|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-konsel/161 |
|
e-Konsel edisi 161 (2-6-2008)
|
|
_______________________________e-KONSEL_______________________________
Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
_____________________________________________________________________
EDISI 161/1 Juni 2008
Daftar Isi:
= Pengantar: Idealkah Video Games bagi Anak-anak?
= Cakrawala 1: Game Dapat Melenyapkan Empati
= Cakrawala 2: Jika Anak Telah Kecanduan Video Game
= TELAGA: Anak dan Video Games
PENGANTAR REDAKSI ____________________________________________________
Salam dalam Kasih Yesus Kristus,
Dulu ketika saya masih kecil, orang tua saya sering bercerita
mengenai permainan tradisional yang sering dimainkan bersama
teman-teman mereka. Permainan ini menggunakan peralatan sederhana
yang ada di sekitar mereka, dilakukan bersama-sama dengan
teman-teman mereka di suatu tempat yang luas, dan tak jarang
permainan itu membutuhkan banyak energi agar lebih ramai lagi.
Kini, permainan tradisional itu sudah jarang ditemui lagi.
Kecanggihan teknologi telah menghadirkan berbagai macam permainan
yang bisa dimainkan di dalam rumah, hanya dengan memerhatikan gambar
yang muncul di layar kaca dan menekan tombol-tombol yang ada. Ya,
video games telah menggeser keberadaan permainan tradisional. Karena
permainan ini bisa dilakukan di dalam rumah, maka tak jarang orang
tua pun rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi menyediakan
video games bagi anak-anak mereka. Dengan bermain di rumah, orang
tua tidak perlu bersusah payah mengawasi anak-anak mereka. Dan
dengan demikian, mereka bisa tetap melakukan pekerjaan rumah atau
tetap bekerja di luar rumah tanpa perlu merasa kuatir anak
berkeliaran di luar rumah.
Boleh dikata, orang tua menganggap video games dapat meringankan
sedikit beban mereka dalam mengasuh dan mengawasi anak-anak mereka.
Benarkah demikian? Pernahkah terpikir dampaknya bagi anak-anak?
Benarkah video games adalah permainan yang ideal bagi anak-anak?
Mari kita lihat lebih jauh dampak video games ini kepada anak-anak
dalam sajian berikut. Kiranya sajian ini bisa menolong kita untuk
lebih bijak lagi dalam menyediakan fasilitas bagi anak-anak.
Kiranya menjadi berkat bagi kita dalam mendidik dan mengasuh
anak-anak.
Pimpinan Redaksi e-Konsel,
Christiana Ratri Yuliani
CAKRAWALA 1 __________________________________________________________
GAME DAPAT MELENYAPKAN EMPATI
Perhatikan apa yang dikatakan oleh Daniel Goleman: "Media seperti
video game dan digital game justru bermuatan makna-makna agresivitas
yang hanya menciptakan kecerdasan destruktif, bukan kecerdasan
emosional." Perasaan empati justru lenyap di dalam dunia game yang
cenderung mengutamakan kecepatan, rasionalitas, dan ketepatan.
Jadi, permainan-permainan ini akan memengaruhi anak-anak kita karena
tidak bersifat konstruktif, tetapi destruktif. Perasaan empati akan
hilang dari hatinya. Jika mereka terbiasa memainkan permainan yang
menonjolkan unsur kekerasan, maka mereka akan menganggap kekerasan
itu -- seperti menganiaya, memukul, menembak, atau membunuh --
adalah hal yang biasa.
Dalam dunia permainan elektronik tersebut, tercipta suatu "virtual
reality". Seorang anak akan bisa menciptakan dunianya sendiri di
dalam komputer. Dampaknya, anak menjadi asosial, artinya jarang mau
bergaul dengan teman-temannya dan lebih suka menyendiri karena sudah
terbiasa bermain dengan komputer dan dipuaskan olehnya. Hal ini juga
dapat berdampak pada prestasi belajar anak karena berkurangnya waktu
untuk belajar dan terkurasnya konsentrasi untuk bermain game. Akan
berkurang pula komunikasi dengan keluarga karena anak akan lebih
senang berkomunikasi dengan permainannya daripada dengan orang tua.
Dampak Buruk Video Game
Salah satu majalah game pernah mengulas "Playboy The Mansion", yaitu
sebuah game tentang bagaimana mendirikan sebuah "kerajaan Playboy".
Dalam game ini, ada model-model yang bisa diajak bicara, dari yang
formal sampai yang intim, bahkan sampai melakukan hubungan seksual.
Kita bisa bayangkan kalau anak kita bermain game seperti itu, dia
akan memosisikan dirinya sebagai pemilik "kerajaan Playboy", lalu
mengatur model-modelnya, bisnisnya, bahkan dia bisa melakukan
hubungan seksual dengan mereka. Ini adalah hal yang sangat berbahaya
sekali.
Beberapa waktu yang lalu, saya melihat sebuah CD yang dijual di
tempat umum, gambarnya seperti sampul komik Jepang. Kita tahu bahwa
banyak komik Jepang yang berbau pornografi. Ternyata komik itu ada
pula yang dibuat dalam format CD, dan ceritanya ada yang tentang
"chatting", ada juga tokoh-tokoh seperti cerita drama. Mulanya
bercerita seperti biasa, anak-anak sekolah, situasi di dalam kelas,
masalah penyakit, ke rumah sakit, dan sebagainya. Akan tetapi pada
akhir cerita, dikisahkan bahwa anak sekolah yang masih remaja itu
mengajak teman wanitanya menginap di sebuah motel, kemudian
ditampilkan slide dalam bentuk dua dimensi (bukan animasi), berlatar
belakang gambar, dan ada tulisannya. Nah, tiga gambar terakhir ini
adalah gambar porno. Ada pula penggambaran hubungan seks dalam
dialognya. Ini sangat berbahaya, banyak orang tua merasa itu adalah
komik yang lucu dan tidak berbahaya, namun ternyata disusupi
pornografi.
Ada satu tayangan dari MTV, sebuah film kartun yang banyak ditonton
anak-anak. Sebuah film kartun yang sangat sederhana, menayangkan dua
tokoh kartun yang bermain api, dan ketika terbakar mereka
mengatakan, "It`s cool!" Di Amerika ada anak-anak yang meniru adegan
tersebut, dan akhirnya ada yang rumahnya terbakar serta menewaskan
anak yang masih kecil.
Anak-anak meniru begitu saja apa yang mereka lihat di TV. Sebagai
orang tua, kita perlu ketegasan untuk melarang mereka menyaksikan
tontonan yang merusak dan tidak mendidik, bahkan membahayakan.
Pengaruh video game bukan saja membuat anak menjadi kecanduan, tapi
kesehatannya pun dapat terganggu, khususnya pada syaraf otaknya.
Contohnya, apabila kita bermain game 3D yang gambar animasinya bisa
berputar dan bergerak cepat, ini sangat berpengaruh terhadap fokus
dan pergerakan mata serta syaraf otak. Beberapa kali saya pernah
mencoba beberapa permainan seperti itu, baru tiga menit sudah
pusing. Di Jepang ada yang sampai pingsan dan masuk rumah sakit, di
Korea bahkan ada yang tewas. Belum lagi dari pengaruh radiasi
monitor komputer. Kalau anak-anak terfokus pada game, maka waktu
belajar mereka akan tersita, nilai moral mereka terpengaruhi,
pergaulan dan prestasi di sekolah juga terpengaruh, serta pemborosan
pemakaian uang untuk hal yang tidak berguna.
Dampak Positif Game
Tidak semua permainan itu membawa dampak yang buruk, ada juga
permainan yang tidak menonjolkan kekerasan, seperti permainan untuk
mengelola kebun binatang yang dilengkapi dengan ensiklopedia
binatang. Atau permainan yang membangun karakter anak, seperti salah
satu permainan yang dimainkan secara interaktif, misalnya kalau ada
kebakaran, apa yang harus ia lakukan. Permainan tersebut menuntun
pemain untuk pergi ke telepon umum lalu menelepon pemadam kebakaran.
Setelah selesai dipadamkan, petugas memberikan penghargaan kepada
penelepon.
Sekalipun ada permainan yang baik untuk membangun karakter, namun
perlu diperhatikan bahwa game akan menarik anak-anak untuk
berlama-lama di depan komputer, ini tentu tidak sehat. Kita harus
membatasi waktu bermain anak.
Alternatif permainan yang baik bisa kita berikan. Karena itu, orang
tua perlu usaha untuk "berburu" dan memilih permainan yang baik,
sebab persentasenya sangat sedikit.
Kembali lagi ke firman Tuhan, bahwa firman Tuhan mengajarkan untuk
membicarakan berulang-ulang ketika kita duduk, dalam perjalanan,
berbaring, dan pada saat bangun. Ini adalah hal penting dalam
komunikasi keluarga. Kita harus melihat kesempatan untuk
berkomunikasi dengan anak, jangan sampai kehilangan momen ini. Jika
kita tidak menggunakan kesempatan untuk mengomunikasikan nilai-nilai
yang penting untuk ditanamkan kepada anak-anak kita, maka kesempatan
itu akan diambil oleh media. Lalu kita akan mengalami kesukaran
besar dalam mengajar anak. Anak akan memiliki sikap pemberontak
karena terpengaruh permainan tersebut, mungkin di depan kita ia
kelihatan sangat baik, tetapi di luar, ia akan melakukan hal-hal
yang kita larang. Karena itulah kita perlu membangun komunikasi yang
baik dalam keluarga.
Bermain dengan Anak dan Pengaruh Firman
Komunikasi yang bersifat tatap muka, mengobrol bersama yang disertai
dengan beragam ekspresi wajah, canda ria, sentuhan, belaian, dan
pelukan akan memberi arti tersendiri dan mengandung sejuta makna
bagi pasangan dan anak-anak kita. Kalau ini tidak kita lakukan, maka
ini akan diambil alih oleh media. Lalu anak kita akan lebih menuruti
dan mendengarkan media daripada kita, orang tuanya.
Komunikasi bukan hanya dengan cara berbicara, tetapi harus bersifat
"audiovisual". Lewat suara (audio), kita berkomunikasi, tetapi lewat
gerak tubuh dan ekspresi wajah secara visual pun merupakan sebuah
komunikasi. Berbicara mengenai sikap, itu berhubungan juga dengan
nilai-nilai yang kita pegang sesuai firman Tuhan. Anak-anak akan
begitu sangat sensitif, walaupun tidak melihat kita berbicara,
tetapi lewat sikap hidup kita sudah mengomunikasikan sesuatu pada
anak. Jikalau hidup kita tidak taat kepada Tuhan, sekalipun
anak-anak tidak melihat kita bicara, mereka sudah melihat cara
hidup dan sikap kita.
Olahraga adalah bentuk lain dari cara kita berkomunikasi dengan
anak. Kalau masa ini lewat, maka kita akan kehilangan kesempatan.
Anak-anak punya masanya, ada saat mereka sangat ingin bermain dengan
kita, ada saat mereka lebih senang bermain dengan teman-teman seusia
mereka. Kalau masa di mana kita bisa bermain dengan mereka tidak
dipakai dengan baik, maka kita akan kehilangan kesempatan indah dan
masa itu tidak bisa kita ulangi lagi. Anak saya senang nonton film
"Tsubasa" di TV, ia jadi hobi bermain sepak bola. Kalau saya sedang
ada di kantor, dia akan telepon tepat jam 16.00 dan menanyakan, "Pa,
kapan pulang?" lalu katanya, "Main bola yuk ...."
Saya selalu berusaha bermain bola bersama dia walaupun kadang saya
pulang ke rumah dalam kondisi lelah. Sekarang, ketika saya melihat
ke belakang, saya bersyukur bahwa dulu saya bisa bermain bola
bersamanya, sebab sekarang hobinya sudah lain lagi. Dunia video
game, televisi, internet menciptakan sebuah "virtual reality", yang
tidak kelihatan. Kita harus menarik anak-anak dari yang "virtual"
ini ke yang "reality". Kalau di film "Tsubasa", dia melihat
tendangannya begitu hebat, bisa melompat begitu tinggi, saya harus
menjelaskan bahwa di dunia nyata tidak seperti yang ada di TV.
Tendangannya sesuai dengan kemampuannya menendang, tidak akan sama
seperti di film. Jadi setiap anak punya masanya, kita harus peka
juga untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari virtual ke realitas.
Kalau kita berbicara mengenai konseling bagi anak yang kecanduan,
sebetulnya bukan dimulai dari si anak yang kecanduan, akan tetapi
mulai dari keluarga. Kalau keluarga atau orang tua tidak beres,
maka anak akan keluar untuk mencari hal-hal yang memberi perhatian
padanya. Anak bisa terlibat pergaulan yang buruk, narkoba, termasuk
menyenangkan diri dengan bermain game berjam-jam lamanya di warnet.
Saya pernah mengadakan angket di kelompok tunas remaja di tempat
pelayanan saya. Ada sepuluh jawaban teratas dari pertanyaan, "Apakah
yang kamu inginkan dari orang tuamu? Dua jawaban tertinggi adalah:
1. Bisa untuk tempat curhat. Ini terjadi karena mereka mengalami
stres dengan tugas-tugas di sekolah. Apalagi sekarang ini banyak
sekolah yang terlalu membebani anak dengan pelajaran yang padat.
2. Bisa lebih sering ngobrol, berkomunikasi dengan orang tua.
Bayangkan, salah satu anak mengatakan bahwa dia bicara dengan
ayahnya hanya pada saat diantar ke sekolah, bicara di dalam
mobil. "Kalau ayah pulang, saya sudah tidur." Inilah masalah
konteks perkotaan masa kini. Kalau kita tidak menyediakan waktu
untuk anak-anak, maka mereka akan lari pada hal lain. Seberapa
hebat terapi konseling yang diberikan tidak akan begitu besar
berpengaruh. Kita harus mulai dari dalam keluarga kita. Jika kita
tidak memulai komunikasi yang baik dalam keluarga dengan segenap
waktu, tenaga, dan kasih, bahkan uang untuk hal-hal yang baik,
maka semua itu akan diambil alih oleh media audio-visual. Apa
yang masuk (media) itu juga yang akan keluar. Kita sedang
berlomba dengan media. Kalau saya tanya, berapa skor antara
keluarga dan media dalam berkomunikasi dengan anak-anak? Mungkin
kita kalah telak.
Orang Tua Versus Game/Media
Perlu kita ingat bahwa ada lima hal besar yang tidak bisa dilakukan
oleh media terhadap anak-anak kita.
1. Media tidak dapat menyebut nama, tidak memunyai perhatian secara
pribadi. Anak kita adalah satu pribadi yang unik, kita bisa
memanggil namanya, memerhatikan dia, menatap matanya, dan
berkomunikasi secara pribadi dengan dia.
2. Media tidak dapat memangku anak kita.
3. Media tidak bisa memeluk anak kita, tidak bisa membacakan buku
cerita sebelum tidur.
4. Media tidak pernah mendengarkan anak kita. Kita diberikan
anugerah untuk bisa mendengarkan curhat anak kita.
5. Media tidak bisa menaikkan anak ke tempat tidur lalu mengajaknya
berdoa.
Dalam pelayanan saya, khususnya untuk anak saya, saya mendisiplinkan
dia untuk jam-jam atau batasan-batasan tertentu, apakah itu nonton
TV, bermain, dan lain-lain. Saat sebelum tidur adalah waktu yang
sangat baik. Setelah berdoa syafaat bersama, ketika dia mau
berbaring dan tidur, saya mengatakan beberapa hal berupa harapan,
nasihat, dan lain-lain, lalu mengatakan, "Papa mengasihimu." Saya
peluk dia. Saya melihat dia begitu senang sekali, saya melihat
ekspresi wajahnya yang begitu mengesankan. Saya percaya momen
seperti ini akan dia ingat seumur hidup.
Jangan kaget bila anak kita yang berusia lima tahun, ketika memasuki
usia enam tahun, bisa berubah karena pengaruh media. Kita akan
terkejut melihat dia begitu cepat berubah karena nilai-nilai yang
diserap dari media. Jika suara audio, musik duniawi begitu keras,
hebat, dan tayangan video yang menonjolkan seks dan kekerasan selalu
menjadi perhatian dan konsumsi anak-anak kita, maka suara firman
Tuhan makin lama makin redup, bahkan padam karena tenggelam oleh
pengaruh media.
Nilai-nilai rohani yang kita tanam itu berakar, lalu tumbuh subur.
Ini yang harus diperhatikan oleh orang tua. Sesuai nasihat firman
Tuhan, kita harus menceritakan dan mengajarkannya berulang-ulang
dalam perjalanan, waktu berbaring, waktu bangun, waktu duduk dalam
keluarga kita.
Nilai-nilai yang kita tanam bisa membuat dia kuat untuk menilai dan
bisa memfilter media yang masuk. Kita tidak akan bisa membendung
media sebab media akan terus berkembang dan semakin canggih. Kita
tidak akan mungkin memproteksi atau memantau anak-anak ke mana dia
akan pergi, tetapi setidaknya kita bisa menanamkan rasa takut akan
Tuhan kepada anak-anak kita.
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku: Mendidik Anak Sesuai Zaman dan Kemampuannya
Penulis: Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha
Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), Jakarta 2007
Halaman: 222 -- 228
CAKRAWALA 2 __________________________________________________________
JIKA ANAK TELAH KECANDUAN VIDEO GAME
Ditulis oleh: Kristina Dwi Lestari
Panas terik tidak dirasakan oleh Wahid dan Budi. Tanpa pulang
terlebih dulu, langkah mereka segera bergegas menuju tempat
penyewaan play station 2 (PS 2) dan video game. Lapar sepertinya
tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menyelesaikan game konsol
(video game console) yang keluaran terbarunya selalu diburu oleh
para pencandu video game. Jari mereka memencet-mencet tombol konsol
yang ada di tangannya. Sementara matanya tak lepas dari layar
monitor yang tengah menayangkan gerak akrobatis tokoh yang
dikendalikannya. Mengatasi rintangan sambil menghadapi
musuh-musuhnya. Begitu tokohnya mati dan permainan berakhir, dia
segera mengulang dari awal dengan rasa penasaran. Tidak cukup satu
atau dua jam, Wahid dan Budi bisa bermain sampai berjam-jam sebelum
mereka benar-benar bisa memecahkan rasa penasaran akan permainan
itu.
Ilustrasi di atas adalah kejadian nyata yang mungkin juga pernah
Anda temui pada saudara, teman, atau bahkan anak didik Anda di
sekolah minggu. Disadari atau tidak, dewasa ini video game bak candu
bagi anak-anak kita. Masalah ini bisa menjadi sesuatu yang
mengkhawatirkan jika tidak ada kontrol atau perhatian yang serius
dari orang tua, sekolah, atau pihak lain seperti sekolah minggu.
Kata "candu" diasumsikan sebagai sesuatu yang menjadi kegemaran
(KBBI, 2001:191). Candu video game ibarat sesuatu kegiatan yang amat
disukai oleh seseorang dan menyebabkan seseorang menjadi ketagihan
sehingga melakukannya secara terus-menerus. Kecanggihan game pada
abad 21 ini dirasa berkembang pesat dan semakin banyak dibuat. Anda
bisa membuktikannya manakala Anda sedang berkunjung di sebuah pusat
perbelanjaan dan melewati sebuah toko yang menyediakan
piranti-piranti video game dan play station. Para konsumen berjubel,
mulai dari orang dewasa sampai anak-anak mengantri hanya untuk
membeli game-game terbaru.
Mark Griffiths, seorang pakar video game, mengungkapkan bahwa game
bisa membuat orang lebih bermotivasi. "Video game abad ke-21 dalam
beberapa segi lebih memberi kepuasan psikologis daripada game tahun
1980-an." Untuk memainkannya perlu keterampilan lebih kompleks,
kecekatan lebih tinggi, serta menampilkan masalah yang lebih relevan
secara sosial dan gambar yang lebih realistis. Kata kunci dari
pernyataan tersebut adalah "kepuasan psikologis", di mana anak
terdorong untuk menuntaskan dan memenangkan permainan yang ada di
video game tersebut.
Mari bersama-sama melihat sejauh mana dampak negatif video game yang
bisa menjadi candu bagi anak-anak kita. Dalam hal ini bukan dampak
yang bersifat sementara, namun dampak yang bersifat jangka panjang,
yang sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan aspek pendidikan,
kesehatan, keadaan psikis anak, dan kehidupan sosial anak.
1. Aspek Pendidikan
Mohammad Fauzil Adhim dalam artikelnya berpendapat bahwa anak
yang gemar bermain video game adalah anak yang sangat menyukai
tantangan. Anak-anak ini cenderung tidak menyukai rangsangan yang
daya tariknya lemah, monoton, tidak menantang, dan lamban. Hal
ini setidaknya berakibat pada proses belajar akademis. Suasana
kelas seolah-olah merupakan penjara bagi jiwanya. Tubuhnya ada di
kelas, tetapi pikiran, rasa penasaran, dan keinginannya ada di
video game. Sepertinya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk
mengolah bayang-bayang game yang mendebarkan. Kadangkala anak
juga jadi malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk
bermain game.
Uniknya, beberapa penelitian mengatakan bahwa anak yang fanatik
bermain game biasanya merupakan individu yang berintelijensi
tinggi, bermotivasi, dan berorientasi pada prestasi. Namun,
kecanggihan game yang terus berkembang dan makin bertambah banyak
pada abad 21 ini masih menimbulkan tanda tanya apakah game
berpengaruh pada orientasi prestasi seseorang.
2. Aspek Kesehatan
Dari sisi kesehatan, pengaruh kecanduan video game bagi anak
jelas banyak sekali dampaknya. Untuk menghabiskan waktu bermain
game, anak yang telah kecanduan tidak hanya membutuhkan waktu
yang sedikit. Penelitian Griffiths pada anak usia awal belasan
tahun menunjukkan bahwa hampir sepertiga waktu digunakan anak
untuk bermain video game setiap hari. "Yang lebih
mengkhawatirkan, sekitar 7%-nya bermain paling sedikit selama 30
jam per minggu." Selama itu, anak kita hanya duduk sehingga
memberi dampak pada sendi-sendi tulangnya. Seperti dikemukakan
Rab A.B., di London terdapat fenomena "Repetitive Strain Injury"
(RSI) yang melanda anak berusia tujuh tahun. Penyakit ini semacam
nyeri sendi yang menyerang anak-anak pecandu video game. Jika
tidak ditangani secara serius, dampak yang terparah adalah
menyebabkan kecacatan pada anak. Hal semacam inilah yang
seharusnya patut kita perhatikan.
3. Aspek Psikologis
Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada
keadaan psikis anak. Anak dapat berperilaku pasif atau sebaliknya
anak akan bertindak sangat aktif atau agresif. Perilaku pasif
yang biasa muncul adalah anak jadi apatis dengan lingkungan
sekitar, kehidupan sosialisasi anak agak sedikit terganggu karena
anak jauh lebih senang bermain dengan game-gamenya daripada
bergaul dengan teman-temannya. Video game dapat juga menyebabkan
anak dapat berperilaku aktif bahkan bisa agresif. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh game-game yang banyak menghadirkan
adegan kekerasan. Dalam waktu selama itu, anak hanya berinteraksi
dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap
detik selalu bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh
secepat-cepatnya. "Anak mengembangkan naluri membunuh yang
impulsif, sadis dan ngawur," tambah Fauzil Adhim. Sangat
mengerikan sekali jika tidak ada kontrol dari orang tua untuk
menyikapi hal tersebut.
Adalah tugas semua pihak, baik dari institusi sekolah, orang tua,
maupun guru sekolah minggu untuk lebih memerhatikan fenomena video
game yang terlalu dalam memengaruhi anak. Jika anak kita belum
terlanjur kecanduan video game, ambillah langkah yang bijak dalam
menangani masalah ini. Berikut langkah yang bisa diambil.
1. Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak
Anda. Ada kesan bahwa orang tua yang sibuk bekerja dengan mudah
menyediakan perangkat video game hanya karena tidak mau repot
dengan anak. Mereka mau membelikan apa pun asalkan dapat membuat
anak diam. Seharusnya, orang tua boleh memberikan mainan yang
anak minta asalkan ada kendali juga dari orang tua. Padahal cara
ini bisa berdampak pada lemahnya keterampilan emosi anak. Mereka
tidak belajar bagaimana mengelola keinginan atau mengambil
pertimbangan, tegas Fauzil Adhim.
2. Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan untuk
anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang memunyai unsur
edukatif, bukan permainan yang memertontonkan adegan kekerasan.
3. Buatlah sebuah peraturan yang dibuat oleh Anda dengan anak Anda
secara bersama-sama. Di antaranya perihal batasan waktu antara
bermain game, belajar, dan kegiatan sosialisasi anak dengan
teman-temannya.
4. Orang tua harus menanamkan pemahaman keagamaan kepada anak dengan
baik. Dari segi kerohanian, orang tua dapat melibatkan anak
secara aktif dalam kegiatan sekolah minggu, mengadakan doa, atau
saat teduh bersama anak di rumah. Sebab hal ini akan berpengaruh
kepada moral anak. Singgih D. Gunarsa menegaskan bahwa moral anak
dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan rumah, lingkungan
sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, juga
aktivitas-aktivitas rekreasi (2003:40-45). Aktivitas rekreasi di
dalamnya meliputi film, radio, televisi, video game, dan
buku-buku.
Bagaimana jika saat ini Anda sedang menghadapi anak yang telah
terlanjur kecanduan dan sulit sekali mengubah kebiasaan bermain
game-nya? Bahwa anak mengorbankan kegiatan sosialnya, enggan
mengerjakan PR, dan ingin mengurangi ketergantungannya, namun tak
bisa adalah beberapa indikasi anak kecanduan video game. Memang
perlu usaha yang keras untuk dapat mengembalikan keadaan anak
seperti semula. Apakah anak perlu diterapi? Mungkin saja, jika
tarafnya sudah sedemikian parahnya. Orang tua harus melibatkan
ahli-ahli lain untuk mengembalikan anak pada kondisi normal, bisa
belajar berpikir dengan baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan
sosial dan sekolah, serta dapat mengikuti proses belajar-mengajar di
sekolah dengan wajar. Menurut Fauzil Adhim, terapi juga diarahkan
agar anak bisa belajar mengelola emosinya, mampu menghidupkan
perasaannya dengan baik dan sehat, serta belajar menumbuhkan
inisiatif positif.
Sudah saatnya kita sebagai pembimbing anak mengambil bagian
dari usaha meminimalisir serangan teknologi yang semakin berkembang
ini. Selamat melayani anak-anak Anda dan selamat membentengi mereka
dengan norma-norma yang sesuai dengan perintah Tuhan kita Yesus
Kristus.
Sumber bacaan:
Gunarsa, D. Singgih. 2003. "Psikologi Perkembangan". Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta: Balai Pustaka.
Adhim, Mohammad Fauzil. 2006. "Memenjarakan Anak dengan Kebebasan".
Dalam http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid(at)yahoogroups.com/msg01826.html
A.B., Rab. 2006. "Dampak Video Games Pada Anak Perlu Diwaspadai".
Dalam http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=491&page=2
Dipublikasikan di: e-BinaAnak Edisi 315
Penulis: Kristina Dwi Lestari
Alamat URL: http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/315/
TELAGA _______________________________________________________________
ANAK DAN VIDEO GAMES
Ada orang memberi nama abad kita sekarang ini sebagai abad
informasi, abad telekomunikasi, atau abad teknologi tinggi. Saya
memanggil abad ini sebagai abad layar karena kalau kita perhatikan,
banyak hal yang sekarang kita lakukan, itu dilakukan di depan layar.
Yang sekarang sedang marak dan populer adalah permainan video game
atau play station.
Biasanya video game dan play station ada beberapa jenis:
1. Ada yang untuk hiburan. Ada game yang memang hanya bersifat
hiburan, tidak ada tantangan-tantangan dan yang diperlukan hanya
konsentrasi.
2. Ada unsur misteri, cukup banyak video game dan play station
yang memuat aspek-aspek misteri.
Yang cukup sering dimainkan sekarang adalah jenis pertandingan.
Pertandingan ini bisa dua orang bertanding atau berkelahi. Ada juga
game yang memang khusus dibuat untuk mendidik, misalnya ada yang
melatih anak untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Sekali lagi,
dalam hal ini peran orang tua itu sangat besar. Saran yang bisa saya
sampaikan kepada para orang tua adalah kita perlu memerhatikan
dampak game itu pada anak-anak kita karena semua anak unik, tidak
sama. Ada anak yang memang dasarnya agak pasif, agak lembut, agak
penurut, tapi ada anak yang dasarnya agak keras dan bersifat fisik
sekali, alias dia akan bersifat agresif.
Beberapa dampak yang mungkin perlu diperhatikan orang tua:
1. Anak menjadi lebih agresif setelah menonton pertandingan atau
memainkan game.
2. Anak menjadi ingin menang sendiri.
3. Anak jadi malas untuk pergi atau bergaul dengan teman-teman.
4. Daya khayal yang semakin meningkat. Misalnya, mencari harta
karun dan beranggapan bahwa di hutan itu banyak harta, dan
sebagainya. Dia pikir itu hal yang riil.
Kadang-kadang anak-anak harus dipaksa untuk keluar dari keterikatan
dan pengaruh permainan itu. Anak-anak perlu mendapatkan pembatasan
waktu. Ada dua alasan mengapa kita harus membatasi mereka:
1. Yang pertama, menggunakan mata yang berlebihan di depan layar itu
tidak sehat.
2. Yang kedua, bermain di depan televisi atau di depan game pasti
akan mengurangi waktunya untuk bermain atau berinteraksi dengan
kita.
Permainan seperti ini bisa menimbulkan sifat individualistis yang
lebih tinggi, karena anak kekurangan kesempatan untuk
bersosialisasi. Itu pasti akan mengakibatkan ketimpangan, dia kurang
bisa menempatkan diri pada orang lain, tidak bisa mengerti pemikiran
orang lain, atau pun berempati pada perasaan orang, karena dia hanya
melihatnya dari sudut pandangnya terus-menerus.
Filipi 3:17 menyatakan, "Saudara-saudara ikutilah teladanku dan
perhatikanlah mereka yang hidup sama seperti kami yang menjadi
teladanmu."
Paulus dengan berani berkata kepada jemaat di Filipi, "Ikutilah
teladanku." Dengan kata lain, Paulus berani berkata seperti itu
karena dia telah memberikan contoh hidup yang baik. Dengan modal
itulah dia bisa menegur dan mengoreksi jemaat di Filipi. Para orang
tua juga harus seperti ini; sebelum dia bisa menegur anak, orang tua
juga perlu memberikan contoh yang baik.
Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. 066B
yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan.
-- Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat
e-mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
atau: < TELAGA(at)sabda.org >
atau kunjungi situs TELAGA di:
==> http://www.telaga.org/ringkasan.php?anak_dan_video_game.htm
_______________________________e-KONSEL ______________________________
Pimpinan Redaksi: Christiana Ratri Yuliani
Staf Redaksi: Evie Wisnubroto
Penanggung Jawab Isi Dan Teknis: Yayasan Lembaga SABDA
Infrastruktur dan distributor: Sistem Network I-KAN
Copyright(c) 2008
YLSA -- http://www.ylsa.org/
Katalog -- http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________
Anda punya masalah/perlu konseling? atau ingin mengirimkan
Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
silakan kirim ke:
konsel(at)sabda.org atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
ARSIP: http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
Situs C3I: http://c3i.sabda.org/
Network Konseling: http://www.in-christ.net/komunitas_umum/network_konseling
______________________________________________________________________
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |