

1. Berkunjung ketimbang berkonseling. Berkunjung adalah kegiatan 
   bersahabat yang melibatkan unsur saling berbagi yang menguntungkan. 
   Konseling adalah percakapan yang berpusat pada masalah dan terarah 
   pada tujuan, yang berfokus terutama pada kebutuhan seseorang: 
   konseli. Setiap konseling memerlukan kunjungan secara berkala, 
   tetapi ketika kunjungan diperpanjang dan diutamakan, efektivitas 
   konseling menjadi berkurang.

2. Terburu-buru ketimbang tenang dan berhati-hati. Karena sibuk, orang
   -orang yang terarah pada tujuan sering kali ingin mempercepat 
   proses konseling untuk mencapai penyelesaian yang cepat dan tepat. 
   Para konselor seharusnya tidak menghabiskan waktu, ini memang 
   benar. Namun, konseling tidak boleh terburu-buru, itu juga benar. 
   "Kebanyakan keberhasilan konselor terletak pada perhatiannya yang 
   tenang dan penuh pertimbangan terhadap apa yang konseli katakan." 
   Ketika langkah (yang diambil) tidak terburu-buru dan tenang, 
   konselor cenderung tidak membuat penilaian yang terburu-buru, dan 
   konseli sepertinya lebih merasakan dukungan dan perhatian yang 
   sungguh-sungguh dari konselor.

   Penelitian akhir-akhir ini telah menunjukkan efektivitas pendekatan 
   yang singkat dan dalam jangka pendek terhadap konseling. Konseling 
   jenis ini dapat dipersingkat karena membatasi fokusnya pada area-
   area permasalahan spesifik ketimbang berkutat pada beberapa 
   masalah. Ketika seorang konselor berusaha untuk bertindak terlalu 
   banyak dalam satu pertemuan (sesi), konseli akan merasa terlalu 
   terbeban dan sering kali menjadi bingung. Karena kemungkinan benar 
   bahwa para konseli hanya dapat menerima satu atau dua pengertian 
   utama pada setiap sesi, maka konseling harus dilakukan selangkah 
   demi selangkah dan tidak terburu-buru. Atau, ini bisa berarti 
   konseling harus dipersingkat, tetapi dengan frekuensi pertemuan 
   yang lebih banyak.

3. Tidak dihargai ketimbang bersimpatik. Beberapa konselor dengan 
   cepat mengategorikan orang (misalnya, mereka mungkin menggambarkan 
   seorang konseli sebagai orang "Kristen duniawi", "jomblo bahagia", 
   atau "bertipe plegmatik") dan kemudian menolak seseorang dengan 
   penilaian yang terburu-buru, konfrontasi yang cepat, atau nasihat 
   yang kaku. Tak seorang pun suka diperlakukan dengan tidak terhormat 
   seperti itu. Hanya ada sedikit orang yang ditolong oleh para 
   konselor yang gagal mendengarkan dengan penuh simpatik.

4. Mempertimbangkan ketimbang berprasangka. Ada suatu waktu ketika   
   para konseli harus dikonfrontasi tentang dosa atau kebiasaan "aneh" 
   dalam kehidupan mereka, tetapi hal ini tidak sama dengan menghukum 
   atau mengkhotbahi orang-orang di ruang konseling. Ketika para 
   konseli merasa diserang, mereka akan membela diri (sering kali 
   dengan marah), menerima nasib apa adanya, atau pergi bersama 
   konselor untuk sementara waktu dan dengan geram. Tak satu pun dari 
   reaksi ini yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan konseli, dan 
   semua ini merupakan respons terhadap teknik konseling yang sering 
   kali mencerminkan kegelisahan, ketidakpastian, atau kebutuhan untuk 
   mengendalikan dalam diri konselor sendiri.

   Yesus digambarkan sebagai Pribadi yang "tergerak oleh belas 
   kasihan". Ia tidak pernah mengabaikan dosa, namun Ia memahami para 
   pendosa dan selalu menunjukkan kebaikan dan hormat kepada orang-
   orang yang mau belajar, bertobat, dan mengubah kebiasaan mereka, 
   seperti wanita Samaria di dekat sumur.

5. Memberi instruksi ketimbang menafsirkan. Ini merupakan kesalahan 
   yang umum dan seperti yang telah kita lihat, mungkin mencerminkan 
   kebutuhan bawah sadar konselor untuk mendominasi dan mengontrol. 
   Ketika para konseli diberi tahu apa yang harus dilakukan, mereka 
   bingung membandingkan antara pendapat konselor Kristen dengan 
   kehendak Allah, merasa bersalah dan merasa tidak cakap jika tidak 
   mengikuti nasihat, dan jarang belajar bagaimana mencapai kedewasaan 
   secara rohani dan secara emosi sampai pada titik tertentu sehingga 
   mereka dapat membuat keputusan tanpa bantuan konselor. Konselor dan 
   konseli harus bekerja sama sebagai satu tim. Konselor berperan 
   sebagai seorang guru/pelatih yang tujuan akhirnya adalah menarik 
   diri dari tempat bermain.

6. Terlalu terlibat secara emosi ketimbang tetap objektif. Ada sebuah 
   garis tipis antara peduli dan terlalu terlibat untuk membantu. Hal 
   ini benar, khususnya ketika seorang konseli benar-benar cemas, 
   bingung, atau menghadapi masalah yang mirip dengan pergumulan yang 
   dimiliki konselor.

   Keterlibatan yang besar secara emosi dapat membuat konselor 
   kehilangan objektivitas dan kemudian efektivitas konseling akan 
   berkurang. Sampai tahap tertentu, orang-orang yang penuh belas 
   kasihan tidak mampu menghindari keterlibatan emosional, namun 
   konselor Kristen dapat melawan kecenderungan ini dengan memandang 
   konseling sebagai suatu relasi untuk menolong secara profesional, 
   yang tentunya harus ada batasan terhadap lamanya kegiatan atau 
   pertemuan, jumlah topik percakapan, atau jadwal gangguan/interupsi. 
   Pembatasan ini tidak didesain untuk mengesampingkan konselor. 
   Sebaliknya, pembatasan tersebut dimaksudkan agar konselor tetap 
   objektif dalam membantu (konseli).

7. Kurang sabar ketimbang realistis. Banyak konselor menjadi berkecil 
   hati dan kadang-kadang cemas ketika mereka tidak segera melihat 
   kemajuan yang positif dalam diri konseli mereka. Masalah biasanya 
   membutuhkan waktu yang lama untuk berkembang, dan tidak realistis 
   untuk beranggapan bahwa masalah akan menghilang dengan cepat dan 
   selalu menjadi jawaban atas intervensi konselor. Perubahan instan 
   bisa terjadi, tetapi jarang. Sering kali, perlu beberapa waktu bagi 
   konseli untuk meninggalkan cara berpikir atau bertindak mereka yang 
   lama dan menggantinya dengan sesuatu yang baru dan lebih baik.

8. Dibuat-buat ketimbang otentik (asli). Para konselor terkadang 
   membebani diri mereka sendiri dengan keyakinan bahwa mereka harus 
   sempurna, harus selalu tahu hal yang tepat untuk dikatakan atau 
   dilakukan, tidak boleh membuat kesalahan, harus selalu memiliki 
   pengetahuan dan keterampilan supaya dapat mengatasi segala macam 
   situasi konseling. Konselor semacam ini sering kali enggan untuk 
   mengakui kekurangan atau kesenjangan pengetahuan mereka. Mereka 
   ingin menjadi profesional dan berhasil sehingga mereka kelihatan 
   tidak apa adanya (dibuat-buat), menyendiri, dan terkadang merasa 
   angkuh. Memang sulit bahkan mungkin mustahil bagi konseli untuk 
   merasa tenang dan bercerita secara jujur dengan konselor yang 
   terkesan sempurna, seseorang yang "memiliki segalanya".

   Dalam sejarah dunia ini, hanya ada satu Konselor yang telah 
   mencapai kesempurnaan, tidak pernah membuat kesalahan, dan selalu 
   mengatakan hal-hal yang benar. Kita yang menjadi pengikut-Nya harus 
   tenang dan mengakui bahwa kita semua membuat kesalahan. Berhentilah 
   bersembunyi di belakang peran profesional (sesuai profesi) dan 
   percayalah bahwa Dia akan memberi kita kata-kata dan hikmat untuk 
   memberikan konseling secara efektif.

9. Membela diri ketimbang bersikap empati. Sering kali, para konselor 
   merasa terancam dalam konseling. Kemampuan untuk mendengarkan 
   secara empati terganggu ketika kita dikritik, sadar bahwa kita 
   tidak menolong, merasa bersalah, atau takut dilukai oleh konseli.

Ketika ancaman seperti itu muncul, Anda perlu bertanya, "Mengapa?" 
Jika Anda tidak tahu jawabannya, cobalah untuk mendiskusikannya dengan 
seorang teman atau sesama konselor. Semakin kita tahu dan menerima 
diri sendiri, semakin sedikit kemungkinan kita merasa terancam oleh 
para konseli.

Konselor harus terus waspada jika ia ingin menghindari kekerasan 
semacam ini. Sebagai penolong Kristen, kita menghormati Allah dengan 
melakukan tugas kita sebaik mungkin, dengan meminta maaf apabila kita 
membuat kesalahan, dan menggunakan kesalahan kita sebagai kesempatan 
untuk belajar dan sebagai batu loncatan menuju peningkatan.

Saat kita tergelincir ke dalam peran konseling yang tidak sehat, kita 
harus menata ulang hubungan, bahkan pada saat yang sama beritahukanlah 
kepada konseli bahwa kita ingin berubah (misalnya dengan menentukan 
jam-jam konseling yang pasti, hanya menerima telepon konseli pada jam 
konseling yang disepakati, atau tidak terlalu mengatur). Penyusunan 
ulang ini selalu terasa sulit karena hal itu mencakup pengambilan 
kembali sesuatu yang telah diberikan. Pilihan lainnya adalah 
kebingungan peran yang semakin jauh dan konseling yang tidak efektif.

Kesalahan dan kebingungan peran merupakan tragedi yang tidak dapat 
dibatalkan. Hubungan baik dengan para konseli dapat menutupi banyak 
kesalahan konseling, namun kita tidak boleh menggunakannya sebagai 
alasan untuk mengadakan konseling yang asal-asalan dan tidak kompeten. 
"Konsep paling penting yang harus diingat adalah bahwa Kristus-lah 
Konselor yang sesungguhnya; kita hanyalah agen-Nya untuk melakukan 
tugas-Nya, mewakili Dia. Roh Kudus-Nya adalah Penghibur dan Pembimbing 
kita, dan Dia akan menuntun kita untuk melepaskan orang-orang yang 
dibawa-Nya kepada kita untuk ditolong." (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Judul buku: Christian Counseling: A Comprehensive Guide
Judul bab: The Counselor and Counseling
Judul asli artikel: The Counselor`s Role
Penulis: Gary R. Collins, Ph.D.
Penerbit: Word Publishing, Amerika Serikat 1988
Halaman: 26 -- 29


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Doni K.
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org