|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/e-konsel/146 |
|
e-Konsel edisi 146 (15-10-2007)
|
|
Edisi (146) -- 15 Oktober 2007
e-KONSEL
======================================================================
Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
======================================================================
Daftar Isi:
= Pengantar : Keluargaku Tanggung Jawabku
= Cakrawala : Menetapkan Batasan Tanggung Jawab Orang Tua
Kristen
= TELAGA : Menanamkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak
= Bimbingan Alkitabiah: Kewajiban Orang Tua dan Kewajiban Anak
========== PENGANTAR REDAKSI ==========
Salam sejahtera,
Jika tidak disikapi dengan bijak, perlahan tapi pasti, perkembangan
zaman akan menggeser nlai-nilai keluarga. Berbagai tuntutan zaman
menyibukkan setiap anggota keluarga. Akibatnya, masing-masing
melalaikan tanggung jawab mereka. Bila orang tua disibukkan dengan
karier mereka, anak-anak disibukkan dengan berbagai kegiatan
sekolah. Sementara orang tua merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan
dari segi jasmaniah, tanggung jawab berupa perhatian kepada anak pun
terabaikan. Tidak heran jika banyak rumah tangga yang berada di
ujung tanduk karena tidak ada keharmonisan lagi.
Sebenarnya apa tanggung jawab para anggota keluarga dalam rumah
tangga? Bagaimanakah masing-masing anggota keluarga seharusnya
mengerjakan tanggung jawab mereka? Sajian berikut kiranya mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan mampu mengingatkan kita
akan tanggung jawab kita dalam keluarga.
Selamat menyimak, Tuhan memberkati
Redaksi tamu e-Konsel,
Davida Welni Dana
========== CAKRAWALA ==========
MENETAPKAN BATASAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA KRISTEN
Semua orang tua bertanggung jawab untuk menetapkan batasan bagi
anak-anak mereka. Kita memastikan mereka memakan makanan yang baik,
memakai pakaian yang pantas, dan tidur pada waktunya. Ketika mereka
bertambah besar, kita mengurangi batasan mereka, memberi mereka
lebih banyak kebebasan untuk menentukan pilihan mereka sendiri,
sambil tetap memerhatikan dari dekat, siap untuk bertindak bila
diperlukan. Tujuan utama menetapkan batasan dalam kehidupan
anak-anak kita adalah agar mereka dapat menetapkan batas-batas
tanggung jawab mereka sendiri saat mereka kelak meninggalkan
lingkungan keluarga.
Dengan mudah kita dapat melihat bahwa di dunia sekeliling kita,
proses menetapkan batasan ini sudah tidak berjalan dengan
semestinya. Kisah-kisah heboh di surat kabar tentang perilaku
anak-anak yang lepas kendali sebenarnya hanya mengungkapkan sebagian
kecil saja di antara begitu banyak kisah lainnya yang tidak sempat
menjadi berita utama. Mengapa hal ini terjadi? Dan yang lebih
penting lagi, teladan apa yang dapat kita berikan sebagai orang tua
Kristen bagi keluarga-keluarga yang belum percaya? Mustahil
menuliskan seluruh alasan kegagalan orang tua melaksanakan peran
mereka sebagai pembuat batasan dalam keluarga sekarang ini, tetapi
marilah kita menyinggung beberapa di antaranya:
1. Kedua orang tua bekerja di luar rumah mengakibatkan sejumlah
besar anak harus tinggal di rumah sendirian sebelum dan setelah
sekolah, demikian juga selama liburan sekolah. Pada dasarnya,
anak-anak ini dibiarkan tumbuh sendiri.
2. Orang tua ingin bersikap "adil". Bagaimana kita dapat berkata
"tidak" pada anak-anak kita sementara semua temannya
diperbolehkan melakukan hal itu? Orang tua ingin menjadi teman
bagi anak-anaknya. Dalam perjalanan membesarkan anak, orang
dewasa biasanya akan sampai pada tahapan di mana mereka berharap
keturunannya dapat memandang mereka sebagai rekan yang setara.
3. Masyarakat secara keseluruhan memperlihatkan toleransi yang
semakin tinggi terhadap dosa dalam bentuk kekerasan yang
diperlihatkan di berbagai media massa, isi yang berbau seks, dan
penyimpangan tingkah laku.
