Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-humor/237

e-Humor edisi 237 (5-12-2001)

[KISAH NATAL] HAI!


Rabu, 5 Desember 2001

Kisah Natal 
-~-~-~-~-~-

HAI!
====

Saat itu hari Minggu, bertepatan dengan hari Natal. Keluarga kami 
menghabiskan masa liburan di San Fransisco bersama orangtua suami 
saya. Namun supaya dapat masuk kerja pada hari Senin, kami harus 
pulang ke Los Angeles pada hari Natal itu dan menempuh jarak kurang 
lebih 650 km.

Kami berhenti untuk makan siang di rumah makan King City yang hampir 
kosong. Kami satu-satunya keluarga yang makan di sana dan anak-anak 
yang ada di situ hanyalah anak-anak kami. Saya mendengar Erik, anak 
saya yang berusia satu tahun, memekik kegirangan: "Hai! Hai!" Ia 
memukul-mukul dengan tangan mungilnya yang gemuk dan lucu pada kursi 
makan anak. Wajahnya tampak begitu gembira, matanya berbinar-binar, 
mulutnya tersenyum lebar sehingga gusinya yang tanpa gigi itu 
kelihatan. Ia menggeliat, mengoceh, dan tertawa-tawa gembira. Tatkala 
saya melihat apa yang menjadi sumber kegembiraannya ... saya tak 
dapat langsung mempercayai apa yang saya lihat.

Di dekat kami berdiri seorang gelandangan tua yang mengenakan mantel 
tua yang pasti sudah lama sekali diberikan kepadanya oleh seseorang -- 
kotor, berminyak, dan kumal ... dengan celana yang kedodoran untuk 
tubuhnya yang kurus dan kecil. Ibu jari kakinya menyembul dari alas 
kaki yang tidak layak disebut sepatu ... warna kemejanya sudah tidak 
karuan, dan wajahnya tidak seperti kebanyakan orang ... dengan gusi 
ompong seperti Erik.

"Hai, sayang; hai, anak manis. Apa kabar, teman?" sapanya kepada Erik.

Suami saya dan saya saling pandang dengan ekspresi yang mengungkapkan
antara "Apa yang harus kita lakukan?" dan "Orang ini meyeramkan."

Makanan kami datang, dan suara-suara itu terus berlanjut. Kini
gelandangan tua itu berseru dari seberang ruangan: "Kamu bisa tepuk
tangan? Oh sayang ... kamu bisa cilukba? Hei, lihatlah ia bisa
cilukba!"

Erik terus saja tertawa dan menjawab, "Hai." Setiap kali dipanggil,
Erik selalu memberi respon. Namun tak seorangpun merasa itu lucu.
Pria itu seorang pemabuk dan pengganggu. Saya merasa malu. Suami
saya, Dennis, merasa sangat terhina. Bahkan anak saya yang berusia
enam tahun mengatakan,"Mengapa orang itu berbicara keras sekali?"

Dennis ke kasir untuk membayar, dan menyuruh saya membawa Erik dan
menunggu di tempat parkir. "Tuhan, tolonglah saya agar dapat keluar
dari sini sebelum orang itu berbicara kepada saya atau Erik! Saya
berjalan cepat-cepat menuju pintu keluar.

Namun tampaknya Tuhan dan Erik mempunyai rencana lain. Saat semakin
dekat dengan pria itu, saya membelakanginya, berusaha menyingkir
darinya, dan dari napas yang keluar dari mulutnya. Tapi justru saat
itulah Erik, dengan mata yang terpaku pada teman barunya itu,
mencondongkan tubuh minta digendong.

Ketika saya berusaha mempertahankan kestabilan tubuh bayi saya dalam
gendongan, saya bertatapan dengan mata orang tua itu. Sekonyong-
konyong Erik mengulurkan dan membuka tangannya lebar-lebar ke arah
orang itu, minta digendong.

Mata gelandangan itu seolah ingin bertanya sekaligus memohon,
"Bolehkah saya menggendong bayi Anda?"

Saya tak perlu menjawab karena Erik sudah mencondongkan tubuhnya
ke lengan orang itu. Tiba-tiba terjalinlah hubungan kasih antara
seorang pria yang sangat tua dengan seorang anak yang masih sangat
kecil. Erik menyandarkan kepalanya yang mungil pada bahu orang yang
berpakaian compang-comping itu. Mata orang itu terpejam, dan saya
melihat airmata mengembang di matanya. Tangannya tua dan kotor akibat
kerja keras, dengan lemah lembut menimang-nimang bayi saya dan
menepuk-nepuk punggungnya.

Saya terperangah. Sejenak pria tua itu mengayun-ayun Erik, lalu
memandang tepat ke mata saya. Ia berbicara dengan suara tegas seolah
memerintah, "Jagalah bayi ini."

Dengan susah payah akhirnya saya berhasil menjawab, "Saya akan
menjaganya," seolah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan saya.

Ia menjauhkan tubuh Erik dari dadanya dengan berat hati seolah dengan
kepedihan yang amat sangat.

Saya membuka lengan lebar-lebar untuk menerima kembali bayi saya.
Lalu pria itu berbicara lagi kepada saya.

"Allah memberkati Anda, Bu. Anda telah memberi saya hadiah Natal."

Saya tidak dapat berkata apa-apa kecuali ucapan terima kasih yang
saya sampaikan dengan tidak begitu jelas.

Begitu Erik berada dalam gendongan saya, segera saya lari ke mobil.
Dennis heran melihat saya menangis sambil menggendong Erik dan
berkata, "Allahku, Allahku, ampunilah saya."


~ Nancy Dahlberg ~

---------------------------------------------------------------------
'Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang
    tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia
        seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik.' (Yakobus 2:8)
               < http://www.bit.net.id/SABDA-Web/Yak/T_Yak2.htm 2:8 >
---------------------------------------------------------------------
Sumber: Embun Bagi Jiwa Anda - Yayasan Gloria, p.29

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org