Keluarga Kristen pun tidak terlepas dari situasi semacam ini. Namun,
bagaimana cara kita menanganinya, itulah yang akan membuat
perbedaan. Dengan menuruti perintah Allah, kita dapat memberikan
teladan yang baik bagi orang lain dan pada saat yang sama memberikan
kesaksian tentang iman kita kepada Yesus Kristus dan iman kita akan
pemeliharaan Allah.
Hadir untuk Mengasuh
--------------------
Peran Ibu
Sekarang ini, bukanlah hal yang aneh bila kedua orang tua bekerja,
setidaknya bekerja paruh waktu. Dengan terus meningkatnya biaya
hidup dan pendidikan, baik suami maupun istri dituntut untuk mencari
nafkah demi menyokong keluarga mereka. Secara umum, diketahui dan
diyakini bahwa karena tuntutan inilah, nilai-nilai kehidupan dan
kerohanian keluarga telah terkena dampaknya. Dan karena alasan ini
pula, sebaiknya setiap orang tua Kristen meninjau situasi keuangan
mereka untuk menentukan apakah mereka bekerja karena mereka memang
membutuhkan uang atau karena mereka ingin memenuhi target pendidikan
dan cita-cita mereka serta menjalani hidup mewah. Perkataan berikut
ini mungkin akan menyinggung cara hidup masyarakat modern, namun
cukup pantas untuk direnungkan: "Keluarga akan mengalami masalah
jika di rumah tidak ada sedikitnya satu orang tua yang mengasuh
anak."
"Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil
TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan,
lalu dibawa-Nya kepada manusia itu." (Kej. 2:21-22).
Allah menciptakan wanita dari pria dan Ia menjadikan mereka berbeda
untuk mengisi peran yang berbeda. Kita tahu bahwa pada hakikatnya
wanita diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengasuh dan memberi
dukungan yang lebih baik dibandingkan pria. Dengan kehadirannya
dalam tahun-tahun kritis pembentukan kepribadian, karakter, dan
kebiasaan anak, ibu dapat melatih anak dengan lebih baik dalam jalan
yang harus ditempuhnya.
Ketika istri menunaikan peran ini, suami dapat memenuhi perannya
sebagai pemimpin rohani dan pemberi nafkah dengan lebih baik. Allah
tidak ingin wanita bersaing dengan pria dalam hal ini, meskipun
wanita tentu saja dapat dan harus memberikan bimbingan rohani bagi
anak-anak mereka, serta memelihara keluarga dengan berbagai cara
lainnya.
Namun, sekalipun seorang ibu telah memutuskan untuk tinggal di rumah
selama tahun-tahun pembentukan dalam kehidupan anaknya, hal ini
belumlah menjamin bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang yang
penurut dan penuh hormat. Dibutuhkan komitmen yang kuat, tekad,
pengendalian diri, kebijaksanaan, iman kepada Tuhan, dan kasih yang
besar untuk dapat menjadi seorang ibu yang sukses. Sekadar tinggal
di rumah dan menjadi penjaga bayi bukanlah cara yang tepat untuk
membesarkan seorang anak. Ia harus siap untuk menjadi seorang guru,
perawat, tukang (untuk memperbaiki mainan yang rusak), supir, atlet,
dan yang paling penting, hamba Tuhan.
Amsal 31 memberikan deskripsi yang indah tentang karakteristik
seorang istri dan ibu yang sempurna. Wanita yang digambarkan dalam
pasal ini, meski kemungkinan besar adalah suatu karakter gabungan,
dengan indah melukiskan segala yang dapat dilakukan seorang wanita
untuk kebaikan keluarganya.
Sedapat mungkin, wanita Kristen harus menolak godaan untuk bekerja
di luar rumah jika tidak benar-benar perlu. Mintalah agar Tuhan
menunjukkan jalan untuk menyesuaikan kondisi keuangan Anda sehingga
Anda tidak perlu bekerja ketika anak-anak Anda berada di rumah.
Tentu saja, ini haruslah merupakan keputusan pribadi, yang dibuat
bersama suami Anda dan dengan doa.
Jika bekerja adalah satu-satunya pilihan Anda untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, Anda harus mencari pekerjaan yang paling tidak
mengganggu kehidupan keluarga Anda atau mungkin suatu pekerjaan yang
dapat Anda lakukan ketika anak-anak berada di sekolah atau ketika
suami Anda ada di rumah untuk menjaga anak-anak. Anak-anak
membutuhkan orang tuanya dan keluarga yang belum percaya perlu
melihat bahwa umat Kristen bersedia melakukan pengorbanan dalam
hidup mereka demi kebaikan anak-anak mereka.
Peran Ayah
"Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada
TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak
panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.
Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya
dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia
berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mzm. 127:3-5).
Dengan ibu yang berkonsentrasi menjadi pengasuh utama, ayah dapat
lebih memusatkan perhatian dalam melakukan perannya sebagai pemimpin
rohani keluarga, melatih anak-anaknya menjadi anak-anak Tuhan
melalui teladannya.
Allah ingin agar setiap keluarga menjadi keluarga yang penuh kasih.
Sebagai ayah, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah kita
penuh kasih, tidak hanya terhadap keluarga kita, tetapi juga
menjalankan kasih seorang Kristen terhadap Tuhan, domba-domba-Nya,
dan jiwa-jiwa yang tersesat. Allah juga ingin agar setiap keluarga
menjadi keluarga yang berdoa. Sebagai pemimpin rohani dalam
keluarga, apakah kita memberikan teladan? Apakah kehidupan doa kita
kuat, sedang-sedang saja, atau lemah? Sudahkah kita mengajarkan
pentingnya dan berharganya doa yang efektif dan membaca Alkitab
dengan anak-anak kita? Sudahkah kita membuat program untuk membantu
membangun kebiasaan dan karakter rohani yang kuat dalam keluarga
kita? Ayah harus selalu menguji dengan cermat tingkah laku rohaninya
sendiri jika ia mengharapkan anak-anaknya memahami arti kesalehan
yang sesungguhnya.
Selain itu, peran ayah juga sebagai pendukung ibu dalam perannya
sebagai pengasuh. Ia harus memberikan dukungan kepada istrinya yang
mengemban tanggung jawab dalam membesarkan anak-anak dan menjaga
kerapian rumahnya. Hanya dengan jalan inilah ia dapat membantu
istrinya dalam menjalankan tugas-tugasnya sehingga istrinya juga
dapat tetap hidup berdamai dengan Allah, dirinya sendiri,
anak-anaknya, dan yang terlebih penting, dengan suaminya sendiri.
Menjadi Teman Vs Menjadi Orang Tua
----------------------------------
Kedua orang tua harus sepakat tentang masalah dan cara-cara
menanamkan kedisiplinan: tentang pelanggaran mana yang cukup
diberikan pengarahan dan tingkah laku mana yang membutuhkan disiplin
yang lebih keras, bahkan mungkin hukuman badan. Sangatlah penting
bagi orang tua untuk kompak dan konsisten dalam mendisiplinkan
anak-anak mereka.
Keadilan tentu saja adalah sifat yang patut dihargai dalam
persahabatan, tetapi hubungan orang tua-anak bukan dirancang untuk
menjadi hubungan yang seperti itu.
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada
masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu"
(Ams. 22:6).
Allah memberikan tanggung jawab kepada orang tua untuk mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah kepada anak-anak mereka. Tetapi
Ia juga memperingatkan orang tua agar tidak membuat marah anak-anak
mereka.
"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati
anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat
Tuhan" (Ef. 6:4).
Begitu banyak orang tua zaman sekarang yang terlalu berlebihan
menerapkan prinsip "tidak membuat marah" anak-anak mereka sehingga
mereka membiarkan anak-anak melakukan apa pun yang mereka inginkan.
Mereka sudah melumpuhkan peran mereka sebagai orang tua dengan
mempercayai bahwa membiarkan anak-anak menetapkan sendiri pilihan
mereka yang tidak bijaksana akan lebih baik daripada membuat mereka
"menderita" dengan mengatakan "tidak".
Jauh di kemudian hari, perlakuan memanjakan anak dapat merusak anak
lebih dalam lagi. Bagaimana anak dapat mempelajari nilai-nilai orang
tua mereka jika mereka tidak diajar menilai apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh mereka lakukan? Memberitahukan apa yang "harus"
dilakukan anak adalah satu hal, tetapi proses belajar yang
sesungguhnya terjadi ketika hal itu tampak dalam tingkah laku orang
tua dan juga dilakukan oleh anak itu sendiri. Sebagai orang tua
Kristen, kita perlu memohon hikmat Allah dalam segala hal yang
berhubungan dengan pilihan bagi anak-anak kita. Kita juga perlu
menyadari bahwa pilihan yang Allah kehendaki agar kita ambil atas
nama anak-anak kita tidak selalu akan menyenangkan hati mereka dan
terkadang juga membuat kita dikritik oleh orang-orang yang belum
percaya. Namun, jangan sampai hal ini memengaruhi keputusan kita
untuk mengikuti pimpinan Tuhan. Sebaliknya, kita harus semakin
bersemangat karena sesungguhnya kita sedang menanggung suatu
kesaksian yang penuh kuasa kepada dunia.
Menjadi Badan Sensor untuk Anak-Anak Anda
-----------------------------------------
Perhatikanlah daftar film laris, lima puluh CD paling top, serta
game komputer dan video game populer sekarang ini. Jika Anda
mengamati dengan cermat, Anda mungkin akan terkejut melihat
banyaknya kandungan kekerasan, percabulan, kebencian, seks, dan juga
hal-hal anti-Kristen lainnya. Kadang-kadang hal-hal ini begitu jelas
terlihat, tapi kadangkala terkubur di bawah permukaan dan diperlukan
pengertian untuk dapat melihatnya. Mengapa ada begitu banyak hal
busuk di sana? Sebab masyarakat sudah menerimanya sebagai sesuatu
yang "normal". Nilai-nilai standar sudah diturunkan secara drastis
dan umat Kristen pun sedang terseret ke dalamnya bersama-sama dengan
seluruh isi dunia ini.
Tak ada kebaikan yang dapat kita peroleh dengan mengizinkan
anak-anak kita dibombardir oleh gambar-gambar, lirik lagu, dan
macam-macam hiburan yang tidak saleh.
"Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang
mulia, semua yang adil, semua yang manis, semua yang sedap
didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,
pikirkanlah semuanya itu" (Flp. 4:8).
Nasihat Paulus haruslah menjadi tolok ukur kita. Paulus tahu bahwa
daya tarik dunia dapat secara perlahan-lahan memikat umat Allah, dan
ini terjadi pada keluarga kita sekararang ini, sama seperti yang
terjadi pada umat Kristen di Filipi pada masa itu. Janganlah takut
untuk menyensor berbagai media yang akan dipergunakan anak-anak
kita, anggaplah itu sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada Anda.
Sebagai orang tua Kristen, kita tentu memiliki pekerjaan yang memang
telah diperuntukkan bagi diri kita. Karena itu, kita harus tetap
yakin bahwa Tuhan akan menyediakan jawaban atas batasan apa yang
perlu kita tetapkan bagi anak-anak kita. Ia telah menyediakan semua
perlengkapan yang kita butuhkan: firman-Nya (Alkitab), Roh
Kudus-Nya, dan karunia doa yang melaluinya kita dapat menyampaikan
kekuatiran dan keprihatinan kita kepada-Nya. Kiranya Ia membimbing
kita untuk menggunakan semua perlengkapan ini untuk menetapkan
batasan yang baik bagi anak-anak kita dan untuk mengajarkan kepada
mereka bagaimana menetapkan batasan bagi diri mereka sendiri.
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul majalah: Warta Sejati, Edisi 37/Juli-Agustus 2003
Penulis : Richard Solgot
Penerbit : Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia,
Jakarta 2003
Halaman : 23 -- 26, 40
========== TELAGA ==========
Tugas orang tua tidak hanya membesarkan dan mencukupi kebutuhan
anak-anak mereka saja. Orang tua juga harus bisa mendidik anak-anak
mereka untuk memiliki rasa tanggung jawab. Dengan demikian, ketika
anak-anak itu dewasa, mereka dapat membawa diri dengan baik. Dalam
tanya-jawab dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D. berikut ini diuraikan
bagaimana orang tua bisa melaksanakan tugas tersebut. Silakan simak!
MENANAMKAN RASA TANGGUNG JAWAB PADA ANAK
T : Apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri
setiap anak atau setiap orang?
J : Kenyataannya memang tidak. Anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa
memunyai kesadaran akan tanggung jawabnya. Jadi, tugas orang
tualah menumbuhkan rasa tanggung jawab itu. Anak-anak memang
dilahirkan untuk bergantung pada orang tuanya, dan dalam
kebergantungan itu, anak-anak mengharapkan orang tua melakukan
semuanya bagi si anak. Dalam fase ini, si anak memang belum
mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri. Namun perlahan-lahan,
orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada
si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari
orang tua dan mulai melakukan apa yang harus ia lakukan bagi
dirinya sendiri.
------
T : Sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan
rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa?
J : Sebetulnya, tidak ada patokan usia yang baku. Namun pada
intinya, kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak
sedini mungkin. Usia sedini mungkin ini sudah tentu adalah usia
di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua,
mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua, dan dapat
mengomunikasikan dirinya pada orang tua. Ini adalah sesuatu yang
penting sekali untuk dimiliki oleh si anak.
------
T : Dalam bentuk apa, orang tua bisa melatih tanggung jawab pada
anak?
J : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu
mengurus dirinya; ini adalah hal yang sederhana. Salah satu hal
yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adalah si anak
memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani.
Misalnya, menggosok gigi; otomatis kita harus mengajar anak
untuk menggosok giginya. Namun setelah menjadi kebiasaan,
kegiatan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada
akhirnya ialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok
giginya. Pada waktu usianya meningkat, misalnya 8, 10 tahun,
orang tua mulai menanamkan tanggung jawab tidak saja merawat
tubuh, tapi juga barang-barang kepunyaan si anak itu. Anak
diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya
di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur, dan
sebagainya. Ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak
sudah menginjak usia remaja, kita juga akan menanamkan tanggung
jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
emosionalnya dan sebagainya.
------
T : Kesulitan orang tua adalah tidak memunyai semacam kurikulum atau
tingkatan-tingkatan sampai di mana mengajarkan tanggung jawab
kepada anak.
J : Betul. Memang betapa indahnya kalau kita memunyai pedoman.
Namun secara garis besar atau prinsip umumnya, kita ini
melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yang
bersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari. Tuhan
akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada
hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Sebagai orang
tua yang memerhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai
memiliki kesadaran tersebut.
------
T : Kalau seorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab,
apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?
J : Waktu ia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah
ia akan lebih bisa memercayai kelebihannya. Sebab akan ada
banyak hal yang mampu ia lakukan, hal-hal kecil yang tadinya
ia pikir tidak berguna, tapi waktu ia mulai lakukan,
sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya. Dengan
kata lain, hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek
yang sekarang dikuasai oleh si anak, ia mengerti bagaimana
melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Ini berdampak bagi
kepercayaan diri si anak itu.
------
T : Di samping keyakinan diri, adakah hal lain yang timbul dalam
diri si anak?
J : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya
anak-anak itu harus bekerja, ia tidak akan dianggap sebagai
manusia yang berharga kalau ia sama sekali tidak bekerja.
Pekerjaan memunyai satu substansi, satu akar, yakni tanggung
jawab. Jadi, orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung
jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik. Ini
kita siapkan, pertama dari melakukan sesuatu karena menyadari
kegunaannya, kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan.
Kedua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua
hal yang menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesannya
dalam pekerjaannya pada masa mendatang.
------
T : Kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak
atau kondisi perekonomiannya kurang, biasanya anak yang sulung
mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya,
menggendong adiknya di mana ia sendiri masih kecil, atau bahkan
malah bekerja. Apakah dampaknya pada diri anak itu?
J : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang
sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya. Artinya,
mereka yang seharusnya hidup pada tahap usianya terpaksa
dikarbitkan untuk hidup di luar usianya. Hal-hal yang seharusnya
ia dapatkan di usia itu, misalnya bergantung pada orang, bermain
dengan teman-teman sebayanya, akan hilang sebab tugas yang harus
ia lakukan adalah membantu orang tuanya itu.
------
T : Kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin, apakah
tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan
sesamanya, khususnya teman-teman sebayanya?
J : Kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu.
Secara prinsip, kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu
memerlukan waktu bermain jauh lebih banyak daripada hal-hal yang
berhubungan dengan tanggung jawabnya. Semakin kecil, semakin
banyak waktu bermain yang ia butuhkan, dan waktu untuk
bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali, jadi
jangan sampai kita salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun, kita
wajibkan ia untuk mengepel, menyapu, dan sebagainya, dan ia
akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah
bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya.
------
T : Apakah teman-temannya itu tidak bisa memengaruhi rasa tanggung
jawab anak?
J : Teman-teman sebetulnya bisa memengaruhi tanggung jawabnya.
Dalam pengertian, teman-teman bermainnya akan mengajaknya
melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesuatu pula. Dalam
kesempatan seperti itu, si anak juga berkesempatan untuk
mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata,
"E ..., besok jangan lupa ya, membawa gundu atau kelereng." Ia
besok akan membawa kelereng. Hal yang berkaitan dengan teman
seperti itu juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi
biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita
juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang
bukan saja menyenangkan, melainkan juga hal-hal yang tidak
terlalu menyenangkan.
------
T : Kalau anak itu menghadapi dua hal pilihan untuk tanggung jawab,
di satu sisi ia sudah berjanji kepada temannya, tapi pada sisi
yang lain, orang tuanya memberikan tanggung jawab. Bukankah ini
bisa jadi membingungkan? Mana yang harus ia prioritaskan?
J : Kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu,
Pak, saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah
sekolah," orang tua memang harus menimbang apakah sedemikian
perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu.
Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan
tangguhkan, biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu
baru katakan, "Saya minta engkau membantu saya setelah sepak
bola."
------
T : Berkaitan dengan tanggung jawab ini, apa firman Tuhan yang bisa
dijadikan pedoman, khususnya untuk orang tua?
J : Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan
makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal
budi." Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah ia
akan lebih realistis, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk
belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti
realitas kehidupan. Justru anak-anak yang tidak mengerti
tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan
semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi, "mengejar
barang yang sia-sia" atau mengejar barang yang tidak ada. Jadi
sekali lagi, firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk
bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Ia perlu
makan, ia perlu bekerja dengan cara mengerjakan tanahnya.
------
T : Apakah orang lain bisa tahu bahwa seseorang itu memang punya
tanggung jawab atau tidak?
J : Salah satu hal yang akan bisa kita lihat adalah anak-anak yang
bertanggung jawab berani mengakui perbuatannya; itu salah satu
ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anak-anak yang
seolah-olah rajin, banyak bekerja, dan sebagainya, tapi belum
berani mengakui apa yang telah ia kerjakan, belumlah memiliki
kedewasaan. Jadi, janganlah kita terkecoh oleh kerajinan. Anak
yang bertanggung jawab tahu apa kaitannya dengan dirinya
sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang
keliru atau salah, ia berani berkata, "Saya yang salah."
Sajian di atas kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. T054A
yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan.
Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat
e-mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org>
atau: < TELAGA(at)sabda.org >
atau kunjungi situs TELAGA di:
==> http://www.telaga.org/transkrip.php?tanggung_jawab_anak.htm
========== BIMBINGAN ALKITABIAH ==========
Setiap anggota keluarga memiliki kewajiban sendiri yang harus mereka
jalankan supaya kehidupan dalam keluarga ini bisa terus berlangsung
dan berkenan kepada Allah. Berikut ayat-ayat Alkitab yang
menjabarkan kewajiban orang tua dan anak dalam keluarga.
KEWAJIBAN ORANG TUA
Kejadian 18:19
Mazmur 78:4-7
Ulangan 11:19
Keluaran 13:8
Amsal 22:6
Ulangan 4:9,10
Amsal 6:4
Efesus 6:4
Kolose 3:21
KEWAJIBAN ANAK
Efesus 6:1-3
Kolose 3:20
Lukas 18:20
Ulangan 27:16
Imamat 19:3
Ulangan 5:16
Amsal 6:20
Amsal 13:1
Amsal 15:5
Amsal 20:11
Amsal 10:1
Amsal 1:10
Amsal 28:7
Amsal 8:32,33
Amsal 23:15,16
Amsal 23:22
Amsal 23:24-26
Diambil dari:
Janji-janji Alkitab bagi Hidup Kita (CD SABDA 2.0)
Indeks : Janji-janji Allah bagi Hidup Kita
Nomor topik: 09149 (Kewajiban Orang Tua)
09150 (Kewajiban Anak)
Copyright : Yayasan Lembaga SABDA [Versi Elektronik (SABDA)]
============================== e-KONSEL ==============================
PIMPINAN REDAKSI: Christiana Ratri Yuliani
REDAKSI TAMU: Davida Welni Dana
PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS
Yayasan Lembaga SABDA
INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR
Sistem Network I-KAN
Copyright(c) 2007 oleh YLSA
http://ylsa.sabda.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
======================================================================
Anda punya masalah/perlu konseling?
atau ingin mengirimkan Informasi/artikel/bahan/
sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
silakan kirim ke: konsel(at)sabda.org
atau owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel
ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
Situs C3I : http://c3i.sabda.org/
======================================================================
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |